"Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku.
"Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina.
"Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina.
"Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai.
"Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya.
"Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu."
"Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku.
"Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya.
"Keesokan harinya, bapakmu datang lagi dan menitipkan kamu sama Azizah ke ibu. Lalu setelah itu, setiap bulan ajudan bapakmu datang untuk menyerahkan uang pada ibu. Untuk kalian. Tapi ... setelah ibu mendengar cerita soal kelakuan suamimu, ibu jadi khawatir jika Ilham tahu soal ini dan dia semakin keenakan menganggur...
"Ini, ibu tadi lagi mencatat uang titipan bapakmu. Hutang warung kamu ke ibu cuma tujuh ratus dua puluh ribu. Jadi total uang kamu yang ada di ibu ada seratus sebelas juta dua ratus delapan puluh ribu."
Kerongkonganku rasanya tercekat mendengar penjelasan Bu Nina yang begitu rinci. Aku tidak percaya dengan pendengaranku. Disaat aku tidak memegang uang sepeserpun, ternyata aku memiliki uang yang sangat banyak!
"Kok bengong, Rat? Kamu belum percaya?" Tanyanya. Aku terdiam. Hanya sanggup menatap wajah Bu Nina.
"Bu, kenapa bapak nggak nemuin aku sekalian?" Tanyaku pelan.
"Ratna, Ratna... bapakmu itu orangtua. Ada beberapa kemungkinan kenapa bapakmu tidak mau menemuimu. Mungkin saja bapakmu itu gengsi. Menunggu kamu yang duluan datang menemuinya." Jawaban Bu Nina ada benarnya juga.
"Tapi Bu, aku tidak ingin bertemu ibu tiriku."
"Ratna, kamu ini sudah dewasa. Ibu memang tidak kenal dengan ibu tirimu, tapi sedikit banyak semenjak bapakmu menitipkan uang pada ibu, ibu tahu bahwa bapakmu sangat menyayangimu ...
"Dengar, saatnya kamu bangkit, Rat. Jangan sia-siakan usiamu dengan merusak diri sendiri. Ibu nggak menyarankan kamu untuk minta cerai dari Ilham, tapi mungkin suamimu itu harus diberi pelajaran sekali-sekali." Ujarnya panjang lebar.
"Aku harus bagaimana, Bu?" Keluhku.
"Gunakan uangmu untuk menyenangkan diri sendiri dan juga Azizah. Belikan semua kebutuhan dia, makanan dia, susu dan lainnya namun tanpa sepengetahuan Ilham. Dengar, ibu bukan ngajarin kamu kurang ajar sama suami, tapi jangan sampai Ilham tahu soal uangmu yang banyak itu, agar dia tidak terus keenakan menganggur." Jelasnya.
Aku diam termenung. Mungkin ucapan Bu Nina ada benarnya juga. Benar, mas Ilham memang harus kuberi pelajaran agar mikir.
"Baik Bu. Ucapan ibu benar. Azizah sedang dalam masa pertumbuhan. Selama ini anak itu sangat nurut, nggak pernah minta macam-macam karena tahu keadaan orang tuanya." Sahutku. Bu Nina tersenyum.
"Baiklah, besok ikut ibu ke bank untuk mengambil uangmu."
"Eh nggak usah bu!" Cegahku. Bu Nina mengernyit.
"Maksudku, biar aku simpan di Bu Nina saja. Aku hanya akan mengambil seperlunya. Nggak apa-apa 'kan Bu?" Bu Nina tersenyum dan mengangguk.
"Ibu juga tadi mau bilang begitu. Cuma ibu nggak enak, takutnya dikira mengatur keuanganmu, Rat. Ibu cuma khawatir Ilham tahu kalau kamu simpan uangmu di rumah."
"Eh atau nggak, kamu buka rekening sendiri aja, Rat. Jadi lebih leluasa kamu pakai untuk apa uangmu. Tanpa harus minta sama ibu." Lanjutnya.
"Mm apa tidak apa-apa Bu?" Aku malah sungkan padanya.
"Ya nggak lah. Jadi, nanti kalau mertua sudah pulang, ibu antar kamu ke bank."
"Iya Bu. Sebelumnya terimakasih banyak ya Bu. Maaf jadi repotin ibu." Ujarku.
"Sudahlah, Ratna. Ibu seneng kok bisa bantu kalian. Maaf kalau ibu selama ini malah menerima tawaranmu cuci gosok dirumah ibu. Karena ibu masih bingung bagaimana menyampaikannya sama kamu."
"Nggak apa Bu. Oh ya, Ratna harus pulang dulu, sudah malam. Takut mereka keburu pulang." Pamitku seraya berdiri. Kami berjalan berdampingan.
"Ya sudah."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Akupun segera melangkah meninggalkan rumah bu Nina, dengan berbagai perasaan bercampur aduk menjadi satu.
Bapak, ternyata bapak masih menyayangi dan memperhatikanku meski dari jauh. Aku berjanji dalam hati, akan menemuinya nanti.
Lalu sambil berjalan kupikirkan lagi, akan ku apakan uang dari bapak agar lebih bermanfaat. Usaha? Tapi usaha apa? Mas Ilham otomatis pasti tahu jika aku membuka usaha.
*
"Dari mana kamu?!" Aku terlonjak kaget.
Bahkan tak sadar jika langkah kakiku sudah memasuki halaman rumah kami. Mas Ilham sudah berdiri di teras rumah. Sedangkan ibu dan Zizah duduk di kursi depan. Kunci rumah aku bawa.
"D dari rumah Bu Nina, mas. Habis nanyain cu ...
"Cepet buka pintunya! Tau nggak, udah setengah jam kita nunggu di luar." Bentak mas Ilham sebelum aku menyelesaikan ucapanku.
"B baik mas." Setengah berlari aku menghampiri pintu.
Heran juga, kenapa dia nggak cari aku ke rumah Bu Nina?
Dia juga tahu kalau aku tak pernah kemana-mana selain ke warung Bu Nina.
"Suami nggak ada dirumah, nggak baik keluyuran lho, Rat." Ujar Bu Fatimah.
"Bukan keluyuran Bu, Ratna cuma ke warung." Jawabku seraya mengeluarkan kunci dari saku daster.
"Kalau dikasih tahu orangtua, tinggal jawab iya aja, apa susahnya sih, Rat!" Mas Ilham menimpali.
Aku mengembuskan napas. Lalu kuraih tangan Azizah yang sepertinya sudah mengantuk. Segera kubawa dia ke kamarnya. Dan membiarkan suamiku bersama ibunya yang masih berbicara. Entah mungkin membicarakan ku.
Aku memutuskan untuk tidur di kamar Zizah. Aku sedang malas berdebat dengan mas Ilham. Aku hanya sedang ingin memikirkan masa depanku bersama Azizah. Memikirkan pula usul Bu Nina, dan nasib rumah tanggaku ke depannya.
Terus terang aku tidak sanggup jika mas Ilham terus saja menyembunyikan keadaan kami pada keluarganya. Pokoknya, setelah kepulangan ibu mertuaku, aku akan menuntut mas Ilham untuk segera mencari pekerjaan tetap lagi.
*
"Ratna, ibu pulang hari ini. Dan ibu sudah minta suamimu mengantar ibu." aku yang baru saja selesai menjemur pakaian, menoleh padanya.
"Oh iya Bu." jawabku singkat. Kemudian berlalu pergi untuk menaruh ember ke belakang. Bu Fatimah mengernyit, lalu ia mengikuti langkahku.
"Kamu kenapa, Rat? jangan bilang selama ibu disini bikin repot kamu!" terkanya.
Aku ini lelah. Sejak subuh aku sudah mengerjakan berbagai kegiatan rumah tangga. Belum lagi mesti masak air untuk ibu mandi, menyiapkan sarapan roti bakar, susu coklat dan menyetrika pakaian yang akan ia kenakan pagi ini. Lipatannya harus sesuai, tidak boleh terlihat kusut sedikitpun.
Dan belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perutku.
"Nggak kok Bu. Ratna cuma sedikit pusing." jawabku. Sambil menyeka keringat yang sepagi ini sudah membasahi tubuh dan wajahku.
"Oh ya, jangan lupa soal urunan buat haolan Bapak. Waktunya tinggal sebentar lagi." lanjutnya.
"Iya Bu. Ratna nanti ngomong lagi sama mas Ilham." sahutku.
"Ilham lagi, Ilham lagi. Sudah ibu bilang kok ke dia. Ilham bilang, uang gaji semua kamu yang pegang!" jawaban ibu mertuaku sontak membuatku terkejut.
kenapa mas Ilham tega membohongi ibunya dengan menjual namaku?
Hal ini semakin membuatku yakin bahwa mas Ilham sudah benar-benar berubah. Ia hanya ingin terlihat baik dan sholeh dimata ibunya, tanpa peduli bagaimana ibunya menilai diriku.
"Bu, aku ke kamar dulu. Mau ngomong sama mas Ilham." aku segera meninggalkan Bu Fatimah. Terserah ia menganggapku tidak sopan.
*
"Mas!"
Mas Ilham yang baru selesai mandi, menoleh padaku.
"Apa sih?"
"Mas sudah keterlaluan! kenapa mas bilang ke ibu kalau uang gaji semua aku yang pegang? gaji dari mana, mas? kerja juga nggak!" aku kehilangan kendali.
"Berisik, Ratna. Nanti ibu dengar!" mas Ilham menghampiriku dan membekap mulut ini.
"Lepas!" kutepiskan tangannya kuat-kuat.
"Selama ini aku sabar dan nurut sama kamu, mas! tapi semakin lama, tingkahmu semakin menyebalkan!" cerocosku.
"Ratna, kita bicarakan ini nanti, setelah ibu pulang!" ujarnya. Kugelengkan kepala.
"Nggak bisa! aku sudah terlanjur buruk di mata ibumu gara-gara kamu, mas! padahal selama ini ibu biasa saja ke aku. Apa kamu yang terus menerus mencekoki ibu dengan cerita palsu soal aku?!" teriakku. Tak peduli Bu Fatimah mendengar. Justru itu lebih baik.
"Ratna, tutup mulutmu! sudah kubilang nanti kita bahas soal ini. Minggir, aku mau pergi. Awas berani ngomong macam-macam, aku tidak segan ..."
Mas Ilham menghentikan ucapannya. Ia menepiskan tangan kemudian keluar kamar.
Kepalaku sungguh sakit. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan suamiku, sehingga dia begitu keterlaluan akhir-akhir ini.
"Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. "Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. "Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. "Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha
Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal
Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih
Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,
"Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu
"Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak
Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas
Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas
"Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak
"Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu
Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,
Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih
Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha
"Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. "Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. "Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. "Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan
"Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. "Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. "Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. "Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. "Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. "Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." "Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. "Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. "Keesokan hariny