Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / BAB 9: JALAN YANG BUNTU

Share

BAB 9: JALAN YANG BUNTU

Author: Oceania
last update Huling Na-update: 2024-11-28 07:40:55

Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.

Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pemuda pemberani. Mereka menghadang dengan penuh keberanian, meskipun tahu ancaman besar ada di depan mereka. La Tahang, pemimpin parabhela berdiri paling depan.

“La Tahang, mereka sudah membawa tentara!” bisik seorang wanita tua sambil melirik ke arah truk yang membawa personel bersenjata. Di antara mereka, tampak tiga jenderal yang dikenal karena reputasi kerasnya dalam mendukung proyek-proyek besar seperti ini. Perempuan itu masih memiliki trauma pada kasus yang pernah menghabisi Buton puluhan tahun silam.

La Tahang tetap tenang. “Kita berdiri di tanah kita sendiri. Mereka bisa membawa senjata, tetapi kita punya kehormatan dan doa. Kita juga memiliki leluhur, yang bisa melindungi kita dengan keberkahan mereka,” La Ode Harimao hanya tersenyum, ia hanya, menjaga jangan sampai hatinya yang bertindak. Ia hanya berzikir mengawasi anak-anak muda itu. Anak-anak muda itu semakin takut pada ancaman. Tetapi, panggilan hati mereka mengalahkan ketakutan mereka.

Ketegangan semakin meningkat ketika salah satu jenderal, Brigadir La Ghani, turun dari kendaraannya. Ia berjalan dengan langkah penuh percaya diri, diikuti oleh anak buahnya. Ia hadir untuk menyelesaikan masalah sosial tambang yang tidak pernah kunjung usai, pada hal tokoh-tokoh adat dan bahkan tokoh nasional asal Buton sudah terlibat. Tetapi anak-anak muda yang dibesarkan oleh para bela ini tidak bergeming. Mereka tetap menutup jalan, tidak ada hasil tambang yang bisa keluar dari hutan Lambusango tanpa seizin kami.

“Kalian ini bodoh!” teriaknya dengan nada mengejek. “Ini adalah proyek untuk pembangunan. Apa kalian ingin tetap hidup di hutan selamanya? Tanah ini milik negara, dan negara memutuskan bahwa tambang ini harus berjalan.”

Namun, La Tahang tidak bergeming. “Tanah ini adalah tanah leluhur kami. Kami tidak menolak pembangunan, tetapi kami menolak perusakan. Hutan ini adalah hidup kami. Hutan ini adalah warisan bangsa Buton untuk generasi Buton dan juga dunia, sehingga kami harus menjaganya. Hutan ini harusnya mampu menyekolahkan anak-anak Buton dan bangsa ini hingga ke luar negeri, para penambang seharusnya tahu, bahwa kalau ini dieksploitasi, tetapi harus taat pada aturan adat.”

Jenderal itu tersenyum sinis. “Kalau begitu, kita lihat siapa yang lebih kuat.” Ia kembali ke mobilnya, karena ia sadari bahwa jika ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan masyarakat adat Buton. Ia menghindari konflik secara langsung, namun ia mundur mengatur siasat, untuk melewati rintangan tambang itu. Ia memulai memikirkan strategi, memanggil para preman Buton untuk menghadapi para anak muda yang dipimpin para bela. Beberapa pemuda ia temukan, para preman. Merencanakan apa yang akan dilakukan untuk memenangkan permainan.

Sabotase dan Ancaman

Malam itu, serangkaian sabotase dimulai. Ladang masyarakat yang berada di sekitar jalan utama mendadak terbakar. Air di sungai yang mengalir ke desa menjadi keruh, seolah-olah ada sesuatu yang sengaja dilemparkan ke hulu untuk mencemarinya. Di beberapa tempat, masyarakat adat menemukan pohon-pohon besar ditebang tanpa izin, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa perusahaan bisa melakukan apa saja.

La Ode yang merupakan seorang guru, dekat dengan para bela, salah satu pemuda desa, menemui Sinta di balai desa dengan napas tersengal-sengal. “Mereka sudah mulai, Bu Sinta. Mereka membakar ladang kita dan mencemari sungai. Ini bukan hanya tentang tambang, mereka ingin menghancurkan kita.”

Sinta mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya bergejolak. “Kita tidak akan menyerah, La Ode. Tapi kita juga tidak bisa melawan mereka dengan cara yang sama. Kita harus tetap menjaga kepala dingin. Tolong temui La Ode Harimao, untuk minta petunjuk”, suara itu langsung terdengar di telinga Sinta, laksana suara leluhur yang baru saja di dengarnya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, Sinta mendapatkan pentujuk. Yah, saya harus menemui mancuana itu, ia memiliki kekuatan. Sinta memilih masuk ke dalam kamarnya untuk berdialog lewat batin dengan para leluhur dan La Ode Harimao. “Tidak perlu kau ragu, kekuatan terbesar dalam perjaungan adalah kemurnian hati, maka itu jaga kesucian fisik, pikiran dan rasa dari anak-anak muda itu, sehingga kami bisa bersama mereka”, bisik La Ode Harimao mewakili para leluhur.

Pertemuan dengan Anak Muda

Sinta memandang sekelompok anak muda yang berkumpul di bawah pohon besar di balai desa. Wira panggilan akrab untuk La Ode Wira, dengan tatapan penuh semangat, berdiri di tengah mereka. Beberapa pemuda dan pemudi lainnya—La Ode, Ilham, dan Sari—ikut mendengarkan, wajah mereka mencerminkan perpaduan rasa takut dan tekad. Sinta tahu bahwa mereka adalah harapan masa depan Lambusango, tetapi juga menyadari bahwa semangat tanpa arah bisa menjadi pedang bermata dua.

 “Kita tidak bisa hanya berdiam diri, Sinta,” ujar Wira, suaranya penuh tekanan. “Mereka membakar ladang kita, mencemari air kita, dan sekarang mencoba mengambil hutan kita. Apa yang harus kita lakukan jika tidak melawan? Anak-anak Buton harus bangkit melawan atau selamanya akan kehilangan, dan ini bukan hanya soal Buton, tetapi ini soal bumi.”

Sinta menatap Wira dengan tatapan lembut, tetapi tegas. “Wira, aku mengerti amarahmu. Kita semua merasakannya. Tapi jika kita hanya mengandalkan amarah, kita akan kalah.”

La Ode, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. “Tapi bagaimana kita bisa melawan mereka tanpa kekerasan? Mereka punya senjata, punya uang, bahkan punya jenderal. Kita hanya punya tangan kosong.”

Sinta menarik napas panjang. “Kita punya lebih dari itu, La Ode. Kita punya alasan yang kuat, kita punya tanah ini, dan kita punya persatuan. Jika kita bertindak dengan hati dan pikiran yang berangkat dari kangkilo yang kita yakini, bukan hanya dengan otot, kita bisa melindungi Lambusango.”

Ia melanjutkan, “Kalian harus ingat, ini bukan hanya tentang melawan. Ini tentang membela. Membela hutan, membela kehidupan kita, dan membela warisan leluhur kita. Kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita tidak hanya marah, tetapi kita juga bijak.”

Merancang Strategi

Sinta meminta para pemuda untuk duduk melingkar di tanah. Ia menggunakan tongkat kecil untuk menggambar sketsa Lambusango di tanah berpasir. Dengan suara yang penuh keyakinan, ia mulai merancang strategi yang melibatkan kekuatan kolektif dan teknologi modern.

“Kita akan membuat zona pertahanan di jalur-jalur utama yang mereka gunakan,” kata Sinta. “Kita tidak membutuhkan kekerasan, tetapi kita membutuhkan keberadaan. Barikade manusia adalah simbol perlawanan kita.” Sinta meminta para pemuda untuk menjaga jalur ini secara bergantian, memastikan bahwa masyarakat tetap hadir tanpa memprovokasi kekerasan.

“Jun-ho akan membantu kita memasang kamera di area yang rawan,” lanjut Sinta. “Kita akan merekam semua pelanggaran yang mereka lakukan. Bukti ini bisa kita gunakan untuk melaporkan mereka ke pihak yang lebih tinggi.” Ilham dan Sari ditugaskan untuk belajar menggunakan peralatan tersebut. “Level permainan kita harus ditingkatkan ke level internasional, kita harus cerdas.”

“Kita harus melibatkan dunia luar,” Lanjut Sinta. “Kita akan menghubungi media internasional, organisasi lingkungan, dan orang-orang yang peduli dengan Lambusango. Dunia harus tahu apa yang sedang terjadi di sini.” Sinta lebih serius menatap anak-anak muda itu satu persatu, seolah meminta persetujuan dan tekad.

“Kalian harus membantu menyebarkan cerita leluhur kita kepada orang-orang di luar,” ujar Sinta. “Cerita tentang hutan ini sebagai rumah spiritual, tentang pohon-pohon tua yang menjadi penjaga kehidupan. Tentang paru-paru dunia yang akan dihancurkan. Dunia tidak akan peduli jika mereka tidak tahu apa yang kita lindungi.”

Selama beberapa hari berikutnya, Sinta dan Jun-ho memimpin pelatihan intensif untuk para pemuda. Jun-ho mengajarkan mereka cara menggunakan drone dan kamera perangkap untuk memantau aktivitas ilegal. Ia juga menunjukkan cara menganalisis data dari sensor gerak yang sudah dipasang di beberapa titik.

“Teknologi ini adalah mata kita,” kata Jun-ho. “Tapi kalian harus ingat, teknologi ini hanya alat. Kalian yang akan menjadi penjaga sebenarnya. Kearifan lokal yang kalian miliki.”

Di sisi lain, Sinta mengajarkan tentang pentingnya menjaga hubungan dengan masyarakat adat yang lebih tua. Ia meminta para pemuda untuk mendengarkan kisah-kisah mereka, memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi, dan menggunakannya sebagai fondasi dalam perjuangan mereka.

“Kalian adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan,” kata Sinta. “Gunakan itu dengan bijak.”

Menghadapi Ancaman yang Terus Berlanjut

Sementara itu, tekanan dari perusahaan tambang semakin besar. Jalan-jalan menuju tambang terus dijaga oleh masyarakat adat, tetapi perusahaan mulai mengirim lebih banyak alat berat dan personel keamanan. Sabotase kecil-kecilan terus terjadi—ladang masyarakat dirusak, hewan ternak hilang, dan beberapa anggota masyarakat bahkan menerima ancaman langsung.

Di malam hari, ketika Sinta sedang duduk di pondoknya, Wira datang dengan tergesa-gesa. “Sinta, mereka membawa lebih banyak truk. Aku tidak tahu apakah kita bisa terus menahan mereka.”

Sinta menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Wira, kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita harus tetap bertahan. Kita punya rencana, dan kita harus mempercayainya.”

Barikade dan Keberanian

Keesokan harinya, barikade manusia yang dipimpin oleh masyarakat adat kembali terbentuk di jalan utama. Wira dan La Ode berdiri di barisan depan, diapit oleh para pemuda lainnya. Di belakang mereka, para wanita dan anak-anak memegang spanduk sederhana yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami.”

Di sisi lain, alat-alat berat perusahaan tambang terhenti. Para sopir tampak ragu untuk melangkah lebih jauh, terutama dengan kehadiran kamera dan drone yang mengawasi setiap gerakan mereka. Namun, ketegangan tetap terasa, terutama dengan keberadaan jenderal yang mengawal operasi ini.

“Kalian pikir kalian bisa menang hanya dengan duduk di sana?” teriak salah satu jenderal. “Kami punya izin, dan kami akan melewati kalian.”

Namun, La Tahang melangkah maju dengan tenang. “Kalian mungkin punya izin, tetapi kami punya hak. Hutan ini adalah milik leluhur kami, dan kami tidak akan membiarkan kalian menghancurkannya. Hutan ini adalah paru-paru dunia yang harusnya kita jaga bersama”

Kesabaran yang Menginspirasi

Melihat keberanian masyarakat adat dan pemuda, Sinta merasa harapan yang tumbuh di tengah tekanan ini. Ia tahu bahwa perjuangan ini jauh dari selesai, tetapi ia juga tahu bahwa mereka tidak sendiri.

“Kalian adalah bukti bahwa kekuatan tidak selalu tentang senjata atau uang,” kata Sinta kepada para pemuda malam itu. “Kalian adalah penjaga sejati hutan ini, dan dunia akan mendengar suara kalian.”

Beberapa hari kemudian, perusahaan tambang mencoba membawa hasil tambang keluar dari lokasi. Namun, masyarakat adat menutup akses jalan dengan cara yang sederhana tetapi efektif—mereka duduk di tengah jalan, membentuk barikade manusia yang sulit ditembus. Mereka tidak membawa senjata, hanya simbol-simbol adat seperti bendera kain dan tombak kayu.

“Tembus barikade ini!” perintah salah satu jenderal kepada sopir truk.

Namun, sopir itu ragu. Ia tahu bahwa jika ia melanggar barikade ini, itu akan menjadi pemberitaan besar yang bisa memperburuk citra perusahaan.

Di balik barikade itu, Sinta berdiri dengan tegap. Ia tahu bahwa keberadaannya sebagai titisan Ratu Wakaaka memberi kekuatan simbolis kepada masyarakat adat. “Kalian tidak akan lewat di sini,” katanya dengan suara tegas. “Jalan ini adalah jalan leluhur kami, dan kami tidak akan membiarkan kalian merusaknya.”

Di tengah situasi yang semakin menegangkan, Sinta mencoba menjaga ketenangan masyarakatnya. Ia mengingatkan mereka untuk tetap sabar, meskipun tekanan semakin besar. “Jangan biarkan mereka memancing kita untuk bertindak ceroboh,” katanya. “Sabar adalah senjata kita yang paling kuat.”

Namun, sabar tidak berarti pasif. Sinta dan Jun-ho mulai menghubungi jaringan internasional mereka untuk melaporkan situasi ini. Media internasional mulai meliput konflik ini, menyoroti perjuangan masyarakat adat Lambusango yang melawan korporasi besar.

Di malam yang tenang, Sinta merenung di tepi Sungai Wakarumba. Ia merasa bahwa perjuangan ini adalah ujian bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi dirinya sendiri sebagai titisan Ratu Wakaaka.

Jun-ho menghampirinya. “Sinta, kita harus menemukan jalan lain. Ini tidak bisa dibiarkan terus seperti ini.”

Sinta mengangguk, tetapi matanya tetap menatap ke kejauhan. “Aku tahu, Jun-ho. Tapi jalan itu belum terlihat. Semua terasa buntu.”

Jun-ho terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin saatnya kita mencari cara untuk mengubah permainan ini. Mereka menggunakan kekuatan fisik, tetapi kita bisa menggunakan kekuatan hukum dan teknologi.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Huling Na-update : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Huling Na-update : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 12: Sungai Bembe dan Bayangan Masa Lalu

    Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat

    Huling Na-update : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 13: Suara dari Hutan

    Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan

    Huling Na-update : 2024-12-03
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 14: Perlawanan di Lambusango

    Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke

    Huling Na-update : 2024-12-04
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 15: Langkahi Mayat Kami

    Di bawah sinar matahari pagi yang menyilaukan, suasana di Lambusango semakin tegang. Para parabela—pemimpin adat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur—berdiri di barikade yang semakin kokoh. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai pagar hidup, menolak keras masuknya alat berat yang ingin merusak hutan. Dengan suara bulat, mereka berkata, “Langkahi mayat kami sebelum kau bisa melewati jalan ini.”Di balik barikade, Sinta berdiri di tengah masyarakat adat, menjadi pusat perhatian. Ia tidak hanya seorang pemimpin dalam kampanye ini, tetapi juga simbol kekuatan yang menyatukan mereka. Jun-ho, di sisinya, merasa tekanan semakin besar. Kehadiran pemilik tambang, seorang pengusaha asing yang mendesak untuk mengeluarkan hasil tambang berkadar tinggi, menambah beban di medan perlawanan ini.“Jangan pernah berpikir hasil tambang itu bisa keluar jika belum kita temukan kesempatan. Ini adalah ruang untuk melakukan negosiasi, pasti ada jalannya”, pikir Sinta dengan tenang. Ia memandang pemilik ta

    Huling Na-update : 2024-12-05
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 16: Tawar-Menawar yang Memanas

    Di bawah langit Lambusango yang cerah, situasi semakin memanas. Pemilik tambang asing, seorang pria berkebangsaan asing dengan mata penuh ambisi, berdiri di balik barisan petugas keamanan dan alat berat. Ia semakin kehilangan kesabaran.“Waktu adalah uang,” katanya dengan nada dingin kepada timnya. “Pastikan alat berat itu bergerak, apa pun yang terjadi. Gunakan semua cara yang perlu.”Petugas keamanan dan karyawan tambang lokal yang hadir merasa tegang saat mendengar perintah tegas dari pemilik tambang asing tersebut. Mereka merasa terancam dan tidak yakin apakah tindakan mereka akan sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang mereka pegang. Namun, di tengah tekanan yang semakin meningkat, mereka merasa tidak punya pilihan selain melaksanakan perintah tersebut demi menjaga pekerjaan dan keselamatan mereka. Semua mata tertuju pada alat berat yang mulai bergerak, menandakan dimulainya konflik yang tak terelakkan di tambang tersebut.Para Parabela melihat aspek itu sebagai ruang konflik ya

    Huling Na-update : 2024-12-07
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 17: Menggalang Dukungan dari Komunitas Akademik dan Dunia Digital

    Di tengah perjuangan mempertahankan Lambusango, Sinta dan Jun-ho menyadari bahwa mereka membutuhkan strategi yang lebih luas. Perlawanan di barikade memberikan kekuatan moral, tetapi itu tidak cukup untuk menghadapi kekuatan perusahaan tambang yang memiliki pengaruh besar. Mereka memutuskan untuk melibatkan lebih banyak pihak, khususnya dari komunitas lokal dan dunia akademik. Dengan dukungan dari komunitas akademik dan dunia digital, Sinta dan Jun-ho berharap dapat menarik perhatian lebih banyak orang terhadap isu lingkungan yang mereka hadapi. Melalui kolaborasi ini, mereka berharap dapat memperkuat perlawanan mereka dan menciptakan perubahan positif yang lebih besar.Sinta mengusulkan untuk membawa isu Lambusango ke universitas-universitas lokal. “Jun, kita perlu melibatkan generasi muda. Mereka adalah pewaris tanah ini, dan mereka harus memahami bahwa Lambusango adalah aset yang tak ternilai.” Jun-ho setuju dengan usulan Sinta dan mengatakan bahwa pendidikan l

    Huling Na-update : 2024-12-08

Pinakabagong kabanata

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 110 — Air Mata di Bawah Pohon Ginkgo

    Langit Seoul berwarna kelabu saat Lintang melangkah keluar dari stasiun. Hujan tipis mengguyur jalanan kota yang sibuk, namun suara langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak menanggung beban masa silam yang belum benar-benar selesai. Di tangannya, ia menggenggam sekuntum bunga camellia putih—simbol kerendahan hati dan penyesalan.Alamat rumah sang nenek tertera di selembar kertas yang kini telah lecek di sakunya. Meski sebelumnya begitu yakin akan percakapan ini, kini dadanya berdebar, dan pikirannya berliku: Akankah neneknya menerima? Ataukah ambisi masa lalu masih tertinggal dalam darah perempuan tua itu?Rumah kayu tua di pinggir kota itu tampak seperti lukisan dari masa lalu: beranda kecil dengan tanaman bonsai, dan pintu geser dari kayu pinus tua. Aroma kayu dan hujan membaur di udara, menciptakan suasana yang melankolis namun sakral.Lintang mengatur napas. Ia mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan.Lalu suara lembut, r

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 109 — Ladang yang Menyimpan Doa dan Dunia yang Terbelah

    Dedaunan gingko menari perlahan di sepanjang lembah Gangwon-do, seolah menyambut tamu dari arah khatulistiwa yang datang membawa rencana besar dalam kepalanya dan doa lembut dalam dadanya. Lintang berjalan di jalur tanah yang mengarah ke ladang pertanian, tempat para petani Korea masih menggantungkan hidup mereka dari tanah, air, dan musim yang tak selalu bersahabat.Di antara ladang itu, berdiri seorang lelaki tua dengan topi bambu dan tangan penuh lumpur, namun senyum dan matanya jernih bak telaga.“Annyeong haseyo,” sapa Lintang, sedikit kaku tapi tulus.Petani itu mengangguk. “Kau dari Indonesia?” tanyanya, sambil meletakkan alat cangkul ke tanah. “Aku pernah bertemu peneliti dari Buton dulu, tentang metode tanam dengan bulan.”Lintang tersenyum, seakan semesta mempertemukannya tepat dengan orang yang tak asing dengan tanah airnya.“Aku datang membawa gagasan Madrasah Langit,” katanya pelan. &ldqu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 108 — Madrasah Langit dan Akar yang Memanggil

    Angin dari selatan menggulung pelan, membawa wangi laut dan sisa embun hutan. Di halaman rumah kayu yang terpahat di bibir tebing, suara burung murai bersahut seperti zikir pagi yang tak putus. Di sana, di bawah atap yang teduh oleh pohon mangga tua, Lintang duduk berhadapan dengan dua wajah yang telah lama ia kenali, namun baru kini ia pandang sepenuh makna: Sinta, ibunya—wanita berdarah Melanesia dan Bangladeshi yang matanya menyimpan luka dan keberanian, serta Jun Hoo, ayahnya—lelaki berdarah Korea Selatan yang rambutnya telah memutih, namun sorotnya masih jernih seperti riak danau.Pertemuan ini bukan hanya temu darah, melainkan temu jiwa yang telah lama mencari ruang untuk bicara tanpa kata-kata tertunda.“Lintang...” Sinta meraih tangan putrinya dengan gemetar, seakan takut tangan itu hanya mimpi. “Kau datang tepat saat dunia mulai membuka pintu langit.”Lintang tersenyum. “Aku dat

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 107 — Meja Bundar dari Pinggiran Dunia

    Hutan Lambusango masih berselimut embun pagi. Aroma tanah basah dan kayu tua mengalun perlahan seperti bait puisi purba. Di sebuah rumah panggung kayu, di tengah bentangan hijau yang tak pernah memihak siapa pun, Lintang duduk di depan layar, menyambut dunia.Hari ini, layar itu menjadi meja bundar virtual. Tapi bukan meja milik kekuasaan, bukan juga milik konferensi besar yang dikelilingi jas dan dasi. Ini adalah meja milik suara-suara kecil dari pelosok yang mulai berbicara, menolak dibungkam oleh jargon-jargon global.Lintang membuka pertemuan daring. Di layar muncul wajah-wajah dari benua yang berbeda—ada Mikhail dari Rusia, Alina dari Ukraina, Elias dari Jerman, dan kini bergabung pula wajah baru: Robert McAllister dari Amerika Serikat, Gao Yixuan dari China, Selene Ortega dari Meksiko, dan Camille Dupuis dari Kanada.Lintang membuka dengan senyum ya

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 106 — Di Antara Salju dan Api: Percakapan yang Menenun Harapan

    Langit Lambusango pagi itu berwarna kelabu lembut, seperti abu dupa yang naik dari altar doa. Hutan tampak lebih sunyi dari biasanya, seakan ikut menghela napas panjang dunia. Lintang duduk di bale bambu, di depan layar komputer yang memantulkan cahaya pucat. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau pelan, menandai bahwa hari baru telah dimulai, meski dunia belum benar-benar damai.Ia membuka ruang pertemuan daring internasional—sebuah diskusi lintas budaya yang melibatkan para sahabatnya dari Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat. Mereka tidak hadir sebagai wakil negara, tetapi sebagai anak-anak zaman yang ingin menjahit kembali kain dunia yang mulai koyak.Suara pertama datang dari Timur yang beku.“Halo, Lintang. Salju pertama turun kemarin,” ujar Mikhail, pemuda Rusia yang selalu berbicara seolah membawa denting lonceng gereja ortodoks. “Tapi yang dingin bukan hanya langit kami

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 105 — Napas yang Menjaga Peradaban

    Di bawah langit jingga yang mulai merunduk ke peluk senja, langkah Lintang menyusuri jalur setapak Lambusango seolah menari dalam irama yang tak kasat mata. Daun-daun mengayun pelan, seperti menyambutnya dengan kidung rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti makna keheningan. Hutan itu tidak sekadar rimba—ia adalah kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan hati.Udara lembap dan wangi resin dari pohon-pohon tua memenuhi dada. Ada keheningan yang tidak mati, melainkan tumbuh, seperti akar yang terus menyerap kearifan bumi. Di sinilah, di tengah jantung Lambusango, Lintang bersama timnya melakukan riset intensif mengenai hasil hutan non-kayu—resin, rotan, madu hutan, hingga tumbuhan obat yang disimpan oleh rimba dalam sunyi panjangnya.Mereka bukan sekadar peneliti. Mereka adalah para pembaca tanah, penyair bumi yang menuliskan ulang masa depan bukan dengan tinta, melainkan dengan dedikasi dan cinta. Lintang memandangi sebotol kecil madu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 104 – Madrasah Langit, Sekolah dari Akar

    Malam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 103 – Di Tengah Riuh Dunia yang Terguncang

    Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 102 – Singgasana yang Mendengar Daun Jatuh

    Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status