"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah.
"ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar.Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar."Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun.Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya."Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun.Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.Menu makanan yang berjejer di ruangan itu membuat Embun semakin menelan air liurnya. Namun, belum juga ada yang menawari dirinya makan.Papa dan Ibu mertua terlihat duduk berdekatan dengan rombongan keluarga besarnya, termasuk dengan keluarga angkat itu. Embun menundukkan pandangannya. Hati yang semakin terlempar merasa pilu.Toro yang melihat hal itu, tak juga menyadari bahwa istrinya sedang terluka.***Selesai mengganti kebaya lainnya, kali ini Embun memakai hiasan kepala khas pengantin. Kebaya berwarna merah tua dan jarik yang membalut, membuat Embun semakin anggun."Pengantinnya sama penyanyinya masih cantikan penyanyinya." Ucap salah seorang rombongan itu.Seketika Embun membatu ditempatnya berdiri."Kenapa mbak?" Tanya perias itu.Kaki melangkah kebelakang, dan kepala yang menengok kearah orang tersebut, indra penglihatan yang tak berkedip memandang wajah yang melemparkan kata-kata itu kepadanya, perlahan Embun mengarahkan pandangannya kepada mertuanya yang tak jauh duduk disebelah rombongan itu.Kepala wanita yang melempar kalimat menyayat menunduk seketika."Ayo kita jalan lagi." Ucap Embun dengan tegas dan pandangan lurus kedepan.Banyak tamu yang sudah menunggu Embun didepan. Pandangannya mengarah kepada tangan yang melambai disana, matanya terfokus dengan seorang wanita muda seusianya yang berdiri diujung kursi tamu dengan kedua tangannya yang melambai.Ternyata wanita tersebut adalah teman kuliahnya. Mata kini kembali terisi air yang menggenang, Embun merasa dirinya tidaklah sendirian dikampung ini.Dia adalah Lusi. Teman baiknya yang memang sudah menikah dan tinggal dikampung yang sama seperti suaminya. Sekali lagi, dirinya tak menyangka bahwa suami Lusi sekampung dengan kampung suaminya.Bibir yang melebar mempesona mengarah kepada teman wanitanya. Lusi berjalan menghampiri tempat pengantin. Orang tua Toro yang terlihat tak menghiraukan pertemuan dua wanita tersebut lebih asik mengobrol dengan saudara angkatnya."Aku awalnya kaget mendengar kamu berjodoh dengan seseorang dari kampung ini, teman-teman di grup hijau kita membagi foto undangan kamu, pas aku lihat kampung suamimu, aku terkejut dan senang. Selamat ya, akhirnya kita bisa ketemu lagi."Embun memeluk temannya tersebut. Berbisik kepadanya bahwa dirinya setelah menikah akan tinggal dirumah mertuanya yang dikota. Sontak Lusi kaget karena takdir menginginkan mereka selalu bersama. Lusi berkata bahwa dirinya juga suaminya berencana untuk mencari rumah dikota yang Embun katakan.Semua mata toxic itu memandang sinis obrolan Embun dan Lusi."Perasaanku kenapa tidak enak ya, kamu baik-baik saja kan dengan keluarga suamimu. Aku nampak mereka seperti kurang suka dengan dirimu. Maaf, aku harus jujur." ucap Lusi berbisik ditelinga Embun."Insyaallah mereka baik." Jawab singkat Embun berbisik ke telinga sahabatnya itu.***Selesai acara, semua orang berlalu lalang begitu saja berpapasan dengan dirinya. Termasuk mertuanya. Badan yang membatu berdiri sendiri di depan tiang teras rumah, bola mata yang bergerak ke kanan dan ke kiri, otak yang berfikir tentang kerjaan yang harus dia kerjakan seolah buntu begitu saja. Bayangan besar kedua orang tuanya terpampang jelas seolah berdiri dihadapannya."Aku nyapu saja ah." Ucap Embun didalam hati. Dengan langkah tak pasti, dirinya mencari sapu lantai seorang diri. Dibalik pintu tak ia temukan, Embun mencari sapu layaknya mencari perhiasan yang hilang. Tak lama kemudian ada seorang wanita paruh baya menyapanya."Cari apa nak? Jangan khawatir, nenek tetangga samping rumah kalian disini." Ucapnya sembari memegang pundak Embun yang sedang menunduk."Cari sapu nek." Jawab Embun dengan langsung menyambut tangan nenek tersebut dengan penuh hormat.Tangan Embun digandeng oleh nenek tersebut kearah alat yang dicarinya."Nenek kira cari perhiasan yang hilang, cari sapu saja kok kayak cari sesuatu yang berharga.""Nih mantu kamu mau nyapu nih, senang ya sekarang sudah ada menantu, rajin menantunya." Ucap nenek tersebut saat berpapasan dengan mertua Embun. Namun mertua Embun hanya tersenyum kearah nenek tersebut.Dengan penuh teliti Embun membereskan ruangan yang seperti kapal pecah itu. Alih-alih sedang menyapu, Embun mempertanyakan kepergian Toro yang pergi tak pamit."Mas Toro kemana sih, pergi juga kok nggak pamit dulu, mana aku lapar lagi. Capek juga beres-beres rumah." Ucapnya dalam hati.Tak seorangpun disana yang menawari atau hanya sekedar menanyakan apakah dirinya sudah makan atau belum."MasyaAllah bersih sekali, sudah makan belum mbak, kenalan dulu ya, saya bibinya Toro. panggil saja bibi Nur, Yuk makan dulu yuk sama bibi, bibi perhatikan kamu belum makan dari pagi. Bibi juga belum sarapan soalnya. Toro tadi kayaknya pergi sama tetangga disini, katanya ada perlu tu. Toro juga harusnya nemenin kamu makan dulu, gimana sih anak itu. yuk ah." Ucap bibi Nur dengan memberikan segelas air putih kepada Embun yang sedang duduk diteras dengan kertas ditangannya yang dikibaskan kearahnya.Embun menyambut tangan bibi Nur dengan penuh hormat. Mencium tangannya seperti mencium tangan kedua orang tuanya.Keduanya lantas berdiri dan berbalik kearah pintu masuk kerumah. Nampak Papa mertuanya yang sedang berjalan menuju keluar rumah, namun mertuanya itu nampak acuh dengan keberadaan Embun."Menantu belum sarapan nih bang. Kasian sendirian dari tadi diluar, selesai beres-beres rumah. Lihat deh, rapi sekarang ruangannya." Ucap bibi Nur kepada kakak laki-lakinya tersebut."Aku masih ada perlu, aku pergi dulu ya." Jawab lelaki itu dengan ketus dan meninggalkan topik dari adiknya.Bibi Nur menggelengkan kepalanya."Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil