"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengan suara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diri di kasur usai menemui tamu yang datang.
Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arah Toro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepala yang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur.
"Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segera bangun dan duduk tepat berada di depan Embun. "Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dari awal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucap Embun dengan menatap tajam ke arah Toro. "Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasaran dengan cerita Embun. Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkat Toro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesekali melihat ke arah pintu. "Iya terus, kamu kenapa melihat ke arah pintu, tidak akan ada yang dengar suara kamu. Lanjutkan ceritamu!" Kembali, Embun melanjutkan cerita. Kali ini, ia mencoba lebih tenang. Semua ia ceritakan sama seperti apa yang dialaminya, tanpa dilebih-lebihkan.Selesai itu, wanita yang kembali menangis karena teringat akan kata-kata tajam mertuanya itu pun mengerjap, menunggu respons sang suami yang masih bergeming. “Lalu tanggapan kamu bagaimana Mas?”
Sebagai seorang suami, tentu Embun berharap banyak dari Toro. Minimal, suaminya itu bisa jadi perisainya, pelindungnya dari kata-kata jahat atau menjadi obat dari luka yang telah ditorehkan oleh ibu angkatnya.
Namun, bukannya pembelaan yang Embun dapatkan, justru jawaban tak acuhlah yang ia dengar dari sang suami.
"Ya terus aku suruh gimana? Sudahlah tidak usah dibahas, kita tidur saja. Besok kan kita masih ada acara seharian." Toro langsung berbaring kembali di tempat tidur.
Hati yang makin terasa pedih melihat reaksi suaminya yang terkesan biasa saja melihat Embun yang bercerita dengan air mata yang berderai. Ternyata Toro lebih memihak kepada ibu angkatnya dibandingkan membela istrinya. "Kamu bagaimana sih Mas, baru seminggu kamu menjabat tangan ayahku mengucapkan ijab qobul, berjanji akan melindungiku di dunia dan diakhirat, tapi sepertinya kamu biasa saja ketika istrimu terluka dan dilukai orang lain.” Embun menyuarakan kekecewaannya. “Maaf Mas, aku malam ini tidur sama Kak Esta dan bermalam dengan keluargaku yang selalu tidak berubah untuk melindungiku," ucap Embun dengan memutar badannya, memakai jilbab kembali. Dengan langkah cepat, Embun keluar dari kamar. Sesekali ia membungkuk saat bertemu dengan seseorang yang dilewatinya. Kumpulan air mata di matanya membuat malam yang sudah gelap semakin gelap. Lelehan air mata yang terus menetes menemaninya melangkah itu kemudian ia hapus dengan jilbab yang ia kenakan saat telah mendekati kamar keluarga dan tetangganya.Di sana, Esta, kakak Embun masih duduk seolah tengah menunggu kehadiran adiknya. Dengan tangan yang menepuk-nepuk lantai mengkode agar Embun duduk segera mendekatinya. "Gimana dik? apa yang terjadi di sana? Ibu angakatnya Toro membuat ulah lagi?"
Embun menggelengkan kepalanya. "Terus kenapa kamu malah tambah menangis seperti ini?" Ucap Esta mengerutkan dahinya. "Jangan berisik Kak, kita tidur saja, ini sudah malam. Nanti semua orang bisa terbangun kalau kita berisik." Jawab Embun dengan telunjuk berada di tengah bibirnya menandakan agar obrolannya harus lebih dikecilkan. "Ya sudah kalau begitu, kamu cepat cerita. Siapa yang membuat kamu belum-belum sudah menangis seperti ini. Toro?" Ucap Esta mendekati telinga Embun. Embun kembali menganggukkan kepalanya. "Kenapa dia? Ayo, cerita!" Ucap Esta dengan menjauhi telinga Embun dengan suara yang bertambah volumenya. "Sssttt, jangan berisik kak, nanti semua orang bangun." Ucap Embun dengan alis mengerut dan telunjuk yang berada di tengah bibirnya. "Makanya cerita!" Jawab santai Esta. "Aku tadi berniat cerita sama Mas Toro, ta-tapi Mas Toro sikapnya diluar dugaanku. Ternyata Mas Toro malah membela sikap ibu angkatnya yang membuat hatiku makin sesak rasanya."Esta mengelus punggung Embun yang kembali menangis. "Toro tidak bijak. Belum-belum dia tidak bisa melindungi kamu. Sudah jangan menangis terus, mata kamu sudah bengkak sekali. Pasti paginya semakin bengkak itu mata kamu."
Bukannya makin reda, namun kelembutan sikap Esta membuat Embun justru semakin berderai air mata.
"Eh, kok malah makin kencang nangisnya?" Ucap Esta menenangkan adiknya. "Assalamu'alaikum." Suara perempuan dari pintu belakang.Dengan bersamaan Embun dan Esta menengok ke arah pintu tersebut. Ternyata yang datang adalah Tuti, adik ipar Embun. Karena mata Embun bengkak, ia meminta Esta untuk menemui adik iparnya itu.
Esta kemudian meminta Embun untuk berbaring saja dan tidur, karena Embun juga sudah terlihat lelah. Dengan kaki yang perlahan berjalan ke arah pintu belakang, Esta menemui Tuti."Adiknya Toro ya?" Tanya Esta dengan menyalami Tuti.
"Iya Mbak, mau ngasih tau kalau Mas Toro sekarang pingsan." Ucap Tuti. "Pingsan? Loh kenapa? Tapi saya nggak bisa bangunin Embun, dia sudah tidur. Saya Esta kakaknya Embun.” Esta mencoba memainkan sandiwaranya. “Embun juga kayaknya kelelahan makanya sudah tidur, tapi dia tidak sampai pingsan. Memangnya belum panggil dokter?”“Ah, anu—sudah, Mbak. Sudah dipanggilkan dokter.”
"Nah, kan itu sudah ada dokter. Berati sudah ada yang merawatnya ya. Jangan khawatir, malah yang merawat lebih ahli di bidangnya. Soalnya Embun benar-benar kelelahan Tut. Bayangkan, kakak kamu yang laki-laki saja sampai pingsan, apalagi Embun yang perempuan. Kalau besok dia pingsan dan sakit, lalu acara besok bagaimana?" Ucap Esta.
"Oh, ya sudah kalau gitu Mbak, saya pergi dulu." Jawab Tuti dengan wajah polosnya. Tanpa rasa curiga dengan Tuti, Esta dengan percaya bahwa adik ipar Embun tidak akan mungkin berbuat yang melampaui batas. Esta kemudian menghampiri Embun dan menceritakan bahwa Toro sedang pingsan. "Toro katanya pingsan tuh." Ucap Esta. "Pingsan kenapa? kelelahan? bukannya seharusnya aku ya yang layak untuk pingsan? Itupun jika permasalahannya adalah kelelahan. Kan aku perempuan, dan dia laki-laki. Seharusnya dia lebih gagah dan tahan banting dong dibandingkan aku?!" Ucap Embun protes. *** Bersambung."Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil
"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah. "ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar. Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar. "Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun. Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya. "Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun. Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.
“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampakmenyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikantempat duduk paling depan. Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadapbesannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja.Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arahtetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yangrupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah darikursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhakuntuk duduk di kursi paling depan ini. "Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu,kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagiandepan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."Ibu Sejuk hanya ters
“Selamat pagi.” Embun kemudian tersenyum kepada orang yangada di dalam dan membungkukkan badan menuju ke kamar Toro yang pintunya tepatberada di dekat Bu Minah.Mata yang melihat dengan sinis dari bawah hingga ke atas melihat Embun membuatEmbun sangat risih dengan sikap itu.Embun masih sabar dengan perlakuan saudara angkat keluarganya Toro itu. Dirinyamemilih untuk berdiam diri di dalam kamar Toro dengan tukang make up yang sudahmenunggunya."Sudah makan belum, kamu?!" Tanya mamanya Toro ketus kepada Embun.Embun hanya menggelengkan kepalanya."Jam segini kok belum makan, nanti pingsan saja." Imbuhnya. Bu Minahnampak sumringah mendengar ucapan mamanya Toro kepada Embun saat itu.Entah setan apa yang merasuki mamanya Toro sehingga sikapnya sedikit berubahkepada Embun. Padahal sebelumnya, mama kandung suaminya itu bersikap lebihlembut padanya.Alih-alih memikirkan kejanggalan tersebut, ia pun memutuskanuntuk membuka gadgetnya dan mengirim pesan melalui aplikasi hijau.Ia menca
Embun merasakan tangan Esta menggenggam erat tangannya. Iamasih merasa was-was, khawatir kembali menerima kalimat toksik saat nanti bertemudengan ibu angkat Toro lagi."Kak, bagaimana kalau nanti aku melihat orang itu? Akutidak bisa berpura-pura tak terluka di depan semua orang. Rasanya berat sekalikak." "Sudah, tidak usah dipikirkan. Itu urusan kakak."jawab Esta tegas."Kakak mau apa? jangan melakukan hal yang fatal ya kak. Kasihan Ayah danIbu." Sahut Embun.Esta tak menjawab tetapi semakin mempercepat langkah kakinya, hingga membuatEmbun tertarik."Agak cepat, biar kita bisa cepat juga siap-siap. Kan kamu harus di makeup juga." Ucap Esta dengan suara naik turun karena melajukan langkahkakinya.Sesampainya di sana, Embun dan Esta disuguhi dengan pemandangan yang super epikdengan seseorang yang disebut-sebut sedang pingsan karena kelelahan. Namundirinya terlihat sehat dan santai dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri,juga ditambah dengan gadget yang ada di tangannya.
"Sudah kamu istirahat saja. Besok kamu kan sehariandipajang di pelaminan itu.” Esta mengusap perlahan punggung Embun dari atas ke bawahuntuk menenangkan adiknya yang sedang bersedih. “Yang penting kamu hati-hati.Besok kami pulang, do'akan kami juga supaya selamat sampai tujuan. Semoga kamubisa cepat berbaur dengan keluarga Toro di sini.”Kesunyian malam itu membuat tangis wanita berusia 24 tahunitu tak bebas untuk menangis karena tetangga dan keluarganya yang sudahtertidur. Embun sesekali membungkam mulutnya dengan baju yang ia kenakan agartangisnya tak bersuara walau hanya sedikit.Embun kemudian berbaring di lantai yang beralaskan karpet tipis. Sepasang kakakberadik itu mencoba memanfaatkan malam terakhir mereka bisa bersama. Namun, tak lama … suara salam terdengar lagi dari luar."Assalamu'alaikum." Esta kemudian duduk dan menengok ke arah pintu tersebut. Adaseorang bapak-bapak berdiri di tengah pintu itu. Esta berdiri dan menyahutjilbab instan yang ada di sampingnya la
"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengansuara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diridi kasur usai menemui tamu yang datang.Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengahmalam.Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arahToro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepalayang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur."Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segerabangun dan duduk tepat berada di depan Embun."Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dariawal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucapEmbun dengan menatap tajam ke arah Toro."Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasarandengan cerita Embun.Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkatToro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesek
"Ma, Embun pakai baju yang mana ya untuk menemui tamu?" Ucap Embun malam itu yang sedang berada di kampung Toro dalam acara ngunduh mantu."Pakai itu saja sudah bagus, sudah sopan. Lagi pula siapa yang akan melihat malam-malam begini. Orang-orang juga tidak akan memperhatikan." Jawab mama mertua Embun dengan suara perlahan didalam kamar Embun dan Toro. Embun lalu berdiri didepan kaca untuk merapikan sedikit riasannya. Menambah keterangan lipstik yang sudah memudar di bibirnya, tak lupa juga menambah tipis bedak pada wajahnya. Embun sengaja tidak memakai blush-on karena memang suasana saat itu sudah lewat jam 12 malam. Embun dan keluarga beserta tetangganya yang saat itu ikut mengiringi Embun dalam acara ngunduh mantu, diminta untuk menginap karena perjalanan dari kampung Embun ke kampung Toro membutuhkan waktu selama 12 jam karena perjalanan yang sangat berkelok juga jalan yang masih banyak lubang. Ketika Embun sedang merapikan jilbabnya dengan memberi sedikit aksesoris Bros kecil