"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan seharian dipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawah untuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati. Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamu bisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”
Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahun itu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudah tertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agar tangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.
Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakak beradik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama.Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar.
"Assalamu'alaikum."
Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Ada seorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahut jilbab instan yang ada di sampingnya lalu menemui orang tersebut.
"Wa'alaikumsalam, iya ada apa ya bapak?" Jawab Esta lembut. "Mbak Embun, ya? Sudah tidur ya Mbak? Maaf, ya, jadi ganggu." "Saya bukan Embun pak, saya kakak perempuannya Embun.” Esta menyahut dengan ramah. Mereka berdua memang begitu mirip, tak jarang memang orang-orang menganggap mereka kembar. “Embun baru saja tidur. Tapi kalau ada perlu, saya bangunkan sebentar."Kemudian Esta berjalan menuju Embun yang sedang berbaring. Melihat tutur kata yang sopan dari bapak itu, Esta berpikir tak ada salahnya sang adik menemui tamu itu.
"Dik, bangun, ada bapak-bapak nyariin kamu, temui sebentar saja. Sepertinya beliau orang baik. Tidak apa-apa mata kamu bengkak, biar tau sekalian kondisi kamu di sini bagaimana." Ucap Esta.
Embun kemudian menarik jilbabnya yang ada di bawah bantal, berjalan perlahan menuju pintu belakang rumah. "Iya pak, saya Embun. Ada apa ya?" Ucap Embun sembari mengulurkan tangannya ke arah bapak itu untuk berjabat tangan.Esta yang masih mendampingi Embun itu mengangguk hormat.
"Tidak apa-apa mbak. Saya hanya memastikan bahwa mbak Embun juga sehat, takutnya pingsan juga kayak Mas Toro. Tapi dugaan saya ternyata salah. Mbak Embun untungnya baik-baik saja. Ya sudah saya permisi pamit ya. Silahkan dilanjut lagi istirahatnya, maaf ini bapak jadi menganggu." Ucap bapak itu dengan tutur kata yang lembut dan penuh sopan.
Embun dan Esta lalu membungkukkan badan didepan bapak itu dan mengucapkan terimakasih atas pengertiannya. "Terima kasih banyak ya pak atas pengertiannya." Ucap Embun. "Terima kasih ya pak sudah mengerti adik saya, saya titip adik saya di sini." Imbuh Esta. Embun menanyakan identitas bapak baik hati tersebut, dan beliau mengatakan bahwa nama beliau adalah Pak Imran. "Iya mbak Embun dan mbak Esta. Sama-sama. Mari mbak, saya pamit pergi dahulu." Ucap bapak itu membalas dengan badan yang ikut membungkuk kearah Embun dan Esta. Embun dan Esta duduk sejenak dan bersyukur ternyata dikampung Toro masih ada orang baik. "Kakak lega bertemu bapak tadi, ya setidaknya ada yang memahami posisi kamu di sini. Ya sudah ayo kita tidur." Ucap Esta. Embun menganggukkan kepalanya dan berbaring kembali. **Terdengar suara adzan subuh dikumandangkan, Esta membangunkan Embun yang masih tertidur pulas, memandangi wajah adiknya yang sudah menjadi istri orang. Esta mulai was-was dengan kejadian tidak nyaman yang belum-belum menghampiri kehidupan rumah tangga adiknya.
Embun mengusap matanya dengan kedua tangannya, dirinya merasa bahwa seperti baru tertidur 5 menit yang lalu. "Rasanya aku baru tidur 5 menit yang lalu, ini aku sudah harus bangun lagi. Badanku lelah sekali kak. Mataku gimana kak? apakah terlihat bengkak? apakah aku terlihat seperti habis menangis?" Tanya Embun berbisik kepada Esta. "Iya kayaknya kamu lelah sekali. Tentu saja terlihat jelas. Bengkak sekali tuh mata kamu." Ucap Esta dengan melihat ke kanan dan kiri arah wajah Embun. "Terus bagaimana dong kak?" Sahut Embun dengan nada tegang karena takut ketahuan orang tuanya. "Sholat dulu, Nak." Ucap ibu mereka. "Iya Bu." Jawab Embun dan Esta kompak. Esta menarik tangan Embun untuk mengambil air wudhu, dan menutupi Embun dari pandangan orang-orang di sekelilingnya. "Ayo kita jalan, Jalan di sebelah kanan kakak biar wajahmu tertutupi badan kakak." Ucap Esta berbisik kepada Embun. Dengan mengedipkan mata kearah Esta, Embun memberi kode untuk Esta bahwa dirinya sependapat dengannya. Saat setelah berwudhu, Embun meminta bantuan kepada Esta agar setelah sholat subuh menemaninya untuk menemui Toro. Esta pun setuju dengannya. "Tenang, nanti kakak temani kamu. Kakak juga mau melihat wajah Toro setelah pingsan. Yang paling penting, kakak juga mau melihat muka si Minah ibu angkatnya itu yang lisannya telah menyakiti kamu." Ucap Esta dengan penuh dendam. Setelah sholat subuh, Esta berkata kepada ibu bahwa dirinya dan Embun ingin menemui Toro yang semalam pingsan."Loh kok pingsan? pingsan kenapa? Padahal kan ini kampungnya, seharusnya dia tau seberapa jauh jarak rumahnya. Embun kayaknya segar saja. Jangan pingsan ya Embun, malu." Ucap seorang tetangga.
Dari kejauhan Embun tersenyum mendengar ucapan tetangganya sembari merapikan jilbab yang ia kenakan. "Sudah diobati belum Toro?" Sahut ibu. "Tentu saja sudah Bu, adiknya yang namanya Tuti mengatakan bahwa sudah ada dokter yang datang memeriksanya, terus juga tadi malam ada bapak-bapak yang datang ke sini mengatakan bawah Toro hanya kelelahan saja." Jelas Esta kepada ibunya. Ibu tersenyum lega mendengar penjelasan Esta. Kemudian ibu meminta Embun dan Esta menemui Toro. "Ya sudah nak, kalau mau menemui buruan temui, terus juga buruan mandi, sudah waktunya kita semua bersiap-siap." Esta menghampiri Embun yang badannya membelakangi orang-orang disekitar dengan berpura-pura sedang merapikan jilbab hitamnya. "Ayo kita jalan, kamu berdiri di sebelah kakak ya seperti tadi." Ucap Esta. Esta kembali mengedipkan matanya kearah Esta dan mereka berjalan membungkuk di depan semua orang yang dilewatinya. Ibu sekilas memperhatikan Embun, namun Embun mempercepat langkah kakinya ke arah pintu belakang. *** Bersambung.Apakah yang akan dilakukan Esta jika melihat keluarga yang dianggap saudara yang diagung-agungkan keluarganya Toro itu? Apakah mereka ada disana sehingga Esta berhasil melakukan misinya? Dan apa yang dikatakan Esta kepada Toro sebagai adik iparnya?
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil