“Jangan sungkan, Aisyah. Sebentar lagi kita berdua akan menjadi suami istri!” Ucap Galih, menatap Aisyah yang kini menatap ke arah lain.
“Aku baru saja bertemu dengan kamu, aku sama sekali tidak kenal dengan kamu, tidak tau asal usulmu. Bagaimana bisa kamu mengatakan kita akan menikah sebentar lagi?” Ujar Aisyah, mengungkapkan keresahannya. “Kita bisa perkenalan setelah menikah.” Sahut Galih. Obrolan mereka terjeda sesaat. Seorang pelayan datang dengan membawa sebuah minuman, meletakkannya di atas meja. “Terima kasih...” Ucap Aisyah, pelayan itu hanya tersenyum sembari mengangguk. Galih memberi kode pada pelayan tersebut, agar segera meninggalkan mereka berdua. “Minumlah dulu agar pikiran kamu tenang, Aisyah.” Ujarnya dengan lembut. Aisyah tercengang. Tak percaya jika seorang preman di hadapannya itu bisa berbicara lembut seperti itu. “Oh ya, kenapa kamu melunasi hutang paman? Apa sebenarnya tujuan kamu, Galih??” satu pertanyaan yang membuat Aisyah penasaran sejak tadi, akhirnya terlontar. “Karena kamu Aisyah!” “Ck, rupanya preman seperti kamu juga hobi menggombal perempuan!” Aisyah mencebik kesal, tak puas dengan jawaban pria itu. “Saya gak gombal, saya hanya memberikan jawaban dari pertanyaan kamu.” Jawabnya dengan santai. Galih dengan mudahnya menawarkan pernikahan pada Aisyah, padahal sebelumnya mereka berdua tak saling kenal. Aisyah masih merasa penasaran. Apa sebenarnya tujuan pria ini mau menikahinya? “Hmm... Pernikahan itu hal yang sakral, juga ibadah terpanjang. Ada banyak hal yang harus di persiapkan sebelum memutuskan untuk menikah!” “Katakan saja! Kamu mau menikah dengan konsep yang seperti apa, Aisyah??” Sahut Galih cepat. “Bukan itu. Maksud aku, tujuan menikah dan lainnya itu harus jelas.” “Oh itu... Kamu tenang saja! Saya tidak akan banyak janji! Saya pastikan, kamu tidak akan menyesal setelah menikah denganku!” Ujar Galih, sungguh percaya diri sekali lelaki berhidung mancung itu. “Besok kita akan segera menikah, tapi secara agama saja dulu. Agar saya bisa secepatnya membawa kamu pergi dari rumah pamanmu yang kurang ajar itu!” Ujar Galih, merasa geram terhadap Herman. Aisyah terperangah. Pernikahannya dengan Galih akan di langsungkan besok? Secepat itu?? “Apa?? Besok kamu bilang?!” Pekik Aisyah, terkejut. “Ya! Sesuatu yang baik, bukankah tidak baik jika harus di tunda??” Galih menaikkan satu alisnya sambil tersenyum. Aisyah terdiam, yang di katakan Galih memang benar. Namun, ia sama sekali tak pernah menyangka, jika Galih akan mempercepat pernikahan mereka itu. Aisyah sendiri sudah tak bisa menolak. Ia sendiri yang sudah memutuskan untuk menikah dengan Galih dari pada dengan juragan tanah beristri tiga itu. Apalagi pria itu juga sudah mengeluarkan sejumlah uang yang besar, untuk melunasi semua hutang Herman-pamannya. Meskipun banyak tanda tanya dalam pikirannya, dimana Galih mendapatkan uang sebanyak itu. Namun tak dapat di pungkiri, bahwa ia sedikit merasa janggal karena hingga saat ini bahkan beberapa jam lagi akan melangsungkan akad nikah secara agama. Dirinya bahkan belum mengetahui asal usul pria yang berpenampilan seperti preman itu. °•°•°•° “Mbak... Jadi beneran Mbak mau nikah??” Tanya Fadil. Aisyah mengangguk, “Iya, Dil. Mau bagaimana lagi?!” Jawabnya. Semalam, Aisyah telah menceritakan semuanya pada sang adik. Ia merasa bahwa Fadil berhak tahu akan hal ini. “Iya sih, Mbak. Dari pada dengan juragan Bram, lebih baik sama Bang Galih. Meskipun dirinya terlihat preman, tapi dia itu kelihatannya baik.” Fadil sudah bertemu dengan Galih semalam, di saat pria itu mengantar Aisyah pulang. Seharian kemarin, Aisyah dan Galih sempat mampir ke tempat rias pengantin yang ada di desa itu. Untung saja, meski merasa dadakan, perias itu masih bisa merias Aisyah nanti siang. Tukang dekor juga sudah datang pagi-pagi sekali, untuk mendekorasi ruang tamu rumah itu menjadi tempat akad nikah yang sederhana. Aisyah sendiri yang meminta, agar pernikahan mereka di adakan secara sederhana saja. Selain tak ingin memberatkan Galih, gadis itu juga merasa jika pernikahannya ini masih abu-abu. Herman dan Rina sejak tadi hanya sibuk menunggu kedatangan Syahnaz-putri mereka. Mereka berdua bahkan tak peduli tentang persiapan pernikahan keponakannya itu. Tak berselang lama. Sebuah mobil Honda Jazz tiba di depan rumah. Empat orang turun dari mobil itu seraya mengedarkan pandangan. ‘Lho, ini ada acara apa ya?’ Syahnaz membatin. Ia memang tidak di beritahu apapun mengenai pernikahan sepupunya itu. Herman dan Rina bergegas keluar untuk menghampiri anak kesayangan mereka. “Syahnaz... Akhirnya kamu sampai juga, Nak.” Rina dengan wajah berbinar-binar, berjalan cepat menghampiri putri semata wayangnya itu. Aisyah hanya melihat dari dalam, di karenakan Syahnaz memang tak menyukainya. Ia tak mau ada keributan, jika Aisyah ikut menyambut kedatangannya. “Bu, ada acara apa ini??” Tanya Syahnaz, penasaran. “Oh ini... Itu si Aisyah mau nikah sama anak buah Juragan Bram.” Jawab Rina. Mata Rina kemudian beralih menatap tiga orang di belakang Syahnaz. Tiga orang itu adalah calon suami Syahnaz beserta kedua orang tuanya. “Waah... Ini pasti calon suami Syahnaz ya?? Ayo, mari masuk.” Ucap Rina, mempersilahkan. “Ayo, Mas.” Syahnaz menggandeng lelaki yang sejak tadi menatap jijik ke rumah calon istrinya itu. Syahnaz sendiri tak peduli dengan Aisyah yang sebentar lagi akan menikah. Seburuk itu memang hubungan mereka berdua. Kedua orang tua calon suami Syahnaz pun sama. Sejak turun dari mobil, sudah merasa tak nyaman berada di rumah tersebut. “Maaf ya... Rumahnya masih berantakan, soalnya mau di dekor.” Ujar Rina. Rina membawa calon besannya itu masuk ke ruang tengah. Tak ada sahutan dari lawan bicaranya, bahkan sejak tadi Arman juga tak menyapa calon mertuanya. “Hmm... Begini, kita langsung saja_” Seorang pria paruh baya yang seumuran dengan Herman itu angkat bicara. Herman memotong ucapan Ayah dari Arman. “Duduk dulu, Pak.” Herman mempersilahkan tamunya untuk duduk terlebih dahulu. “Ayo duduk, Tante.” Ajak Syahnaz, sudah lebih dulu duduk. Mau tidak mau, Arman dan kedua orang tuanya pun ikut duduk di sofa yang sudah usang. “Pak, kenalin dulu. Ini Mas Arman, calon suami Syahnaz.” Ucap Syahnaz dengan senyum mengembang. Ia merasa bangga, karena pada akhirnya gadis itu bisa memiliki seorang Arman-sang Manager keuangan di tempat gadis itu bekerja. “Arman.” Arman menyalami tangan Herman dengan singkat, tak ingin berlama-lama bersentuhan tangan dengan Ayah Syahnaz. “Maaf... Kedatangan kami tidak akan lama! Kami hanya ingin menyampaikan bahwa bulan depan, kami akan menikahkan Arman dengan Syahnaz.” Rina seketika tersenyum sumringah. “Waah... Boleh, boleh.” Sahut Rina cepat. Sejak tadi ia memperhatikan terus menerus penampilan Ibu Arman dengan seksama. Mulai dari tas, pakaian dan perhiasan yang di kenakan Ibu Arman itu membuat Rina terpukau. Wanita paruh baya itu semakin yakin, jika Arman memang orang kaya.“Eh, tunggu dulu! Syahnaz ini kan putri kami satu-satunya. Jadi, sebelum pernikahan di selenggarakan, kami ingin memberikan persyaratan terlebih dahulu untuk Nak Arman.” Ucap Herman. Arman mengernyit heran, penasaran. Persyaratan apa yang akan di berikan oleh calon mertuanya itu? “Apa syaratnya?” Tanya Arman cepat. “Kami ingin... Nak Arman memberikan mahar pada Syahnaz sebesar seratus juta!” Ujar Herman. Seketika membuat Arman dan kedua orang tuanya terkejut hebat. Mahar seratus juta?? “Apaa?!! Seratus juta???” Pekik mereka bertiga, kompak. Saking terkejutnya. “Iya! Kalian tidak keberatan kan?” Rina menimpali. Syahnaz seketika melotot pada kedua orang tuanya. “Pak, apa-apaan ini!” Protes Syahnaz. “Syahnaz, kamu berhak mendapatkan mahar yang besar! Jangan mau kalah sama Aisyah, calon suaminya juga memberikan Bapak uang sebesar seratus juta!!” Ujar Herman, tentu saja pria paruh baya itu tidak ingin mengatakan jika uang itu sebenarnya untuk membayar semua hutangnya. “Kalian ini
Pukul 01.00 wib. Di dalam sebuah kamar yang sangat sederhana. Aisyah sedang menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang campur aduk. Ia baru saja selesai di rias. Karena hari ini adalah hari pernikahannya yang memang dipercepat karena keinginan pria dengan tampang preman itu. Ia mengenakan kebaya putih cerah, sangat pas di tubuh langsingnya yang indah. Rambut hitam panjangnya yang sehalus sutra di sanggul dengan berhiaskan aksesoris jepit kecil berbahan mutiara, hanya tampilan yang sangat sederhana namun sangat tangguh dan elegan. Mencerminkan kepribadian Aisyah yang sesungguhnya. “Wah... Kamu sangat cantik, Mbak Aisyah.” Kagum seorang wanita yang telah memakaikan riasan make up pengantin ke wajah Aisyah. Make up yang tidak terlalu menor atau berlebihan seperti keinginan Aisyah sendiri. Aisyah hanya tersenyum tipis. Entah ia harus bahagia untuk hari istimewa ini ataukah justru sedih. ‘Ya Allah, jika memang ini jalan takdir yang harus hamba tempuh, hamba mohon berika
“Kamu tau dari mana?” Tanya Aisyah penuh selidik. Galih menatap dalam-dalam manik Aisyah. “Itu tidak penting, Aisyah! Cepat... Kemas barang-barang yang ingin kamu bawa!” Aisyah mendengus kesal. “Kamu harus menjelaskan semuanya! Kenapa kamu banyak tau hal tentang keluargaku?!” Galih menghela napas panjang. “Nanti aku ceritakan, Syah! Cepat kemasi barangmu, kasihan Fadil sudah menunggu!” Ucapnya lembut. Rasa penasaran Aisyah belum hilang tentang dari mana Galih mendapatkan uang sebanyak seratus juta untuk melunasi hutang Herman, juga mahar sebesar lima puluh juta. Kini Aisyah di buat penasaran lagi tentang jati diri Galih yang sebenarnya. Mengapa pria itu seakan banyak mengetahui tentang keluarganya, bahkan sampai ke masalah yang sifatnya rahasia itu. “Gak usah bawa baju banyak-banyak. Nanti saya belikan yang baru!” Jelas Galih. Aisyah yang sedang mengemasi pakaiannya, sontak menoleh pada pria itu. “Tidak perlu! Baju sudah banyak.” Sahut Aisyah, kembali menyusun pakaiannya. Baj
“Mobilnya siapa itu?” Tanya Aisyah, bingung. Seorang supir membukakan pintu setelah mereka tiba di dekat mobil. “Silahkan Tuan, Nyonya.” Ucap sang supir, mempersilahkan. “Ayo masuk Aisyah, Fadil!” Ajak Galih pada sang istri dan adik iparnya. “Waah... Ini mobilnya Bang Galih?? Ih, keren banget... Kayak punya sultan mobilnya.” Ujar Fadil dengan wajah berbinar, kegirangan. Suara Fadil yang cukup besar, membuat Herman dan Rina yang masih di dalam rumah merasa penasaran. Mereka melangkah keluar dengan tergesa-gesa. “Wah, keren banget mobilnya, Pak.” Mata Rina seketika berbinar-binar, takjub. “Iya, Bu. Ini mobil yang harganya miliaran itu kan??” Herman tak kalah takjub. “Pak? Kok si preman itu bisa pakai mobil mewah ya?? Jangan-jangan dia memang beneran kaya lagi, Pak?!” Ujar Rina. “Halah... Gak mungkin, Bu! Palingan itu mobil pinjem punya juragan siapa gitu!!” Sanggah Syahnaz tiba-tiba. Gadis itu rupanya juga penasaran mendengar kehebohan di luar rumahnya. “Hem... Iya juga ya, N
Mobil yang mereka tumpangi kini tiba di pusat perbelanjaan.“Kok kita ke sini, Mas?” Tanya Aisyah, terheran.“Iya, kita belanja dulu! Di rumah masih kosong, gak ada stok bahan makanan, sekalian juga buat beli baju kamu dan Fadil!” Jawab Galih.“Waah... Asyik...” Ujar Fadil, kegirangan.Aisyah menoleh ke arah Fadil, menggeleng pelan. “Di sini pasti mahal-mahal, Dil. Kita gak usah beli apa-apa, beli bahan untuk makan kita saja!” Tolak Aisyah, cepat.Galih menatap lekat manik Aisyah, “Hey... Kalian tinggal memilih apa yang kalian butuhkan! Tak perlu sungkan!” Ujar Galih cepat.“Tapi, Mas_” Ucapan Aisyah terhenti, Galih menempelkan telunjuknya di bibir istrinya itu.“Nurut aja apa kata suami!” Pinta Galih, kemudian turun lebih dulu dari mobil.Aisyah diam mematung, memegang bibirnya yang baru saja di sentuh oleh jari Galih.“Ayo, turun!” Titah Galih pada Aisyah dan Fadil.Aisyah masih terdiam, ia pun turun dengan perasaan yang sulit di artikan.“Beli apa aja yang kamu mau, Dil!” Tawar Gal
‘Gak! Ini gak mungkin!.’ Batin Rian, tak percaya, sebab mereka baru putus tiga hari yang lalu. Ada rasa panas dan tak ikhlas, saat menyaksikan wanita yang selama ini ia puja di gandeng oleh pria lain di depan matanya sendiri. Meskipun pria itu sendiri yang memutuskan hubungan mereka, tapi jauh dari lubuk hatinya yang dalam, Rian masih sangat mencintai Aisyah. Rian hanya terjerat dalam situasi, di karenakan orang tuanya tak merestui hubungan pria itu dengan Aisyah, bahkan sudah disiapkan jodoh untuk dirinya. Mila, gadis yang dipilihkan oleh orang tuanya, yang terbilang lebih segalanya dari Aisyah. Mil seorang wanita berhijab, berpendidikan dan berasal dari keluarga kaya. Namun, lagi-lagi hati tak bisa di bohongi. Perasaan Rian rupanya masih terpaut pada gadis sederhana seperti Aisyah. “Mas? Dari tadi aku nyariin kamu ternyata ada di sini!” ucap seorang wanita dengan hijab berwarna cream. “Mila, kita pulang sekarang aja ya.” Pinta Rian. “Iya, Mas. Aku juga udah selesai belanjanya
“Kita bahas soal itu besok aja ya. Soalnya, ini malam pertama kita...” Bisik Galih pada Aisyah yang seketika meremang.“Eh!” Aisyah sontak termundur.“Kenapa, Syah?” Tanya Galih, mengernyit heran.“Eem, A-aku... Aku mau mandi dulu!” Jawab Aisyah, cepat-cepat bangkit dari tempat tidur.Galih menghela napas panjang, “Oh, oke baiklah...” Ucapnya.‘Dasar preman mesum! Katanya di suruh istirahat, tapi malah...’ Aisyah bergidik ngeri. Ia belum siap jika harus melepas kegadisannya sekarang.“Katanya mau mandi?” Tegur Galih.Sedari tadi Aisyah hanya berdiam diri di samping ranjang.“Eh, iya ini mau ambil handuk dulu!” Jawab Aisyah cepat.“Handuknya sudah ada di walk in closed!” Aisyah pun berjalan cepat menuju kamar mandi, tapi bukannya ke pintu kamar mandi, wanita itu malah menuju ke pintu keluar.“Hei, Aisyah? Kamu mau ke mana?” Tanya Galih.Aisyah tergelak sinis, “Ya ampun... Udah di beritahu kalau aku mau mandi kan? Yang sabar sedikit, kenapa sih? Buru-buru amat!” Ketus Aisyah, kesal, ju
