Walaupun beras di rumah tinggal secangkir, suami Ratna masih saja gengsi. Demi harga diri suaminya di depan keluarga mertua, Ratna pun rela jadi tulang punggung keluarga mereka. Anehnya, semakin hari, suaminya semakin aneh dan terkesan menutupi sesuatu. Oleh sebab itu, Ratna pun mengikuti permainan sang suami dan diam-diam menyembunyikan harta kekayaannya demi memberinya pelajaran.
View MoreSuara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas
"Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak
"Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu
Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,
Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih
Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha
"Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. "Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. "Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. "Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan
"Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. "Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. "Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. "Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. "Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. "Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." "Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. "Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. "Keesokan hariny
"Mas, beras sudah habis. Tinggal satu cangkir. Itu pun nggak penuh." Aku mengangsurkan cangkir berisi beras ke hadapannya, suami yang menikahiku sepuluh tahun silam. Mas Ilham berdiri dan meletakkan ponselnya. Menatapku tajam dan nyalang. Seakan hendak menerkam diri ini. "Beras, sabun, token, sampai garam semua kau keluhkan padaku, Ratna! Apa tidak bisa kau itu pikir sendiri!" Sahutnya bengis. Lalu meraih ponselnya dengan kasar, kemudian melangkah keluar rumah setelah membanting pintu. Aku mengerjap, kemudian menatap bayangan tubuh suamiku dari kaca jendela. Kuremas ujung daster lusuh ku. Sakit rasanya, setiap kali aku meminta kebutuhan rumah tangga yang sejatinya adalah kewajiban mas Ilham, setiap kali pula aku harus menelan ratusan kata makian. Padahal, mas Ilham dulu adalah lelaki yang santun, lagi penyayang dan lembut. * "Rat, mau numis daun pepaya lagi?" Suara Bu Nina menghentikan kegiatan tanganku yang baru saja hendak memetik pucuk daun pepaya. Aku menoleh lalu terseny...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments