Bagaimana rasanya jika kita memiliki suami, mertua, adik ipar yang toxic? Seperti kisahnya Embun Hartawan. Don't Judge Book by it's Cover, Lempar Batu Sembunyi Tangan, Air Tenang Menghanyutkan, adalah peribahasa yang membenarkan dalam kisah rumah tangganya Embun. Belum lagi Embun harus dihadapkan dengan keluarga pasangan yang terlalu cinta harta, membuat mereka pelit. Tidak hanya itu, sifat pelit itu ternyata menurun kepada anaknya yang menjadi suami Embun, yaitu Toro Kusnadi. Peribahasa "Buah Tidak Jatuh Jauh dari Pohonnya" membenarkan dalam kisah Embun. Wajah polos dari suami Embun, mertua, dan iparnya menjadi senjata andalan mereka untuk berlindung dibalik topeng palsu itu. Ditambah lagi keluarga dari suami memiliki saudara angkat yang menjadi sendok dalam rumah tangga Embun. Kerikil dalam rumah tangga Embun yang seolah melemparinya, semakin lama semakin berubah hingga kerikil-kerikil kecil menjadi Batu yang semakin besar, yang terus menghantam rumah tangganya. Bagaimana akhir kisah cinta Embun? Apa sajakah bentuk dari batu yang menghantam rumah tangga Embun? Apakah dirinya akan sanggup mempertahankan rumah tangganya? atau merelakan rumah tangganya hancur?
Lihat lebih banyak"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen