Berabad-abad setelah kepergiannya ke kayangan, Ratu Wakaaka kembali ke Pulau Buton. Kedatangannya tidak hanya membawa angin segar, tetapi juga konflik dan misteri. Buton yang dulu damai kini dihadapkan pada masalah lingkungan, perpecahan sosial, dan ancaman kekuatan jahat. Wakaaka, dengan kecerdasan dan kekuatan magisnya, harus berusaha menyatukan kembali rakyat Buton dan mengalahkan kekuatan gelap yang mengancam pulau itu.
View MoreMalam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah
Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k
Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan
Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langit
Mentari menetes perlahan dari sela-sela kanopi Hutan Lambusango, mengurai embun menjadi kristal bening yang memantulkan warna-warni alam. Di antara desir angin yang membawa aroma tanah basah dan daun mengering, Lintang berjalan menyusuri jalan setapak yang telah ditumbuhi semak bunga liar. Setiap langkahnya seperti membuka lembaran baru dalam kitab alam yang telah lama tertutup, seolah pohon-pohon tua itu menyambutnya kembali dalam pelukan sunyi yang menyimpan ribuan rahasia.Hutan ini bukan sekadar rimba belantara, melainkan perpustakaan hidup. Di sinilah peradaban tersirat dalam suara-suara burung yang bersahutan, dalam diamnya jamur yang tumbuh di batang kayu lapuk, dan dalam kehadiran tumbuhan langka yang tumbuh tanpa pernah disapa dunia luar. Lambusango menyimpan harta tak ternilai—bukan emas atau logam mulia, melainkan hasil hutan non-kayu yang menjadi cermin dari peradaban l
Di balik riuh globalisasi yang menggemparkan, di mana pusat pertumbuhan Amerika Serikat berusaha memikul beban pembangunan dengan keras namun penuh perlawanan, terbitlah harapan baru bagi tanah yang telah lama menyimpan kisah abadi—Buton. Di negeri yang tak pernah lelah menatap cakrawala, Lintang berdiri di ambang perubahan, menyaksikan dunia yang bergolak dengan ambisi dan kepentingan yang tak terhingga, namun juga penuh dengan idealisme yang menyala-nyala.Pusat pertumbuhan AS, yang dulu menjadi simbol kekuatan ekonomi dunia, kini menghadapi perlawanan global yang menentang arus dominasi globalisme yang menindas keberagaman. Dalam simfoni kekacauan itu, muncul peluan-peluang bagi bangsa yang telah lama terlupakan oleh kebijakan dunia, di mana nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal kembali menggema sebagai benteng yang melindungi identitas dan martabat manusia.Di Amerika, kebijakan proteksionis memicu serangkaian kenaikan tarif dagang, menggoyahkan pasar gl
Langit Buton terbentang luas, seperti kanvas langit yang dihiasi dengan kilau bintang dan sinar rembulan yang bagai mengukir puisi di atas permukaan dunia. Malam itu, ketika angin berhembus lembut dari lautan yang tak pernah berhenti menyanyikan lagu-lagu purba, Lintang berdiri di atas bukit tinggi, memandangi cakrawala yang seolah menyimpan ribuan rahasia tak tertulis. Di sanalah, di titik temu antara langit dan bumi, ia merasakan getaran zaman—sebuah panggilan yang telah lama terpendam dalam sanubarinya, menuntunnya menuju suatu takdir yang melampaui jangkauan pikiran fana.Lintang telah melewati berbagai liku; ia telah menari dalam Balaba, menelusuri naskah-naskah kabanti yang dihiasi tinta kisah leluhur, dan kini ia menjadi penjaga warisan yang harus dipertahankan di tengah pergolakan dunia modern. Ia tahu, bahwa tanah Buton bukan hanya sekadar hamparan bumi, melainkan harta karun yang mengandung darah, air, dan napas para pendahulu yang pernah berjuang—satu w
Malam Buton menjelang fajar dengan keagungan yang tak terperi; langit memancarkan kemilau bintang dan rembulan yang seolah menyimpan rahasia yang telah lama ditulis oleh para leluhur. Di tengah heningnya malam, Lintang berdiri di tepi hutan Lambusango, di mana angin lembut menari bersama dedaunan basah yang mengantarkan harum tanah basah. Di situ, alam dan waktu seakan berpadu menjadi satu, menyusun simfoni hidup yang menggetarkan jiwa.Dalam kesunyian itu, Lintang merasakan denyut nadi tanah yang berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati yang telah lama berkelana dalam ranah kebijaksanaan. Setiap batu, setiap dahan, setiap hela napas alam, seolah mengajaknya untuk kembali ke akar—untuk memahami bahwa setiap butir pasir adalah saksi bisu perjalanan sejarah yang tak ternilai. Ia tahu, bahwa tanggung jawabnya bukanlah sekadar mewarisi tanah, melainkan juga menjaga agar warisan leluhur tidak luntur oleh waktu dan tamparan zaman yang bergulir tanpa henti.Subuh yang Menggi
Langit Buton pada pagi itu seolah membuka tirai keabadian, membiarkan sinar mentari menyelinap perlahan dari celah-awan tipis yang menggantung layaknya kelambu raksasa, menyiram bumi dengan cahaya keemasan yang lembut nan mempesona. Di antara desiran angin yang membawa aroma tanah basah dan embun pagi, Lintang berjalan pelan di tepian hutan Lambusango. Setiap langkahnya adalah doa yang tertulis dalam denyut nadi, setiap tapak kaki adalah jejak sejarah yang tak terhapuskan oleh waktu. Bumi Buton, yang telah menyimpan rahasia-rahasiannya sejak zaman para leluhur, kini kembali mengundang putra-putrinya untuk menyelami makna hidup yang hakiki.Di kejauhan, ombak laut yang bergulung dengan anggun memeluk pantai, mengalunkan simfoni alam yang menggetarkan jiwa. Suara burung-burung malam yang masih berkicau memberi irama pada napas semesta, seakan alam menyuarakan kabanti yang tak tertulis, namun tersampaikan lewat bisikan angin dan riak ombak. Dalam keheningan itu, Lintang terhanyut dalam r
Angin sepoi-sepoi membawa aroma harum damar dan tanah basah. Hutan Lambusango, yang konon menjadi saksi bisu kelahiran para raja di Pulau Buton, kini terasa lebih hidup dari biasanya. Sinar matahari pagi menembus dedaunan, menciptakan corak-corak indah di lantai hutan yang dipenuhi lumut hijau. Di tengah hutan yang masih asri itu, berdiri seorang perempuan dengan kecantikan yang memukau. Rambut hitam panjangnya berkibar tertiup angin, matanya berkilau memancarkan cahaya biru lembut. Dialah Ratu Wakaaka, penguasa legendaris Pulau Buton yang kembali ke dunia fana.Sejak kedatangannya, Wakaaka merasakan ada ikatan yang kuat menariknya ke Hutan Lambusango. Ia merasakan kehadiran sesuatu yang familiar, sebuah energi yang membuatnya tenang namun juga rasa penasaran. Dengan langkah ringan, ia berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah lama tidak terjamak. Di tengah perjalanan, Wakaaka tiba-tiba terhenti. Di depannya, berdiri sebuah pohon bambu tua yang sangat besar. Pohonnya tampak berbeda...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments