Share

Acara haul

Author: Bulan sapasi
last update Last Updated: 2022-06-11 05:53:11

Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya.

"Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. 

"Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. 

"Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. 

"Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. 

"Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. 

"Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. 

"Papa bisa marah kalau kita gak ikut. Ayolah, Zizah ganti baju dulu. Pakai gamis yang kemarin mama cuci, ya." Zizah mengangguk malas. 

*

"Lho Rat, masa Zizah dipakein gamis belel gitu!" Mas Ilham meneliti Zizah dari atas hingga bawah. 

"Memangnya Zizah punya gamis berapa banyak?" Sahutku. Kusampirkan tas kecil di pundak ini. 

"Kamu jangan mendustakan rezeki, Ratna! Dulu waktu hidup kita masih normal, selalu kuberi uang khusus buat beli baju." Elaknya. Aku tersenyum sinis. 

"Iya. Itu tahun berapa? Mas pikir tubuh Zizah gak tambah tinggi dan gede? Kalo ngomong itu dipikir dulu!

"Ini kita jadi pergi gak?" Lanjutku. Mas Ilham mendengus kesal. Mau tak mau ia mesti pergi membawa anak istri yang penampilannya sangat sederhana. Tentu saja untuk ukuran seorang manajer, di mata keluarganya. 

**

"Assalamualaikum." Kami tiba dirumah ibu ketika disana sudah terlihat ramai. Tak lupa sebelumnya kami mampir mengambil pesanan kue basah mas Ilham. Lelaki itu bungkam sewaktu kutanya uang dari mana. Jelas saja ini mencurigakan.

"Waalaikumsalam. Eh kalian! Ya ampun Ratna, itu gamis Zizah udah kekecilan gitu masih aja dipakein? Pasti sesak banget itu!" Belum apa-apa mbak meta sudah mengomentari baju anakku. 

"Tau tuh si Ratna, disuruh siap-siap dari pagi malah santai. Giliran mau pergi sibuk sendiri, sampai nyari baju satu anak aja kerepotan!" Mas Ilham menyahut tanpa menoleh padaku. 

Gemas, dan ingin rasanya kuhardik suamiku itu, kalau nggak melihat banyak kerabat ibu disana. 

"Dahlah, baju aja pake dibahas. Rat, tolong bawa kuenya ke dapur. Bentar bude nyusul." Untung ada bude Dahlia yang berhasil menghentikan ocehan mereka. Aku mengangguk, sambil ku ikuti langkahnya. Masih kudengar mereka berbisik-bisik. 

"Rat, kamu nggak pake perhiasan? Duh Rat, di momen seperti ini kamu malah terlihat lusuh begitu. Bikin malu. Kamu kan menantu perempuan ibu satu-satunya, jaga harga diri suamimu dong!" Ibu berkata sambil mengupas melon.

Kuhela napas dalam. Dan kuhentikan sejenak kegiatanku menata kue. Bude Dahlia sesekali melirik padaku.

"Semua uang gaji suami kan, pastinya dipegang istri semua. Masa buat diri sendiri aja pelit, bagaimana sama keluarga mertua!" Sungut ibu sambil lalu. 

"Sabar, Rat. Mertuamu memang begitu. Gak usah diambil hati." Gumam bude Dahlia. Aku cuma tersenyum. 

**

Acara haulan bapak mertuaku sedang dimulai. Kami semua beserta kerabat lain berkumpul di ruang tengah. Sementara para bapak yang sedang baca doa berada dimulai dari teras depan sampai memenuhi ruang tamu. Rumah ibu memang cukup luas, sehingga cukup muat untuk diisi oleh orang banyak.

Dari kejauhan ibu melambaikan tangan. Aku mengangguk lalu dengan membungkukkan badan melewati semua orang. Kami duduk berkumpul di atas karpet. 

"Siapin prasmanan. Sama sekian kamu hitung besek, takut kurang." Pintanya. Aku mengangguk. Tak lama Zizah muncul dari pintu belakang. 

"Mama, Zizah laper." Bisiknya. Aku menoleh kiri kanan, kemudian kutuntun gadis kecilku ke ruang prasmanan. Kuambil piring dan menciduk nasi. 

"Zizah mau makannya sama apa?" Tanyaku. 

