“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.
Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti, ada bayangan orang-orang kecil juga yang muncul di kamera.
“Sinta, saya melihat hasil kamera yang kita pasang di hutan, rupanya ada mahluk aneh, yang belum pernah saya lihat. Mereka menaiki hewan kecil yang mirip kambing, hampir mirip juga dengan anoa”, ini menarik. Dunia akan mendapatkan banyak informasi dari data yang akan kita publikasi. Ini penting untuk isu yang akan menjadi underline dari mata uang crypto yang akan kita kembangkan.
“Sinta hanya ternganga, tetapi jiwanya justru langsung berbicara dengan mahluk itu, makhluk yang menghuni Pulau Buton. “Ini harus dijelaskan kepada dunia melalui teknologi, karena kesadaran yang masuk melalui jalan jiwa, tidak semua memahaminya”, pikirnya dalam hati.
Jun-hoo tampak lelah, tetapi masih mempertahankan nada tenangnya. “Ini lebih buruk dari yang kita duga. Ketika perhatian dunia tertuju ke sini, kita tidak hanya menarik mereka yang ingin melestarikan, tetapi juga mereka yang ingin merusak.” Sinta tersenyum, bahkan lebih dalam ia merasakan kedatangan makhluk lain, yang ia tangkap dan rasakan, rupanya banyak juga makhluk lain yang datang ke hutan Lambusango.
Sinta mengangguk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Kita harus membuat keputusan yang lebih tegas. Tapi dimana batasnya? Kita tidak bisa melarang semua orang masuk, tetapi kita juga tidak bisa membiarkan hutan ini menjadi tempat eksploitasi.”
“Lambusango seperti berdiri di dua dunia,” kata Jun-hoo. “Dunia yang melihatnya sebagai paru-paru dunia, dan dunia yang melihatnya sebagai ladang emas.” Ini tanggung jawab kita akan lebih berat, kita harus membahas ini lebih serius, dan bisa melibatkan semua orang di dunia untuk melindungi paru-paru dunia ini.
Sinta memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan masyarakat adat di balai desa. Di tengah suasana yang tegang, para tetua adat dan generasi muda berkumpul, masing-masing membawa pandangan dan kekhawatiran mereka. Tetua adat La Ode Harimao merasakan apa yang sekarang terjadi, para leluhur terbangun, “Ini ada gejala penting yang harus kita lakukan”, leluhur memberi tahu kita untuk melindungi hutan ini. Kita harus menuju Benteng Siontapina, untuk melihat kunci di sana, kunci yang menyembunyikan semua hasil hutan di pulau ini”, pikirnya dalam hati. Ia hanya menggelengkan kepalanya, saat ia merasakan leluhur memanggilnya.
“Kita tidak bisa membiarkan mereka terus merusak hutan kita!” seru seorang pemuda bernama Wira. “Jika mereka datang dengan alat berat, kita harus melawan dengan apa yang kita punya.” Matanya menatap semua yang hadir, satu persatu. La Ode Harimao terdiam, semua ilmunya mampu menangkap apa yang di dalam diri Sinta, yang mengendalikan pikiran dan jiwa, ia selalu memandang Sinta sebagai Ratu Wakaaka.
“Tapi bagaimana?” jawab seorang wanita tua, wajahnya penuh kerutan. “Mereka punya kekuatan, uang, dan izin. Apa yang kita punya selain doa?” Saat menanggapi itu, ia merasakan apa yang ada di dalam diri Sinta. Merasakan pula siapa Jun-hoo sebenarnya. Jun-hoo adalah titisan leluhur yang menemukan tubuh yang suci yang lahir di pulau Jeju, Korea Selatan.
La Tahang, pemimpin adat, berdiri dengan tenang, lalu berbicara. “Kita punya hutan ini. Selama kita berdiri bersama, hutan ini tidak akan jatuh ke tangan siapa pun. Tapi kita harus bijak. Kekerasan bukan jawaban. Kita harus menggunakan kekuatan kita—kekuatan tradisi dan persatuan. Orang-orang tua kita dapat menyembunyikan hutan ini, mungkin kita harus membuat ritual yang selama ini untuk menyembunyikan potensi di hutan ini”. Jun-hoo mendengarkan tanggapan itu dengan seksama, ia memikirkan penguatan kapasitas masyarakat tentang kearifan lokal mereka.
Sinta mendengarkan dengan seksama. Ia merasa harus menjadi jembatan antara generasi tua yang masih memegang tradisi dan generasi muda yang ingin perubahan cepat. “Hutan ini bukan hanya milik kita,” katanya. “Ia milik dunia. Tapi dunia harus tahu bahwa kita adalah penjaga utamanya. Kita harus berdiri bersama, bukan hanya melawan mereka yang merusak, tetapi juga mengarahkan mereka yang ingin membantu.”
Pagi itu, Sinta berdiri di depan papan tulis besar yang dipasang di balai desa, menjelaskan rencana terperinci kepada masyarakat adat dan tokoh-tokoh penting. Di sekelilingnya, para tetua adat, pemuda-pemudi desa, dan Jun-hoo mendengarkan dengan penuh perhatian. Di sudut ruangan, La Tahang duduk dengan tenang, memegang tongkat kayu yang sudah usang, simbol kepemimpinannya yang bijaksana. Sementara La Ode Harimao tetap tenang, karena ia mampu memantau dari aspek spiritual.
“Kita harus melindungi Hutan Lambusango bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi mendatang,” kata Sinta dengan nada tegas. “Namun, melindungi berarti kita harus menetapkan batasan yang jelas. Tidak semua orang bisa masuk ke wilayah ini tanpa izin.”
Masyarakat Adat Menetapkan Zona Sakral
La Tahang mengangguk pelan. “Ada tempat-tempat yang telah kami lindungi sejak zaman nenek moyang. Pohon-pohon tua di Siontapina adalah rumah leluhur kami. Mereka tidak boleh disentuh.” Ia menunjuk pada peta yang dipajang Sinta. “Dan disini, di Sungai Wakorumba, anoa datang untuk minum. Itu juga harus kita jaga. Lembah yang ada di Punggung Kuda juga harus dilestarikan. Kita harus menjaga semua air terjun di pulau ini sebagai kekuatan kita.”
Sinta mencatat dengan teliti setiap lokasi yang disebutkan oleh masyarakat adat. Bersama Jun-hoo, ia menggabungkan informasi ini dengan data biodiversitas dari penelitian ekologi. Mereka sepakat membagi hutan menjadi tiga zona: Zona Sakral untuk wilayah spiritual, Zona Biodiversitas Tinggi untuk habitat satwa endemik, dan Zona Pemulihan untuk memperbaiki kerusakan akibat aktivitas ilegal sebelumnya.
Jun-hoo melangkah maju, membawa drone kecil yang melayang rendah di atas tangan kanannya. “Ini adalah salah satu alat yang akan kita gunakan,” katanya. “Dengan drone ini, kita bisa memantau seluruh zona perlindungan. Kamera infra merahnya bisa melihat aktivitas ilegal bahkan di malam hari.”
Ilham, seorang pemuda desa yang sebelumnya skeptis terhadap teknologi, mengangkat tangan. “Tapi bagaimana kita tahu drone itu tidak akan rusak di tengah hutan?”
Jun-hoo tersenyum. “Kita akan melatih beberapa dari kalian untuk mengoperasikan dan merawatnya. Drone ini milik kalian. Teknologi ini akan menjadi bagian dari alat perlindungan hutan kita.”
Di sudut lain, La Ode Taru, salah satu tetua yang sering meragukan perubahan modern, menyela dengan nada curiga. “Teknologi mungkin membantu, tapi siapa yang akan menjaga ketika teknologi gagal?”
La Harimao hanya terdiam, dalam hatinya ia berkata, “Yang akan menjaga semua itu adalah Hati kita, rasa kita dapat melindungi semua itu, leluhur kita mengajari kita dengan itu semua”, ia begitu tenang hingga ia hanya terdiam dan tersenyum. Hanya saja ia ingin menyaksikan kekuatan kearifan lokal dengan teknologi yang berbasis cryptocarency dalam pengelolaan lingkungan.
Sinta menjawab dengan tenang, “Itulah mengapa kita tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga kekuatan tradisi. Kita akan tetap berjaga dengan cara lama, tetapi teknologi ini akan memperkuat mata dan telinga kita. Semua ritual, serta norma-norma adat dalam pengelolaan hutan, harus kita gunakan untuk melindungi hutan kita”, ungkap Sinta penuh percaya diri.
La Tahang berdiskusi dengan Jun-hoo tentang lokasi strategis untuk memasang sensor gerak. “Di jalur ini,” katanya sambil menunjuk pada peta, “Sering ada orang luar yang masuk tanpa izin. Jika kita bisa mendeteksi mereka lebih awal, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka melangkah lebih jauh.”
Jun-hoo mengangguk, memasukkan titik-titik tersebut ke dalam perangkat GPS. Ia juga menjelaskan fungsi kamera perangkap, yang akan merekam siapa pun yang masuk tanpa izin. “Kamera ini bukan hanya untuk keamanan, tetapi juga bukti hukum,” katanya. “Jika ada pelanggaran, kita punya gambar yang bisa dilaporkan.”
Sinta mengajak para pemuda desa seperti Ilham dan Wira untuk mengikuti pelatihan intensif. Mereka belajar mengoperasikan drone, membaca data dari sensor gerak, dan menganalisis video dari kamera perangkap. Jun-hoo memimpin sesi pelatihan, memberikan penjelasan sederhana tetapi efektif.
“Teknologi ini bukan pengganti kalian,” kata Jun-hoo kepada mereka. “Ini adalah alat yang kalian kendalikan. Dan kalian adalah penjaga sejati hutan ini. Kita harus menyatukan kearifan lokal dan teknologi untuk menyelamatkan hutan ini”.
Ilham, yang sebelumnya ragu, akhirnya merasa bangga. “Jadi, kita tidak hanya melindungi hutan, tapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa menjaga warisan kita dengan cara modern.”
Di balai desa, Sinta duduk bersama La Tahang dan Ustaz Abdul Karim, membahas aturan adat yang akan mendukung zona perlindungan ini. “Kita harus memperkuat ini dengan peraturan lokal,” kata Sinta. “Aturan yang bisa diakui secara hukum tetapi tetap menghormati tradisi.”
Ustaz Abdul Karim menambahkan, “Hutan ini bukan hanya tanah, tetapi juga jiwa kita. Aturan ini harus melindungi itu, bukan hanya pohonnya.”
Mereka menyusun dokumen yang menjadikan zona perlindungan sebagai wilayah adat yang tidak bisa disentuh tanpa izin. La Tahang memastikan bahwa dokumen ini tidak hanya mencantumkan larangan, tetapi juga tanggung jawab masyarakat untuk menjaga hutan.
Namun, tidak semua pihak setuju. La Ghani, seorang politisi lokal yang bekerja sama dengan perusahaan tambang, mulai menyebarkan isu bahwa program perlindungan ini adalah upaya untuk menguasai hutan demi keuntungan pribadi. “Mereka menggunakan teknologi asing untuk mengendalikan tanah kita,” katanya di salah satu media lokal, mencoba memecah belah masyarakat.
Sinta mendengar berita ini dengan hati yang berat, tetapi ia tidak mundur. “Mereka akan terus menyerang kita, tapi kita harus tetap berdiri. Lambusango bukan milik siapapun, tapi tanggung jawab kita semua.”
Malam itu, Sinta berdiri di tepi Sungai Wakarumba, memandang langit yang dipenuhi bintang. Drone kecil melayang di atasnya, menandakan bahwa zona perlindungan mulai bekerja. Namun, ia tahu bahwa perjuangan baru saja dimulai. Ancaman tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam—dari ketidakpercayaan dan kepentingan yang bertabrakan.
“Lambusango adalah kekuatan kita,” pikirnya. “Dan kita tidak akan membiarkan siapapun merampasnya.”
Bab ini menunjukkan bagaimana Sinta dan masyarakat adat mulai membangun perlindungan konkret untuk Hutan Lambusango, tetapi juga memperlihatkan tantangan besar yang akan datang, baik dari ancaman fisik maupun politik.
Namun, ancaman tidak berhenti. Perusahaan tambang yang merasa dirugikan oleh kampanye ini mulai menggerakkan tokoh-tokoh lokal untuk melawan Sinta dan masyarakat adat. Mereka menyebarkan desas-desus bahwa program konservasi hanyalah kedok untuk mengambil keuntungan dari hutan.
La Ghani, seorang politisi lokal yang menjadi dalang utama, mulai memainkan taktik kotor. Ia mengirim orang-orang untuk menyusup ke dalam komunitas adat, mencoba memecah belah mereka dari dalam.
“Kita harus hati-hati,” kata Jun-hoo kepada Sinta. “Mereka tidak hanya menyerang kita secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan sosial.”
Di tengah semua tekanan ini, Sinta merasa perlu kembali ke Lambusango, ke jantung hutan yang telah menjadi bagian dari jiwanya. Di sana, ia merasakan energi yang berbeda—sebuah campuran antara harapan dan ancaman.
Ia berdiri di bawah pohon besar yang dianggap suci oleh masyarakat adat. Menutup matanya, ia berdoa, meminta bimbingan dari leluhurnya. Dalam keheningan itu, ia mendengar bisikan lembut, seolah-olah Ratu Wakaaka sendiri berbicara padanya.
“Lindungi hutan ini dengan hati dan kepala. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu, tapi jangan pula biarkan amarah membutakanmu.”
Sinta membuka matanya dengan rasa tenang yang baru. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendiri.
Sinta berdiri di tengah Hutan Lambusango, dikelilingi oleh keindahan yang sekaligus rapuh. Di kejauhan, ia mendengar suara burung-burung dan gemerisik daun, seolah-olah hutan itu berbicara kepadanya. Sesekali longlongan anjing hutan memecahkan keheningan malam di sekitar hutan Lambusango.
“Hutan ini adalah kekuatan kita,” pikirnya. “Tapi kekuatan itu hanya berarti jika kita bisa menjaganya bersama.” Sinta semakin penasaran pada apa yang mereka akan lakukan bersama masyarakat. Dengan tekad baru, ia melangkah kembali ke desa, siap untuk menghadapi tantangan berikutnya dengan keberanian dan kebijaksanaan. Sementara Jun-hoo mengerjakan website untuk membangun hutan lambusango, sebagian ada yang mencoba menciptakan mata uang crypto dengan underline Hutan Lambusango, sambil menunggu hasil valuasi Hutan Lambusango untuk menemukan nilai Valuasi lingkungan dan mineral yang ada di dalam hutan itu.
Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem
BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir
Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan
Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke
Di bawah sinar matahari pagi yang menyilaukan, suasana di Lambusango semakin tegang. Para parabela—pemimpin adat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur—berdiri di barikade yang semakin kokoh. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai pagar hidup, menolak keras masuknya alat berat yang ingin merusak hutan. Dengan suara bulat, mereka berkata, “Langkahi mayat kami sebelum kau bisa melewati jalan ini.”Di balik barikade, Sinta berdiri di tengah masyarakat adat, menjadi pusat perhatian. Ia tidak hanya seorang pemimpin dalam kampanye ini, tetapi juga simbol kekuatan yang menyatukan mereka. Jun-ho, di sisinya, merasa tekanan semakin besar. Kehadiran pemilik tambang, seorang pengusaha asing yang mendesak untuk mengeluarkan hasil tambang berkadar tinggi, menambah beban di medan perlawanan ini.“Jangan pernah berpikir hasil tambang itu bisa keluar jika belum kita temukan kesempatan. Ini adalah ruang untuk melakukan negosiasi, pasti ada jalannya”, pikir Sinta dengan tenang. Ia memandang pemilik ta
Di bawah langit Lambusango yang cerah, situasi semakin memanas. Pemilik tambang asing, seorang pria berkebangsaan asing dengan mata penuh ambisi, berdiri di balik barisan petugas keamanan dan alat berat. Ia semakin kehilangan kesabaran.“Waktu adalah uang,” katanya dengan nada dingin kepada timnya. “Pastikan alat berat itu bergerak, apa pun yang terjadi. Gunakan semua cara yang perlu.”Petugas keamanan dan karyawan tambang lokal yang hadir merasa tegang saat mendengar perintah tegas dari pemilik tambang asing tersebut. Mereka merasa terancam dan tidak yakin apakah tindakan mereka akan sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang mereka pegang. Namun, di tengah tekanan yang semakin meningkat, mereka merasa tidak punya pilihan selain melaksanakan perintah tersebut demi menjaga pekerjaan dan keselamatan mereka. Semua mata tertuju pada alat berat yang mulai bergerak, menandakan dimulainya konflik yang tak terelakkan di tambang tersebut.Para Parabela melihat aspek itu sebagai ruang konflik ya
Langit Seoul berwarna kelabu saat Lintang melangkah keluar dari stasiun. Hujan tipis mengguyur jalanan kota yang sibuk, namun suara langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak menanggung beban masa silam yang belum benar-benar selesai. Di tangannya, ia menggenggam sekuntum bunga camellia putih—simbol kerendahan hati dan penyesalan.Alamat rumah sang nenek tertera di selembar kertas yang kini telah lecek di sakunya. Meski sebelumnya begitu yakin akan percakapan ini, kini dadanya berdebar, dan pikirannya berliku: Akankah neneknya menerima? Ataukah ambisi masa lalu masih tertinggal dalam darah perempuan tua itu?Rumah kayu tua di pinggir kota itu tampak seperti lukisan dari masa lalu: beranda kecil dengan tanaman bonsai, dan pintu geser dari kayu pinus tua. Aroma kayu dan hujan membaur di udara, menciptakan suasana yang melankolis namun sakral.Lintang mengatur napas. Ia mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan.Lalu suara lembut, r
Dedaunan gingko menari perlahan di sepanjang lembah Gangwon-do, seolah menyambut tamu dari arah khatulistiwa yang datang membawa rencana besar dalam kepalanya dan doa lembut dalam dadanya. Lintang berjalan di jalur tanah yang mengarah ke ladang pertanian, tempat para petani Korea masih menggantungkan hidup mereka dari tanah, air, dan musim yang tak selalu bersahabat.Di antara ladang itu, berdiri seorang lelaki tua dengan topi bambu dan tangan penuh lumpur, namun senyum dan matanya jernih bak telaga.“Annyeong haseyo,” sapa Lintang, sedikit kaku tapi tulus.Petani itu mengangguk. “Kau dari Indonesia?” tanyanya, sambil meletakkan alat cangkul ke tanah. “Aku pernah bertemu peneliti dari Buton dulu, tentang metode tanam dengan bulan.”Lintang tersenyum, seakan semesta mempertemukannya tepat dengan orang yang tak asing dengan tanah airnya.“Aku datang membawa gagasan Madrasah Langit,” katanya pelan. &ldqu
