Pukul 17.30 wib_ Di rumah sederhana itu, Rina kini sedang mondar-mandir menunggu kepulangan suaminya. Perasaannnya mendadak gelisah dan tak enak. “Kemana ini Mas Herman? Kenapa gak pulang-pulang juga sampai sekarang?” gumamnya gelisah. Pagi tadi, Herman hanya pamit sebentar ke rumah juragan Bram untuk meminta keringanan pembayaran hutangnya tersebut. Namun, sampai hari sudah terik begini lelaki itu belum juga pulang. Terdengar suara sebuah mobil tiba-tiba berhenti di halaman rumah Rina. Mata wanita itu seketika berbinar melihat putrinya pulang bersama sang suami dengan mobil mewah. ‘Tuh kan... Akhirnya Arman luluh juga sama Syahnaz. Pasti mereka ke sini mau memberi uang banyak,’ batin Rina dengan bahagia. Kebahagiaan Rina justru berbanding terbalik dengan kecemasan yang di rasakan putri semata wayangnya. Syahnaz kini benar-benar cemas bukan main. ‘Duh, mampus aku! Mana uang dari Raymond udah habis setengah aku pakai shopping kemarin, sekarang cuma tersisa dua puluh juta saja,’
‘Dasar! Ibu malah makin menjadi-jadi! Harusnya tunggu Mas Arman ngomong duluan, ini malah nyerocos aja kayak gitu! Pasti aku lagi yang kena getahnya!” rutuk Syahnaz sangat sadar, dirinya akan di timpa masalah lain karena ucapan Rina yang sangat menyebalkan dan tinggi hati.“Syahnaz bilang gitu sama Ibu?” Tanya Arman, memastikan kembali.Rina segera mengangguk. “Iya... Bahkan Syahnaz janjiin sendiri sama Ibu dan Bapak, kalo kamu akan merenovasi rumah ini.”Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah ini, Arman baru tersenyum. Namun, jelas bukan senyum bahagia yang terukir, melainkan senyum getir sebab perempuan yang di nikahinya memang punya mulut besar yang senang berucap dan mengumbar janji sembarangan.Perkara ini harus di luruskan dengan secepat mungkin. Tak boleh di biarkan begitu saja. Arman harus menyampaikan maksud dan tujuan sebenarnya pada Rina, agar perempuan paruh baya itu berhenti berharap lebih padanya.“Maaf, Bu... Tapi tujuan saya datang ke sini bukan mau ngasih Ibu dan
“Ibuu...” Teriak Syahnaz, panik melihat Rina yang tersungkur ke lantai.“Ini semua pasti cuma mimpi kan, Naz? lbu hanya mimpir buruk kan??” Tanya Rina dengan suara lemah, dirinya masih belum bisa mempercayai fakta yang baru saja di katakan putri semata wayangnya.Detik berikutnya, wanita paruh baya itu pun terpejam, Rina pingsan saking terkejutnya dengan fakta perceraian Syahnaz.Syahnaz seketika panik, ia segera meminta tolong pada tetangganya. Membawa sang lbu ke rumah sakit bukan pilihan yang tepat karena pasti nanti akan memakan banyak biaya. Syahnaz memang masih memegang uang, tapi anak itu sangat perhitungan.“Bawa masuk ke dalam kamar saja, Pak! Paling lbu pingsan biasa, biar nanti saya Olesi pakai minyak kayu putih,” Titah Syahnaz.Para tetangga yang berdatangan membantunya pun segera membopong tubuh gempal Rina masuk ke dalam kamar.“Astaga, berat sekali ibumu ini, Syahnaz,” Ketus salah seorang yang membopong Rina, dengan napas ngos-ngosan.“Betul! Kebanyakan dosa kayaknya,”
“Nah... Ini dia keponakan yang saya ceritakan kemarin, Tuan.” Ucap Herman, saat Aisyah baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang tamu tersebut. Dua lelaki dengan penampilan seperti preman, duduk di ruang tamu sembari menatap Aisyah dari atas sampai bawah dengan intens. Merasa risih dengan tatapan dua pria itu, Aisyah bergegas melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Namun, suara teriakan Herman membuat gadis itu mengurungkan niatnya. “Jangan kemana-mana, Aisyah! Duduk di sini!” Titah Herman sembari menunjuk kursi di sampingnya. “Maaf, Paman. Badan Aisyah terasa lengket, Aku mau bersih-bersih dulu.” Tolak Aisyah dengan lembut. “Duduk, Aisyah! Atau_” Ucapan Herman tertahan sesaat. Tampak seorang wanita berjalan dari arah dapur dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat. “Duduklah dulu, Aisyah. Ada hal penting yang harus kami bicarakan sama kamu!” Ucap Rina, istri Herman. Aisyah pun pasrah. Ia duduk dengan rasa penasaran menyelimuti jiwanya. Apa y
Ting! Ting! Ponsel Aisyah berbunyi, pertanda sebuah pesan masuk. Ia raih ponsel tersebut, pesan dari Rian muncul di layar ponselnya. [Aisyah, nanti malam kita ketemu di tempat biasa ya.] Rian, lelaki yang setahun belakangan ini menjalin hubungan dengannya. Aisyah pikir, pria itu menjadi satu-satunya orang yang ia harapkan untuk membantunya. “Oke, Mas. Kebetulan aku juga ingin membicarakan sesuatu yang penting.” Aisyah membalas pesan itu, ia kemudian bangkit dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia tak boleh larut dalam kesedihan. Dalam hati gadis itu, ia berharap agar Rian bisa menemukan solusi yang baik. “Semoga saja kamu bisa membantuku, Mas.” Gumam Aisyah lirih. Jelas saja ia berharap bahwa Rian pasti akan membantunya. Ia pikir, Rian pasti tidak akan rela bila Aisyah menikah dengan lelaki lain. °°° Pukul 19.30 wib. Rian dan Aisyah bertemu di sebuah cafe yang berada di dekat rumah gadis itu. Rian memang belum pernah menjemput Aisyah langsung di
Galih menatap ke arah spion motornya yang ia arahkan ke belakang. Rupanya gadis itu berpegangan pada bagian belakang jok motor. Galih tersenyum miring. Seakan merencanakan sesuatu? Tak lama setelah itu, ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aisyah yang duduk di jok belakang, hampir saja terjengkang. Gadis itu terkejut bukan main, ia pun refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Galih. Bisa-bisa ia jatuh jika hanya berpegangan di belakang jok motor saja. Kesal, Aisyah merasa Galih sengaja melakukan ini semua, agar gadis itu bisa memeluknya. Modus. Pikirnya. “Dasar preman modus!” Umpat Aisyah. Kesal bukan main. Sepanjang perjalanan. Galih hanya menahan tawa dalam hati karena mendengar Aisyah yang tak henti-hentinya mengoceh di belakang. ‘ Lucu! Gadis ini sangat unik.’ Batinnya. “Pelan-pelan aja jalannya. Kasian tetangga, takutnya mengganggu mereka!” Kali ini Galih menurut, karena sudah masuk area perkampungan. Pria itu pun memelankan laju motornya. Aisyah tak sadar, bahw
Pagi mulai merekah usai semalam di liputi suasana yang menyesakkan. Aisyah sudah bangun pagi-pagi sekali. Gadis itu mencoba menghilangkan segala beban pikirannya sejenak. Ia harus bekerja, ada Fadil yang sudah menjadi tanggung jawabnya. “Kok kamu berangkat kerja, Syah?” Celetuk Rina setelah melihat Aisyah sudah siap dengan seragam kerjanya. “Ya Tante.” Jawab Aisyah sembari menyisir rambutnya. “Kalau kamu nikah sama juragan Bram, kamu gak perlu lagi capek-capek kerja, Syah. Hidup kamu bakalan terjamin. Dari makan, rumah, mobil, bahkan kamu bisa shopping tiap hari. Dari pada jadi penjahit terus, kerja dari pagi hingga sore, tapi tetap aja hidup kamu gini-gini aja!” Ucap Rina. Aisyah menghela napas berat. Lagi-lagi Rina menyuruhnya menikah dengan juragan Bram. Aisya berbalik badan, menatap Rina. “Tante, selama ini Aisyah gak pernah beli ini itu di karenakan uangnya dipakai untuk biaya pendidikan Fadil. Dan juga buat makan kita sehari-hari di rumah ini!” Ucapnya, membela diri. “Hal
“Tenang, juragan. Kita bisa bicara baik-baik.” Ujar Rais. Tak ingin emosi Bram semakin memuncak. “Kamu!” Tunjuk Herman pada Galih, “Pergi kamu dari sini! Saya gak sudi Aisyah menikah dengan kamu! Sampai kapan pun, saya gak akan pernah mau merestui!” Ucap Herman, ikut tersulut emosi. Bagaimana tidak? Selain hutangnya lunas, Bram juga menjanjikannya memberinya modal yang cukup besar untuk di kelola menjadi usaha setelah menikah dengan Aisyah nanti. Herman sudah membuat rencana untuk membuka toko campuran yang besar dengan modal dari Bram. Dengan bantuan Bram yang nantinya akan jadi menantu nya, tentu tak sulit baginya untuk memiliki toko campuran yang besar. “Lagi pula uang dari mana kamu Galih untuk membayar hutang Herman hah?! Gaji kamu sebulan saja, bahkan sangat jauh!” Cetus Bram dengan sinis. Lelaki tua itu yakin, bahwa Galih pasti tak akan bisa membayar utang Herman sebanyak itu. “Tulis rekeningnya di sini!” Jawabnya dengan santai. Galih menyerahkan ponselnya pada Bram. Lela
“Ibuu...” Teriak Syahnaz, panik melihat Rina yang tersungkur ke lantai.“Ini semua pasti cuma mimpi kan, Naz? lbu hanya mimpir buruk kan??” Tanya Rina dengan suara lemah, dirinya masih belum bisa mempercayai fakta yang baru saja di katakan putri semata wayangnya.Detik berikutnya, wanita paruh baya itu pun terpejam, Rina pingsan saking terkejutnya dengan fakta perceraian Syahnaz.Syahnaz seketika panik, ia segera meminta tolong pada tetangganya. Membawa sang lbu ke rumah sakit bukan pilihan yang tepat karena pasti nanti akan memakan banyak biaya. Syahnaz memang masih memegang uang, tapi anak itu sangat perhitungan.“Bawa masuk ke dalam kamar saja, Pak! Paling lbu pingsan biasa, biar nanti saya Olesi pakai minyak kayu putih,” Titah Syahnaz.Para tetangga yang berdatangan membantunya pun segera membopong tubuh gempal Rina masuk ke dalam kamar.“Astaga, berat sekali ibumu ini, Syahnaz,” Ketus salah seorang yang membopong Rina, dengan napas ngos-ngosan.“Betul! Kebanyakan dosa kayaknya,”
‘Dasar! Ibu malah makin menjadi-jadi! Harusnya tunggu Mas Arman ngomong duluan, ini malah nyerocos aja kayak gitu! Pasti aku lagi yang kena getahnya!” rutuk Syahnaz sangat sadar, dirinya akan di timpa masalah lain karena ucapan Rina yang sangat menyebalkan dan tinggi hati.“Syahnaz bilang gitu sama Ibu?” Tanya Arman, memastikan kembali.Rina segera mengangguk. “Iya... Bahkan Syahnaz janjiin sendiri sama Ibu dan Bapak, kalo kamu akan merenovasi rumah ini.”Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah ini, Arman baru tersenyum. Namun, jelas bukan senyum bahagia yang terukir, melainkan senyum getir sebab perempuan yang di nikahinya memang punya mulut besar yang senang berucap dan mengumbar janji sembarangan.Perkara ini harus di luruskan dengan secepat mungkin. Tak boleh di biarkan begitu saja. Arman harus menyampaikan maksud dan tujuan sebenarnya pada Rina, agar perempuan paruh baya itu berhenti berharap lebih padanya.“Maaf, Bu... Tapi tujuan saya datang ke sini bukan mau ngasih Ibu dan
Pukul 17.30 wib_ Di rumah sederhana itu, Rina kini sedang mondar-mandir menunggu kepulangan suaminya. Perasaannnya mendadak gelisah dan tak enak. “Kemana ini Mas Herman? Kenapa gak pulang-pulang juga sampai sekarang?” gumamnya gelisah. Pagi tadi, Herman hanya pamit sebentar ke rumah juragan Bram untuk meminta keringanan pembayaran hutangnya tersebut. Namun, sampai hari sudah terik begini lelaki itu belum juga pulang. Terdengar suara sebuah mobil tiba-tiba berhenti di halaman rumah Rina. Mata wanita itu seketika berbinar melihat putrinya pulang bersama sang suami dengan mobil mewah. ‘Tuh kan... Akhirnya Arman luluh juga sama Syahnaz. Pasti mereka ke sini mau memberi uang banyak,’ batin Rina dengan bahagia. Kebahagiaan Rina justru berbanding terbalik dengan kecemasan yang di rasakan putri semata wayangnya. Syahnaz kini benar-benar cemas bukan main. ‘Duh, mampus aku! Mana uang dari Raymond udah habis setengah aku pakai shopping kemarin, sekarang cuma tersisa dua puluh juta saja,’
“Hahaha biar tau rasa si Galih itu! Galih pikir bisa melawanku?” Suara Juragan Bram terdengar berjalan ke arah gudang. Galih dan Rais seketika bersembunyi di tembok pembatas gudang. Meski pengap dan bau dari kotoran sapi mulai tercium, Galih tetap menahannya demi bisa membebaskan adik Istrinya itu. “Jadi gimana Juragan? Hutang saya bisa lunas kan kalau Aisyah berhasil ke sini?” Suara berat seseorang berhasil membuat Galih tercengang. ‘Sialan! Dia lagi!’ batin Galih mengumpat perbuatan Herman yang lagi-lagi ingin menjual Aisyah pada tua bangka itu. Galih masih berdiam diri di tempat persembunyiannya mendengarkan percakapan Herman dan juragan Bram dengan dada yang bergemuruh. “Sekarang kamu telepon Aisyah, Herman! Suruh dia ke sini sendiri untuk membebaskan Fadil. Dengan begitu, aku bisa dengan mudah menjeratnya masuk dalam perangkapku.” Ucap juragan Bram sambil tertawa. “Siap juragan! Si Galih itu juga pasti nggak di rumah karena tadi kita sudah pancing. Pasti sekarang dia sedang
“Ada apa dengan Fadil, sayang??” tanya Galih ikut panit saat melihat raut wajah istrinya itu yang tegang dan panik. “Tadi ada panggilan dari nomor Fadil, tapi yang bicara bukan Fadil, Mas.” Jawab Aisyah. Galih mengerutkan kening, “Kamu kenal itu suara siapa?” Aisyah menggeleng, “Aku juga gak kenal, Mas... Suaranya laki-laki, tapi bukan suara Paman juga,” Jelas Aisyah sesuai dengan apa yang ia dengarkan tadi. Aisyah kenal betul suara Herman, tetapi suara tadi bukanlah suara pamannya itu. Aisyah menatap Galih serius, “Aku khawatir, Mas... Kita cari Fadil sekarang ya?!” Pinta Aisyah dengan dada yang terasa sesak, membuat Galih segera mengangguk. “Biar Mas Iacak dulu handphonenya Fadil, siapa tau kita bisa dapat di mana keberadaannya sekarang,” kata Galih kemudian segera mengotak atik ponselnya cukup lama. ”Gimana, Mas?” tanya Aisyah penuh harap. “Sepertinya ponsel Fadil sudah tidak aktif, tapi lokasi terakhirnya masih bisa di lihat.” Jelas Galih, setelah melacak keberadaan
“Wajib hukumnya bagi Mas Arman buat menafkahi aku dengan layak. Tapi apa faktanya? Mama menahan semua hak yang harusnya di serahkan ke tanganku sejak awal. Jadi, siapa di sini yang gak tau diri? Aku atau Mama?!” Ujar Syahnaz menyentak perasaan Tiara.“Kurang ajar kamu, ya! Berani kamu bicara begitu di depan saya? Saya juga punya alasan kenapa masih memegang uang Arman! Itu semua karena kamu punya mental miskin dan pengeretan! Bisa habis semua uang anak saya kalo di serahkan sama kamu!” Ungkap Tiara sudah kepalang kesal.“Sudah, Ma. Hentikan semuanya,” pinta Dario melihat istrinya makin murka dan tidak bisa di kendalikan.Lelaki paruh baya itu beralih pada putra semata wayangnya. “Hentikan ini, Arman, Mama dan Syahnaz gak akan kelar perdebatannya kalo kamu diam aja seperti ini!”Arman menelan ludah. Kalau boleh jujur, kepalanya seperti ingin meledak, saking besar rasa pusing yang menghampirinya sejak tadi.“Kamu usir perempuan itu dari hadapan Mama sekarang juga! Mama gak sudi melihat
“Susah payah aku kerja siang malam selama satu bulan lamanya, berusaha meniti karir dari bawah, tapi malah kamu hancurkan dalam waktu sekejap mata! Kamu tau gak, kalau sekarang aku gak punya karir yang cemerlang dan itu semua gara-gara kamu!” Tak hanya sekali Arman membentak Syahnaz. ltu semua harus di lakukan agar amarahnya keluar dengan baik. Selain itu, Syahnaz memang harus di beri pelajaran karena tindakannya sudah sangat fatal. Arman merasa sakit hati dan di khianati, juga terpuruk bukan main. Wajar kalau saat ini ia menggila dan tak memedulikan Syahnaz yang lagi hamil dan sudah tampak ketakutan. “Sekarang jabatanku cuma staf biasa, Syahnaz! Aku di pandang rendah sama semua orang-orang di kantor karena di anggap gak becus dalam bekerja!” Ungkap Arman, menatap nasib. Syahnaz tergugup. Wanita itu menangis, tak menyangka jika masalahnya akan merembet ke mana-mana. Dalam hati Syahnaz sangat menyesal, tetapi semua sudah terlanjur. Syahnaz tidak bisa melakukan apa pun lagi, selain
Sementara itu di rumah Arman, kini Tiara sedang menanti putra semata wayangnya yang belum juga pulang dari kantor. “Duh... Arman kok belum pulang juga ya, Pa...?” Ujar Tiara, gelisah. “Memangnya ada apa sih, Ma? Kamu kok kayak cemas gitu kelihatannya??” tanya sang suami, penasaran. Tiara mengembuskan napas berat, wanita itu pun menceritakan perihal proyek besar Arman yang gagal karena hilangnya berkas penting tersebut. Tiara juga menceritakan tentang Syahnaz yang diam-diam bertemu dengan seseorang. “Astaga Ma... Dari dulu Papa juga gak sreg sama di Syahnaz, Ma. Tapi ya Papa ini kan laki-laki jadi gak mungkin mau banyak omong kayak Mama,” ucap Dario. “lya, Pa. Mama juga sebenarnya gak suka sama perempuan itu! Kalau saja bukan karena dia lagi hamil, Mama juga gak bakal kasih izin mereka nikah,” Tiara mengungkapkan kekesalannya. “Mama juga curiga kalau bayi itu bukan anaknya Arman, Pa...” sambungnya lagi. Dario tercengang, mencoba mencerna ucapan sang istri, “Hah? Maksud Mama apa?
Jakarta, Pukul 12,00 wib. Saat ini Galih dan Aisyah sedang bersiap untuk dinner ke kafe. Sebelum pulang ke rumah dan kembali di sibukkan dengan segala pekerjaan, Galih ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang istri di Jakarta. Galih memilih sebuah cafe elit di daerah pusat Jakarta. “Cafenya bagus ya, Mas...” Puji Aisyah saat sedang duduk menunggu pesanan yang telah di pesan oleh Galih. “Iya, Sayang... Tempatnya instagramble banget, cocok buat nongkrong anak muda zaman sekarang,” Jawab Galih, juga ikut kagum melihat desain cafe tersebut. “lya, Mas... Tapi cafe Mas juga bagus kok,” ucap Aisyah tiba-tiba merasa tak enak hati. Ia takut Galih salah mengartikan kalimat pujiannya tadi. Galih pun terkekeh mendengar ucapan Aisyah barusan. “Memang siapa yang bilang cafe Mas gak bagus?” Aisyah tersenyum sambil menggeleng. “Nggak ada sih, Mas, hee...” jawabnya nyengir Galih seketika terbahak, gemas dengan tingkah istrinya itu, “Kamu itu menggemaskan sekali, sayang...” “Galih.” se