Galih menatap ke arah spion motornya yang ia arahkan ke belakang. Rupanya gadis itu berpegangan pada bagian belakang jok motor.
Galih tersenyum miring. Seakan merencanakan sesuatu? Tak lama setelah itu, ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aisyah yang duduk di jok belakang, hampir saja terjengkang. Gadis itu terkejut bukan main, ia pun refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Galih. Bisa-bisa ia jatuh jika hanya berpegangan di belakang jok motor saja. Kesal, Aisyah merasa Galih sengaja melakukan ini semua, agar gadis itu bisa memeluknya. Modus. Pikirnya. “Dasar preman modus!” Umpat Aisyah. Kesal bukan main. Sepanjang perjalanan. Galih hanya menahan tawa dalam hati karena mendengar Aisyah yang tak henti-hentinya mengoceh di belakang. ‘ Lucu! Gadis ini sangat unik.’ Batinnya. “Pelan-pelan aja jalannya. Kasian tetangga, takutnya mengganggu mereka!” Kali ini Galih menurut, karena sudah masuk area perkampungan. Pria itu pun memelankan laju motornya. Aisyah tak sadar, bahwa saat ini tangannya masih saja melingkar di pinggang Galih. “Dasar modus kamu ya! Kamu sengaja kan... Biar aku bisa peluk kamu?” Omel Aisyah tak terima. “Hem... Lagian kamu juga menikmati banget, sampai motor jalannya udah pelan aja pegangannya juga belum di lepas!” Ucap Galih. Aisyah tersadar. Gadis itu segera menarik tangannya dari pinggang Galih. Kini, mereka sudah tiba di depan rumah gadis itu. Aisyah langsung turun dan berjalan, tanpa mengucapkan terima kasih karena ia masih kesal pada pria itu. “Hey... Tunggu!” Seru Galih. Aisyah berbalik badan, “Apa lagi sih?” Tanyanya. “Kamu belum memberi imbalan untukku!” Jawab Galih. Aisyah mengerutkan kening, “Kamu mau apa? Uang ongkos? Dasar preman, gak ikhlas banget nolonginnya!” Gadis itu berdecih, kemudian membuka dompetnya. “Bukan uang yang aku mau! Tapi, aku mau kamu menerima lamaranku besok sebagai tanda terima kasih kamu ke aku karena sudah menolongmu!” Ucap Galih dengan percaya dirinya. Tak menunggu jawaban dari Aisyah, pria itu langsung saja melajukan motornya, meninggalkan Aisyah yang berdiri terpaku dengan ucapan Galih barusan. ‘Menerima lamarannya? Yang benar aja, kenal juga nggak! Udah gak waras tuh orang!’ Aisyah bergegas masuk ke dalam rumahnya. Tetapi, tiba-tiba seseorang datang dengan membawa motor yang ia tinggalkan tadi di tepi jalan. “Waah... Bannya udah gak kempes lagi?” Ucap Aisyah dengan mata berbinar-binar. “Iya, Mbak. Sudah saya isi angin, bannya hanya kempes saja bukan bocor!” jawab lelaki itu. “Alhamdulillah... Makasih banyak ya, Mas. Berapa ongkosnya??” Lelaki itu menggeleng, “Sudah aman, Mbak. Sudah di bayarin sama Mas Galih. Kalau begitu saya permisi Mbak. Mari...” jawabnya. Pria itu bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut. “Galih? Ooh... Jadi namanya Galih?” Gumam Aisyah. Aisyah pun berjalan sambil membawa motornya, memasukkan ke dalam rumah. Keadaan rumah tampaknya sudah sepi, sepertinya para penghuni rumah sudah tertidur. “Mbak?” Panggil Fadil, adik Aisyah. “Hey, ngagetin Mbak aja kamu, Dil!” Ujar Aisyah, “Kamu belum tidur?” Tanya gadis itu kemudian. Fadil menggeleng, “Mbak dari mana?” Bukannya menjawab, Fadil malah balik nanya pada kakaknya itu. Aisyah terdiam. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada Fadil. “Aku tadi dengar Paman lagi ngobrol sama Tante Rina tentang pernikahan, Mbak. Apa Mbak udah yakin bakal nikah dengan Mas Rian??” Ucap Fadil dengan sorot mata penuh khawatir. “Fadil...” Aisyah duduk di ruang tamu, Fadil pun mengikutinya. “Mbak udah putus sama Rian, Dil!” Ungkap Aisyah. “Serius, Mbak?” Tanya Fadil dengan mata berbinar. Aisyah mengangguk, “Kok kamu senang?” Selidik Aisyah. “Syukurlah... Mas Rian bukan laki-laki yang baik, Mbak. Laki-laki itu gak pantes buat Mbak Aisyah!” Katanya, membuat Aisyah mengernyit, heran. “Kamu tau sesuatu ya?” Selidik Aisyah. “Maaf, Mbak. Sebenarnya... Udah beberapa kali aku lihat Mas Rian jalan dengan perempuan lain, tapi selama ini aku gak berani cerita karena Mbak terlihat sangat bucin pada Mas Rian itu.” Aisyah menghela napas panjang. Rupanya selama ini, ia benar-benar di bodohi oleh janji manis Rian. “Uum... Ya udah, tidur sana Dil. Mbak gak apa-apa kok, kamu gak usah mikirin hal seperti ini, kamu masih kecil. Belajar yang rajin aja ya!” Tukas Aisyah, gadis itu bangkit dari duduknya. “Mbak! Aku bukan lagi anak kecil. Mbak bisa minta tolong sama aku kalau ada apa-apa!” Ucap Fadil, jiwa kelakiannya muncul setelah melihat satu-satunya orang yang peduli padanya terlihat bersedih. “Iya... Nanti Mbak bakalan minta bantuan kamu. Tapi tidak sekarang.” Fadil menghela napas berat. Ia tatap kakak satu-satunya itu yang melangkah pergi meninggalkannya. ‘Kalau Mbak Aisyah udah putus, lalu siapa orang yang dimaksud Paman yang bakal nikahin Mbak Aisyah??’ Batinnya penasaran. Ada kecemasan tersendiri dari dalam hati bocah berusia enam belas tahun itu. Fadil merasa takut, jika nanti sang kakak menikah maka ia akan ditinggal sendiri. Selama ini hanya Aisyah lah yang peduli setelah kedua orang tuanya meninggalkannya. °°°°° Sementara itu, di kediaman juragan Bram. Galih tengah duduk di kursi depan kolam ikan. Angin malam berembus masuk sampai ke tulangnya. Tapi tetap saja, ia tinggal duduk di tempat itu. “Galih, kau serius ingin menikahi gadis itu?” Tanya Rais, tak habis pikir. “Hem... Kamu pikir aku main-main, Rais??” Rais berdecak, “Ck, kau punya uang dari mana buat bayar hutang si Herman itu?” Rais menggelengkan kepala, merasa bahwa temannya ini kini salah lawan, “Lagi pula, juragan Bram pasti akan marah jika dia tau kamu menikungnya. Asal kau tau, juragan Bram itu sudah mengincar Aisyah sejak masih SMA!” Tutur Rais. Galih tercengang. Lelaki tua beristri tiga itu ternyata sudah lama mengincar gadis itu? Sebagai anak buah senior juragan Bram, Rais tahu apapun tentang lelaki tua itu. “Jadi, juragan sengaja membuat pancingan agar bisa menikahi gadis itu??” Tanya Galih, penasaran. Pria itu baru bekerja pada juragan Bram seminggu yang lalu. Rais mengangguk, “Juragan paham betul bagaimana sifat Herman dan istrinya yang matre itu. Ia sengaja menawarkan pinjaman terus menerus, karena juragan yakin, mereka sudah pasti tak akan mampu membayar hutang dan bunganya.” Galih manggut-manggut, pria itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu. “Jangan nekat kalau kau tidak mau dapat masalah, Galih! Banyak gadis cantik lainnya di kampung ini. Ya meskipun tak secantik Aisyah, tapi gampang lah bagi pemuda seperti kamu ini untuk mencari istri cantik dan orang sini.” Ujar Rais mengingatkan. Galih hanya menanggapi ucapan Rais dengan senyuman penuh arti. Ia bangkit dari duduknya sambil menepuk pundak Rais. “Tidurlah, Rais. Kamu tunggu besok, akan ada kejutan yang saya siapkan!” Ucap Galih. Berjalan meninggalkan Rais yang diliputi rasa penasaran. °°°°°Pagi mulai merekah usai semalam di liputi suasana yang menyesakkan. Aisyah sudah bangun pagi-pagi sekali. Gadis itu mencoba menghilangkan segala beban pikirannya sejenak. Ia harus bekerja, ada Fadil yang sudah menjadi tanggung jawabnya. “Kok kamu berangkat kerja, Syah?” Celetuk Rina setelah melihat Aisyah sudah siap dengan seragam kerjanya. “Ya Tante.” Jawab Aisyah sembari menyisir rambutnya. “Kalau kamu nikah sama juragan Bram, kamu gak perlu lagi capek-capek kerja, Syah. Hidup kamu bakalan terjamin. Dari makan, rumah, mobil, bahkan kamu bisa shopping tiap hari. Dari pada jadi penjahit terus, kerja dari pagi hingga sore, tapi tetap aja hidup kamu gini-gini aja!” Ucap Rina. Aisyah menghela napas berat. Lagi-lagi Rina menyuruhnya menikah dengan juragan Bram. Aisya berbalik badan, menatap Rina. “Tante, selama ini Aisyah gak pernah beli ini itu di karenakan uangnya dipakai untuk biaya pendidikan Fadil. Dan juga buat makan kita sehari-hari di rumah ini!” Ucapnya, membela diri. “Hal
“Tenang, juragan. Kita bisa bicara baik-baik.” Ujar Rais. Tak ingin emosi Bram semakin memuncak. “Kamu!” Tunjuk Herman pada Galih, “Pergi kamu dari sini! Saya gak sudi Aisyah menikah dengan kamu! Sampai kapan pun, saya gak akan pernah mau merestui!” Ucap Herman, ikut tersulut emosi. Bagaimana tidak? Selain hutangnya lunas, Bram juga menjanjikannya memberinya modal yang cukup besar untuk di kelola menjadi usaha setelah menikah dengan Aisyah nanti. Herman sudah membuat rencana untuk membuka toko campuran yang besar dengan modal dari Bram. Dengan bantuan Bram yang nantinya akan jadi menantu nya, tentu tak sulit baginya untuk memiliki toko campuran yang besar. “Lagi pula uang dari mana kamu Galih untuk membayar hutang Herman hah?! Gaji kamu sebulan saja, bahkan sangat jauh!” Cetus Bram dengan sinis. Lelaki tua itu yakin, bahwa Galih pasti tak akan bisa membayar utang Herman sebanyak itu. “Tulis rekeningnya di sini!” Jawabnya dengan santai. Galih menyerahkan ponselnya pada Bram. Lela
“Jangan sungkan, Aisyah. Sebentar lagi kita berdua akan menjadi suami istri!” Ucap Galih, menatap Aisyah yang kini menatap ke arah lain.“Aku baru saja bertemu dengan kamu, aku sama sekali tidak kenal dengan kamu, tidak tau asal usulmu. Bagaimana bisa kamu mengatakan kita akan menikah sebentar lagi?” Ujar Aisyah, mengungkapkan keresahannya.“Kita bisa perkenalan setelah menikah.” Sahut Galih.Obrolan mereka terjeda sesaat. Seorang pelayan datang dengan membawa sebuah minuman, meletakkannya di atas meja.“Terima kasih...” Ucap Aisyah, pelayan itu hanya tersenyum sembari mengangguk.Galih memberi kode pada pelayan tersebut, agar segera meninggalkan mereka berdua.“Minumlah dulu agar pikiran kamu tenang, Aisyah.” Ujarnya dengan lembut.Aisyah tercengang. Tak percaya jika seorang preman di hadapannya itu bisa berbicara lembut seperti itu.“Oh ya, kenapa kamu melunasi hutang paman? Apa sebenarnya tujuan kamu, Galih??” satu pertanyaan yang membuat Aisyah penasaran sejak tadi, akhirnya terlo
“Eh, tunggu dulu! Syahnaz ini kan putri kami satu-satunya. Jadi, sebelum pernikahan di selenggarakan, kami ingin memberikan persyaratan terlebih dahulu untuk Nak Arman.” Ucap Herman. Arman mengernyit heran, penasaran. Persyaratan apa yang akan di berikan oleh calon mertuanya itu? “Apa syaratnya?” Tanya Arman cepat. “Kami ingin... Nak Arman memberikan mahar pada Syahnaz sebesar seratus juta!” Ujar Herman. Seketika membuat Arman dan kedua orang tuanya terkejut hebat. Mahar seratus juta?? “Apaa?!! Seratus juta???” Pekik mereka bertiga, kompak. Saking terkejutnya. “Iya! Kalian tidak keberatan kan?” Rina menimpali. Syahnaz seketika melotot pada kedua orang tuanya. “Pak, apa-apaan ini!” Protes Syahnaz. “Syahnaz, kamu berhak mendapatkan mahar yang besar! Jangan mau kalah sama Aisyah, calon suaminya juga memberikan Bapak uang sebesar seratus juta!!” Ujar Herman, tentu saja pria paruh baya itu tidak ingin mengatakan jika uang itu sebenarnya untuk membayar semua hutangnya. “Kalian ini
Pukul 01.00 wib. Di dalam sebuah kamar yang sangat sederhana. Aisyah sedang menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang campur aduk. Ia baru saja selesai di rias. Karena hari ini adalah hari pernikahannya yang memang dipercepat karena keinginan pria dengan tampang preman itu. Ia mengenakan kebaya putih cerah, sangat pas di tubuh langsingnya yang indah. Rambut hitam panjangnya yang sehalus sutra di sanggul dengan berhiaskan aksesoris jepit kecil berbahan mutiara, hanya tampilan yang sangat sederhana namun sangat tangguh dan elegan. Mencerminkan kepribadian Aisyah yang sesungguhnya. “Wah... Kamu sangat cantik, Mbak Aisyah.” Kagum seorang wanita yang telah memakaikan riasan make up pengantin ke wajah Aisyah. Make up yang tidak terlalu menor atau berlebihan seperti keinginan Aisyah sendiri. Aisyah hanya tersenyum tipis. Entah ia harus bahagia untuk hari istimewa ini ataukah justru sedih. ‘Ya Allah, jika memang ini jalan takdir yang harus hamba tempuh, hamba mohon berika
“Kamu tau dari mana?” Tanya Aisyah penuh selidik. Galih menatap dalam-dalam manik Aisyah. “Itu tidak penting, Aisyah! Cepat... Kemas barang-barang yang ingin kamu bawa!” Aisyah mendengus kesal. “Kamu harus menjelaskan semuanya! Kenapa kamu banyak tau hal tentang keluargaku?!” Galih menghela napas panjang. “Nanti aku ceritakan, Syah! Cepat kemasi barangmu, kasihan Fadil sudah menunggu!” Ucapnya lembut. Rasa penasaran Aisyah belum hilang tentang dari mana Galih mendapatkan uang sebanyak seratus juta untuk melunasi hutang Herman, juga mahar sebesar lima puluh juta. Kini Aisyah di buat penasaran lagi tentang jati diri Galih yang sebenarnya. Mengapa pria itu seakan banyak mengetahui tentang keluarganya, bahkan sampai ke masalah yang sifatnya rahasia itu. “Gak usah bawa baju banyak-banyak. Nanti saya belikan yang baru!” Jelas Galih. Aisyah yang sedang mengemasi pakaiannya, sontak menoleh pada pria itu. “Tidak perlu! Baju sudah banyak.” Sahut Aisyah, kembali menyusun pakaiannya. Baj
“Mobilnya siapa itu?” Tanya Aisyah, bingung. Seorang supir membukakan pintu setelah mereka tiba di dekat mobil. “Silahkan Tuan, Nyonya.” Ucap sang supir, mempersilahkan. “Ayo masuk Aisyah, Fadil!” Ajak Galih pada sang istri dan adik iparnya. “Waah... Ini mobilnya Bang Galih?? Ih, keren banget... Kayak punya sultan mobilnya.” Ujar Fadil dengan wajah berbinar, kegirangan. Suara Fadil yang cukup besar, membuat Herman dan Rina yang masih di dalam rumah merasa penasaran. Mereka melangkah keluar dengan tergesa-gesa. “Wah, keren banget mobilnya, Pak.” Mata Rina seketika berbinar-binar, takjub. “Iya, Bu. Ini mobil yang harganya miliaran itu kan??” Herman tak kalah takjub. “Pak? Kok si preman itu bisa pakai mobil mewah ya?? Jangan-jangan dia memang beneran kaya lagi, Pak?!” Ujar Rina. “Halah... Gak mungkin, Bu! Palingan itu mobil pinjem punya juragan siapa gitu!!” Sanggah Syahnaz tiba-tiba. Gadis itu rupanya juga penasaran mendengar kehebohan di luar rumahnya. “Hem... Iya juga ya, N
Mobil yang mereka tumpangi kini tiba di pusat perbelanjaan.“Kok kita ke sini, Mas?” Tanya Aisyah, terheran.“Iya, kita belanja dulu! Di rumah masih kosong, gak ada stok bahan makanan, sekalian juga buat beli baju kamu dan Fadil!” Jawab Galih.“Waah... Asyik...” Ujar Fadil, kegirangan.Aisyah menoleh ke arah Fadil, menggeleng pelan. “Di sini pasti mahal-mahal, Dil. Kita gak usah beli apa-apa, beli bahan untuk makan kita saja!” Tolak Aisyah, cepat.Galih menatap lekat manik Aisyah, “Hey... Kalian tinggal memilih apa yang kalian butuhkan! Tak perlu sungkan!” Ujar Galih cepat.“Tapi, Mas_” Ucapan Aisyah terhenti, Galih menempelkan telunjuknya di bibir istrinya itu.“Nurut aja apa kata suami!” Pinta Galih, kemudian turun lebih dulu dari mobil.Aisyah diam mematung, memegang bibirnya yang baru saja di sentuh oleh jari Galih.“Ayo, turun!” Titah Galih pada Aisyah dan Fadil.Aisyah masih terdiam, ia pun turun dengan perasaan yang sulit di artikan.“Beli apa aja yang kamu mau, Dil!” Tawar Gal
“Hahaha biar tau rasa si Galih itu! Galih pikir bisa melawanku?” Suara Juragan Bram terdengar berjalan ke arah gudang. Galih dan Rais seketika bersembunyi di tembok pembatas gudang. Meski pengap dan bau dari kotoran sapi mulai tercium, Galih tetap menahannya demi bisa membebaskan adik Istrinya itu. “Jadi gimana Juragan? Hutang saya bisa lunas kan kalau Aisyah berhasil ke sini?” Suara berat seseorang berhasil membuat Galih tercengang. ‘Sialan! Dia lagi!’ batin Galih mengumpat perbuatan Herman yang lagi-lagi ingin menjual Aisyah pada tua bangka itu. Galih masih berdiam diri di tempat persembunyiannya mendengarkan percakapan Herman dan juragan Bram dengan dada yang bergemuruh. “Sekarang kamu telepon Aisyah, Herman! Suruh dia ke sini sendiri untuk membebaskan Fadil. Dengan begitu, aku bisa dengan mudah menjeratnya masuk dalam perangkapku.” Ucap juragan Bram sambil tertawa. “Siap juragan! Si Galih itu juga pasti nggak di rumah karena tadi kita sudah pancing. Pasti sekarang dia sedang
“Ada apa dengan Fadil, sayang??” tanya Galih ikut panit saat melihat raut wajah istrinya itu yang tegang dan panik. “Tadi ada panggilan dari nomor Fadil, tapi yang bicara bukan Fadil, Mas.” Jawab Aisyah. Galih mengerutkan kening, “Kamu kenal itu suara siapa?” Aisyah menggeleng, “Aku juga gak kenal, Mas... Suaranya laki-laki, tapi bukan suara Paman juga,” Jelas Aisyah sesuai dengan apa yang ia dengarkan tadi. Aisyah kenal betul suara Herman, tetapi suara tadi bukanlah suara pamannya itu. Aisyah menatap Galih serius, “Aku khawatir, Mas... Kita cari Fadil sekarang ya?!” Pinta Aisyah dengan dada yang terasa sesak, membuat Galih segera mengangguk. “Biar Mas Iacak dulu handphonenya Fadil, siapa tau kita bisa dapat di mana keberadaannya sekarang,” kata Galih kemudian segera mengotak atik ponselnya cukup lama. ”Gimana, Mas?” tanya Aisyah penuh harap. “Sepertinya ponsel Fadil sudah tidak aktif, tapi lokasi terakhirnya masih bisa di lihat.” Jelas Galih, setelah melacak keberadaan
“Wajib hukumnya bagi Mas Arman buat menafkahi aku dengan layak. Tapi apa faktanya? Mama menahan semua hak yang harusnya di serahkan ke tanganku sejak awal. Jadi, siapa di sini yang gak tau diri? Aku atau Mama?!” Ujar Syahnaz menyentak perasaan Tiara.“Kurang ajar kamu, ya! Berani kamu bicara begitu di depan saya? Saya juga punya alasan kenapa masih memegang uang Arman! Itu semua karena kamu punya mental miskin dan pengeretan! Bisa habis semua uang anak saya kalo di serahkan sama kamu!” Ungkap Tiara sudah kepalang kesal.“Sudah, Ma. Hentikan semuanya,” pinta Dario melihat istrinya makin murka dan tidak bisa di kendalikan.Lelaki paruh baya itu beralih pada putra semata wayangnya. “Hentikan ini, Arman, Mama dan Syahnaz gak akan kelar perdebatannya kalo kamu diam aja seperti ini!”Arman menelan ludah. Kalau boleh jujur, kepalanya seperti ingin meledak, saking besar rasa pusing yang menghampirinya sejak tadi.“Kamu usir perempuan itu dari hadapan Mama sekarang juga! Mama gak sudi melihat
“Susah payah aku kerja siang malam selama satu bulan lamanya, berusaha meniti karir dari bawah, tapi malah kamu hancurkan dalam waktu sekejap mata! Kamu tau gak, kalau sekarang aku gak punya karir yang cemerlang dan itu semua gara-gara kamu!” Tak hanya sekali Arman membentak Syahnaz. ltu semua harus di lakukan agar amarahnya keluar dengan baik. Selain itu, Syahnaz memang harus di beri pelajaran karena tindakannya sudah sangat fatal. Arman merasa sakit hati dan di khianati, juga terpuruk bukan main. Wajar kalau saat ini ia menggila dan tak memedulikan Syahnaz yang lagi hamil dan sudah tampak ketakutan. “Sekarang jabatanku cuma staf biasa, Syahnaz! Aku di pandang rendah sama semua orang-orang di kantor karena di anggap gak becus dalam bekerja!” Ungkap Arman, menatap nasib. Syahnaz tergugup. Wanita itu menangis, tak menyangka jika masalahnya akan merembet ke mana-mana. Dalam hati Syahnaz sangat menyesal, tetapi semua sudah terlanjur. Syahnaz tidak bisa melakukan apa pun lagi, selain
Sementara itu di rumah Arman, kini Tiara sedang menanti putra semata wayangnya yang belum juga pulang dari kantor. “Duh... Arman kok belum pulang juga ya, Pa...?” Ujar Tiara, gelisah. “Memangnya ada apa sih, Ma? Kamu kok kayak cemas gitu kelihatannya??” tanya sang suami, penasaran. Tiara mengembuskan napas berat, wanita itu pun menceritakan perihal proyek besar Arman yang gagal karena hilangnya berkas penting tersebut. Tiara juga menceritakan tentang Syahnaz yang diam-diam bertemu dengan seseorang. “Astaga Ma... Dari dulu Papa juga gak sreg sama di Syahnaz, Ma. Tapi ya Papa ini kan laki-laki jadi gak mungkin mau banyak omong kayak Mama,” ucap Dario. “lya, Pa. Mama juga sebenarnya gak suka sama perempuan itu! Kalau saja bukan karena dia lagi hamil, Mama juga gak bakal kasih izin mereka nikah,” Tiara mengungkapkan kekesalannya. “Mama juga curiga kalau bayi itu bukan anaknya Arman, Pa...” sambungnya lagi. Dario tercengang, mencoba mencerna ucapan sang istri, “Hah? Maksud Mama apa?
Jakarta, Pukul 12,00 wib. Saat ini Galih dan Aisyah sedang bersiap untuk dinner ke kafe. Sebelum pulang ke rumah dan kembali di sibukkan dengan segala pekerjaan, Galih ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang istri di Jakarta. Galih memilih sebuah cafe elit di daerah pusat Jakarta. “Cafenya bagus ya, Mas...” Puji Aisyah saat sedang duduk menunggu pesanan yang telah di pesan oleh Galih. “Iya, Sayang... Tempatnya instagramble banget, cocok buat nongkrong anak muda zaman sekarang,” Jawab Galih, juga ikut kagum melihat desain cafe tersebut. “lya, Mas... Tapi cafe Mas juga bagus kok,” ucap Aisyah tiba-tiba merasa tak enak hati. Ia takut Galih salah mengartikan kalimat pujiannya tadi. Galih pun terkekeh mendengar ucapan Aisyah barusan. “Memang siapa yang bilang cafe Mas gak bagus?” Aisyah tersenyum sambil menggeleng. “Nggak ada sih, Mas, hee...” jawabnya nyengir Galih seketika terbahak, gemas dengan tingkah istrinya itu, “Kamu itu menggemaskan sekali, sayang...” “Galih.” se
“Ayo Pak Arman, kenapa diam saja?” Desak Tuan Bagas, tak suka jika waktu terbuang percuma seperti ini. Arman menelan ludah. Wajahnya seketika pucat pasi. ‘Ke mana berkas yang udah aku siapkan semalam’ Lirihnya dengan nada panik, seraya mengeluarkan semua barang-barang dari dalam tas. ‘Astaga... Kenapa berkasnya bisa gak ada?’ Lanjutnya lagi. “Ada masalah, Pak?” tanya sekretaris Tuan Bagas. Arman menoleh dan segera menggeleng. la berusaha untuk tetap terlihat tenang, seraya terus membuka semua bagian tasnya. Tapi nihil. Berkas yang ia cari tak ada di sana. Arman berdecak pelan dan berkata, “Apa aku salah simpan berkas itu?” “Pak Arman??” tegur Tuan Bagas untuk yang kedua kalinya. Bingung melihat gerak gerik Arman. Apa sebenarnya yang lelaki itu cari? Tuan Bagas mengirim kode pada sekretarisnya untuk mendekati Arman, barangkali ada hal yang harus di bantu. “Saya mencari berkas perencanaan perusahaan kita,” jawab Arman ketika sekretaris Tuan Bagas menghampirinya. Melihat Arman
“Mas? Kok kamu gak masuk-masuk kamar sih?” Syahnaz menyusul Arman ke ruang kerjanya. “Hmm, lagi sibuk, Naz.” “Memangnya Mas gak capek apa?” tanya Syahnaz. “Capek, tapi kan ini tuntutan pekerjaan. Berkas ini harus aku cek semuanya, besok akan kubawa bertemu klien penting,” jawab Arman membuat Syahnaz tersenyum. “Oh, ya sudah... Aku tidur duluan ya, Mas.” ucap Syahnaz kemudian hendak melangkahkan kakinya keluar. “Syahnaz!!” seru Arman membuat Syahnaz menoleh. “Kenapa, Mas?” “Tadi siang kamu ke mana saja?” tanyanya. “Em, aku cuma ke kafe aja, Mas. Bosen terus di rumah,” Jawab Syahnaz. “Jangan sering keluyuran sendiri, kamu lagi hamil, gak baik!!” “Ya makanya ajak aku jalan-jalan dong, Mas. Kamu sibuk mulu sama pekerjaan kamu itu.” Jawab Syahnaz. “Oke, hari minggu nanti kita jalan,” sahut Arman membuat wajah Syahnaz berbinar. “Kamu serius, Mas?” Syahnaz mengangguk. “Yeayy! Makasih ya, Mas. Aku tau kamu tuh sayang banget sama aku, cuma pasti Mama pengaruhi kamu yang engga-engg
“Pacaran apanya, Ma. Orang ada dua buntutnya gitu,” celetuk Ammar yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu. “Ish, kamu ini Mas! Duit elit piknik sulit!” Ujar Kiara kesal. “Bukan pelit, Sayang. Tapi harus banyak pertimbangan kalau mau piknik tuh. Mayra dan Kayra pasti akan sangat heboh kalau di ajak piknik, jadi kita harus bawa baby sitter,” ucap Ammar memberi masukan, tetapi Kiara hanya melirik kesal. “Sudah-sudah, kita ke sini gak mau lihat keributan kalian.” Galih melerai, senang sebenarnya melihat keabsurd-an mereka, tetapi lama-lama kepalanya juga akan pening. “Tante! Ayo main sama Mayra...” Pinta Mayra, mengajak Aisyah untuk bermain bersamanya. Aisyah menoleh ke arah Galih, lelaki itu pun mengangguk seraya tersenyum, pertanda mengiayakan. Akhirnya Aisyah bermain bersama dua gadis kembar itu. Kiara juga ikut berbaur bersama mereka. Benar kata Galih, Aisyah merasa sangat senang berkunjung ke rumah Kiara. Selain Kiara orangnya ramah dan baik hati, dua putrinya juga sangat l