Angin dari selatan menggulung pelan, membawa wangi laut dan sisa embun hutan. Di halaman rumah kayu yang terpahat di bibir tebing, suara burung murai bersahut seperti zikir pagi yang tak putus. Di sana, di bawah atap yang teduh oleh pohon mangga tua, Lintang duduk berhadapan dengan dua wajah yang telah lama ia kenali, namun baru kini ia pandang sepenuh makna: Sinta, ibunya—wanita berdarah Melanesia dan Bangladeshi yang matanya menyimpan luka dan keberanian, serta Jun Hoo, ayahnya—lelaki berdarah Korea Selatan yang rambutnya telah memutih, namun sorotnya masih jernih seperti riak danau.Pertemuan ini bukan hanya temu darah, melainkan temu jiwa yang telah lama mencari ruang untuk bicara tanpa kata-kata tertunda.“Lintang...” Sinta meraih tangan putrinya dengan gemetar, seakan takut tangan itu hanya mimpi. “Kau datang tepat saat dunia mulai membuka pintu langit.”Lintang tersenyum. “Aku dat
Hutan Lambusango masih berselimut embun pagi. Aroma tanah basah dan kayu tua mengalun perlahan seperti bait puisi purba. Di sebuah rumah panggung kayu, di tengah bentangan hijau yang tak pernah memihak siapa pun, Lintang duduk di depan layar, menyambut dunia.Hari ini, layar itu menjadi meja bundar virtual. Tapi bukan meja milik kekuasaan, bukan juga milik konferensi besar yang dikelilingi jas dan dasi. Ini adalah meja milik suara-suara kecil dari pelosok yang mulai berbicara, menolak dibungkam oleh jargon-jargon global.Lintang membuka pertemuan daring. Di layar muncul wajah-wajah dari benua yang berbeda—ada Mikhail dari Rusia, Alina dari Ukraina, Elias dari Jerman, dan kini bergabung pula wajah baru: Robert McAllister dari Amerika Serikat, Gao Yixuan dari China, Selene Ortega dari Meksiko, dan Camille Dupuis dari Kanada.Lintang membuka dengan senyum ya
Langit Lambusango pagi itu berwarna kelabu lembut, seperti abu dupa yang naik dari altar doa. Hutan tampak lebih sunyi dari biasanya, seakan ikut menghela napas panjang dunia. Lintang duduk di bale bambu, di depan layar komputer yang memantulkan cahaya pucat. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau pelan, menandai bahwa hari baru telah dimulai, meski dunia belum benar-benar damai.Ia membuka ruang pertemuan daring internasional—sebuah diskusi lintas budaya yang melibatkan para sahabatnya dari Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat. Mereka tidak hadir sebagai wakil negara, tetapi sebagai anak-anak zaman yang ingin menjahit kembali kain dunia yang mulai koyak.Suara pertama datang dari Timur yang beku.“Halo, Lintang. Salju pertama turun kemarin,” ujar Mikhail, pemuda Rusia yang selalu berbicara seolah membawa denting lonceng gereja ortodoks. “Tapi yang dingin bukan hanya langit kami
Di bawah langit jingga yang mulai merunduk ke peluk senja, langkah Lintang menyusuri jalur setapak Lambusango seolah menari dalam irama yang tak kasat mata. Daun-daun mengayun pelan, seperti menyambutnya dengan kidung rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti makna keheningan. Hutan itu tidak sekadar rimba—ia adalah kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan hati.Udara lembap dan wangi resin dari pohon-pohon tua memenuhi dada. Ada keheningan yang tidak mati, melainkan tumbuh, seperti akar yang terus menyerap kearifan bumi. Di sinilah, di tengah jantung Lambusango, Lintang bersama timnya melakukan riset intensif mengenai hasil hutan non-kayu—resin, rotan, madu hutan, hingga tumbuhan obat yang disimpan oleh rimba dalam sunyi panjangnya.Mereka bukan sekadar peneliti. Mereka adalah para pembaca tanah, penyair bumi yang menuliskan ulang masa depan bukan dengan tinta, melainkan dengan dedikasi dan cinta. Lintang memandangi sebotol kecil madu
Malam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah
Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k
Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan