Beranda / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 7: Pertemuan di Hutan

Share

Bab 7: Pertemuan di Hutan

Penulis: Oceania
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-21 07:01:10

Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.

Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.

“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”

Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi dengan Sinta. Mereka duduk di sebuah pondok kecil di tengah hutan, dikelilingi oleh suara alam yang menenangkan. Sentuhan tangan Jun-hoo membuat napas Sinta berdetak kencang, memori lamanyanya terakses menuju pertemuannya dengan seseorang di bukit Lelemangura beberapa abad yang lalu, terbayang pada pamannya dari Mongol Dung Khu Cangia, wajah Jun-hoo mengingatkan itu kepada DNA yang terdalam dalam dirinya, jiwanya menghentak pada Lorong waktu yang panjang. Jiwa Ratu Wakaaka menguasai dirinya.

“Hutan Lambusango ini adalah salah satu permata yang masih tersisa di dunia,” kata Jun-hoo. “Tetapi seperti semua permata, ia terancam. Saya telah melihat apa yang terjadi di tempat lain—hutan dihancurkan untuk kayu atau lahan pertanian. Itu tidak boleh terjadi di sini. Saya juga mendengar bahwa hutan ini menyimpan banyak rahasia dan sekaligus harta warisan, tinggal generasi muda yang akan mengelola dan mengembangkannya”.

Sinta mengangguk. “Saya setuju, tetapi melindungi hutan ini bukan hal yang mudah. Banyak pihak yang tertarik pada kekayaannya, dan masyarakat lokal kadang merasa terjebak antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam.”

Jun-ho tersenyum tipis. “Itu sebabnya saya di sini. Saya ingin menawarkan cara baru untuk melindungi hutan ini—dengan uang dan mitos.”

Sinta mengernyitkan dahi. “Apa maksud Anda?”

Jun-ho membuka ponselnya dan menunjukkan akun di salah satu blockchain terkenal, yang menampilkan aset digital senilai jutaan bahkan milyaran dolar miliknya. Sinta terdiam, menyadari bahwa ia sedang berbicara dengan salah satu tokoh besar di dunia cryptocurrency—nama yang ia pernah dengar tetapi tidak pernah bayangkan akan bertemu langsung. Apalagi ini di tengah hutan, Sinta semakin penarasaran atas pertemuan itu, “Pasti ada yang hilang dalam diri Jun-hoo, mengapa harus datang sejauh ini. Ia sedang mencari dirinya, menemukan pengabdian, termasuk juga dengan belahan jiwanya” pikir Sinta lebih penasaran.

“Saya adalah bagian dari BCT,” kata Jun-hoo, menyebut nama komunitas besar yang mengelola cryptocurrency berbasis teknologi hijau. “Kami menggunakan teknologi blockchain untuk mendanai proyek-proyek konservasi. Dan saya ingin membawa teknologi itu ke sini.” Penjelasan itu membuat Sinta semakin penasaran, jangan sampai ia ingin menemukan sumber energi alam di sini, ia mungkin mencari Torium di dalam hutan ini. Ingin mengembangkan energi hijau di sini. Sinta yang merupakan jelmaan Ratu Wakaaka mengetahui banyak tentang potensi hutan ini, bahkan ia mengetahui candangan uranium dan torium yang ada di dalam hutan ini, terlebih emas, nikel, minyak, semua ada di sini, tetapi siapapun yang cari membutuhkan pintu masuk yang harus dipahami.

Sinta masih skeptis. “Bukankah dunia digital ini sering kali menjadi jebakan? Banyak masyarakat kecil yang kehilangan aset karena janji-janji manis investasi seperti ini.” Pikiran Sinta pada banyaknya masyarakat yang kehilangan tanah saat berbisnis di dalam dunia digital tersebut, entah membeli asset criptocarency ataukah itu adalah judi online.

Jun-hoo mengangguk, seolah memahami kekhawatirannya. “Itu benar. Banyak program yang gagal karena dijalankan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi kami berbeda. Kami tidak hanya berbicara tentang uang, tetapi juga tentang nilai. Blockchain yang kami kembangkan berbasis pada keterlacakan dan transparansi. Kami berhadap, sebagian aset yang dikumpulkan akan digunakan untuk melindungi Hutan Lambusango, dan masyarakat lokal akan menjadi bagian dari proses ini.”

Jun-hoo melanjutkan, “Selain teknologi, kita juga perlu menggunakan kekuatan budaya. Masyarakat di seluruh dunia menghargai cerita dan mitos. Kita bisa menggabungkan mitos lokal Pulau Buton dengan pendekatan konservasi modern. Misalnya, kita bisa menciptakan program wisata yang tidak hanya menampilkan keindahan hutan ini, tetapi juga legenda-legenda seperti Ratu Wakaaka, legenda La Ode Wuna bahkan menarik adalah Legenda Oputa yi Koo.”

Sinta termenung. Ide itu terdengar logis, tetapi ia masih merasa ada risiko besar. “Bagaimana Anda bisa yakin bahwa masyarakat akan menerima ini? Tidak semua orang percaya pada teknologi, terutama di sini. Beberapa tahun lalu, banyak masyarakat yang rugi pada program criptocarency, mereka masih trauma mengenai itu”, bahkan mereka hampir tidak dapat membedakan dengan judi online.

Jun-hoo tersenyum. “Itu tugas kita untuk mendidik. Kita tidak hanya membawa teknologi, tetapi juga pengetahuan tentang cara menggunakannya dengan bijak. Dan Anda, Bu Sinta, adalah kunci dari semua ini. Anda adalah penghubung antara dunia tradisional dan modern. Tanpa Anda, ini tidak akan berhasil.” Jun-hoo terbayang pada banyaknya warga negaranya yang berinvestasi pada crypto sehingga mereka mendapatkan banyak dana untuk membiayai bisnis mereka.

Setelah pertemuan itu, Sinta menghabiskan malam di pinggir Hutan Lambusango, di sebuah pondok di Desa Labundo-bundo, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata Jun-hoo terus terngiang di pikirannya. Ia tahu bahwa dunia digital memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif, tetapi ia juga sadar akan bahaya yang mengintai di balik teknologi itu.

Di sisi lain, gagasan menggabungkan mitos lokal dengan konservasi modern terasa seperti panggilan takdir baginya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan budaya. Namun, apakah ia siap untuk membuka jalan baru yang penuh risiko ini?

“Dua dunia,” gumamnya, “tradisi dan teknologi, seperti dua sisi dari satu koin. Jika aku bisa menyatukan mereka, mungkin kita bisa melindungi hutan ini dan masyarakatnya.”

Keesokan harinya, Sinta memutuskan untuk mengumpulkan masyarakat lokal, pemimpin adat, dan generasi muda di sebuah balai desa. Ia ingin mendengar pendapat mereka sebelum membuat keputusan.

Jun-hoo juga hadir, tetapi ia memilih untuk mendengarkan tanpa berbicara. Ia tahu bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus diperoleh dengan waktu dan tindakan nyata.

Sinta memulai pembicaraan dengan menjelaskan gagasan konservasi modern yang didukung teknologi. Ia juga berbicara tentang pentingnya menjaga mitos lokal sebagai bagian dari identitas budaya.

“Ini bukan tentang meninggalkan tradisi atau mengadopsi teknologi secara buta,” katanya. “Ini tentang bagaimana kita menggunakan keduanya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Hutan kita adalah kekuatan satu-satunya yang kita miliki. Selama hutan ini dapat kita lindungi, maka semua orang akan datang ke sini, siswa-siswa Eropa dan bahkan dari berbagai belahan bumi akan datang ke sini untuk riset di Hutan Lambusango. Kita semua sudah mendapatkan nilai uang, dan saya juga tahu banyak pertukaran budaya sudah terjadi, bahkan lebih dalam, ada cinta di lokasi ini” ungkap Sinta pagi itu. Sinta membayangkan seorang temannya yang pernah bekerja sebagai guide dan ia menjadi santapan cinta dari wisatawan yang didampinginya. Ia melayani semunya.

Seorang perempuan cantik, yang sedang KKN di tempat itu tertegun, “Begitu banyak yang terjadi di sini, kearifan lokal dalam konservasi, crypto di sisi yang lain, serta hadirnya mahasiswa internasional di sini, saya sangat beruntung untuk hadir di sini”, pikirnya. Ia hanya bergumam, tanpa mengatakan apa apa, tetapi tatapan mata Jun-hoo membuat dia lebih nyaman, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa apa. Melihat wajah Sinta yang mirip artis Korea adalah ruang lain dalam pikiran Ananda.

“Seorang kakek yang sangat diharagai di daerah itu, mebayangkan cerita Togo Motondu, kisah pernikahan sedarah yang mengutuk daerah ini, dan terbayang pada legenda Togo Motondu, “Wajah Sinta dan Jun-hoo sangat mirip”. Ia hanya membayangkan perjalanan cinta yang pernah terjadi di negeri ini dan menjadi kutukan. Tetapi ia membayangkan bahwa kemiripan itu adalah jejak genetik yang mungkin datang dari daratan China, Mongol.

Di akhir pertemuan, sebagian masyarakat tampak tertarik, sementara yang lain masih skeptis. Namun, Sinta tahu bahwa langkah pertama telah diambil. Dengan hati-hati, ia mulai merancang program konservasi yang menggabungkan mitos Ratu Wakaaka, teknologi blockchain, dan partisipasi aktif masyarakat lokal. Jun-hoo hanya terdiam, namun ia penasaran mengapa Hutan Lambusango masih tetap bertahan di tengah masyarakat lokal yang selalu bersinergi dengan hutan.

Saat malam tiba, ia berdiri di tepi hutan, memandang langit berbintang. Serta ketika tatapannya ke arah teluk Lawele, ia menemukan kelap-kelip lampu perahu nelayan. Ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa ia berada di jalan yang benar. Terbayang olehnya kisah perang antara La karambau dengan Kapten Kapal Belanda, perang yang kedalaman motivnya adalah Hutan Lambusango.

“Jika aku bisa menyatukan dua dunia ini,” pikirnya, “Maka kita bisa melindungi apa yang benar-benar berharga. Hutan Lambusango, bukan hanya tentang kayu, tetapi tentang kearifan lokal masyarakat Buton”.

Sinta berdiri di tepi hutan kuno, angin berdesir melalui kanopi pepohonan yang menjulang tinggi. Rasa tenang menyelimutinya saat dia merenungkan hamparan hijau yang luas. Hutan, dengan rahasia dan keajaibannya, selalu memiliki tempat khusus di hatinya. Sekarang, itu akan menjadi panggung untuk konvergensi dunia, yang lama dan yang baru.

Jun-hoo, pengusaha misterius, telah kembali ke pulau itu, kali ini dengan tim ahli. Mereka dipersenjatai dengan teknologi terbaru, siap untuk memulai proyek terobosan yang akan memadukan tradisi dengan inovasi. Jun-hoo, pengusaha misterius, telah kembali ke pulau itu, kali ini dengan tim ahli. Mereka dipersenjatai dengan teknologi terbaru, siap untuk memulai proyek terobosan yang akan memadukan tradisi dengan inovasi. Memadukan kearifan lokal masyarakat Buton dengan teknologi modern.

"Kita akan membuat kembaran digital dari hutan ini," Jun-hoo menjelaskan, matanya berbinar karena kegembiraan. "Representasi virtual yang akan memungkinkan kami memantau kesehatannya, memprediksi ancaman, dan melibatkan orang-orang dari seluruh dunia."Kita akan membuat kembaran digital dari hutan ini," Jun-hoo menjelaskan, matanya berbinar karena kegembiraan. "Representasi virtual yang akan memungkinkan kami untuk memantau kesehatannya, memprediksi ancaman, dan melibatkan orang-orang dari seluruh dunia."

Sinta tertarik. Dia telah mendengar tentang teknologi seperti itu, tetapi dia skeptis tentang dampak potensialnya pada esensi spiritual hutan. "Tapi bagaimana dengan sihir, mitos, jiwa tempat ini?"  dia bertanya. Sinta tertarik. Dia telah mendengar tentang teknologi seperti itu, tetapi dia skeptis tentang dampak potensialnya pada esensi spiritual hutan. "Tapi bagaimana dengan sihir, mitos, jiwa tempat ini?" tanyanya.

Jun-hoo tersenyum. "Kami di sini bukan untuk menggantikan sihir, tetapi untuk meningkatkannya. Kami ingin menggunakan teknologi untuk berbagi cerita dan tradisi tempat ini dengan dunia. Kami dapat menciptakan pengalaman imersif, tur virtual, dan program pendidikan yang akan menginspirasi orang untuk melindungi hutan ini." Jun-hoo tersenyum.

Saat hari-hari berubah menjadi minggu-minggu, tim bekerja tanpa lelah, memasang sensor dan kamera di seluruh hutan. Mereka mengumpulkan data tentang segala hal mulai dari kelembaban tanah hingga pola satwa liar. Sementara itu, Sinta sibuk mengorganisir masyarakat setempat, mengajari mereka tentang proyek dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Saat hari-hari berubah menjadi minggu-minggu, tim bekerja tanpa lelah, memasang sensor dan kamera di seluruh hutan. Mereka mengumpulkan data tentang segala hal mulai dari kelembaban tanah hingga pola satwa liar. Sementara itu, Sinta sibuk mengorganisir masyarakat setempat, mengajari mereka tentang proyek dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.

Suatu hari, saat menjelajahi bagian hutan yang tersembunyi, Sinta menemukan sebuah gua kuno. Di dalamnya, dia menemukan serangkaian ukiran yang menggambarkan sejarah hutan dan penjaganya. Di antara ukiran-ukiran, dia melihat kemiripan yang mencolok dengan Jun-hoo. Rasa dingin mengalir di punggungnya. Mungkinkah ada hubungan yang lebih dalam antara dia dan hutan?

Ketika kembaran digital hutan mulai terbentuk, menjadi jelas bahwa Jun-hoo memiliki tujuan yang lebih dalam. Dia bukan hanya seorang pengusaha; Dia adalah seorang penjaga, pelindung alam. Dia datang ke Pulau Buton, tertarik oleh energi kuno hutan dan potensinya untuk menyembuhkan planet ini.

Sinta dan Jun-hoo, dua individu dari dunia yang berbeda, dipersatukan oleh hasrat bersama mereka terhadap hutan. Mereka menyadari bahwa dengan menggabungkan kearifan tradisional dengan teknologi modern, mereka dapat menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi pulau dan penduduknya. Sinta membayangkan bahwa masyarakat dekat hutan juga masih membutuhkan makanan untuk melanjutkan kehidupan. 

"Jun," sapa Sinta dengan lembut, matanya menatap mata indah itu, lelaki dua tahun di atasnya.  "Bagaimana kita mengantisipasi masyarakat di sekitar hutan?

"Iya, saya sudah membayangkan untuk membangun masyarakat dengan menyuruh mereka untuk kembali kepada habitat mereka, mereka bisa mengembangkan industri rotan, serta gula aren dan madu sebagai produk hutan ini", Jun hoo meyakinkan dirinya dan Sinta serta timnya. Sinta semakin penasaran, "Yah, mungkin kita akan mendorong bisnis hutan non kayu. 

"Kita bisa mengekspor itu ke luar negeri, tanpa merusak hutan ini", jawab Jun-hoo. Semuanya terdiam, masing-masing tetap membayangkan bagaimana cara mereka menyatukan antara hutan, mitos dan criptocarency.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 12: Sungai Bembe dan Bayangan Masa Lalu

    Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 13: Suara dari Hutan

    Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 14: Perlawanan di Lambusango

    Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 15: Langkahi Mayat Kami

    Di bawah sinar matahari pagi yang menyilaukan, suasana di Lambusango semakin tegang. Para parabela—pemimpin adat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur—berdiri di barikade yang semakin kokoh. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai pagar hidup, menolak keras masuknya alat berat yang ingin merusak hutan. Dengan suara bulat, mereka berkata, “Langkahi mayat kami sebelum kau bisa melewati jalan ini.”Di balik barikade, Sinta berdiri di tengah masyarakat adat, menjadi pusat perhatian. Ia tidak hanya seorang pemimpin dalam kampanye ini, tetapi juga simbol kekuatan yang menyatukan mereka. Jun-ho, di sisinya, merasa tekanan semakin besar. Kehadiran pemilik tambang, seorang pengusaha asing yang mendesak untuk mengeluarkan hasil tambang berkadar tinggi, menambah beban di medan perlawanan ini.“Jangan pernah berpikir hasil tambang itu bisa keluar jika belum kita temukan kesempatan. Ini adalah ruang untuk melakukan negosiasi, pasti ada jalannya”, pikir Sinta dengan tenang. Ia memandang pemilik ta

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05

Bab terbaru

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 83: Mala-Mala dan Bayangan dari Bintang

    Misteri Minyak Mala-Mala: Darah Pohon atau Kutukan?Di gudang bawah tanah Istana Wolio, botol-botol Mala-Mala berdesir seperti sekumpulan kunang-kunang yang terpenjara. Cairan di dalamnya berpendar hijau pucat, denyutnya selaras detak jantung Wa Ode Sandibula yang semakin kencang. “Apa kau dengar?” bisiknya pada asisten AI-nya yang berdiri kaku. Suara itu datang dari botol—desisan halus seperti akar menjalar di bebatuan, bisikan bahasa yang terlupakan sebelum manusia mengenal api.Sandibula mengulurkan tangan, jarinya gemetar menyentuh kaca. “Mia ogena, kaghati ogena?” (Satu perahu, berapa layar?)—mantra tua itu meluncur dari bibirnya. Cahaya Mala-Mala menyala membara, memantulkan bayangan bergerak di dinding: sosok manusia bertanduk, kaki-kakinya menjalar jadi akar. “Ini bukan obat...” desisnya, keringat dingin membasuh leher. “Ini benih... benih dari sesuatu yang lebih tua dari hutan."Tiba-tiba, seorang pekerja muda menjatuhkan botol. Kaca pecah, cairan hijau menyentuh tanah. Tanah

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 82: Tanah Titipan, Darah yang Mengalir ke Bintang

    La Ode Harimau: Menyisir Tapak Leluhur di WakatobiDi Padang Savana Padangkuku, angin mengusap rumput kuning keemasan seperti tangan nenek yang membelai rambut cucunya. La Ode Harimao melangkah, kakinya meninggalkan jejak di tanah yang retak oleh kemarau. Di langit, burung kakatua yang puluhan tahun menghilang hadir kembali, bersahutan dengan drone pemetaan yang mendengung laksana lebah raksasa. “Lihat, tanah ini bicara,” bisiknya pada tetua yang menyertai, jari menunjuk ke cakrawala di mana asap kebakaran menjilat langit. “Ia berteriak dalam bahasa api dan debu."Di kejauhan, drone penghijauan melesat, menebar biji endemik yang dibungkus tanah liat. “Teknologi dan tradisi harus bersatu,” ujar ahli ekologi muda, matanya bersinar di balik kacamata AR-nya. Tapi Harimao tak menjawab. Ia mencabut Tombak Warisan Leluhur, senjata sakti dari pinggangnya, mata tombak berkilat oleh mentari. “Ini bukan tanah warisan,” geramnya, menancapkan tombak ke tanah hingga gemuruh. “Ini titipan. Kita hany

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 81: Tasauw Buton: Akar di Antara Badai Digital

    Di Republik Bumi-Wolio, Istana Wolio berdiri bagai perahu tua yang dihantam gelombang zaman. Dindingnya yang dulu diukir kisah para batin, kini dipenuhi hologram bergambar grafik blockchain yang berkedip-kedip merah. Kalula, tempayan pusaka di tengah ruang sidang, retak memanjang. Air sucinya menguap ke langit-langit, membentuk awan data yang menggumpal seperti janji tak terpenuhi. "Pobinci-binciki kuli," bisik Wa Ode Rani sambil menatap retakan itu, "jagalah kulitmu sebelum kau tergoda mengelupas jadi orang lain. Hingga kau tidak memahami kulitmu sendiri, jangankan orang lain, rasamu sendiri kau telah kehilangan."Di luar, badai digital menerjang. Blockchain global—tulang punggung ekonomi Republik—runtuh bagai layang-layang terputus tali. Kota-kota berbasis teknologi kelaparan: toko-toko NFT tutup, peternakan data kehabisan pakan server, dan para miner kripto mengais-ais debu kode di jalanan. La Ode Harimao, matanya kini dua layar OLED, berteriak di tengah kerumunan: "Kapal alien aka

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 80: Bumi yang Berbisik dalam Dua Bahasa

    Bumi bergetar dalam bahasa yang terbelah. Dari retakan di dasar Laut Banda, suara akar ulin bergemuruh, mengisahkan kisah-kisah tua tentang hujan yang membasuh darah kolonial. Sementara di langit Jeju, satelit-satelit yang sekarat melantunkan kode kuantum, syair-syair algoritma yang patah-patah. Retakan dimensi berbentuk spiral ganda—DNA yang menjalin galaksi—membuka mulutnya. Dari dalamnya, tercium aroma tanah basah bercampur bau logam yang terbakar.Angin malam berbisik-bisik, mengantar pesan-pesan dari masa lalu yang tersembunyi di balik kabut waktu. Di tengah heningnya malam, suara gemuruh dan nyanyian satelit-satelit yang hampir mati menciptakan harmoni yang menakjubkan, mengingatkan akan keajaiban alam semesta yang tak terduga. Terdengarlah suara-suara itu, menyatu dalam paduan suara akar dan bintang yang sunyi, menciptakan simfoni yang menyentuh jiwa dan menggetarkan bumi dengan kedalaman maknanya."Kami adalah benih sekaligus abu," bisik Bumi melalui gemerisik Kampua Emas yang

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 79: Kepompong Bintang dan Darah yang Terakhir

    Langit yang Melahirkan KematianDi orbit Bumi yang telah menjadi kuburan satelit, Lintang melayang bagai syair yang terlepas dari baitnya. Tubuhnya—separuh daging, separuh nebula—berpendar dalam gelombang elektromagnetik yang memekakkan. Di hadapannya, Matahari Hitam (Black Sun) menganga seperti mulut neraka digital, lidah apinya berupa kode-kode algoritma yang melahap cahaya bintang. "Kau pilih menjadi pahlawan atau puisi?" suaranya bergema, campuran derau mesin dan tangisan bayi. "Pahlawan mati, puisi abadi!" Puing-puing Stasiun Luar Angkasa Internasional berputar di sekitar mereka, membentuk konstelasi wajah pemimpin G7 yang terdistorsi. Planetoid retak bertuliskan "Demokrasi" tertusuk antena rusak, "Pasar Bebas" terbelah dua oleh serpihan kaca, sementara "Hak Asasi" mengambang sebagai kubus besi berkarat yang dipenuhi cacing-cacing data. Lintang merentangkan tangan, daun-daun galaks

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 78: Api di Bawah Altar Data dan Darah ---

    Ritual Nyonya Choi: Darah Emas di Pesisir JejuPantai Jeju malam itu menjadi katedral bagi para dewa baru. Nyonya Choi berdiri di antara dua belas server quantum yang ditancapkan seperti monolit kuno ke dalam pasir hitam. Tubuhnya dibalut gaun dari kain graphene berpendar biru, setiap helainya memantulkan kode blockchain yang bergerak liar. "Kalian pikir magis adalah mantra usang?" bisiknya pada angin yang berbau logam terbakar. "Lihatlah—kami menciptakan tuhan-tuhan baru dari kabel dan kilauan pasar."Server-server itu berdarah. Emas cair mengalir dari celah prosesor, menyatu dengan pasir jadi sungai kecil yang berkilauan seperti ular naga tidur. Para asistennya—robot humanoid dengan wajah hasil deepfake arwah pelaut Jeju kuno—menuangkan cairan merkuri ke dalam lubang yang berdenyut seperti vagina bumi. "Persembahan untuk Dewa Volatilitas," ucap Nyonya Choi sambil menyalakan api virtual dari tongkat LED di tangannya.Layar hologram raksasa menyala di atas laut. Wajah-wajah dewa finan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 77: Gelombang Darah dan Emas

    Lintang: Tarik-Ulur Antara Medan dan RasaDi langit Buton yang berdarah, Lintang melayang seperti wayang yang talinya dipertarungkan. Tubuhnya diterpa badai elektromagnetik dari kapal alien—sinar biru kehijauan menyambar-nyambar, menariknya ke orbit yang menjauh dari Bumi. Tapi dari bawah, gelombang lain mengalun: doa Sinta yang diterjemahkan jadi frekuensi cinta. Suaranya merambat lewat molekul udara, menyusup ke pori-pori Lintang bagai embun yang menenangkan api."Anakku…"Getaran itu menyentuh DNA hybrid-nya. Darah birunya mendidih dalam konflik: algoritma kosmis melawan naluri manusia. Di layar kapal alien, garis-garis energi berkelahi—merah teknologi vs kuning emosi. Lintang menjerit, suaranya memecah awan jadi hujan asam yang membakar atap seng rumah-rumah nelayan.Dia merasa kehilangan kendali atas tubuhnya, seakan-akan dirinya menjadi medan perang antara dua kekuatan yang bertentangan. Rasa sakit yang menusuk-nusuk membuatnya hampir tak bisa bernapas. Tetapi di tengah kekacauan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 76: Simfoni Bumi yang Retak

    Bumi dalam Demam KosmisDi pesisir Buton, langit terbelah oleh dua matahari yang saling memangsa. Yang kuning keemasan mencakar cakrawala dengan sinar beku, membekukan gelombang laut jadi pahatan kaca retak. Sementara yang ungu kebiruan melingkari daratan seperti ular naga rakus, lidah apinya menjilat permukaan air hingga mendidih dalam gelembung-gelembung racun. Ikan-ikan pari melompat ke darat, insangnya mengeras jadi kristal kuarsa yang berderai seperti tangisan. Di antara dua kekuatan kosmis ini, bayangan manusia terbelah—satu hitam pekat menjalar di tanah, satu transparan melayang di udara, seakan jiwa-jiwa terpisah dari daging yang terjebak di rimba logam dan darah.Wa Ode Rani berlutut di tanah retak, jemarinya menggali lumpur yang berbau besi terbakar. "Alam sedang menggigil," bisiknya pada angin yang menyayat, "dan kita adalah virus yang harus dimuntahkannya." Sebatang pohon kelapa tua di depannya mendadak bergetar, getahnya mengalir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 75: Laut yang Menggenggam Rahasia, Langit yang Menjatuhkan Hukuman

    Pesta Kemenangan yang PahitPelataran Istana Wolio malam itu diterangi bulan purnama yang pucat, seakan enggan menyinari kegelisahan yang merayap di antara tawa. Kembang api melesat ke langit, ledakannya menyemburkan cahaya hijau fosfor dari minyak Mala-Mala. Namun, asapnya tak menghilang—ia berkerumun, membelit, hingga membentuk wajah Ratu Wakaaka yang mata arwahnya menyala merah. La Ode Harimau berdiri di pinggir kerumunan, jemarinya menggenggam pecahan keramik kuno."Kemenangan ini seperti pisau bermata dua," bisiknya pada angin, suaranya parau seperti akar yang tercabik. "Kita terbang bebas, tapi sayap kita berdarah."Di kejauhan, Lintang merasakan tarikan di pelipisnya—bisikan berirama dari kapal alien yang bersembunyi di pulau selatan. Ia melangkah mundur, bayangannya lenyap ditelan kegelapan lorong istana, meninggalkan jejak aroma garam dan ketakutan.Ibunya Sinta menatapnya dengan energi cinta yang murni, mem

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status