“Kamu tidur aja, Syah! Besok Mama sama Papa mau ke sini, ketemu sama kamu.” Titah Galih lembut.Aisyah mendadak di liputi rasa tegang. Apakah orang tua Galih akan menerimanya?“Mereka tau kalau kamu nikah sama aku?” Tanyanya, penasaran.Galih mengangguk pelan, “Tentu saja, Aisyah! Maaf ya, tadi mereka gak sempat datang karena acaranya dadakan. Tapi tenang aja, nanti kita resepsi besar-besaran, mengundang banyak orang juga.” Jawab Galih meyakinkan Aisyah.Galih memang sudah memberitahu orang tuanya, jika dirinya akan segera menikah. Tapi, orang tuanya Galih sedang ada urusan yang tak bisa di tinggal.“Eh, gak usah, Mas. Gak apa-apa kok. Seperti ini saja sudah cukup.” Ucap Aisyah, merasa tak enak hati karena sudah sering kali merepotkan suaminya.Galih mengeryit heran, “Kenapa? Apa kamu gak mau mengundang teman-teman kamu dan mengumumkan pernikahan kita ini??” Tanya Galih, menatap lekat wajah Aisyah yang tampak kebingungan.“Em... Bukan begitu, Mas. Sebenarnya aku gak punya banyak teman
Rian menggeleng tak percaya dengan ucapan Aisyah. Wanita lembut yang selama ini menyayanginya itu kini berubah menjadi wanita tegas dan ganas. “Syah... Aku tau kamu sakit hati sama aku. Aku minta maaf, ayo kita kembali, Syah. Aku sudah putus dengan Mila, kita bisa kembali lagi seperti dulu...” Pinta Rian bermohon, tanpa rasa malu. Plak! Napas Aisyah seketika memburu, tangannya spontan menampar wajah Rian yang baru saja membual. Lelucon macam apa ini? Apa dia pikir dengan memutuskan Mila akan membuat Aisyah tertarik? Yang ada malahan Aisyah semakin jijik. la menganggap bahwa Rian benar-benar bejat karena mempermainkan perasaan perempuan. “Seperti ini kah didikan lelaki bajingan itu, Syah? Kamu jadi sekasar ini?” Rian kembali ternganga tak percaya dengan apa yang di lakukan Aisyah. “Kamu pantas mendapatkan itu, biar sadar diri! Aku pikir kamu sedikit berubah, tapi ternyata semakin parah! Aku menyesal pernah memberi rasa untukmu!” Ungkap Aisyah, “Kamu dengar baik-baik, aku menyesa
“Gimana? Kalian suka sama tempatnya.” Aisyah mengangguk cepat. “Aku suka, Ma. Makasih banyak ya, Mama sudah meluangkan banyak waktu demi mempersiapkan hari bahagia untuk kami.” Renita melempar senyum hangat dan mengangguk singkat. “Ini hal mudah buat Mama, Syah. Lagi pula, Mama memang senang melakukan ini. Kapan lagi Mama bisa turun tangan menyiapkan pesta pernikahan putra Mama satu-satunya??” Rasa haru kembali menyeruak, tak ada lagi kalimat yang bisa Aisyah utarakan untuk menggambarkan bagaimana dirinya merasa bahagia bisa mendapatkan suami seperti Galih, lengkap dengan mertua yang sangat baik dan mau di repotkan seperti Wijaya dan Renita. “Makasih banyak, Ma. Mama mengatur semuanya dengan sangat baik. Aku gak akan bisa membalas semua kebaikan Mama,” ucap Galih tak ragu mengatakan bahwa ia memiliki banyak sekali hutang budi pada ibunya. “Ini memang sudah tugas Mama, Nak. Sejak dulu pun, impian Mama adalah mempersiapkan pernikahan untuk kamu,” balas Renita. “Satu hal lagi, Mama
