Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.
Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.
“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”
Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi dengan Sinta. Mereka duduk di sebuah pondok kecil di tengah hutan, dikelilingi oleh suara alam yang menenangkan. Sentuhan tangan Jun-hoo membuat napas Sinta berdetak kencang, memori lamanyanya terakses menuju pertemuannya dengan seseorang di bukit Lelemangura beberapa abad yang lalu, terbayang pada pamannya dari Mongol Dung Khu Cangia, wajah Jun-hoo mengingatkan itu kepada DNA yang terdalam dalam dirinya, jiwanya menghentak pada Lorong waktu yang panjang. Jiwa Ratu Wakaaka menguasai dirinya.
“Hutan Lambusango ini adalah salah satu permata yang masih tersisa di dunia,” kata Jun-hoo. “Tetapi seperti semua permata, ia terancam. Saya telah melihat apa yang terjadi di tempat lain—hutan dihancurkan untuk kayu atau lahan pertanian. Itu tidak boleh terjadi di sini. Saya juga mendengar bahwa hutan ini menyimpan banyak rahasia dan sekaligus harta warisan, tinggal generasi muda yang akan mengelola dan mengembangkannya”.
Sinta mengangguk. “Saya setuju, tetapi melindungi hutan ini bukan hal yang mudah. Banyak pihak yang tertarik pada kekayaannya, dan masyarakat lokal kadang merasa terjebak antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam.”
Jun-ho tersenyum tipis. “Itu sebabnya saya di sini. Saya ingin menawarkan cara baru untuk melindungi hutan ini—dengan uang dan mitos.”
Sinta mengernyitkan dahi. “Apa maksud Anda?”
Jun-ho membuka ponselnya dan menunjukkan akun di salah satu blockchain terkenal, yang menampilkan aset digital senilai jutaan bahkan milyaran dolar miliknya. Sinta terdiam, menyadari bahwa ia sedang berbicara dengan salah satu tokoh besar di dunia cryptocurrency—nama yang ia pernah dengar tetapi tidak pernah bayangkan akan bertemu langsung. Apalagi ini di tengah hutan, Sinta semakin penarasaran atas pertemuan itu, “Pasti ada yang hilang dalam diri Jun-hoo, mengapa harus datang sejauh ini. Ia sedang mencari dirinya, menemukan pengabdian, termasuk juga dengan belahan jiwanya” pikir Sinta lebih penasaran.
“Saya adalah bagian dari BCT,” kata Jun-hoo, menyebut nama komunitas besar yang mengelola cryptocurrency berbasis teknologi hijau. “Kami menggunakan teknologi blockchain untuk mendanai proyek-proyek konservasi. Dan saya ingin membawa teknologi itu ke sini.” Penjelasan itu membuat Sinta semakin penasaran, jangan sampai ia ingin menemukan sumber energi alam di sini, ia mungkin mencari Torium di dalam hutan ini. Ingin mengembangkan energi hijau di sini. Sinta yang merupakan jelmaan Ratu Wakaaka mengetahui banyak tentang potensi hutan ini, bahkan ia mengetahui candangan uranium dan torium yang ada di dalam hutan ini, terlebih emas, nikel, minyak, semua ada di sini, tetapi siapapun yang cari membutuhkan pintu masuk yang harus dipahami.
Sinta masih skeptis. “Bukankah dunia digital ini sering kali menjadi jebakan? Banyak masyarakat kecil yang kehilangan aset karena janji-janji manis investasi seperti ini.” Pikiran Sinta pada banyaknya masyarakat yang kehilangan tanah saat berbisnis di dalam dunia digital tersebut, entah membeli asset criptocarency ataukah itu adalah judi online.
Jun-hoo mengangguk, seolah memahami kekhawatirannya. “Itu benar. Banyak program yang gagal karena dijalankan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi kami berbeda. Kami tidak hanya berbicara tentang uang, tetapi juga tentang nilai. Blockchain yang kami kembangkan berbasis pada keterlacakan dan transparansi. Kami berhadap, sebagian aset yang dikumpulkan akan digunakan untuk melindungi Hutan Lambusango, dan masyarakat lokal akan menjadi bagian dari proses ini.”
Jun-hoo melanjutkan, “Selain teknologi, kita juga perlu menggunakan kekuatan budaya. Masyarakat di seluruh dunia menghargai cerita dan mitos. Kita bisa menggabungkan mitos lokal Pulau Buton dengan pendekatan konservasi modern. Misalnya, kita bisa menciptakan program wisata yang tidak hanya menampilkan keindahan hutan ini, tetapi juga legenda-legenda seperti Ratu Wakaaka, legenda La Ode Wuna bahkan menarik adalah Legenda Oputa yi Koo.”
Sinta termenung. Ide itu terdengar logis, tetapi ia masih merasa ada risiko besar. “Bagaimana Anda bisa yakin bahwa masyarakat akan menerima ini? Tidak semua orang percaya pada teknologi, terutama di sini. Beberapa tahun lalu, banyak masyarakat yang rugi pada program criptocarency, mereka masih trauma mengenai itu”, bahkan mereka hampir tidak dapat membedakan dengan judi online.
Jun-hoo tersenyum. “Itu tugas kita untuk mendidik. Kita tidak hanya membawa teknologi, tetapi juga pengetahuan tentang cara menggunakannya dengan bijak. Dan Anda, Bu Sinta, adalah kunci dari semua ini. Anda adalah penghubung antara dunia tradisional dan modern. Tanpa Anda, ini tidak akan berhasil.” Jun-hoo terbayang pada banyaknya warga negaranya yang berinvestasi pada crypto sehingga mereka mendapatkan banyak dana untuk membiayai bisnis mereka.
Setelah pertemuan itu, Sinta menghabiskan malam di pinggir Hutan Lambusango, di sebuah pondok di Desa Labundo-bundo, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata Jun-hoo terus terngiang di pikirannya. Ia tahu bahwa dunia digital memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif, tetapi ia juga sadar akan bahaya yang mengintai di balik teknologi itu.
Di sisi lain, gagasan menggabungkan mitos lokal dengan konservasi modern terasa seperti panggilan takdir baginya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan budaya. Namun, apakah ia siap untuk membuka jalan baru yang penuh risiko ini?
“Dua dunia,” gumamnya, “tradisi dan teknologi, seperti dua sisi dari satu koin. Jika aku bisa menyatukan mereka, mungkin kita bisa melindungi hutan ini dan masyarakatnya.”
Keesokan harinya, Sinta memutuskan untuk mengumpulkan masyarakat lokal, pemimpin adat, dan generasi muda di sebuah balai desa. Ia ingin mendengar pendapat mereka sebelum membuat keputusan.
Jun-hoo juga hadir, tetapi ia memilih untuk mendengarkan tanpa berbicara. Ia tahu bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus diperoleh dengan waktu dan tindakan nyata.
Sinta memulai pembicaraan dengan menjelaskan gagasan konservasi modern yang didukung teknologi. Ia juga berbicara tentang pentingnya menjaga mitos lokal sebagai bagian dari identitas budaya.
“Ini bukan tentang meninggalkan tradisi atau mengadopsi teknologi secara buta,” katanya. “Ini tentang bagaimana kita menggunakan keduanya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Hutan kita adalah kekuatan satu-satunya yang kita miliki. Selama hutan ini dapat kita lindungi, maka semua orang akan datang ke sini, siswa-siswa Eropa dan bahkan dari berbagai belahan bumi akan datang ke sini untuk riset di Hutan Lambusango. Kita semua sudah mendapatkan nilai uang, dan saya juga tahu banyak pertukaran budaya sudah terjadi, bahkan lebih dalam, ada cinta di lokasi ini” ungkap Sinta pagi itu. Sinta membayangkan seorang temannya yang pernah bekerja sebagai guide dan ia menjadi santapan cinta dari wisatawan yang didampinginya. Ia melayani semunya.
Seorang perempuan cantik, yang sedang KKN di tempat itu tertegun, “Begitu banyak yang terjadi di sini, kearifan lokal dalam konservasi, crypto di sisi yang lain, serta hadirnya mahasiswa internasional di sini, saya sangat beruntung untuk hadir di sini”, pikirnya. Ia hanya bergumam, tanpa mengatakan apa apa, tetapi tatapan mata Jun-hoo membuat dia lebih nyaman, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa apa. Melihat wajah Sinta yang mirip artis Korea adalah ruang lain dalam pikiran Ananda.
“Seorang kakek yang sangat diharagai di daerah itu, mebayangkan cerita Togo Motondu, kisah pernikahan sedarah yang mengutuk daerah ini, dan terbayang pada legenda Togo Motondu, “Wajah Sinta dan Jun-hoo sangat mirip”. Ia hanya membayangkan perjalanan cinta yang pernah terjadi di negeri ini dan menjadi kutukan. Tetapi ia membayangkan bahwa kemiripan itu adalah jejak genetik yang mungkin datang dari daratan China, Mongol.
Di akhir pertemuan, sebagian masyarakat tampak tertarik, sementara yang lain masih skeptis. Namun, Sinta tahu bahwa langkah pertama telah diambil. Dengan hati-hati, ia mulai merancang program konservasi yang menggabungkan mitos Ratu Wakaaka, teknologi blockchain, dan partisipasi aktif masyarakat lokal. Jun-hoo hanya terdiam, namun ia penasaran mengapa Hutan Lambusango masih tetap bertahan di tengah masyarakat lokal yang selalu bersinergi dengan hutan.
Saat malam tiba, ia berdiri di tepi hutan, memandang langit berbintang. Serta ketika tatapannya ke arah teluk Lawele, ia menemukan kelap-kelip lampu perahu nelayan. Ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa ia berada di jalan yang benar. Terbayang olehnya kisah perang antara La karambau dengan Kapten Kapal Belanda, perang yang kedalaman motivnya adalah Hutan Lambusango.
“Jika aku bisa menyatukan dua dunia ini,” pikirnya, “Maka kita bisa melindungi apa yang benar-benar berharga. Hutan Lambusango, bukan hanya tentang kayu, tetapi tentang kearifan lokal masyarakat Buton”.
Sinta berdiri di tepi hutan kuno, angin berdesir melalui kanopi pepohonan yang menjulang tinggi. Rasa tenang menyelimutinya saat dia merenungkan hamparan hijau yang luas. Hutan, dengan rahasia dan keajaibannya, selalu memiliki tempat khusus di hatinya. Sekarang, itu akan menjadi panggung untuk konvergensi dunia, yang lama dan yang baru.
Jun-hoo, pengusaha misterius, telah kembali ke pulau itu, kali ini dengan tim ahli. Mereka dipersenjatai dengan teknologi terbaru, siap untuk memulai proyek terobosan yang akan memadukan tradisi dengan inovasi. Jun-hoo, pengusaha misterius, telah kembali ke pulau itu, kali ini dengan tim ahli. Mereka dipersenjatai dengan teknologi terbaru, siap untuk memulai proyek terobosan yang akan memadukan tradisi dengan inovasi. Memadukan kearifan lokal masyarakat Buton dengan teknologi modern.
"Kita akan membuat kembaran digital dari hutan ini," Jun-hoo menjelaskan, matanya berbinar karena kegembiraan. "Representasi virtual yang akan memungkinkan kami memantau kesehatannya, memprediksi ancaman, dan melibatkan orang-orang dari seluruh dunia."Kita akan membuat kembaran digital dari hutan ini," Jun-hoo menjelaskan, matanya berbinar karena kegembiraan. "Representasi virtual yang akan memungkinkan kami untuk memantau kesehatannya, memprediksi ancaman, dan melibatkan orang-orang dari seluruh dunia."
Sinta tertarik. Dia telah mendengar tentang teknologi seperti itu, tetapi dia skeptis tentang dampak potensialnya pada esensi spiritual hutan. "Tapi bagaimana dengan sihir, mitos, jiwa tempat ini?" dia bertanya. Sinta tertarik. Dia telah mendengar tentang teknologi seperti itu, tetapi dia skeptis tentang dampak potensialnya pada esensi spiritual hutan. "Tapi bagaimana dengan sihir, mitos, jiwa tempat ini?" tanyanya.
Jun-hoo tersenyum. "Kami di sini bukan untuk menggantikan sihir, tetapi untuk meningkatkannya. Kami ingin menggunakan teknologi untuk berbagi cerita dan tradisi tempat ini dengan dunia. Kami dapat menciptakan pengalaman imersif, tur virtual, dan program pendidikan yang akan menginspirasi orang untuk melindungi hutan ini." Jun-hoo tersenyum.
Saat hari-hari berubah menjadi minggu-minggu, tim bekerja tanpa lelah, memasang sensor dan kamera di seluruh hutan. Mereka mengumpulkan data tentang segala hal mulai dari kelembaban tanah hingga pola satwa liar. Sementara itu, Sinta sibuk mengorganisir masyarakat setempat, mengajari mereka tentang proyek dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Saat hari-hari berubah menjadi minggu-minggu, tim bekerja tanpa lelah, memasang sensor dan kamera di seluruh hutan. Mereka mengumpulkan data tentang segala hal mulai dari kelembaban tanah hingga pola satwa liar. Sementara itu, Sinta sibuk mengorganisir masyarakat setempat, mengajari mereka tentang proyek dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Suatu hari, saat menjelajahi bagian hutan yang tersembunyi, Sinta menemukan sebuah gua kuno. Di dalamnya, dia menemukan serangkaian ukiran yang menggambarkan sejarah hutan dan penjaganya. Di antara ukiran-ukiran, dia melihat kemiripan yang mencolok dengan Jun-hoo. Rasa dingin mengalir di punggungnya. Mungkinkah ada hubungan yang lebih dalam antara dia dan hutan?
Ketika kembaran digital hutan mulai terbentuk, menjadi jelas bahwa Jun-hoo memiliki tujuan yang lebih dalam. Dia bukan hanya seorang pengusaha; Dia adalah seorang penjaga, pelindung alam. Dia datang ke Pulau Buton, tertarik oleh energi kuno hutan dan potensinya untuk menyembuhkan planet ini.
Sinta dan Jun-hoo, dua individu dari dunia yang berbeda, dipersatukan oleh hasrat bersama mereka terhadap hutan. Mereka menyadari bahwa dengan menggabungkan kearifan tradisional dengan teknologi modern, mereka dapat menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi pulau dan penduduknya. Sinta membayangkan bahwa masyarakat dekat hutan juga masih membutuhkan makanan untuk melanjutkan kehidupan.
"Jun," sapa Sinta dengan lembut, matanya menatap mata indah itu, lelaki dua tahun di atasnya. "Bagaimana kita mengantisipasi masyarakat di sekitar hutan?
"Iya, saya sudah membayangkan untuk membangun masyarakat dengan menyuruh mereka untuk kembali kepada habitat mereka, mereka bisa mengembangkan industri rotan, serta gula aren dan madu sebagai produk hutan ini", Jun hoo meyakinkan dirinya dan Sinta serta timnya. Sinta semakin penasaran, "Yah, mungkin kita akan mendorong bisnis hutan non kayu. "Kita bisa mengekspor itu ke luar negeri, tanpa merusak hutan ini", jawab Jun-hoo. Semuanya terdiam, masing-masing tetap membayangkan bagaimana cara mereka menyatukan antara hutan, mitos dan criptocarency.“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,
Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem
BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir
Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan
Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke
Di bawah sinar matahari pagi yang menyilaukan, suasana di Lambusango semakin tegang. Para parabela—pemimpin adat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur—berdiri di barikade yang semakin kokoh. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai pagar hidup, menolak keras masuknya alat berat yang ingin merusak hutan. Dengan suara bulat, mereka berkata, “Langkahi mayat kami sebelum kau bisa melewati jalan ini.”Di balik barikade, Sinta berdiri di tengah masyarakat adat, menjadi pusat perhatian. Ia tidak hanya seorang pemimpin dalam kampanye ini, tetapi juga simbol kekuatan yang menyatukan mereka. Jun-ho, di sisinya, merasa tekanan semakin besar. Kehadiran pemilik tambang, seorang pengusaha asing yang mendesak untuk mengeluarkan hasil tambang berkadar tinggi, menambah beban di medan perlawanan ini.“Jangan pernah berpikir hasil tambang itu bisa keluar jika belum kita temukan kesempatan. Ini adalah ruang untuk melakukan negosiasi, pasti ada jalannya”, pikir Sinta dengan tenang. Ia memandang pemilik ta
Pagi itu, Jun memulai harinya dengan membuka platform cryptocurrency tempat Lambusango Koin—proyek ambisiusnya—baru saja diluncurkan. Dengan fondasi ekonomi yang kuat, koin ini didukung oleh valuasi ekosistem Hutan Lambusango yang kaya akan keanekaragaman hayati dan nilai budaya. Awalnya, pasar menerima koin tersebut dengan antusias, namun pagi ini segalanya berubah.Investor mulai menjual Lambusango Koin secara massal, menyebabkan harga turun drastis dalam waktu singkat. Jun merasa cemas dan bingung, tidak mengerti apa yang menyebabkan perubahan mendadak ini. Dia segera menuju ke perpustakaan di Teluk Lawele, tempat dia biasa mencari inspirasi dan solusi dalam menghadapi masalah. Saat dia tiba di sana, dia melihat sekelompok orang sedang berdiskusi dengan serius di sudut ruangan. Jun mendekati mereka dan akhirnya menemukan jawaban atas kejadian yang sedang terjadi.Jun kembali melihat layar handphonenya, "Semua merah," gumam Jun, menatap grafik yang menunjukkan penurunan drastis. Lam
Pagi itu, mentari bersinar lembut menyentuh dedaunan Hutan Lambusango. Sinta dan Jun-ho melangkah mantap memasuki desa-desa di sekitar hutan, menyapa warga dan mendengarkan suara mereka. Hari ini, mereka memiliki agenda penting: bertemu dengan tokoh-tokoh adat untuk mendiskusikan ancaman peta izin tambang yang mengintai kelestarian hutan.Sinta dan Jun-ho merasa tegang namun juga penuh semangat untuk melindungi hutan Lambusango. Mereka sadar betapa pentingnya menjaga ekosistem hutan tersebut agar tidak terancam oleh aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Dengan hati yang penuh tekad, mereka berharap pertemuan dengan tokoh-tokoh adat dapat membawa solusi yang terbaik untuk menjaga kelestarian hutan yang mereka cintai.Sinta berbicara dengan penuh semangat, "Jun, hari ini kita harus fokus pada pemberdayaan masyarakat. Kita harus memperkenalkan kembali nilai-nilai kangkilo sebagai materi utama dalam pelatihan yang akan datang."Jun menatap Sinta, wajah
Sinta berdiri memandangi hamparan persawahan di bawah Bukit Kapuntori. Terasa begitu tenang, seolah waktu melambat untuk memberikan ruang bagi pikirannya yang berkelana. Bentangan hijau sawah yang berkilau diterpa matahari sore mengingatkannya pada permadani alam yang penuh keindahan dan rahasia. Kilauan sawah yang menguning memberikan suasana yang nyaman dan tentunya membawa seseorang untuk menikmati senjanya, terlebih dengan seorang kekasih. Matahari perlahan tenggelam di balik bukit, mewarnai langit dengan gradasi warna yang memukau. Sinta merasa beruntung bisa menikmati momen indah ini bersama kekasihnya di bawah langit Kapuntori.Jun-ho berdiri di sampingnya, matanya mengikuti arah pandang Sinta. Ia hanya tersenyum, meskipun di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia ungkapkan. Sinta terlihat begitu tenggelam dalam pikirannya, hingga Jun tak bisa menahan diri untuk berkata, "Sinta, ini seperti bentangan permadani. Di sinilah banyak kisah cinta tumbuh dan pergi. Mungkinkah
Perjalanan dari Pulau Talaga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Sinta dan Jun. Jun-ho memperhatikan keindahan pulau Talaga dan melihat dari jauh pulau Kabaena. Kali ini mereka naik kapal penumpang. Kapal agak besar dibandingkan dengan perahu nelayan. Jun-ho membayangkan tentang tujuh bidadari yang turun di puncak gunung Sambampolulu. “Suatu saat saya akan ke sana, negeri di atas awan,” pikirnya sementara matanya di arahkan ke wajah cantic di depannya, wajah Sinta yang luar biasa. Kulitnya tetap putih dan halus, tanpa terpengaruh oleh terik matahari di sekitar hutan tropis.Wawasan yang mereka peroleh tentang kangkilo—nilai tradisional yang menekankan kejujuran, keseimbangan, dan hubungan yang harmonis dengan alam—telah mengubah cara pandang mereka terhadap perjuangan mereka selama ini. Mereka merasa terinspirasi untuk kembali ke desa mereka dan menerapkan nilai-nilai kangkilo dalam upaya membangun harapan baru bagi masyarakat setempat.
Rasa penasaran yang membara membawa Jun-ho dan Sinta ke Pulau Talaga, tempat asal mula tradisi Pengka Loe-Loe, ritual adat yang telah mengubah persepsi mereka tentang hubungan antara dunia nyata dan spiritual. Mereka ingin memahami lebih dalam tentang kangkilo, filosofi yang menjadi inti dari kepercayaan masyarakat Buton. Jun-ho dan Sinta sangat penasaran, terutama Jun-ho yang menyaksikan kejadian beberapa hari yang lalu dengan mata bahkan dengan direkam dengan kamera. Jun sangat kaget, karena sebuah fenomena yang unik terjadi di depan mata, tepat dizaman seperti ini. “Ini adalah representasi ruang-ruang kesadaran budaya yang tidak mungkin dapat dijelaskan oleh prspektif ilmiah. Datang ke Pulau Talaga adalah sesuatu yang penting, untuk menyaksikan secara langsung, bagaimana masyarakat setempat mendapatkan pemahaman mengenai dunia bawah laut.” Jun-ho dan Sinta mengharapkan ada penjelasan yang mendalam mengenai masalah ini. Mereka akhirnya menuju Kota Baubau untuk menumpang kapal-kapa
Kisah sumpah adat Pengka Loe-Loe yang menewaskan La Ode Musrama dan perempuan-perempuan penyebar fitnah menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di Buton tetapi juga di berbagai media sosial. Banyak yang terpukau dan takjub, tetapi ada pula yang mempertanyakan kebenaran ritual tersebut. Beberapa pihak bahkan meminta investigasi atas insiden ini. Bahkan ada berita di media yang menjelaskan bahwa ritual itu adalah ritual pembunuhan. Bahkan ada media yang menjelaskan bahwa mantra itu adalah mantra pembunuhan dalam versi yang lainnya.“Kita harus melakukan investigasi atas apa yang terjadi di pantai kemarin. Itu murni kriminalitas yang berbasis di mantra”. Bahkan media nasional dan internasional menomentari peistiwa itu setelah videonya tersebar luas di masyarakat.“Ini adalah pembunuhan,” kata salah seorang anak muda yang memiliki hubungan dengan pihak tambang yang selama ini dihalangi oleh tetua adat yang didukung oleh Sinta dan J
Kedatangan Sinta dari Korea yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan dan kebanggaan justru berubah menjadi polemik besar di Buton. Desas-desus yang disebarkan oleh kaki tangan pengelola tambang dan La Ode Musrama yang merasa iri, telah merusak reputasi Sinta. Isu bahwa Sinta tidak lagi suci sebagai calon pemimpin adat beredar luas, membuat masyarakat dan Parabela (tetua adat) ragu akan kelayakannya. Isu itu bahkan dibuatkan dalam bentuk musik. La Ode Musrama selalu menyanyikan lagu Sepuli na Jandi yang dipopulerkan La Ode Karimuddin. Ia menyebarkan desas desus bahwa Sinta yang merupakan tokoh muda yang dapat mewarisi peradaban Buton kini tidak layak lagi."Sinta sudah melanggar nilai-nilai sakral budaya kita," bisik beberapa orang. Ia bergerilya dan melibatkan banyak ibu-ibu yang senang bergosip. Ia sudah berjalan terlampau jauh, ia sampai di pulau Jeju, tidak mungkin kita percaya lagi”. Rasa cemburu menyelimuti hatinya. Ia begitu benci ketika ia tahu bahwa Sinta pergi
Pesawat dari Seoul menuju Jakarta meluncur mulus di langit malam. Di kursi sebelah, Sinta terlelap, wajahnya yang khas—perpaduan antara warisan Buton, Melanesia, dan sentuhan keturunan Asia lainnya—bersinar tenang di bawah cahaya lampu kabin. Bagi Jun, Sinta adalah sosok yang tidak hanya menginspirasi cinta, tetapi juga harapan bagi masyarakat yang ingin mereka bangun bersama. Sebelum tidur, Sinta memutar music pop Korea Touch Love yang dipopulerkan Yoon Mi-rae, Sinta terlelap dalam imajinya, berharap bersandar pada Jun-ho dalam perjalanan panjang hidupnya nanti. Pelan-pelan teks-teks lagu itu menjelma dalam mimpinya, ia sudah menemukan dirinya bersandar pada Jun-ho di pantai yang ada di pulau Jeju. Ia menyandarikan dirinya. Jun-ho melihat Sinta tersenyum dan matanya tetap tertuju. Jun-ho membirkan ia Sinta tertidur, ia hanya mengagumi kencatikan itu, mengalahkan Yoon Mi-rae artis Korea yang terkenal di negaranya.Di benak Jun, rencana-rencana besar berkecamuk. Kembali ke Buton bukan
Jun membawa Sinta mengunjungi berbagai institusi budaya dan pendidikan di Korea, memperlihatkan bagaimana sistem pengelolaan budaya diajarkan kepada generasi muda. Mereka mengunjungi sebuah sekolah dasar di Seoul, di mana anak-anak diajarkan menghormati warisan budaya mereka melalui pelajaran sejarah, seni, dan praktik-praktik tradisional.“Lihat ini, Sinta,” kata Jun sambil menunjukkan salah satu mural di aula sekolah yang menggambarkan tradisi rakyat Korea. “Setiap generasi diajarkan untuk memahami akar budaya mereka sejak dini. Jika kita bisa menerapkan hal yang serupa di Buton, terutama untuk konservasi Hutan Lambusango, aku yakin hasilnya akan luar biasa.”Sinta mengangguk, terinspirasi. “Mendidik anak-anak di sekitar Lambusango untuk mencintai budaya dan lingkungan mereka sejak dini adalah langkah yang sangat penting. Itu akan menjadi bagian dari jati diri mereka.”Mereka juga mengunjungi sebuah museum budaya yang memamerkan cara hidup tradisional Korea. Di sana, Jun menunjukkan