“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.
Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti, ada bayangan orang-orang kecil juga yang muncul di kamera.
“Sinta, saya melihat hasil kamera yang kita pasang di hutan, rupanya ada mahluk aneh, yang belum pernah saya lihat. Mereka menaiki hewan kecil yang mirip kambing, hampir mirip juga dengan anoa”, ini menarik. Dunia akan mendapatkan banyak informasi dari data yang akan kita publikasi. Ini penting untuk isu yang akan menjadi underline dari mata uang crypto yang akan kita kembangkan.
“Sinta hanya ternganga, tetapi jiwanya justru langsung berbicara dengan mahluk itu, makhluk yang menghuni Pulau Buton. “Ini harus dijelaskan kepada dunia melalui teknologi, karena kesadaran yang masuk melalui jalan jiwa, tidak semua memahaminya”, pikirnya dalam hati.
Jun-hoo tampak lelah, tetapi masih mempertahankan nada tenangnya. “Ini lebih buruk dari yang kita duga. Ketika perhatian dunia tertuju ke sini, kita tidak hanya menarik mereka yang ingin melestarikan, tetapi juga mereka yang ingin merusak.” Sinta tersenyum, bahkan lebih dalam ia merasakan kedatangan makhluk lain, yang ia tangkap dan rasakan, rupanya banyak juga makhluk lain yang datang ke hutan Lambusango.
Sinta mengangguk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Kita harus membuat keputusan yang lebih tegas. Tapi dimana batasnya? Kita tidak bisa melarang semua orang masuk, tetapi kita juga tidak bisa membiarkan hutan ini menjadi tempat eksploitasi.”
“Lambusango seperti berdiri di dua dunia,” kata Jun-hoo. “Dunia yang melihatnya sebagai paru-paru dunia, dan dunia yang melihatnya sebagai ladang emas.” Ini tanggung jawab kita akan lebih berat, kita harus membahas ini lebih serius, dan bisa melibatkan semua orang di dunia untuk melindungi paru-paru dunia ini.
Sinta memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan masyarakat adat di balai desa. Di tengah suasana yang tegang, para tetua adat dan generasi muda berkumpul, masing-masing membawa pandangan dan kekhawatiran mereka. Tetua adat La Ode Harimao merasakan apa yang sekarang terjadi, para leluhur terbangun, “Ini ada gejala penting yang harus kita lakukan”, leluhur memberi tahu kita untuk melindungi hutan ini. Kita harus menuju Benteng Siontapina, untuk melihat kunci di sana, kunci yang menyembunyikan semua hasil hutan di pulau ini”, pikirnya dalam hati. Ia hanya menggelengkan kepalanya, saat ia merasakan leluhur memanggilnya.
“Kita tidak bisa membiarkan mereka terus merusak hutan kita!” seru seorang pemuda bernama Wira. “Jika mereka datang dengan alat berat, kita harus melawan dengan apa yang kita punya.” Matanya menatap semua yang hadir, satu persatu. La Ode Harimao terdiam, semua ilmunya mampu menangkap apa yang di dalam diri Sinta, yang mengendalikan pikiran dan jiwa, ia selalu memandang Sinta sebagai Ratu Wakaaka.
“Tapi bagaimana?” jawab seorang wanita tua, wajahnya penuh kerutan. “Mereka punya kekuatan, uang, dan izin. Apa yang kita punya selain doa?” Saat menanggapi itu, ia merasakan apa yang ada di dalam diri Sinta. Merasakan pula siapa Jun-hoo sebenarnya. Jun-hoo adalah titisan leluhur yang menemukan tubuh yang suci yang lahir di pulau Jeju, Korea Selatan.
La Tahang, pemimpin adat, berdiri dengan tenang, lalu berbicara. “Kita punya hutan ini. Selama kita berdiri bersama, hutan ini tidak akan jatuh ke tangan siapa pun. Tapi kita harus bijak. Kekerasan bukan jawaban. Kita harus menggunakan kekuatan kita—kekuatan tradisi dan persatuan. Orang-orang tua kita dapat menyembunyikan hutan ini, mungkin kita harus membuat ritual yang selama ini untuk menyembunyikan potensi di hutan ini”. Jun-hoo mendengarkan tanggapan itu dengan seksama, ia memikirkan penguatan kapasitas masyarakat tentang kearifan lokal mereka.
Sinta mendengarkan dengan seksama. Ia merasa harus menjadi jembatan antara generasi tua yang masih memegang tradisi dan generasi muda yang ingin perubahan cepat. “Hutan ini bukan hanya milik kita,” katanya. “Ia milik dunia. Tapi dunia harus tahu bahwa kita adalah penjaga utamanya. Kita harus berdiri bersama, bukan hanya melawan mereka yang merusak, tetapi juga mengarahkan mereka yang ingin membantu.”
Pagi itu, Sinta berdiri di depan papan tulis besar yang dipasang di balai desa, menjelaskan rencana terperinci kepada masyarakat adat dan tokoh-tokoh penting. Di sekelilingnya, para tetua adat, pemuda-pemudi desa, dan Jun-hoo mendengarkan dengan penuh perhatian. Di sudut ruangan, La Tahang duduk dengan tenang, memegang tongkat kayu yang sudah usang, simbol kepemimpinannya yang bijaksana. Sementara La Ode Harimao tetap tenang, karena ia mampu memantau dari aspek spiritual.
“Kita harus melindungi Hutan Lambusango bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi mendatang,” kata Sinta dengan nada tegas. “Namun, melindungi berarti kita harus menetapkan batasan yang jelas. Tidak semua orang bisa masuk ke wilayah ini tanpa izin.”
Masyarakat Adat Menetapkan Zona Sakral
La Tahang mengangguk pelan. “Ada tempat-tempat yang telah kami lindungi sejak zaman nenek moyang. Pohon-pohon tua di Siontapina adalah rumah leluhur kami. Mereka tidak boleh disentuh.” Ia menunjuk pada peta yang dipajang Sinta. “Dan disini, di Sungai Wakorumba, anoa datang untuk minum. Itu juga harus kita jaga. Lembah yang ada di Punggung Kuda juga harus dilestarikan. Kita harus menjaga semua air terjun di pulau ini sebagai kekuatan kita.”
Sinta mencatat dengan teliti setiap lokasi yang disebutkan oleh masyarakat adat. Bersama Jun-hoo, ia menggabungkan informasi ini dengan data biodiversitas dari penelitian ekologi. Mereka sepakat membagi hutan menjadi tiga zona: Zona Sakral untuk wilayah spiritual, Zona Biodiversitas Tinggi untuk habitat satwa endemik, dan Zona Pemulihan untuk memperbaiki kerusakan akibat aktivitas ilegal sebelumnya.
Jun-hoo melangkah maju, membawa drone kecil yang melayang rendah di atas tangan kanannya. “Ini adalah salah satu alat yang akan kita gunakan,” katanya. “Dengan drone ini, kita bisa memantau seluruh zona perlindungan. Kamera infra merahnya bisa melihat aktivitas ilegal bahkan di malam hari.”
Ilham, seorang pemuda desa yang sebelumnya skeptis terhadap teknologi, mengangkat tangan. “Tapi bagaimana kita tahu drone itu tidak akan rusak di tengah hutan?”
Jun-hoo tersenyum. “Kita akan melatih beberapa dari kalian untuk mengoperasikan dan merawatnya. Drone ini milik kalian. Teknologi ini akan menjadi bagian dari alat perlindungan hutan kita.”
Di sudut lain, La Ode Taru, salah satu tetua yang sering meragukan perubahan modern, menyela dengan nada curiga. “Teknologi mungkin membantu, tapi siapa yang akan menjaga ketika teknologi gagal?”
