Share

Amplop yang menipis

Penulis: Bulan sapasi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-11 05:51:16

"Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. 

"Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. 

"Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. 

"Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. 

"Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. 

Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. 

Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan atau tidak, seenggaknya usaha dulu. 

Tring

Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Pesan W******p dari WAG keluarga mas Ilham.

[Jadi gimana ini, @ratna, kok nggak jawab lagi?] 

Kupijat keningku pelan. Mbak Meta me mention namaku dalam percakapannya. 

Tadi malam mereka memang ramai berdiskusi soal haulan almarhum bapak. Setelah dimusyawarahkan, sepakat aku dan mas Ilham mesti menyumbang empat juta. Rupanya acara haulan tersebut akan diadakan besar-besaran. Dengan pengajian dan mengundang ustad ternama. 

Baru saja kugerakkan jariku untuk mengetik pesan. Namun pada layar ponsel terlihat mas Ilham tengah mengetik. Aku tak sabar menunggu balasannya. Ingin tahu, apa jawabannya. 

[Tenang aja. Nanti sore aku transfer uangnya.] 

Deg

Lututku terasa lemas membaca balasan dari suamiku. Dan aku urung mengetik karena sudah terwakilkan oleh mas Ilham. 

[Oke deh. Aku tunggu ya, Ham. Jangan sampe nggak!] 

Balas mbak Meta disertai emot peluk. 

Aku yang hendak memasak air untuk kopi mas Ilham, lantas segera menaruh panci kembali dan melangkah ke lantai dua. Aku harus bicara dengannya!

"Mas, apa-apaan sih kamu?!" Bentak ku. 

Mas Ilham yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk, menoleh padaku. 

"Kamu punya uang dari mana?!" Lanjutku. 

"Duit pesangon masih ada enam juta, kan? Pake itu dulu. Mana sini!" Jawabannya membuat dadaku sesak menahan marah.

"Mas, kamu benar-benar sudah keterlaluan! Kenapa mesti maksain kalau memang nggak ada? Tinggal jawab jujur sama mereka, aku rasa mereka nggak akan memaksa!" Sahutku. 

"Aku nggak akan kasih uangnya sama kamu! Bila perlu, biar aku yang ngomong sama mereka kalau kamu udah nggak kerja sejak beberapa bulan lalu!" Lanjutku seraya berbalik. Namun mas Ilham segera meraih tanganku dan mencengkeramnya. 

"Awas kalau kamu berani ngomong, aku nggak segan ...

"Apa?!" Tantangku saat ia menghentikan ucapannya. 

"Kamu mau menceraikan aku, cuma gara-gara ngadu yang sebenarnya?!" Kubalas tatapannya tanpa takut. Mungkin sudah terlalu lelah menghadapinya. 

Mas Ilham menghentakkan kaki, lantas melemparkan handuk dan kembali menghampiriku. 

"Sudahlah Rat, jangan memancing emosiku terus menerus. Mana duitnya, sini. Nanti aku ganti lagi." Ujarnya dengan suara sedikit lebih pelan. Aku mendengus kesal. 

"Nggak mas. Kalau memang mas Ilham bisa ganti duitnya, kenapa nggak mas cari saja buat keluargamu!" Jawabku kemudian berlalu pergi. 

Masih kudengar suamiku berbicara di dalam kamar sana. Namun tak kupedulikan. Segera aku menuju dapur dan mencuci piring. Niat membuat kopi untuknya, malah tidak kukerjakan. Sudah terlanjur malas dan kecewa karena sikapnya. 

*

Aku tengah menunggu putriku pulang. Mas Ilham sudah tak ada dirumah ketika aku pulang dari warung Bu Nina. Namun sisa asap rokoknya masih tertinggal menyesaki ruang makan. Artinya, belum lama ia pergi. 

Sembari meluruskan badan yang sejak pagi mengerjakan tugas rumah, aku melanjutkan membaca novel di salah satu platform menulis favoritku. Meski sebetulnya pekerjaan rumah tidak terlalu banyak, namun karena besarnya rumah ini, tetap saja kubersihkan setiap hari agar tak ada bagian-bagian yang rusak karena tak terjamah.

Tring

Tak lama sebuah pesan masuk di notif ponselku. 

[Nih, udah aku transfer ya mbak.] 

Keningku mengkerut. Rasa penatku sedari tadi seketika sirna. Kuperbesar foto bukti transferan dari mas Ilham, empat juta lima ratus ribu rupiah! 

Ya Allah, dia bahkan melebihkan uang dari yang sudah dijatahkan oleh kakak-kakaknya. 

[Kok lebih Gope, Ham?] 

Pesan mbak Meta kembali masuk.

[Iya udah nggak apa-apa. Lebihnya bisa buat beliin ibu sesuatu. Kamu yang atur aja deh mbak.]

Ya Allah, semudah itu mas Ilham memberikan uang lima ratus ribu pada ibunya. Sementara aku dan anaknya harus bisa mengirit-irit jatah makan. 

"Eh mama, pantesan aja dari tadi nggak nyahutin. Mama lagi main hape!" Suara Azizah membuatku terkejut. Gadisku segera meraih tanganku dan menciumnya. Lalu membuka sepatu dan duduk di sampingku. 

"Ya Allah, Zizah pulang dari tadi?" Tanyaku. Kuletakkan ponsel di atas meja.

"Iya. Mama nggak denger sih." Ujarnya sembari cemberut. 

"Hihi, maafin mama. Ayo sana ganti baju, habis itu kita jalan-jalan." 

"Jalan-jalan? Kemana?" Azizah nampak antusias. Aku mengangguk seraya tersenyum. 

"Pokoknya, kita jalan-jalan aja. Zizah boleh beli apa yang Zizah mau." Jawabku sembari tersenyum. 

"Sekalian kita makan siang di luar." 

"Horeee! Oke ma, Zizah ganti baju sekarang!" Seru nya kemudian berlari dengan penuh semangat. 

Aku terhenyak. Kasihan sekali Zizah. Sudah lama anak itu tidak menikmati makan di luar. Tepatnya sejak mas Ilham sibuk bekerja, hingga suamiku itu kini menganggur. 

"Zizah, mama ke warung Bu Nina dulu ya!" Seruku dari bawah.

"Iya ma!" Akupun lantas bergegas keluar rumah untuk menemui Bu Nina dan meminta sejumlah uang. 

Kami memang belum sempat ke bank untuk membuka rekening. Jadi ya terpaksa aku meminta uang cash pada Bu Nina. 

*

Sejenak ku enyahkan semua perasaan kesalku terhadap mas Ilham. Aku dan Zizah pergi dengan menaiki angkutan umum. Aku khawatir tiba-tiba mas Ilham pulang dan melihat kami jika menyewa taksi atau grab. 

Azizah begitu bersemangat. Kami jalan-jalan ke mall dan membeli apapun yang Zizah butuhkan.

Meski agak khawatir saat pulang mas Ilham sudah dirumah, namun akhirnya aku punya ide. Untuk menyimpan dulu belanjaan kami dirumah Bu Nina. 

Seusai makan siang, kami melanjutkan berjalan-jalan mendatangi stand kue dan jajanan yang ada di mall. Akan kupuaskan Azizah dengan semua yang dia mau. 

Sementara itu, sedari tadi ponselku berdering. Aku yakin itu mas Ilham, namun biarlah. Aku sedang tak ingin suasana bahagiaku bersama Zizah terganggu olehnya. 

"Zi, kita pulang yuk. Udah sore. Nanti takut papa keburu pulang." Ajakku. 

"Emang, mama nggak bilang ke papa?" Tanyanya sembari melumat es krim. 

"Nggak. Papa sibuk kerja. Yuk, ini bawa." Aku menyodorkan satu kantong yang paling ringan untuk dibawanya. 

Kami pulang kembali dengan menumpang angkutan umum. Berharap semoga mas Ilham memang sedang tidak narik. Bisa berabe jika dia melihat begitu banyak belanjaan yang kami beli. 

"Lho, kok berhenti disini, ma?" Tanya Zizah saat ku stop angkot di depan warung Bu Nina. 

"Iya. Mama mau belanja dulu. Ayo." Jawabku seraya menunduk keluar dari angkot. Zizah mengikutiku dari belakang. 

"Assalamualaikum!" 

"Waalaikumsalam. Eh kalian sudah pulang?! Gimana jalan-jalannya, Zizah? Seru?" Bu Nina semringah. Ia keluar dari dalam warungnya. 

"Iya Bu. Seru! Ini belanjaan Zizah semua." Sahut putriku. Aku dan Bu Nina saling pandang sambil saling melempar senyum. 

"Zizah tunggu disini sebentar. Mama mau ambil uang, ini nggak cukup buat belanja." Pintaku. Zizah mengangguk. Ia dan Bu Nina duduk dibangku depan warung miliknya. 

Aku segera berlari pulang. Sekedar memastikan apakah mas Ilham sudah pulang atau belum. 

Kunci rumah masih berada di bawah pot bunga, artinya aman. Suamiku masih di luar. Segera aku kembali menemui Zizah. 

"Bu Nina, saya beli beras dua liter ya." Ujarku begitu sampai di warung. Bu Nina mengangguk lantas menyuruh pelayannya mengambilkan pesanan. 

Tak berapa lama, kulihat sebuah mobil truk berhenti di rumah seberang. Menurunkan beberapa barang. 

"Oh, itu tetangga baru ya, Bu?" Tanyaku. Bu Nina mengangguk.

"Iya. Baru akan pindah besok lusa, katanya." Sahut Bu Nina. Aku mengangguk.

"Jadi berapa Bu?" Sebaiknya ku akhiri obrolan ini. 

"Jadi dua puluh ribu, Ratna." 

Aku merogoh uang dalam dompet dan menyerahkannya pada mbak Tinah. Kemudian berpamitan pada Bu Nina. 

Aku meminta Azizah untuk tidak bercerita pada papanya soal jalan-jalan hari ini. Untung saja Zizah mau mengerti. Termasuk ketika aku memintanya untuk menyembunyikan keperluan Zizah yang dibelinya tadi.

*

Usai shalat magrib, aku bermaksud untuk menghitung uang di dalam amplop. Sisa uang pesangon mas Ilham tempo hari. Namun seketika tubuhku teras kaku, ketika tidak kutemukan amplop tersebut. 

Aku segera mengeluarkan seluruh isi laci. Nihil. Mungkin aku lupa, lalu kucari di dalam lipatan pakaian. Tanganku menyentuh sesuatu di balik lipatan baju mas Ilham. Lalu segera kutarik, amplop! Benar, itu amplop yang berisi uang. 

Aku mengernyit. Kenapa amplopnya terlihat tipis sekali? 

Pikiranku mulai tidak enak. 

Jangan-jangan …

Bab terkait

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Kemunculan mbak Rini membawa misteri

    Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-11
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Acara haul

    Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-11
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Fitnah keji

    Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-11
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Mencari kebenaran

    Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-11
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Membuat janji

    "Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-17
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Giwang siapa?

    "Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-18
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Hampir jujur

    Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-21
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Perseteruan

    "Mas, beras sudah habis. Tinggal satu cangkir. Itu pun nggak penuh." Aku mengangsurkan cangkir berisi beras ke hadapannya, suami yang menikahiku sepuluh tahun silam. Mas Ilham berdiri dan meletakkan ponselnya. Menatapku tajam dan nyalang. Seakan hendak menerkam diri ini. "Beras, sabun, token, sampai garam semua kau keluhkan padaku, Ratna! Apa tidak bisa kau itu pikir sendiri!" Sahutnya bengis. Lalu meraih ponselnya dengan kasar, kemudian melangkah keluar rumah setelah membanting pintu. Aku mengerjap, kemudian menatap bayangan tubuh suamiku dari kaca jendela. Kuremas ujung daster lusuh ku. Sakit rasanya, setiap kali aku meminta kebutuhan rumah tangga yang sejatinya adalah kewajiban mas Ilham, setiap kali pula aku harus menelan ratusan kata makian. Padahal, mas Ilham dulu adalah lelaki yang santun, lagi penyayang dan lembut. * "Rat, mau numis daun pepaya lagi?" Suara Bu Nina menghentikan kegiatan tanganku yang baru saja hendak memetik pucuk daun pepaya. Aku menoleh lalu terseny

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-10

Bab terbaru

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Hampir jujur

    Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Giwang siapa?

    "Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Membuat janji

    "Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Mencari kebenaran

    Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Fitnah keji

    Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Acara haul

    Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Kemunculan mbak Rini membawa misteri

    Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Amplop yang menipis

    "Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. "Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. "Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. "Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Uang bulanan dari bapak

    "Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. "Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. "Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. "Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. "Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. "Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." "Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. "Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. "Keesokan hariny

DMCA.com Protection Status