Malam harinya, kembali terjadi keributan di dalam kamar Syahnaz. Malam pertama yang seharusnya mereka nikmati dengan kebersamaan yang indah, kini sirna lantaran Syahnaz yang menuntut mahar yang di berikan oleh sang suami itu kurang. “Semua penghasilan aku di pegang sama Mama, Naz. Mama yang menyiapkan semua mahar itu, aku gak bisa berbuat apa-apa, dari pada malah gak jadi nikah ya sudah apa adanya saja,“ Arman membeberkan alasannya terkait jumlah mahar yang ia berikan. “Apa?! Jadi Mama kamu yang pegang semua uangmu?” Syahnaz syok, ini benar-benar melenceng jauh dari perkiraannya. Hati Syahnaz begitu panas mendengar penjelasan sang suami perihal uang yang semuanya di atur oleh ibu mertua. Tangan Syahnaz terkepal. Ingin rasanya ia keluar dari kamar dan melabrak Tiara. Namun, tentulah hal tersebut tidak boleh terjadi. Keluarganya sudah menjadi sorotan warga sejak pesta pernikahan tadi siang, karena nominal mahar yang jauh sekali dari mahar Aisyah. Jangan sampai ada sorotan untuk yang
Akad nikah sudah berlangsung. Namun, bukan bahagia yang di dapatkan oleh Syahnaz. Wanita itu sedari tadi menahan geram, lantaran ternyata Arman hanya memberinya mahar berupa seperangkat alat sholat dan uang tunai dua juta rupiah saja. Runtuh sudah harga diri yang sejak tadi ia junjung tinggi. Dalam pandangan Syahnaz, saat ini semua orang sedang mengejeknya. Niat hati mengharapkan kehadiran Aisyah karena ingin menunjukkan keberuntungannya, justru malah semua orang kini memuji sepupunya itu. Bukannya untung, ia malah buntung. Pesta megah yang di gelar seolah tak ada artinya bagi warga sekitar. Bisikan mulai terdengar tak enak setelah acara ijab qobul tadi. Sama halnya dengan Syahnaz dan Rina kini menahan malu luar biasa. Kekayaan keluarga Arman yang ia agungkan ternyata hanya bualan semata. “Duh, menantu kamu cantik sekali Renita, orang sini juga ya?” Puji Tiara, Ibu Arman. Memandang takjub pada Aisyah. “Iya Tiara, gimana? Cocok kan jadi menantu idaman?” Jawab Renita sengaja meni
Hari berlalu begitu cepat, semua terlewati dengan banyak sekali kejadian yang membuat kepala pening, terutama untuk keluarga Herman sendiri. Halaman rumah tetangga yang luas, yang letaknya tepat berada di samping rumah mereka, telah di sulap menjadi tempat resepsi. Syahnaz sengaja menggunakan konsep ala gedung untuk menunjukkan pada para tetangganya, kalau ia mampu menggelar pesta mewah yang berbanding terbalik dengan acara pernikahan Aisyah saat itu. “Pernikahan kamu mewah banget, Naz. Kamu tau gak, kalau tetangga di luar sana gak ada habisnya memuji dekorasi resepsi pernikahan kamu ini?” Ungkap Susan tak dapat menutupi rasa kagumnya , mengucapkan dengan nada senang. Namun, dalam hati Susan timbul rasa iri terhadap dua perempuan di kampungnya itu. Pertama, Aisyah telah di nikahi oleh lelaki yang kaya raya yang memiliki cabang usaha dimana-mana. Sekarang, Syahnaz juga akan segera menikah dengan seorang lelaki dari kota, yang kabarnya juga berasal dari keluarga kaya. Susan yakin
“Iya, Mas... Aku paham kok, gak papa... Aku malah seneng kalau kamu terbuka sama aku.” Jawab Aisyah tersenyum hangat. “Iya, Syah. Aku juga lebih seneng kalau kamu mau terbuka, apalagi membuka_” “Aish... Mulai!” Aisyah dengan cepat memotong ucapan Galih, lantaran tahu kemana arah bicara lelaki itu. Galih nyengir, “Hehe... Ya udah pulang yuk! Anginnya sudah mulai dingin, takutnya kamu nanti masuk angin.” Mereka berdua pun akhirnya berjalan menuju parkiran. Seperti biasa, Galih membukakan pintu untuk istrinya. Namun, kali ini Aisyah seketika langsung mematung saat melihat sesuatu yang berada di dalam mobil. “Mas?” Galih tersenyum. “Buat kamu, Sayang,” Ucap Galih membuat Aisyah seketika mengambil buket berukuran besar itu. “MasyaAllah, Mas. Ini bagus sekali, mana besar lagi.” Ungkap Aisyah dengan wajah berbinar. Buket raksasa berisi bunga dan aksen kupu-kupu itu sangat menyejukkan mata wanita. Siapa pun pasti akan senang jika di beri kejutan kecil seperti ini. “Kamu suka?” Galih
Sore hari, pukul 17.30 wib... Aisyah tak juga ke rumah Herman. Wanita itu malah di ajak Galih ke sebuah tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Sebuah kafe yang berada di dekat pantai, menjadi pilihan Galih untuk membawa istrinya. Dapat di lihat dari raut wajah Aisyah yang begitu senang setelah tiba di tempat tersebut. Pemandangan hamparan pasir terlihat dari atas. Cafe itu salah satu milik teman Galih, pria itu sengaja memboking area balkon cafe, agar Aisyah dan dirinya bisa menikmati keindahan senja dari atas sana tanpa gangguan apapun. Galih telah memesan beberapa makanan kesukaan istrinya itu. Tak sulit bagi Galih mengetahui hal itu, di karenakan sejak dulu Aisyah sering datang di kedai miliknya. Ya, sedetail itu Galih memperhatikan wanita yang saat ini sudah menjadi istrinya. Pandangan Aisyah masih menatap senja yang terlihat semakin indah. Senja selalu menenangkan, walau hadirnya hanya sebentar tapi mampu meninggalkan kesan indah pada jiwa yang menikmatinya. Seora
“Mbak Syahnaz juga bilang, kalau dia terpaksa datang ke sekolah karena kesulitan menghubungi Mbak. Soalnya keadaan Paman Herman, katanya kondisinya parah, Mbak.” Aisyah mengepalkan tangannya untuk menyalurkan rasa tidak tenang yang mendera di hatinya. Wajar jika Syahnaz tidak bisa menghubunginya, sebab semalam Galih memblokir semua nomor anggota keluarga Herman. “Terus apa yang dia bilang lagi sama kamu? Dia gak mencoba mengancam kamu kan?” Fadil menggeleng. “Mbak Syahnaz cuma bilang, supaya aku memberi tahu keadaan Paman Herman sama Mbak Aisyah. Dia juga mau Mbak segera datang ke rumah untuk melihat kondisi Paman Gunawan.” Aisyah mengusap wajah. Bagaimana ini? Hati nuraninya tak bisa di bohongi, kalau ia merasa khawatir dengan keadaan Herman. Bagaimanapun kelakuan pamannya itu, Aisyah masih tidak bisa bersikap abai jika kondisi Herman memang sedang butuh bantuan. “Mbak akan telepon Mas Galih dulu, dan bertanya bagaimana baiknya. Sekarang, kamu ganti baju dulu, lalu makan siang
Setelah menyantap sarapan bersama dan menikmati udara pagi yang masih sangat segar, Wijaya dan Renita berpamitan untuk kembali ke kota. Ada banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikannya, sehingga dengan berat hati keduanya meninggalkan anak dan menantu untuk sementara waktu. “Sebenarnya Mama masih ingin tinggal di sini, Syah.” Ungkap Renita, rasanya berat berpisah dengan menantunya itu. Tadi pun, Renita seperti sengaja berlama-lama berbincang du teras depan, padahal Wijaya sudah berulang kali mengatakan pada istrinya untuk lekas bersiap-siap agar tidak tertahan kemacetan selama di perjalanan. Sementara Aisyah yang mendengar itu tertawa kecil. Entah sudah berapa kali mertuanya berkata demikian. Yang pasti, Aisyah sangat tahu kalau mertuanya itu masih ingin tinggal di rumah tersebut. Perempuan paruh baya itu juga mengatakan, ada banyak hal yang belum mereka lakukan Aisyah. “Nanti kalau ada waktu luang, Mama harus main lagi ke sini. Aku juga merasa hampa gak ada Mama,” Balas Ais