La Harimao hanya terdiam, dalam hatinya ia berkata, “Yang akan menjaga semua itu adalah Hati kita, rasa kita dapat melindungi semua itu, leluhur kita mengajari kita dengan itu semua”, ia begitu tenang hingga ia hanya terdiam dan tersenyum. Hanya saja ia ingin menyaksikan kekuatan kearifan lokal dengan teknologi yang berbasis cryptocarency dalam pengelolaan lingkungan.
Sinta menjawab dengan tenang, “Itulah mengapa kita tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga kekuatan tradisi. Kita akan tetap berjaga dengan cara lama, tetapi teknologi ini akan memperkuat mata dan telinga kita. Semua ritual, serta norma-norma adat dalam pengelolaan hutan, harus kita gunakan untuk melindungi hutan kita”, ungkap Sinta penuh percaya diri.
La Tahang berdiskusi dengan Jun-hoo tentang lokasi strategis untuk memasang sensor gerak. “Di jalur ini,” katanya sambil menunjuk pada peta, “Sering ada orang luar yang masuk tanpa izin. Jika kita bisa mendeteksi mereka lebih awal, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka melangkah lebih jauh.”
Jun-hoo mengangguk, memasukkan titik-titik tersebut ke dalam perangkat GPS. Ia juga menjelaskan fungsi kamera perangkap, yang akan merekam siapa pun yang masuk tanpa izin. “Kamera ini bukan hanya untuk keamanan, tetapi juga bukti hukum,” katanya. “Jika ada pelanggaran, kita punya gambar yang bisa dilaporkan.”
Sinta mengajak para pemuda desa seperti Ilham dan Wira untuk mengikuti pelatihan intensif. Mereka belajar mengoperasikan drone, membaca data dari sensor gerak, dan menganalisis video dari kamera perangkap. Jun-hoo memimpin sesi pelatihan, memberikan penjelasan sederhana tetapi efektif.
“Teknologi ini bukan pengganti kalian,” kata Jun-hoo kepada mereka. “Ini adalah alat yang kalian kendalikan. Dan kalian adalah penjaga sejati hutan ini. Kita harus menyatukan kearifan lokal dan teknologi untuk menyelamatkan hutan ini”.
Ilham, yang sebelumnya ragu, akhirnya merasa bangga. “Jadi, kita tidak hanya melindungi hutan, tapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa menjaga warisan kita dengan cara modern.”
Di balai desa, Sinta duduk bersama La Tahang dan Ustaz Abdul Karim, membahas aturan adat yang akan mendukung zona perlindungan ini. “Kita harus memperkuat ini dengan peraturan lokal,” kata Sinta. “Aturan yang bisa diakui secara hukum tetapi tetap menghormati tradisi.”
Ustaz Abdul Karim menambahkan, “Hutan ini bukan hanya tanah, tetapi juga jiwa kita. Aturan ini harus melindungi itu, bukan hanya pohonnya.”
Mereka menyusun dokumen yang menjadikan zona perlindungan sebagai wilayah adat yang tidak bisa disentuh tanpa izin. La Tahang memastikan bahwa dokumen ini tidak hanya mencantumkan larangan, tetapi juga tanggung jawab masyarakat untuk menjaga hutan.
Namun, tidak semua pihak setuju. La Ghani, seorang politisi lokal yang bekerja sama dengan perusahaan tambang, mulai menyebarkan isu bahwa program perlindungan ini adalah upaya untuk menguasai hutan demi keuntungan pribadi. “Mereka menggunakan teknologi asing untuk mengendalikan tanah kita,” katanya di salah satu media lokal, mencoba memecah belah masyarakat.
Sinta mendengar berita ini dengan hati yang berat, tetapi ia tidak mundur. “Mereka akan terus menyerang kita, tapi kita harus tetap berdiri. Lambusango bukan milik siapapun, tapi tanggung jawab kita semua.”
Malam itu, Sinta berdiri di tepi Sungai Wakarumba, memandang langit yang dipenuhi bintang. Drone kecil melayang di atasnya, menandakan bahwa zona perlindungan mulai bekerja. Namun, ia tahu bahwa perjuangan baru saja dimulai. Ancaman tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam—dari ketidakpercayaan dan kepentingan yang bertabrakan.
