“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”
Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampak menyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikan tempat duduk paling depan.Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadap besannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja. Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arah tetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.
Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yang rupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah dari kursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhak untuk duduk di kursi paling depan ini."Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu, kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagian depan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."
Ibu Sejuk hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ibu Sejuk merasa tidak enak kepada para keluarga dan tetangganya yang ikut mengantarkan putrinya.
Meski bukan rombongan mereka yang diusir, tetapi … bukankah sudah sepantasnya dua keluarga yang memiliki acara sama-sama ditempatkan di kursi paling depan?
‘Apa seperti ini sosok sebenarnya dari besannya?’
*** "Aku masih muak dengan sikap Embun semalam Ma, bisa-bisanya anak kita pingsan kok tidak mau merawat. Benar apa yang dikatakan Bu Minah. Istri seperti Embun memang sudah kelihatan buruknya." Ucap papa Toro yang berbisik kepada istrinya. "Kita bahas lain kali saja Pa masalah ini." Sahut mamanya Toro. Terdengar suara lagu mengiringi pengantin keluar. Embun berjalan Anggun dengan gaun yang ekornya menjuntai ke lantai. Sementara, Esta terlihat berada di belakangnya memperhatikan kebaya sang adik agar tetap terlihat sempurna.Saat tengah berjalan menuju pelaminan itulah … mata Embun membelalak. Sebab, di bangku deretan pertama, bukan rombongan keluarganyalah yang berada di sana. Melainkan rombongan orang-orang toksik yang diketuai oleh Bu Minah.
Segera, kepala Embun memindai bangku-bangku yang berjajar guna mencari tahu keberadaan keluarga juga tetangga yang mengantarnya.
‘Kenapa justru keluargaku yang ditempatkan di belakang?’ Embun membatin ketika menemukan rombongannya duduk agak ke belakang. Tidak bersanding bersama dengan keluarga Toro yang ditempatkan di barisan depan.
Setelah sampai di pelaminan dan mengatur kembali gaunnya agar tidak terlipat-lipat, Embun mencoba menormalkan deru napasnya. Tak bisa dipungkiri, di hari bahagianya ini … ia kembali menelan kecewa juga amarah.
Melihat raut wajah sang adik yang berubah mendung, Esta pun sigap menghampiri Embun dan berbisik,
"Jangan pikirkan apa-apa. Kamu sudah cantik, harus senyum dan tunjukkan pesonamu.” Esta memberikan senyumnya yang kemudian membuat Embun tertular mengukir senyum juga. “Kakak pergi menghampiri ibu dulu. Kamu tau, kan … kayaknya di sini keluarga kita dinomor duakan. Kamu yang sabar pokoknya ya, dengan keanehan mereka." Ucap Esta berbisik dan menepuk pundak Embun dengan lembut. Embun hanya mengangguk sembari melihat kursi bagian depan yang penuh dengan orang-orang toxic. Senyum yang singgah, kini hilang ketika Embun menatap satu persatu wajah orang-orang yang hanya suka mengadu domba itu. Sesekali Toro mengajak ngobrol Embun. Namun Embun justru mengalihkan ucapannya. "Kamu sudah makan belum Mas? Awas lho nanti pingsan lagi. Kan tidak laki sekali." Ucap Embun berbisik di samping pendengaran Toro. "Dih, siapa yang pingsan??" Jawab Toro merasa tak terima. Embun tak menggubris jawaban Toro. Pikirannya dipenuhi dengan rombongan yang telah mengantarkan ia ke kampung yang baru pertama ia kunjungi itu.Di sisi lain, Embun merasa was-was ketika nanti dirinya akan benar-benar ditinggal oleh orang tuanya, juga rombongan yang mengantarkan dirinya.
Papa Toro berjalan menghampiri saudara yang diagung-agungkan itu, dengan ramah dirinya terlihat mengobrol hangat dengan Bu Minah. Bola mata Embun seketika mengarah kepada ayahnya yang sedang bingung mencari tempat duduk. Mata Embun tiba-tiba berair seketika melihat pemandangan itu. ‘Bahkan saat masih ada keluargaku saja, sudah begini. Bagaimana kalau aku sudah sendiri? Keluarga angkat Mas Toro benar-benar keterlaluan.’ ** Hal yang tidak diinginkan Embun akhirnya tiba juga. Orang tua, keluarganya, dan para tetangganya berpamitan untuk meninggalkan Embun. Esta dan ibu Sejuk menahan bibirnya dengan posisi melebar di hadapan Embun. Mereka tersenyum tegar ke arah Embun. Namun Ayah Embun tak dapat mengokohkan senyumnya, dirinya memeluk dan mencium kening putrinya yang kini telah menjadi tanggung jawab lelaki lain. Air mata tumpah tak tertahan. "Hati-hati ya nak di sini." Ucap Ayah Embun lirih. Kemudian pria paruh baya itu menatap sang menantu. "Titip Embun ya.""Iya yah." Ucap Toro.
Kalimat serupa pun keluar dari para tetangga yang diucapkan untuk Toro. Papa Toro terlihat datar ketika acara pamitan itu berlangsung.Semua melambaikan tangan ke arah Embun ketika menaiki mobil. Baik Embun ataupun rombongan yang meninggalkannya sama-sama menangis.
Embun menangisi nasibnya yang mungkin akan lebih parah di sini dari sebelumnya. Sementara para tetangga, pun keluarga Embun sendiri merasa begitu khawatir dengan wanita lembut itu.
Toro mencoba menenangkan Embun. Namun air mata tak bisa diajak kerjasama. Mereka semua terus berjatuhan membasahi pipi Embun. Kedua mertuanya nampak cuek dengan kejadian itu. Mereka justru terlihat meninggalkan pelaminan dan masuk kedalam rumah.
Salah seorang perempuan rombongan keluarga angkat suaminya itu melontarkan kalimat kepada Embun. "Lebay sekali. Ditinggal begitu saja menangis. Besok juga ketemu lagi. Sudah tidak cantik, hobinya menangis pula!""Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil