“Tenang, juragan. Kita bisa bicara baik-baik.” Ujar Rais. Tak ingin emosi Bram semakin memuncak.
“Kamu!” Tunjuk Herman pada Galih, “Pergi kamu dari sini! Saya gak sudi Aisyah menikah dengan kamu! Sampai kapan pun, saya gak akan pernah mau merestui!” Ucap Herman, ikut tersulut emosi. Bagaimana tidak? Selain hutangnya lunas, Bram juga menjanjikannya memberinya modal yang cukup besar untuk di kelola menjadi usaha setelah menikah dengan Aisyah nanti. Herman sudah membuat rencana untuk membuka toko campuran yang besar dengan modal dari Bram. Dengan bantuan Bram yang nantinya akan jadi menantu nya, tentu tak sulit baginya untuk memiliki toko campuran yang besar. “Lagi pula uang dari mana kamu Galih untuk membayar hutang Herman hah?! Gaji kamu sebulan saja, bahkan sangat jauh!” Cetus Bram dengan sinis. Lelaki tua itu yakin, bahwa Galih pasti tak akan bisa membayar utang Herman sebanyak itu. “Tulis rekeningnya di sini!” Jawabnya dengan santai. Galih menyerahkan ponselnya pada Bram. Lelaki tua itu menerima ponsel Galih dengan tersenyum meremehkan. “Mustahil Galih! Mustahil kamu memiliki uang segitu! Tapi baiklah, ini aku tulis nomor rekeningnya biar kamu tau diri!” Ujarnya sambil mengetik nomor rekening di ponsel pemuda itu. Galih mengambil kembali ponselnya. Kemudian melakukan transfer sebanyak seratus lima puluh juta ke nomor rekening atas nama Bram Sanjaya. “Sudah!” Ujar Galih, ia arahkan ponselnya memperlihatkan bukti transfer pada Bram, Rais dan juga Herman. Mata mereka seketika melotot bersamaan. “Nggak! Ini gak mungkin!” Bram berdiri dari duduknya. Merasa tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Aisyah harus tetap menikah denganku! Itu pasti bukti transfer editan!” Tolak Bram. Galih tersenyum miring, “Lebih baik cek dulu saldonya, juragan!” Bram buru-buru mengecek m-banking. Ternyata benar, uang sebanyak seratus lima puluh juta itu masuk ke dalam rekeningnya. Sama halnya dengan yang lain. Aisyah juga ikut tercengang. Gadis itu semakin penasaran, siapa sebenarnya sosok preman di depannya ini? “Gimana, juragan? Benar kan? Kalau begitu, mulai sekarang jangan pernah lagi mengganggu calon istriku!” Tegas Galih. Ia tersenyum pada Aisyah yang kini masih mematung penuh keterkejutan. °°°° Rina mondar-mandir, “Pak! Gimana ini Pak?” Rina kebingungan saat juragan Bram meninggalkan rumahnya dalam keadaan marah. Sementara Aisyah, gadis itu telah dibawa pergi oleh Galih. Herman memijat pelipisnya yang terasa pening. Ia masih tak percaya jika hutangnya sudah di lunasi oleh preman kampung itu. “Pak!” Sentak Rina, merasa ucapannya diabaikan Herman. “Apa sih, Bu! Bapak lagi pusing!” Balas Herman kesal. “Uang dari mana ya kira-kira preman itu, Pak? Apa jangan-jangan dia maling ya?!” Tebak Rina, penasaran. Herman mengangguk, “Ya dari mana lagi, Bu? Pastilah, kalau nggak maling yang ngerampok!” “Ya ampun, Pak. Terus gimana ini? Gimana kalau nanti kita yang kena getahnya??” Rina mendadak panik. “Nggak! Meskipun preman itu sudah membayar hutang kita, Bapak gak akan merestui mereka, Bu. Enak aja!” Ucap Herman, ia mengepalkan kedua tangannya. Impiannya untuk memiliki toko campuran yang besar tak boleh gagal. “Tapi mereka udah pergi, Pak! Gimana kalau diluar sana mereka udah nikah?” “Mana mungkin! Aisyah pasti tau kalau wali nikahnya saat ini cuma aku, Bu. Kamu tenang