“Lambusango adalah kekuatan kita,” pikirnya. “Dan kita tidak akan membiarkan siapapun merampasnya.”
Bab ini menunjukkan bagaimana Sinta dan masyarakat adat mulai membangun perlindungan konkret untuk Hutan Lambusango, tetapi juga memperlihatkan tantangan besar yang akan datang, baik dari ancaman fisik maupun politik.
Namun, ancaman tidak berhenti. Perusahaan tambang yang merasa dirugikan oleh kampanye ini mulai menggerakkan tokoh-tokoh lokal untuk melawan Sinta dan masyarakat adat. Mereka menyebarkan desas-desus bahwa program konservasi hanyalah kedok untuk mengambil keuntungan dari hutan.
La Ghani, seorang politisi lokal yang menjadi dalang utama, mulai memainkan taktik kotor. Ia mengirim orang-orang untuk menyusup ke dalam komunitas adat, mencoba memecah belah mereka dari dalam.
“Kita harus hati-hati,” kata Jun-hoo kepada Sinta. “Mereka tidak hanya menyerang kita secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan sosial.”
Di tengah semua tekanan ini, Sinta merasa perlu kembali ke Lambusango, ke jantung hutan yang telah menjadi bagian dari jiwanya. Di sana, ia merasakan energi yang berbeda—sebuah campuran antara harapan dan ancaman.
Ia berdiri di bawah pohon besar yang dianggap suci oleh masyarakat adat. Menutup matanya, ia berdoa, meminta bimbingan dari leluhurnya. Dalam keheningan itu, ia mendengar bisikan lembut, seolah-olah Ratu Wakaaka sendiri berbicara padanya.
“Lindungi hutan ini dengan hati dan kepala. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu, tapi jangan pula biarkan amarah membutakanmu.”
Sinta membuka matanya dengan rasa tenang yang baru. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendiri.
Sinta berdiri di tengah Hutan Lambusango, dikelilingi oleh keindahan yang sekaligus rapuh. Di kejauhan, ia mendengar suara burung-burung dan gemerisik daun, seolah-olah hutan itu berbicara kepadanya. Sesekali longlongan anjing hutan memecahkan keheningan malam di sekitar hutan Lambusango.
“Hutan ini adalah kekuatan kita,” pikirnya. “Tapi kekuatan itu hanya berarti jika kita bisa menjaganya bersama.” Sinta semakin penasaran pada apa yang mereka akan lakukan bersama masyarakat. Dengan tekad baru, ia melangkah kembali ke desa, siap untuk menghadapi tantangan berikutnya dengan keberanian dan kebijaksanaan. Sementara Jun-hoo mengerjakan website untuk membangun hutan lambusango, sebagian ada yang mencoba menciptakan mata uang crypto dengan underline Hutan Lambusango, sambil menunggu hasil valuasi Hutan Lambusango untuk menemukan nilai Valuasi lingkungan dan mineral yang ada di dalam hutan itu.
Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem
BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir
Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan
Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke
Di bawah sinar matahari pagi yang menyilaukan, suasana di Lambusango semakin tegang. Para parabela—pemimpin adat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur—berdiri di barikade yang semakin kokoh. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai pagar hidup, menolak keras masuknya alat berat yang ingin merusak hutan. Dengan suara bulat, mereka berkata, “Langkahi mayat kami sebelum kau bisa melewati jalan ini.”Di balik barikade, Sinta berdiri di tengah masyarakat adat, menjadi pusat perhatian. Ia tidak hanya seorang pemimpin dalam kampanye ini, tetapi juga simbol kekuatan yang menyatukan mereka. Jun-ho, di sisinya, merasa tekanan semakin besar. Kehadiran pemilik tambang, seorang pengusaha asing yang mendesak untuk mengeluarkan hasil tambang berkadar tinggi, menambah beban di medan perlawanan ini.“Jangan pernah berpikir hasil tambang itu bisa keluar jika belum kita temukan kesempatan. Ini adalah ruang untuk melakukan negosiasi, pasti ada jalannya”, pikir Sinta dengan tenang. Ia memandang pemilik ta
Di bawah langit Lambusango yang cerah, situasi semakin memanas. Pemilik tambang asing, seorang pria berkebangsaan asing dengan mata penuh ambisi, berdiri di balik barisan petugas keamanan dan alat berat. Ia semakin kehilangan kesabaran.“Waktu adalah uang,” katanya dengan nada dingin kepada timnya. “Pastikan alat berat itu bergerak, apa pun yang terjadi. Gunakan semua cara yang perlu.”Petugas keamanan dan karyawan tambang lokal yang hadir merasa tegang saat mendengar perintah tegas dari pemilik tambang asing tersebut. Mereka merasa terancam dan tidak yakin apakah tindakan mereka akan sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang mereka pegang. Namun, di tengah tekanan yang semakin meningkat, mereka merasa tidak punya pilihan selain melaksanakan perintah tersebut demi menjaga pekerjaan dan keselamatan mereka. Semua mata tertuju pada alat berat yang mulai bergerak, menandakan dimulainya konflik yang tak terelakkan di tambang tersebut.Para Parabela melihat aspek itu sebagai ruang konflik ya
Misteri Minyak Mala-Mala: Darah Pohon atau Kutukan?Di gudang bawah tanah Istana Wolio, botol-botol Mala-Mala berdesir seperti sekumpulan kunang-kunang yang terpenjara. Cairan di dalamnya berpendar hijau pucat, denyutnya selaras detak jantung Wa Ode Sandibula yang semakin kencang. “Apa kau dengar?” bisiknya pada asisten AI-nya yang berdiri kaku. Suara itu datang dari botol—desisan halus seperti akar menjalar di bebatuan, bisikan bahasa yang terlupakan sebelum manusia mengenal api.Sandibula mengulurkan tangan, jarinya gemetar menyentuh kaca. “Mia ogena, kaghati ogena?” (Satu perahu, berapa layar?)—mantra tua itu meluncur dari bibirnya. Cahaya Mala-Mala menyala membara, memantulkan bayangan bergerak di dinding: sosok manusia bertanduk, kaki-kakinya menjalar jadi akar. “Ini bukan obat...” desisnya, keringat dingin membasuh leher. “Ini benih... benih dari sesuatu yang lebih tua dari hutan."Tiba-tiba, seorang pekerja muda menjatuhkan botol. Kaca pecah, cairan hijau menyentuh tanah. Tanah
La Ode Harimau: Menyisir Tapak Leluhur di WakatobiDi Padang Savana Padangkuku, angin mengusap rumput kuning keemasan seperti tangan nenek yang membelai rambut cucunya. La Ode Harimao melangkah, kakinya meninggalkan jejak di tanah yang retak oleh kemarau. Di langit, burung kakatua yang puluhan tahun menghilang hadir kembali, bersahutan dengan drone pemetaan yang mendengung laksana lebah raksasa. “Lihat, tanah ini bicara,” bisiknya pada tetua yang menyertai, jari menunjuk ke cakrawala di mana asap kebakaran menjilat langit. “Ia berteriak dalam bahasa api dan debu."Di kejauhan, drone penghijauan melesat, menebar biji endemik yang dibungkus tanah liat. “Teknologi dan tradisi harus bersatu,” ujar ahli ekologi muda, matanya bersinar di balik kacamata AR-nya. Tapi Harimao tak menjawab. Ia mencabut Tombak Warisan Leluhur, senjata sakti dari pinggangnya, mata tombak berkilat oleh mentari. “Ini bukan tanah warisan,” geramnya, menancapkan tombak ke tanah hingga gemuruh. “Ini titipan. Kita hany
Di Republik Bumi-Wolio, Istana Wolio berdiri bagai perahu tua yang dihantam gelombang zaman. Dindingnya yang dulu diukir kisah para batin, kini dipenuhi hologram bergambar grafik blockchain yang berkedip-kedip merah. Kalula, tempayan pusaka di tengah ruang sidang, retak memanjang. Air sucinya menguap ke langit-langit, membentuk awan data yang menggumpal seperti janji tak terpenuhi. "Pobinci-binciki kuli," bisik Wa Ode Rani sambil menatap retakan itu, "jagalah kulitmu sebelum kau tergoda mengelupas jadi orang lain. Hingga kau tidak memahami kulitmu sendiri, jangankan orang lain, rasamu sendiri kau telah kehilangan."Di luar, badai digital menerjang. Blockchain global—tulang punggung ekonomi Republik—runtuh bagai layang-layang terputus tali. Kota-kota berbasis teknologi kelaparan: toko-toko NFT tutup, peternakan data kehabisan pakan server, dan para miner kripto mengais-ais debu kode di jalanan. La Ode Harimao, matanya kini dua layar OLED, berteriak di tengah kerumunan: "Kapal alien aka
Bumi bergetar dalam bahasa yang terbelah. Dari retakan di dasar Laut Banda, suara akar ulin bergemuruh, mengisahkan kisah-kisah tua tentang hujan yang membasuh darah kolonial. Sementara di langit Jeju, satelit-satelit yang sekarat melantunkan kode kuantum, syair-syair algoritma yang patah-patah. Retakan dimensi berbentuk spiral ganda—DNA yang menjalin galaksi—membuka mulutnya. Dari dalamnya, tercium aroma tanah basah bercampur bau logam yang terbakar.Angin malam berbisik-bisik, mengantar pesan-pesan dari masa lalu yang tersembunyi di balik kabut waktu. Di tengah heningnya malam, suara gemuruh dan nyanyian satelit-satelit yang hampir mati menciptakan harmoni yang menakjubkan, mengingatkan akan keajaiban alam semesta yang tak terduga. Terdengarlah suara-suara itu, menyatu dalam paduan suara akar dan bintang yang sunyi, menciptakan simfoni yang menyentuh jiwa dan menggetarkan bumi dengan kedalaman maknanya."Kami adalah benih sekaligus abu," bisik Bumi melalui gemerisik Kampua Emas yang
Langit yang Melahirkan KematianDi orbit Bumi yang telah menjadi kuburan satelit, Lintang melayang bagai syair yang terlepas dari baitnya. Tubuhnya—separuh daging, separuh nebula—berpendar dalam gelombang elektromagnetik yang memekakkan. Di hadapannya, Matahari Hitam (Black Sun) menganga seperti mulut neraka digital, lidah apinya berupa kode-kode algoritma yang melahap cahaya bintang. "Kau pilih menjadi pahlawan atau puisi?" suaranya bergema, campuran derau mesin dan tangisan bayi. "Pahlawan mati, puisi abadi!" Puing-puing Stasiun Luar Angkasa Internasional berputar di sekitar mereka, membentuk konstelasi wajah pemimpin G7 yang terdistorsi. Planetoid retak bertuliskan "Demokrasi" tertusuk antena rusak, "Pasar Bebas" terbelah dua oleh serpihan kaca, sementara "Hak Asasi" mengambang sebagai kubus besi berkarat yang dipenuhi cacing-cacing data. Lintang merentangkan tangan, daun-daun galaks
Ritual Nyonya Choi: Darah Emas di Pesisir JejuPantai Jeju malam itu menjadi katedral bagi para dewa baru. Nyonya Choi berdiri di antara dua belas server quantum yang ditancapkan seperti monolit kuno ke dalam pasir hitam. Tubuhnya dibalut gaun dari kain graphene berpendar biru, setiap helainya memantulkan kode blockchain yang bergerak liar. "Kalian pikir magis adalah mantra usang?" bisiknya pada angin yang berbau logam terbakar. "Lihatlah—kami menciptakan tuhan-tuhan baru dari kabel dan kilauan pasar."Server-server itu berdarah. Emas cair mengalir dari celah prosesor, menyatu dengan pasir jadi sungai kecil yang berkilauan seperti ular naga tidur. Para asistennya—robot humanoid dengan wajah hasil deepfake arwah pelaut Jeju kuno—menuangkan cairan merkuri ke dalam lubang yang berdenyut seperti vagina bumi. "Persembahan untuk Dewa Volatilitas," ucap Nyonya Choi sambil menyalakan api virtual dari tongkat LED di tangannya.Layar hologram raksasa menyala di atas laut. Wajah-wajah dewa finan
Lintang: Tarik-Ulur Antara Medan dan RasaDi langit Buton yang berdarah, Lintang melayang seperti wayang yang talinya dipertarungkan. Tubuhnya diterpa badai elektromagnetik dari kapal alien—sinar biru kehijauan menyambar-nyambar, menariknya ke orbit yang menjauh dari Bumi. Tapi dari bawah, gelombang lain mengalun: doa Sinta yang diterjemahkan jadi frekuensi cinta. Suaranya merambat lewat molekul udara, menyusup ke pori-pori Lintang bagai embun yang menenangkan api."Anakku…"Getaran itu menyentuh DNA hybrid-nya. Darah birunya mendidih dalam konflik: algoritma kosmis melawan naluri manusia. Di layar kapal alien, garis-garis energi berkelahi—merah teknologi vs kuning emosi. Lintang menjerit, suaranya memecah awan jadi hujan asam yang membakar atap seng rumah-rumah nelayan.Dia merasa kehilangan kendali atas tubuhnya, seakan-akan dirinya menjadi medan perang antara dua kekuatan yang bertentangan. Rasa sakit yang menusuk-nusuk membuatnya hampir tak bisa bernapas. Tetapi di tengah kekacauan
Bumi dalam Demam KosmisDi pesisir Buton, langit terbelah oleh dua matahari yang saling memangsa. Yang kuning keemasan mencakar cakrawala dengan sinar beku, membekukan gelombang laut jadi pahatan kaca retak. Sementara yang ungu kebiruan melingkari daratan seperti ular naga rakus, lidah apinya menjilat permukaan air hingga mendidih dalam gelembung-gelembung racun. Ikan-ikan pari melompat ke darat, insangnya mengeras jadi kristal kuarsa yang berderai seperti tangisan. Di antara dua kekuatan kosmis ini, bayangan manusia terbelah—satu hitam pekat menjalar di tanah, satu transparan melayang di udara, seakan jiwa-jiwa terpisah dari daging yang terjebak di rimba logam dan darah.Wa Ode Rani berlutut di tanah retak, jemarinya menggali lumpur yang berbau besi terbakar. "Alam sedang menggigil," bisiknya pada angin yang menyayat, "dan kita adalah virus yang harus dimuntahkannya." Sebatang pohon kelapa tua di depannya mendadak bergetar, getahnya mengalir
Pesta Kemenangan yang PahitPelataran Istana Wolio malam itu diterangi bulan purnama yang pucat, seakan enggan menyinari kegelisahan yang merayap di antara tawa. Kembang api melesat ke langit, ledakannya menyemburkan cahaya hijau fosfor dari minyak Mala-Mala. Namun, asapnya tak menghilang—ia berkerumun, membelit, hingga membentuk wajah Ratu Wakaaka yang mata arwahnya menyala merah. La Ode Harimau berdiri di pinggir kerumunan, jemarinya menggenggam pecahan keramik kuno."Kemenangan ini seperti pisau bermata dua," bisiknya pada angin, suaranya parau seperti akar yang tercabik. "Kita terbang bebas, tapi sayap kita berdarah."Di kejauhan, Lintang merasakan tarikan di pelipisnya—bisikan berirama dari kapal alien yang bersembunyi di pulau selatan. Ia melangkah mundur, bayangannya lenyap ditelan kegelapan lorong istana, meninggalkan jejak aroma garam dan ketakutan.Ibunya Sinta menatapnya dengan energi cinta yang murni, mem