"Semur daging, boleh?" Tanyanya seraya menatapku.

Aku tersenyum kemudian mengangguk. Kuambil kan dua potong daging dan kuminta Zizah makan di kamar belakang yang berdampingan dengan dapur. Tempat menaruh bumbu-bumbu. Miris sebetulnya, namun lebih baik cari aman ketimbang nanti ibu muncul dan …

"Ada suara sendok? Apa jangan-jangan kucing?" Ibu menajamkan pendengarannya. Aku sudah deg-degan dibuatnya. Namun diam saja. 

Ibu malah melangkah ke kamar samping, dan tertegun di ambang pintu.

"Astagfirullah Zizah, kamu udah makan duluan? Rat! Ratna!" Aku memejamkan mata sejenak. Mengatur napas dan melangkah menemui mereka. Kulihat Zizah mengkeret ketakutan. 

"Apa-apaan ini?" Ibu menyilang tangan dan menatap kami secara bergantian. 

"Zizah belum makan siang Bu. Makanya tadi Ratna tawari makan." Sahutku. 

"Kamu kan tahu Rat, tamu di depan itu banyak. Bagaimana kalau dagingnya habis? Ibu bukan pelit atau larang Zizah makan, tapi mbok ya nanti saja gitu, kalau acara sudah selesai!" Cerocosnya. 

"Ada apa sih, Fat?" Bude Dahlia menyembul dari ruang lainnya. Ibu menggedik ke arah Zizah. Zizah masih menggenggam sendok dengan wajah ketakutan. 

"Astagfirullah Fatimah, coba kau lihat wajah cucumu? Cuma gara-gara si Zizah makan, lalu kamu sampai segitunya bikin cucumu shock?" Bude Dahlia menggeleng-gelengkan kepala. 

"Bukan masalah daging atau masakannya, mbak. Tapi kebiasaan. Acara belum juga selesai, sudah diduluin. Gak baik, gak sopan namanya. Dan lagi kalau kurang, nanti yang malu siapa? Aku aku juga!" Jelasnya membela diri. Bude Dahlia mengembuskan napas panjang. 

"Ya Allah Fatimah, sebanyak apa sih yang dimakan cucumu? Jangan keterlaluan kamu, Fat. Si Ilham juga ada ikut bantu urunan, buat biaya acara ini 'kan?" Mendengar pembelaan bude Dahlia, ibu sepertinya tak suka. Sambil berdecak dan menghentak, beliau pergi meninggalkan kami yang saling pandang tak percaya. 

"Anak manis, lanjut lagi maemnya ya. Jangan dengerin ucapan nenekmu." Hibur bude Dahlia. 

"Zizah sudah kenyang." Ucapnya lirih. Diletakkannya pelan piring yang masih berisi sepotong daging dengan nasi beberapa suapan lagi. Aku dan bude Dahlia saling pandang.

"Biar nanti mertuamu bude kasih pelajaran. Dia sudah keterlaluan, dan sesekali memang harus dikasih pelajaran." Bisik bude.

Aku lagi-lagi cuma tersenyum. Namun jika sekali lagi keluarga mertua membuat masalah denganku ataupun Zizah, jangan pikir aku akan diam saja. Bude Dahlia benar, kami harus memberi mereka pelajaran.

"Zizah, ini minum dulu. Ayo kita pulang. Nanti kita beli makanan apapun yang Zizah mau." Bisikku. Azizah tersenyum mendengar ucapanku. Kemudian mengangguk seraya mengambil Aqua gelas dari tanganku. 

Segera kulepas apron dari tubuhku, lalu kulempar begitu saja di atas meja makan. Kita lihat, seberapa murka mereka padaku setelah ini.

Related chapters

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Fitnah keji

    Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih

    Last Updated : 2022-06-11
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Mencari kebenaran

    Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,

    Last Updated : 2022-06-11
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Membuat janji

    "Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu

    Last Updated : 2022-06-17
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Giwang siapa?

