“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yang ada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepat berada di dekat Bu Minah.
Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuat Embun sangat risih dengan sikap itu. Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinya memilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudah menunggunya. "Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun. Embun hanya menggelengkan kepalanya. "Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minah nampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu. Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubah kepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebih lembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskan untuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.
Ia mencari nomor Kakaknya, dan bertanya apa saja meski ia sudah tahu jawaban kakaknya tersebut.
[Kakak sudah sarapan belum?]Dengan cepat, tanda centang dua hitam berubah menjadi centang biru. Kemudian, sebuah pesan balasan pun muncul.
[Belum. Kamu juga belum, kan? Nanti kita barengan saja. Kamu sudah di sana kan? Ssudah mulai di make up?]
[Sudah kak, baru mulai.]
Petugas make up sangat ramah dengan Embun. Mereka berbincang seputar dekorasi pernikahan yang dinilai Embun agak janggal.
“Mbak, di sini apa masih model menggunakan dekorasi yang dipajang seperti di depan rumah?”
Perias tersebut terlihat mengerutkan dahi, kemudian menjawab. "Tidak dong mbak. Tapi kami melayani sesuai permintaan klien. Kami juga ada yang modern, kok."Embun mengangguk. “Oh saya pikir di sini karena dikampung jadi masih model seperti ini. Soalnya kebetulan ibu saya juga seorang pengusaha wedding organizer, jadi saya tahu persis bagaimana model setiap tahunnya.”
Dengan heran perias itu mendengar penjelasan dari Embun. Sontak mereka saling mengobrol semakin dekat tentang jasa yang dikenakan setiap permintaan.
Perias itu juga menjelaskan bahwa model yang dipajang di depan itu adalah model dekorasi yang booming tahun 1999. Sangat jauh dengan tahun saat ini yang berada tahun 2017.“Saya kira, waktu orang tua pengantin yang minta, itu atas permintaan calon pengantin wanita, Mbak.”
Embun hanya mengangguk sembari tersenyum tipis saat mendengar kalimat tersebut. ‘Jadi … yang pesan dekorasi itu mamanya Mas Toro?’
Seketika Embun teringat ucapan tetangganya saat pertama kali melihat dekor itu.
“Dekornya kalau di sini masih model ya yang seperti ini? Mungkin kalau tempat kita sudah dijadikan kayu bakar gebyoknya!”
Sekarang, Embun paham … dari mana kesan kuno yang muncul di dekorasi pernikahannya di desa ini.
"Kenapa, Mbak, kok melamun?" Tegur perias itu dengan menepuk pundak Embun yang seketika sedang teringat ucapan tetangganya.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya sedikit kagum sebab masih ada yang mau memilih dekorasi seperti di depan di saat gaya dekorasi terus berubah setiap tahunnya.” Embun mengulas senyum. “Alhamdulillah, artinya gebyok-gebyok yang sudah lama itu tidak mubadzir ya, Bu.”Embun melanjutkan, tak ingin membuat perias dan pihak WO tersinggung dengan kalimatnya.
"Sebenarnya alat ini juga sudah kami simpan di gudang Mbak, tapi karena Bu Jono memilih dekor ini, ya kami pakai. Kalau yang lain rata-rata sudah pakai ukiran gebyok yang baru." Jelas perias itu sembari mencukur bulu dahi lebat pada kening Embun.
"Oiya, nanti makan dulu ya mbak sebelum saya beri lipstik." Imbuhnya kembali. Embun menganggukkan kepalanya. **Di luar, saat Embun tengah dimake up, sosok yang sangat dihindari Embun terlihat kaget saat melihat wanita yang begitu mirip dengan menantu angkatnya.
"Loh Embun, kayaknya kamu tadi sudah masuk ke kamar. Kenapa masih di sini sekarang?"
"Saya Esta, bukan Embun. Ibu siapa, ya?" tanya Esta lembut kepada ibu Minah.
"Saya ibunya Toro."Mendengar kalimat tersebut, Esta sontak menilai dan berpikir … apakah ini ibu angkat yang dimaksud Embun? Sosook yang telah membuat adiknya menangis di hari bahagianya?
"Maksudnya, Ibu angkat?" Esta menjelaskan lagi maksud Bu Minah.
"Iya, kamu siapa? Kembarannya Embun?" Tanya Bu Minah.
"Saya kakaknya Embun.” Ucap Esta dengan kembali membalas matanya memperhatikan pakaian Bu Minah dari atas sampai bawah, Bu Minah nampak tak nyaman dengan tatapan Esta. ‘Oh, jadi ini ibu angkatnya? Hem, pantesan!’ Esta sedikit menjaga sikapnya didalam ruangan ini, karena masih ramai sekali orang lain. Dirinya merasa harus hati-hati berhadapan dengan orang licik seperti Bu Minah. Karena bisa saja dia memutar balikkan fakta. Mamanya Toro yang hanya diam seribu bahasa hanya bisa menunduk menyaksikan keberanian Esta. Diam-diam, Esta tersenyum puas. Sosok yang telah menyakiti adiknya ternyata tidak sekuat yang ia kira.Tak lama, perias meminta tolong pada Esta untuk mengambilkan sarapan untuk pengantinnya. Segera, kakak Embun itu meminta ibu-ibu yang sedang menyiapkan teh kepada rombongan tak beretika itu—rombongan ibu angkatnya Toro.
"Bude, maaf. Perias minta ambilkan makanan untuk adik saya, bisa minta tolong?” Esta melirik ke arah ibunya Toro yang kini juga tengah meliriknya tajam. Tak gentar, ia pun melanjutkan sindirannya. “Takutnya adik saya pingsan kayak pengantin pria semalam. Kan malah repot kalau pingsan."Esta kemudian ikut masuk bersama perias itu dengan membuka pintu kamar perias supaya bisa memperhatikan gerak-gerik rombongan orang-orang yang telah menyakiti adiknya itu.
"Saya buka dulu ya Bu pintu dan gordennya. Panas soalnya. Kasihan pengantinnya. Nanti kalau sudah mau ganti pakaian baru ditutup kembali." Jelas Esta dengan tangan yang mengikat gorden itu. Dirinya lantas duduk di lantai di dalam kamar dan tepat berada di dekat pintu itu sembari tersenyum sinis ke arah Bu Minah. Ruangan berubah menjadi sepi ketika Esta datang. Tak nampak batang hidung Toro di dalam ruangan itu. Embun tak menanyakan keberadaan Toro. Dirinya hanya pasrah dengan yang sudah disiapkan. Obrolan di dalam kamar tentang wedding organizer antara Esta dan perias itu mewarnai pagi itu. Semua orang yang ada di ruang tamu justru menjadi pendengar obrolan Esta dan perias itu. Di sisi lain, Toro sedang mandi di rumah sepupunya yang berada di sebelah rumah orang tuanya. Dirinya membayangkan ucapan semua orang termasuk rombongan ibu Minah yang menyalahkan Embun karena tidak mau merawat dirinya yang sedang sakit. Ditambah adiknya yang mengatakan bahwa Embun menolak untuk menjenguk saat itu, padahal adiknya tahu bahwa sebenarnya yang berbicara kepadanya adalah Esta. Bukanlah Embun. Toro tidak bisa berbuat apa-apa karena bahkan dirinya pingsan adalah hasil rekayasanya saja agar mendapat perhatian dari Embun. Namun, siasatnya tidak berhasil. Malah, papanya Toro ikut pingsan membersamai rekayasa pingsannya Toro.Saat acara dimulai, Ibunya Embun bersama tetangga duduk di kursi yang telah disusun rapi. Di hati kecilnya, beliau merasa ada yang disembunyikan oleh anaknya, Embun.
Dari dalam rumah, keluar beberapa rombongan yang dikatakan sebagai saudara angkatnya Toro. Ibu Embun jadi penasaran … mana yang merupakan ibu angkat Toro? *** Bersambung.“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil