Mas Ilham sudah pergi. Entahlah dia pergi kemana. Tak sabar menunggu dia pulang nanti dan akan kutanyakan dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli tas.
Seperti biasa aku masih menjadi pendengar setia bagi ibu, yang tak henti bercerita tentang kedua menantunya yang lain. Yang setiap bulan pergi jalan dan selalu pulang membawa oleh-oleh untuknya.
Ya, secara tak langsung Bu Fatimah seolah menyindirku. Aku hanya tersenyum menanggapi setiap ceritanya.
Sebetulnya bisa saja kuceritakan semuanya pada ibu mertuaku itu. Tentang kebohongan mas Ilham, tentang betapa susahnya hidup kami saat ini. Namun aku masih menjaga ucapan agar tidak membuka aib anaknya, harga dirinya dan akibat apa yang akan kuterima kelak bersama Azizah.
Sabarku masih banyak untuk menghadapi suamiku, selama ia tidak terendus memiliki wanita idaman lain. Namun jika itu sampai terjadi, demi apapun aku tidak segan menuntutnya cerai. Semoga saja tidak pernah terjadi.
Lagi pula, wanita mana yang mau diselingkuhi oleh pria yang tak punya pekerjaan tetap seperti suamiku saat ini?
"Jadi, rencananya Sabtu depan haolan Bapak mertuamu dilaksanakan. Kalian mau nyumbang berapa?" Pertanyaan Bu Fatimah membuatku menelan ludah.
"Mestinya kan kamu yang mengatur keuangan, Rat. Iya kan? Makanya ibu ngomongnya sama kamu. Bukan Ilham." Lanjutnya.
"B Bu, nanti aku bicarain sama mas Ilham dulu, ya. Dan aku juga mau obrolin sama mbak Meta dan Uli." Sahutku. Ibu mendecih. Mungkin berpikir aku perhitungan.
Mbak Meta adalah istri dari kakak iparku, sedangkan Uli adalah adik mas Ilham. Adik iparku.
"Mereka sih udah nggak usah diobrolin lagi. Tinggal bilang butuh sekian, ya langsung dikumpulin. Nggak ribet." Jawabnya.
Aku mengembuskan napas pelan. Mengatur detak jantung yang mulai tidak karu karuan.
"Eh, sebentar Ratna tinggal dulu ya Bu. Mau siapin makan siang. Ibu mau istirahat di kamar? Sudah Ratna beresin kok kamarnya." Udahlah, aku alihkan saja obrolan ini. Bu Fatimah mengangguk seraya berdiri.
Ku bawakan tasnya tanpa diminta, lalu segera mengikutinya. Beliau sudah tahu dimana kamarnya, jadi aku hanya diam tak berani memulai percakapan lagi.
**
"Ratna, ini AC kamar rusak juga?!" Seruan Bu Fatimah kembali terdengar. Kuhentikan langkah, bingung mau menjawab apa.
"I iya Bu! Nanti kuhubungi mas Ilham suruh segera manggil tukang!" Aku segera berlalu dari pintu kamarnya tanpa menunggu jawaban ibu mertuaku.
Lalu kuseret langkah mengambil ponsel di atas meja makan.
[Mas, beli token listrik sekarang! Ibu marah-marah gara-gara AC nggak nyala.]
Pesan telah ku kirim pada mas Ilham. Tak berapa lama kemudian mas Ilham menelponku.
"Rat, ngutang dulu sana sama Bu Nina!" Ucapnya. Membuat darah ini kian naik ke atas kepala rasanya.
"Nggak bisa mas. Nggak mau! Ratna malu ngutang melulu. Hutang dari bulan kemaren aja belum dibayar." Tolakku dengan menekan suara sepelan mungkin. Meski aku yakin mas Ilham juga tahu jika aku marah.
"Mas kan duitnya banyak. Makanya bisa beliin ibu tas mahal. Cuman token doang susah banget. Padahal kan bukan buatku, tapi buat ibu tercintamu."
Klik
Segera ku putus sambungan. Kuhela napas dalam-dalam dan kuembuskan perlahan. Agar jantungku tidak tersumbat keruwetan ini.
Segera aku berlalu ke dapur, mengambil rendang daging yang hanya beberapa potong dari dalam kulkas, untuk kemudian kuhangatkan. Serta memasak beberapa pelengkap lainnya.
"Ratna! Rat!" Baru saja aku menyalakan kompor, terdengar ibu berteriak dari atas. Kembali kuembuskan napas sembari memejamkan mata.
'Sabar Ratna. Sabar ...' bathinku.
"Iya Bu, ada apa?" Tanyaku setengah berlari menemuinya.
"Tadi ibu lihat ada kecoa keluar dari kamar mandi! Apa kamar ini jarang dibersihkan?!" Serunya. Ia segera mengikat rambutnya yang beruban. Bu Fatimah sepertinya mau mandi saat melihat penampakan si kecoa.
"Memang jarang dibersihkan karena nggak pernah ada yang pakai bu. Tapi kemarin sebelum ibu datang, Ratna sudah bersihkan semuanya. Bahkan sudah disemprot obat anti serangga." Aku membela diri.
"Ish ish pantas saja! Lain kali meskipun nggak ada yang nempati, mbok ya tetap dibersihkan dong, Rat! Hampir ibu jatuh tadi, gara-gara lihat kecoa!"
"Sekarang kecoanya dimana?" Aku menjulurkan kepala. Menyisir sudut demi sudut kamar mandi dengan bola mataku. Namun nihil.
"Nggak ada." Lirihku.
"Tadi ada! Masa ibu bohong!" Sahutnya ketus. Aku kembali untuk kesekian kalinya menghela napas panjang.
"Iya Bu, mungkin sudah kabur karena kaget denger suara ibu." Jawabku sambil lalu.
Bu Fatimah masih kudengar mengoceh namun tidak kupedulikan. Lebih baik melanjutkan masak dan menutup telinga ketimbang makan hati jika didengarkan terus menerus.
*
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam! Eeh anak mama udah pulang?" Azizah tahu-tahu sudah berdiri di belakangku.
"Mama nggak denger sih! Dari tadi Zizah mengucap salam di luar." Sahutnya sembari merengut. Wajahnya berkeringat.
Aku tersenyum dibuatnya, kemudian mengusap wajahnya.
"Maaf. Mama tadi lagi di atas. Nggak dengar suara Zizah. Gimana tadi di sekolah?" Tanyaku.
"Seperti biasa, ma. Tapi tadi Rimba berantem sama Dimas. Seru deh, sampe guling-gulingan." Aku mengernyit.
"Lho, berantem kok seru? Memang kenapa gara-garanya?"
"Habis si Dimas sih, gangguin kak Anyelir melulu. Padahal kak Anye baik, jago lho menggambarnya. Nanti aku mau digambarin juga, katanya!" Aku tersenyum-senyum mendengar cerita anakku.
"Oh gitu. Eh, nenek sudah datang lho. Ada di kamar lagi istirahat. Zizah temuin sana. Nenek juga bawain puding buat Zizah. Jangan lupa bilang terimakasih." Pintaku. Azizah tersenyum riang, lalu mengangguk dan berlari guna menemui bu Fatimah.
Ibu sedang di kamarnya bersama Azizah saat mas Ilham pulang. Segera ku ikuti langkahnya memasuki kamar kami. "Mas, aku mau bicara sama kamu." Ujarku. Mas Ilham melepas blazer yang dikenakannya kemudian melemparkan sembarang."Mas, kamu dapat uang dari mana buat beliin ibu tas?" Ulangku. Gemas melihat tanggapan suamiku yang cuma melirik padaku sekilas saja. "Kamu bisa berhenti mengoceh nggak sih? Suami baru pulang bukannya dikasih minum, dikasih sambutan hangat, ngoceh melulu!" Hardiknya. Tapi kali ini aku tak diam. Aku terus membuntutinya hingga ia hendak masuk kamar mandi. "Mas, kamu cuma perlu jawab dari mana uang buat beliin ibu tas?! Aku tahu selera ibu. Kalau barang jelek dan KW, ibumu tidak akan sesuka itu!" "Kenapa, kamu cemburu?" Tanyanya. Aku menggeleng tak percaya. Apakah selama ini, aku protes ketika ia berbaik hati pada ibu dan saudaranya?"Jawab!" Ulangku dengan mata melotot. "Kamu itu lebih bela-belain beliin tas buat ibumu, sedangkan aku dan anakmu setiap hari me
"Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. "Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. "Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. "Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. "Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. "Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." "Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. "Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. "Keesokan hariny
"Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. "Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. "Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. "Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha
Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal
Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih
Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,
"Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu
Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas
"Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak
"Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu
Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,
Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih
Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha
"Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. "Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. "Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. "Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan
"Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. "Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. "Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. "Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. "Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. "Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." "Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. "Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. "Keesokan hariny