    "Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak

    Last Updated : 2022-06-18
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Hampir jujur

    Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas

    Last Updated : 2022-06-21
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Perseteruan

    "Mas, beras sudah habis. Tinggal satu cangkir. Itu pun nggak penuh." Aku mengangsurkan cangkir berisi beras ke hadapannya, suami yang menikahiku sepuluh tahun silam. Mas Ilham berdiri dan meletakkan ponselnya. Menatapku tajam dan nyalang. Seakan hendak menerkam diri ini. "Beras, sabun, token, sampai garam semua kau keluhkan padaku, Ratna! Apa tidak bisa kau itu pikir sendiri!" Sahutnya bengis. Lalu meraih ponselnya dengan kasar, kemudian melangkah keluar rumah setelah membanting pintu. Aku mengerjap, kemudian menatap bayangan tubuh suamiku dari kaca jendela. Kuremas ujung daster lusuh ku. Sakit rasanya, setiap kali aku meminta kebutuhan rumah tangga yang sejatinya adalah kewajiban mas Ilham, setiap kali pula aku harus menelan ratusan kata makian. Padahal, mas Ilham dulu adalah lelaki yang santun, lagi penyayang dan lembut. * "Rat, mau numis daun pepaya lagi?" Suara Bu Nina menghentikan kegiatan tanganku yang baru saja hendak memetik pucuk daun pepaya. Aku menoleh lalu terseny

    Last Updated : 2022-06-10
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Rencana kedatangan ibu mertua

    "Mama kok bengong? Papa marahin mama lagi, ya?" Azizah, gadis manis hasil dari pernikahanku dengan mas Ilham, tiba-tiba memeluk leherku dari belakang. "Nggak kok, sayang. Mama cuma sedikit ngantuk." Jawabku sambil mengusap pipinya yang sedikit chubby. Azizah memang baru berusia sembilan tahun. Namun terkadang masih manja dan sering gelendotan. "Ya udah mama tidur. Zizah mau ngerjain PR di ruang tamu. Jadi, kalo papa pulang nggak usah teriak-teriak manggil mama." Ucapan putriku sungguh membuat nyeri dada ini. "Nggak ah. Mama mau tidur di sofa aja. Sambil nemenin Zizah ngerjain tugas sekolah. Yuk." Ajakku seraya berdiri. Azizah mengangguk, dan kami melangkah menuju ruang tamu yang cukup besar dengan sofa terbaik. Bapak mertuaku dulu memang memberi rumah ini berikut isinya. Lengkap, semuanya ada. Dari tempat tidur, kulkas, bahkan mesin cuci dan televisi besar pun kami miliki. Namun sayang, sudah hampir satu tahun kami terpaksa harus hidup sederhana. Tepatnya ketika mas Ilham dipecat

    Last Updated : 2022-06-10
  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Ibu mertua datang

    Seperti biasa, aku sudah sibuk dengan pekerjaan rumah begitu selesai sholat subuh. Mencuci pakaian menjadi hal pertama yang kukerjakan. Setelah semua selesai, segera kubersihkan kamar tamu. Mengganti seprai dan membuka jendela untuk beberapa jam ke depan sebelum ibu mertuaku datang. Agar udara segar masuk dan membawa pergi debu-debu di dalam kamar. Tak lupa ku bersihkan kamar mandi, mengecek kran air dan lampu. Semua harus sempurna agar mas Ilham tidak rewel. Jam menunjukkan pukul enam pagi ini. Segera ku siapkan bekal untuk Azizah, dan sarapan nasi goreng untuk mereka berdua. Aku nanti saja, setelah mereka kenyang.Terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Aku mendongak dengan kening mengkerut melihat penampilan mas Ilham. "Mas, mau kemana?" Tanyaku keheranan. "Banyak tanya! Mana kopiku?" Bukannya menjawab, ia malah menanyakan kopi."Nggak ada, habis." Jawabku. Lalu kembali ke dapur untuk mengambil piring."Gimana bisa habis? Duit yang kemarin aku kasih, masa cuma buat beli ko

    Last Updated : 2022-06-11

Latest chapter

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Hampir jujur

    Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Giwang siapa?

    "Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Membuat janji

    "Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Mencari kebenaran

    Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Fitnah keji

    Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Acara haul

    Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Kemunculan mbak Rini membawa misteri

    Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Amplop yang menipis

    "Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. "Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. "Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. "Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan

  • Jatah Secangkir Beras Di Rumah   Uang bulanan dari bapak

    "Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. "Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. "Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. "Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. "Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. "Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." "Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. "Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. "Keesokan hariny

DMCA.com Protection Status