aja, Bapak akan susun rencana biar mereka gak jadi nikah!” Ucap Herman, membuat Rina penasaran. Apa yang akan di rencanakan suaminya? “Rencana apa, Pak?” Tanya Rina. Drrt! Drrt! Tiba-tiba ponsel Rina bergetar. Ia raih benda pipih tersebut yang layarnya sudah retak, kemudian mengusap layarnya, membaca pesan yang masuk. [Bu, besok aku mau pulang! Tolong siapkan jamuan yang banyak ya... Aku bawa calon suami dan juga keluarganya] Syahnaz, putri kandungnya yang bekerja di luar kota itu kini mengirimkan pesan untuknya. Selama ini, hutangnya menumpuk untuk menghidupi gaya hedon anaknya yang hidup di kota. Namun, tentu saja Aisyah tak tahu akan hal ini. Hubungan Aisyah dan Syahnaz tak baik, sejak Aisyah tinggal di rumah Rina. Ah tidak, lebih tepatnya rumah mendiang almarhum Ayahnya yang kemudian di akui oleh Rina bahwa itu sudah menjadi haknya. Rina tersenyum, ia pernah mendengar cerita Syahnaz, bahwa calon suaminya ini orang kaya. “Pak, sepertinya kita biarkan saja Aisyah menikah dengan preman itu!” Ucap Rina, tiba-tiba berubah pikiran. “Lho? Kok gitu Bu? Bapak ini sudah punya impian besar untuk punya toko campuran yang besar, seperti yang dijanjikan juragan. Harus jadi pokoknya! Aisyah harus tetap menikah dengan juragan!” Bantah Herman. “Pak... Besok Syahnaz akan pulang! Dia datang bersama calon suami beserta keluarganya, Pak. Tanpa Aisyah, kita juga bisa kaya!” Ucap Rina dengan senyum mengembang. “Memangnya Ibu tau dari mana kalau calon Syahnaz itu orang kaya?” Tanya Herman menyipitkan mata. “Syahnaz pernah cerita Pak! Kalau kekasihnya itu adalah atasannya, sudah pasti calonnya itu orang kaya!” “Hem... Terus gimana dengan juragan Bram, Bu?” “Yang penting kan hutang kita udah lunas! Kita tendang saja si Aisyah dan Adiknya itu kalau dia udah menikah sama si preman itu! Kalau ternyata uang yang dia pakai bayar hutang itu curian, biarkan saja Aisyah yang kena getahnya. Ibu yakin kok, kalau Syahnaz bisa mengangkat derajat kita, Pak!” Rina semakin gencar membujuk suaminya. Herman tersenyum, ia setuju dengan perkataan istrinya barusan. “Iya juga ya, bu. Sudah saatnya Syahnaz membuat kita bangga. Selama ini kan bapak mati-matian cari pinjaman untuk kehidupannya di kota.” Ujar Herman. Otaknya kini menemukan sebuah ide baru agar impiannya tidaklah gagal. °°°°° Sementara itu... Galih membawa Aisyah ke cafe yang semalam gadis itu datangi bersama Rian. “Ngapain kamu bawa aku ke sini?” protes Aisyah. Sejak kejadian semalam, Aisyah seolah membenci tempat ini. Tempat di mana ia dan Rian sering bertemu. Bayangan indah hubungan mereka dulu seakan terlihat jika berada di cafe ini. “Duduklah, kamu pasti lelah.” Ujar Galih, tak peduli akan raut wajah Aisyah yang kesal. “Harusnya hari ini aku bekerja! Tapi, gara-gara kalian hari ini aku jadi bolos kerja.” Ucap Aisyah sambil mencebik kesal. “Hem... Kamu resign aja! Aku tidak mau istriku capek kerja nantinya.” Jawab Galih, membuat wajah Aisyah seketika berubah. Tutur kata yang tenang itu seakan menembus hati Aisyah, ‘Istriku?’ Batinnya, merasakan sesuatu yang aneh. “Pagi Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang pelayan yang telah berdiri di samping meja mereka, setelah Galih melambaikan tangan pada pelayan itu. “Buatkan coffe latte dan americano.” “Baik, Pak. Di tunggu sebentar ya.” Pelayan itu beranjak pergi dengan menunduk hormat. Dahi Aisyah berkerut, ia merasa pelayan itu memperlakukan Galih tidak seperti pada pelanggan lainnya. Meskipun di cafe ini memang terkenal ramah dengan pelayanannya, tetapi ada hawa yang berbeda saat pelayan tadi menatap Galih. Satu hal yang membuat Aisyah tertegun. Galih memesankannya coffe latte? Dari mana pria itu tahu kalau Aisyah menyukai minuman itu?“Jangan sungkan, Aisyah. Sebentar lagi kita berdua akan menjadi suami istri!” Ucap Galih, menatap Aisyah yang kini menatap ke arah lain.“Aku baru saja bertemu dengan kamu, aku sama sekali tidak kenal dengan kamu, tidak tau asal usulmu. Bagaimana bisa kamu mengatakan kita akan menikah sebentar lagi?” Ujar Aisyah, mengungkapkan keresahannya.“Kita bisa perkenalan setelah menikah.” Sahut Galih.Obrolan mereka terjeda sesaat. Seorang pelayan datang dengan membawa sebuah minuman, meletakkannya di atas meja.“Terima kasih...” Ucap Aisyah, pelayan itu hanya tersenyum sembari mengangguk.Galih memberi kode pada pelayan tersebut, agar segera meninggalkan mereka berdua.“Minumlah dulu agar pikiran kamu tenang, Aisyah.” Ujarnya dengan lembut.Aisyah tercengang. Tak percaya jika seorang preman di hadapannya itu bisa berbicara lembut seperti itu.“Oh ya, kenapa kamu melunasi hutang paman? Apa sebenarnya tujuan kamu, Galih??” satu pertanyaan yang membuat Aisyah penasaran sejak tadi, akhirnya terlo
“Eh, tunggu dulu! Syahnaz ini kan putri kami satu-satunya. Jadi, sebelum pernikahan di selenggarakan, kami ingin memberikan persyaratan terlebih dahulu untuk Nak Arman.” Ucap Herman. Arman mengernyit heran, penasaran. Persyaratan apa yang akan di berikan oleh calon mertuanya itu? “Apa syaratnya?” Tanya Arman cepat. “Kami ingin... Nak Arman memberikan mahar pada Syahnaz sebesar seratus juta!” Ujar Herman. Seketika membuat Arman dan kedua orang tuanya terkejut hebat. Mahar seratus juta?? “Apaa?!! Seratus juta???” Pekik mereka bertiga, kompak. Saking terkejutnya. “Iya! Kalian tidak keberatan kan?” Rina menimpali. Syahnaz seketika melotot pada kedua orang tuanya. “Pak, apa-apaan ini!” Protes Syahnaz. “Syahnaz, kamu berhak mendapatkan mahar yang besar! Jangan mau kalah sama Aisyah, calon suaminya juga memberikan Bapak uang sebesar seratus juta!!” Ujar Herman, tentu saja pria paruh baya itu tidak ingin mengatakan jika uang itu sebenarnya untuk membayar semua hutangnya. “Kalian ini
Pukul 01.00 wib. Di dalam sebuah kamar yang sangat sederhana. Aisyah sedang menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang campur aduk. Ia baru saja selesai di rias. Karena hari ini adalah hari pernikahannya yang memang dipercepat karena keinginan pria dengan tampang preman itu. Ia mengenakan kebaya putih cerah, sangat pas di tubuh langsingnya yang indah. Rambut hitam panjangnya yang sehalus sutra di sanggul dengan berhiaskan aksesoris jepit kecil berbahan mutiara, hanya tampilan yang sangat sederhana namun sangat tangguh dan elegan. Mencerminkan kepribadian Aisyah yang sesungguhnya. “Wah... Kamu sangat cantik, Mbak Aisyah.” Kagum seorang wanita yang telah memakaikan riasan make up pengantin ke wajah Aisyah. Make up yang tidak terlalu menor atau berlebihan seperti keinginan Aisyah sendiri. Aisyah hanya tersenyum tipis. Entah ia harus bahagia untuk hari istimewa ini ataukah justru sedih. ‘Ya Allah, jika memang ini jalan takdir yang harus hamba tempuh, hamba mohon berika
“Kamu tau dari mana?” Tanya Aisyah penuh selidik. Galih menatap dalam-dalam manik Aisyah. “Itu tidak penting, Aisyah! Cepat... Kemas barang-barang yang ingin kamu bawa!” Aisyah mendengus kesal. “Kamu harus menjelaskan semuanya! Kenapa kamu banyak tau hal tentang keluargaku?!” Galih menghela napas panjang. “Nanti aku ceritakan, Syah! Cepat kemasi barangmu, kasihan Fadil sudah menunggu!” Ucapnya lembut. Rasa penasaran Aisyah belum hilang tentang dari mana Galih mendapatkan uang sebanyak seratus juta untuk melunasi hutang Herman, juga mahar sebesar lima puluh juta. Kini Aisyah di buat penasaran lagi tentang jati diri Galih yang sebenarnya. Mengapa pria itu seakan banyak mengetahui tentang keluarganya, bahkan sampai ke masalah yang sifatnya rahasia itu. “Gak usah bawa baju banyak-banyak. Nanti saya belikan yang baru!” Jelas Galih. Aisyah yang sedang mengemasi pakaiannya, sontak menoleh pada pria itu. “Tidak perlu! Baju sudah banyak.” Sahut Aisyah, kembali menyusun pakaiannya. Baj
“Mobilnya siapa itu?” Tanya Aisyah, bingung. Seorang supir membukakan pintu setelah mereka tiba di dekat mobil. “Silahkan Tuan, Nyonya.” Ucap sang supir, mempersilahkan. “Ayo masuk Aisyah, Fadil!” Ajak Galih pada sang istri dan adik iparnya. “Waah... Ini mobilnya Bang Galih?? Ih, keren banget... Kayak punya sultan mobilnya.” Ujar Fadil dengan wajah berbinar, kegirangan. Suara Fadil yang cukup besar, membuat Herman dan Rina yang masih di dalam rumah merasa penasaran. Mereka melangkah keluar dengan tergesa-gesa. “Wah, keren banget mobilnya, Pak.” Mata Rina seketika berbinar-binar, takjub. “Iya, Bu. Ini mobil yang harganya miliaran itu kan??” Herman tak kalah takjub. “Pak? Kok si preman itu bisa pakai mobil mewah ya?? Jangan-jangan dia memang beneran kaya lagi, Pak?!” Ujar Rina. “Halah... Gak mungkin, Bu! Palingan itu mobil pinjem punya juragan siapa gitu!!” Sanggah Syahnaz tiba-tiba. Gadis itu rupanya juga penasaran mendengar kehebohan di luar rumahnya. “Hem... Iya juga ya, N
Mobil yang mereka tumpangi kini tiba di pusat perbelanjaan.“Kok kita ke sini, Mas?” Tanya Aisyah, terheran.“Iya, kita belanja dulu! Di rumah masih kosong, gak ada stok bahan makanan, sekalian juga buat beli baju kamu dan Fadil!” Jawab Galih.“Waah... Asyik...” Ujar Fadil, kegirangan.Aisyah menoleh ke arah Fadil, menggeleng pelan. “Di sini pasti mahal-mahal, Dil. Kita gak usah beli apa-apa, beli bahan untuk makan kita saja!” Tolak Aisyah, cepat.Galih menatap lekat manik Aisyah, “Hey... Kalian tinggal memilih apa yang kalian butuhkan! Tak perlu sungkan!” Ujar Galih cepat.“Tapi, Mas_” Ucapan Aisyah terhenti, Galih menempelkan telunjuknya di bibir istrinya itu.“Nurut aja apa kata suami!” Pinta Galih, kemudian turun lebih dulu dari mobil.Aisyah diam mematung, memegang bibirnya yang baru saja di sentuh oleh jari Galih.“Ayo, turun!” Titah Galih pada Aisyah dan Fadil.Aisyah masih terdiam, ia pun turun dengan perasaan yang sulit di artikan.“Beli apa aja yang kamu mau, Dil!” Tawar Gal
‘Gak! Ini gak mungkin!.’ Batin Rian, tak percaya, sebab mereka baru putus tiga hari yang lalu. Ada rasa panas dan tak ikhlas, saat menyaksikan wanita yang selama ini ia puja di gandeng oleh pria lain di depan matanya sendiri. Meskipun pria itu sendiri yang memutuskan hubungan mereka, tapi jauh dari lubuk hatinya yang dalam, Rian masih sangat mencintai Aisyah. Rian hanya terjerat dalam situasi, di karenakan orang tuanya tak merestui hubungan pria itu dengan Aisyah, bahkan sudah disiapkan jodoh untuk dirinya. Mila, gadis yang dipilihkan oleh orang tuanya, yang terbilang lebih segalanya dari Aisyah. Mil seorang wanita berhijab, berpendidikan dan berasal dari keluarga kaya. Namun, lagi-lagi hati tak bisa di bohongi. Perasaan Rian rupanya masih terpaut pada gadis sederhana seperti Aisyah. “Mas? Dari tadi aku nyariin kamu ternyata ada di sini!” ucap seorang wanita dengan hijab berwarna cream. “Mila, kita pulang sekarang aja ya.” Pinta Rian. “Iya, Mas. Aku juga udah selesai belanjanya
“Kita bahas soal itu besok aja ya. Soalnya, ini malam pertama kita...” Bisik Galih pada Aisyah yang seketika meremang.“Eh!” Aisyah sontak termundur.“Kenapa, Syah?” Tanya Galih, mengernyit heran.“Eem, A-aku... Aku mau mandi dulu!” Jawab Aisyah, cepat-cepat bangkit dari tempat tidur.Galih menghela napas panjang, “Oh, oke baiklah...” Ucapnya.‘Dasar preman mesum! Katanya di suruh istirahat, tapi malah...’ Aisyah bergidik ngeri. Ia belum siap jika harus melepas kegadisannya sekarang.“Katanya mau mandi?” Tegur Galih.Sedari tadi Aisyah hanya berdiam diri di samping ranjang.“Eh, iya ini mau ambil handuk dulu!” Jawab Aisyah cepat.“Handuknya sudah ada di walk in closed!” Aisyah pun berjalan cepat menuju kamar mandi, tapi bukannya ke pintu kamar mandi, wanita itu malah menuju ke pintu keluar.“Hei, Aisyah? Kamu mau ke mana?” Tanya Galih.Aisyah tergelak sinis, “Ya ampun... Udah di beritahu kalau aku mau mandi kan? Yang sabar sedikit, kenapa sih? Buru-buru amat!” Ketus Aisyah, kesal, ju
“Hahaha biar tau rasa si Galih itu! Galih pikir bisa melawanku?” Suara Juragan Bram terdengar berjalan ke arah gudang. Galih dan Rais seketika bersembunyi di tembok pembatas gudang. Meski pengap dan bau dari kotoran sapi mulai tercium, Galih tetap menahannya demi bisa membebaskan adik Istrinya itu. “Jadi gimana Juragan? Hutang saya bisa lunas kan kalau Aisyah berhasil ke sini?” Suara berat seseorang berhasil membuat Galih tercengang. ‘Sialan! Dia lagi!’ batin Galih mengumpat perbuatan Herman yang lagi-lagi ingin menjual Aisyah pada tua bangka itu. Galih masih berdiam diri di tempat persembunyiannya mendengarkan percakapan Herman dan juragan Bram dengan dada yang bergemuruh. “Sekarang kamu telepon Aisyah, Herman! Suruh dia ke sini sendiri untuk membebaskan Fadil. Dengan begitu, aku bisa dengan mudah menjeratnya masuk dalam perangkapku.” Ucap juragan Bram sambil tertawa. “Siap juragan! Si Galih itu juga pasti nggak di rumah karena tadi kita sudah pancing. Pasti sekarang dia sedang
“Ada apa dengan Fadil, sayang??” tanya Galih ikut panit saat melihat raut wajah istrinya itu yang tegang dan panik. “Tadi ada panggilan dari nomor Fadil, tapi yang bicara bukan Fadil, Mas.” Jawab Aisyah. Galih mengerutkan kening, “Kamu kenal itu suara siapa?” Aisyah menggeleng, “Aku juga gak kenal, Mas... Suaranya laki-laki, tapi bukan suara Paman juga,” Jelas Aisyah sesuai dengan apa yang ia dengarkan tadi. Aisyah kenal betul suara Herman, tetapi suara tadi bukanlah suara pamannya itu. Aisyah menatap Galih serius, “Aku khawatir, Mas... Kita cari Fadil sekarang ya?!” Pinta Aisyah dengan dada yang terasa sesak, membuat Galih segera mengangguk. “Biar Mas Iacak dulu handphonenya Fadil, siapa tau kita bisa dapat di mana keberadaannya sekarang,” kata Galih kemudian segera mengotak atik ponselnya cukup lama. ”Gimana, Mas?” tanya Aisyah penuh harap. “Sepertinya ponsel Fadil sudah tidak aktif, tapi lokasi terakhirnya masih bisa di lihat.” Jelas Galih, setelah melacak keberadaan
“Wajib hukumnya bagi Mas Arman buat menafkahi aku dengan layak. Tapi apa faktanya? Mama menahan semua hak yang harusnya di serahkan ke tanganku sejak awal. Jadi, siapa di sini yang gak tau diri? Aku atau Mama?!” Ujar Syahnaz menyentak perasaan Tiara.“Kurang ajar kamu, ya! Berani kamu bicara begitu di depan saya? Saya juga punya alasan kenapa masih memegang uang Arman! Itu semua karena kamu punya mental miskin dan pengeretan! Bisa habis semua uang anak saya kalo di serahkan sama kamu!” Ungkap Tiara sudah kepalang kesal.“Sudah, Ma. Hentikan semuanya,” pinta Dario melihat istrinya makin murka dan tidak bisa di kendalikan.Lelaki paruh baya itu beralih pada putra semata wayangnya. “Hentikan ini, Arman, Mama dan Syahnaz gak akan kelar perdebatannya kalo kamu diam aja seperti ini!”Arman menelan ludah. Kalau boleh jujur, kepalanya seperti ingin meledak, saking besar rasa pusing yang menghampirinya sejak tadi.“Kamu usir perempuan itu dari hadapan Mama sekarang juga! Mama gak sudi melihat
“Susah payah aku kerja siang malam selama satu bulan lamanya, berusaha meniti karir dari bawah, tapi malah kamu hancurkan dalam waktu sekejap mata! Kamu tau gak, kalau sekarang aku gak punya karir yang cemerlang dan itu semua gara-gara kamu!” Tak hanya sekali Arman membentak Syahnaz. ltu semua harus di lakukan agar amarahnya keluar dengan baik. Selain itu, Syahnaz memang harus di beri pelajaran karena tindakannya sudah sangat fatal. Arman merasa sakit hati dan di khianati, juga terpuruk bukan main. Wajar kalau saat ini ia menggila dan tak memedulikan Syahnaz yang lagi hamil dan sudah tampak ketakutan. “Sekarang jabatanku cuma staf biasa, Syahnaz! Aku di pandang rendah sama semua orang-orang di kantor karena di anggap gak becus dalam bekerja!” Ungkap Arman, menatap nasib. Syahnaz tergugup. Wanita itu menangis, tak menyangka jika masalahnya akan merembet ke mana-mana. Dalam hati Syahnaz sangat menyesal, tetapi semua sudah terlanjur. Syahnaz tidak bisa melakukan apa pun lagi, selain
Sementara itu di rumah Arman, kini Tiara sedang menanti putra semata wayangnya yang belum juga pulang dari kantor. “Duh... Arman kok belum pulang juga ya, Pa...?” Ujar Tiara, gelisah. “Memangnya ada apa sih, Ma? Kamu kok kayak cemas gitu kelihatannya??” tanya sang suami, penasaran. Tiara mengembuskan napas berat, wanita itu pun menceritakan perihal proyek besar Arman yang gagal karena hilangnya berkas penting tersebut. Tiara juga menceritakan tentang Syahnaz yang diam-diam bertemu dengan seseorang. “Astaga Ma... Dari dulu Papa juga gak sreg sama di Syahnaz, Ma. Tapi ya Papa ini kan laki-laki jadi gak mungkin mau banyak omong kayak Mama,” ucap Dario. “lya, Pa. Mama juga sebenarnya gak suka sama perempuan itu! Kalau saja bukan karena dia lagi hamil, Mama juga gak bakal kasih izin mereka nikah,” Tiara mengungkapkan kekesalannya. “Mama juga curiga kalau bayi itu bukan anaknya Arman, Pa...” sambungnya lagi. Dario tercengang, mencoba mencerna ucapan sang istri, “Hah? Maksud Mama apa?
Jakarta, Pukul 12,00 wib. Saat ini Galih dan Aisyah sedang bersiap untuk dinner ke kafe. Sebelum pulang ke rumah dan kembali di sibukkan dengan segala pekerjaan, Galih ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang istri di Jakarta. Galih memilih sebuah cafe elit di daerah pusat Jakarta. “Cafenya bagus ya, Mas...” Puji Aisyah saat sedang duduk menunggu pesanan yang telah di pesan oleh Galih. “Iya, Sayang... Tempatnya instagramble banget, cocok buat nongkrong anak muda zaman sekarang,” Jawab Galih, juga ikut kagum melihat desain cafe tersebut. “lya, Mas... Tapi cafe Mas juga bagus kok,” ucap Aisyah tiba-tiba merasa tak enak hati. Ia takut Galih salah mengartikan kalimat pujiannya tadi. Galih pun terkekeh mendengar ucapan Aisyah barusan. “Memang siapa yang bilang cafe Mas gak bagus?” Aisyah tersenyum sambil menggeleng. “Nggak ada sih, Mas, hee...” jawabnya nyengir Galih seketika terbahak, gemas dengan tingkah istrinya itu, “Kamu itu menggemaskan sekali, sayang...” “Galih.” se
“Ayo Pak Arman, kenapa diam saja?” Desak Tuan Bagas, tak suka jika waktu terbuang percuma seperti ini. Arman menelan ludah. Wajahnya seketika pucat pasi. ‘Ke mana berkas yang udah aku siapkan semalam’ Lirihnya dengan nada panik, seraya mengeluarkan semua barang-barang dari dalam tas. ‘Astaga... Kenapa berkasnya bisa gak ada?’ Lanjutnya lagi. “Ada masalah, Pak?” tanya sekretaris Tuan Bagas. Arman menoleh dan segera menggeleng. la berusaha untuk tetap terlihat tenang, seraya terus membuka semua bagian tasnya. Tapi nihil. Berkas yang ia cari tak ada di sana. Arman berdecak pelan dan berkata, “Apa aku salah simpan berkas itu?” “Pak Arman??” tegur Tuan Bagas untuk yang kedua kalinya. Bingung melihat gerak gerik Arman. Apa sebenarnya yang lelaki itu cari? Tuan Bagas mengirim kode pada sekretarisnya untuk mendekati Arman, barangkali ada hal yang harus di bantu. “Saya mencari berkas perencanaan perusahaan kita,” jawab Arman ketika sekretaris Tuan Bagas menghampirinya. Melihat Arman
“Mas? Kok kamu gak masuk-masuk kamar sih?” Syahnaz menyusul Arman ke ruang kerjanya. “Hmm, lagi sibuk, Naz.” “Memangnya Mas gak capek apa?” tanya Syahnaz. “Capek, tapi kan ini tuntutan pekerjaan. Berkas ini harus aku cek semuanya, besok akan kubawa bertemu klien penting,” jawab Arman membuat Syahnaz tersenyum. “Oh, ya sudah... Aku tidur duluan ya, Mas.” ucap Syahnaz kemudian hendak melangkahkan kakinya keluar. “Syahnaz!!” seru Arman membuat Syahnaz menoleh. “Kenapa, Mas?” “Tadi siang kamu ke mana saja?” tanyanya. “Em, aku cuma ke kafe aja, Mas. Bosen terus di rumah,” Jawab Syahnaz. “Jangan sering keluyuran sendiri, kamu lagi hamil, gak baik!!” “Ya makanya ajak aku jalan-jalan dong, Mas. Kamu sibuk mulu sama pekerjaan kamu itu.” Jawab Syahnaz. “Oke, hari minggu nanti kita jalan,” sahut Arman membuat wajah Syahnaz berbinar. “Kamu serius, Mas?” Syahnaz mengangguk. “Yeayy! Makasih ya, Mas. Aku tau kamu tuh sayang banget sama aku, cuma pasti Mama pengaruhi kamu yang engga-engg
“Pacaran apanya, Ma. Orang ada dua buntutnya gitu,” celetuk Ammar yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu. “Ish, kamu ini Mas! Duit elit piknik sulit!” Ujar Kiara kesal. “Bukan pelit, Sayang. Tapi harus banyak pertimbangan kalau mau piknik tuh. Mayra dan Kayra pasti akan sangat heboh kalau di ajak piknik, jadi kita harus bawa baby sitter,” ucap Ammar memberi masukan, tetapi Kiara hanya melirik kesal. “Sudah-sudah, kita ke sini gak mau lihat keributan kalian.” Galih melerai, senang sebenarnya melihat keabsurd-an mereka, tetapi lama-lama kepalanya juga akan pening. “Tante! Ayo main sama Mayra...” Pinta Mayra, mengajak Aisyah untuk bermain bersamanya. Aisyah menoleh ke arah Galih, lelaki itu pun mengangguk seraya tersenyum, pertanda mengiayakan. Akhirnya Aisyah bermain bersama dua gadis kembar itu. Kiara juga ikut berbaur bersama mereka. Benar kata Galih, Aisyah merasa sangat senang berkunjung ke rumah Kiara. Selain Kiara orangnya ramah dan baik hati, dua putrinya juga sangat l