Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.
Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pemuda pemberani. Mereka menghadang dengan penuh keberanian, meskipun tahu ancaman besar ada di depan mereka. La Tahang, pemimpin parabhela berdiri paling depan.
“La Tahang, mereka sudah membawa tentara!” bisik seorang wanita tua sambil melirik ke arah truk yang membawa personel bersenjata. Di antara mereka, tampak tiga jenderal yang dikenal karena reputasi kerasnya dalam mendukung proyek-proyek besar seperti ini. Perempuan itu masih memiliki trauma pada kasus yang pernah menghabisi Buton puluhan tahun silam.
La Tahang tetap tenang. “Kita berdiri di tanah kita sendiri. Mereka bisa membawa senjata, tetapi kita punya kehormatan dan doa. Kita juga memiliki leluhur, yang bisa melindungi kita dengan keberkahan mereka,” La Ode Harimao hanya tersenyum, ia hanya, menjaga jangan sampai hatinya yang bertindak. Ia hanya berzikir mengawasi anak-anak muda itu. Anak-anak muda itu semakin takut pada ancaman. Tetapi, panggilan hati mereka mengalahkan ketakutan mereka.
Ketegangan semakin meningkat ketika salah satu jenderal, Brigadir La Ghani, turun dari kendaraannya. Ia berjalan dengan langkah penuh percaya diri, diikuti oleh anak buahnya. Ia hadir untuk menyelesaikan masalah sosial tambang yang tidak pernah kunjung usai, pada hal tokoh-tokoh adat dan bahkan tokoh nasional asal Buton sudah terlibat. Tetapi anak-anak muda yang dibesarkan oleh para bela ini tidak bergeming. Mereka tetap menutup jalan, tidak ada hasil tambang yang bisa keluar dari hutan Lambusango tanpa seizin kami.
“Kalian ini bodoh!” teriaknya dengan nada mengejek. “Ini adalah proyek untuk pembangunan. Apa kalian ingin tetap hidup di hutan selamanya? Tanah ini milik negara, dan negara memutuskan bahwa tambang ini harus berjalan.”
Namun, La Tahang tidak bergeming. “Tanah ini adalah tanah leluhur kami. Kami tidak menolak pembangunan, tetapi kami menolak perusakan. Hutan ini adalah hidup kami. Hutan ini adalah warisan bangsa Buton untuk generasi Buton dan juga dunia, sehingga kami harus menjaganya. Hutan ini harusnya mampu menyekolahkan anak-anak Buton dan bangsa ini hingga ke luar negeri, para penambang seharusnya tahu, bahwa kalau ini dieksploitasi, tetapi harus taat pada aturan adat.”
Jenderal itu tersenyum sinis. “Kalau begitu, kita lihat siapa yang lebih kuat.” Ia kembali ke mobilnya, karena ia sadari bahwa jika ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan masyarakat adat Buton. Ia menghindari konflik secara langsung, namun ia mundur mengatur siasat, untuk melewati rintangan tambang itu. Ia memulai memikirkan strategi, memanggil para preman Buton untuk menghadapi para anak muda yang dipimpin para bela. Beberapa pemuda ia temukan, para preman. Merencanakan apa yang akan dilakukan untuk memenangkan permainan.
Sabotase dan Ancaman
Malam itu, serangkaian sabotase dimulai. Ladang masyarakat yang berada di sekitar jalan utama mendadak terbakar. Air di sungai yang mengalir ke desa menjadi keruh, seolah-olah ada sesuatu yang sengaja dilemparkan ke hulu untuk mencemarinya. Di beberapa tempat, masyarakat adat menemukan pohon-pohon besar ditebang tanpa izin, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa perusahaan bisa melakukan apa saja.
La Ode yang merupakan seorang guru, dekat dengan para bela, salah satu pemuda desa, menemui Sinta di balai desa dengan napas tersengal-sengal. “Mereka sudah mulai, Bu Sinta. Mereka membakar ladang kita dan mencemari sungai. Ini bukan hanya tentang tambang, mereka ingin menghancurkan kita.”
Sinta mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya bergejolak. “Kita tidak akan menyerah, La Ode. Tapi kita juga tidak bisa melawan mereka dengan cara yang sama. Kita harus tetap menjaga kepala dingin. Tolong temui La Ode Harimao, untuk minta petunjuk”, suara itu langsung terdengar di telinga Sinta, laksana suara leluhur yang baru saja di dengarnya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, Sinta mendapatkan pentujuk. Yah, saya harus menemui mancuana itu, ia memiliki kekuatan. Sinta memilih masuk ke dalam kamarnya untuk berdialog lewat batin dengan para leluhur dan La Ode Harimao. “Tidak perlu kau ragu, kekuatan terbesar dalam perjaungan adalah kemurnian hati, maka itu jaga kesucian fisik, pikiran dan rasa dari anak-anak muda itu, sehingga kami bisa bersama mereka”, bisik La Ode Harimao mewakili para leluhur.
Pertemuan dengan Anak Muda
Sinta memandang sekelompok anak muda yang berkumpul di bawah pohon besar di balai desa. Wira panggilan akrab untuk La Ode Wira, dengan tatapan penuh semangat, berdiri di tengah mereka. Beberapa pemuda dan pemudi lainnya—La Ode, Ilham, dan Sari—ikut mendengarkan, wajah mereka mencerminkan perpaduan rasa takut dan tekad. Sinta tahu bahwa mereka adalah harapan masa depan Lambusango, tetapi juga menyadari bahwa semangat tanpa arah bisa menjadi pedang bermata dua.
“Kita tidak bisa hanya berdiam diri, Sinta,” ujar Wira, suaranya penuh tekanan. “Mereka membakar ladang kita, mencemari air kita, dan sekarang mencoba mengambil hutan kita. Apa yang harus kita lakukan jika tidak melawan? Anak-anak Buton harus bangkit melawan atau selamanya akan kehilangan, dan ini bukan hanya soal Buton, tetapi ini soal bumi.”
Sinta menatap Wira dengan tatapan lembut, tetapi tegas. “Wira, aku mengerti amarahmu. Kita semua merasakannya. Tapi jika kita hanya mengandalkan amarah, kita akan kalah.”
La Ode, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. “Tapi bagaimana kita bisa melawan mereka tanpa kekerasan? Mereka punya senjata, punya uang, bahkan punya jenderal. Kita hanya punya tangan kosong.”
Sinta menarik napas panjang. “Kita punya lebih dari itu, La Ode. Kita punya alasan yang kuat, kita punya tanah ini, dan kita punya persatuan. Jika kita bertindak dengan hati dan pikiran yang berangkat dari kangkilo yang kita yakini, bukan hanya dengan otot, kita bisa melindungi Lambusango.”
Ia melanjutkan, “Kalian harus ingat, ini bukan hanya tentang melawan. Ini tentang membela. Membela hutan, membela kehidupan kita, dan membela warisan leluhur kita. Kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita tidak hanya marah, tetapi kita juga bijak.”
Sinta meminta para pemuda untuk duduk melingkar di tanah. Ia menggunakan tongkat kecil untuk menggambar sketsa Lambusango di tanah berpasir. Dengan suara yang penuh keyakinan, ia mulai merancang strategi yang melibatkan kekuatan kolektif dan teknologi modern.
“Kita akan membuat zona pertahanan di jalur-jalur utama yang mereka gunakan,” kata Sinta. “Kita tidak membutuhkan kekerasan, tetapi kita membutuhkan keberadaan. Barikade manusia adalah simbol perlawanan kita.” Sinta meminta para pemuda untuk menjaga jalur ini secara bergantian, memastikan bahwa masyarakat tetap hadir tanpa memprovokasi kekerasan.
“Jun-ho akan membantu kita memasang kamera di area yang rawan,” lanjut Sinta. “Kita akan merekam semua pelanggaran yang mereka lakukan. Bukti ini bisa kita gunakan untuk melaporkan mereka ke pihak yang lebih tinggi.” Ilham dan Sari ditugaskan untuk belajar menggunakan peralatan tersebut. “Level permainan kita harus ditingkatkan ke level internasional, kita harus cerdas.”
“Kita harus melibatkan dunia luar,” Lanjut Sinta. “Kita akan menghubungi media internasional, organisasi lingkungan, dan orang-orang yang peduli dengan Lambusango. Dunia harus tahu apa yang sedang terjadi di sini.” Sinta lebih serius menatap anak-anak muda itu satu persatu, seolah meminta persetujuan dan tekad.
“Kalian harus membantu menyebarkan cerita leluhur kita kepada orang-orang di luar,” ujar Sinta. “Cerita tentang hutan ini sebagai rumah spiritual, tentang pohon-pohon tua yang menjadi penjaga kehidupan. Tentang paru-paru dunia yang akan dihancurkan. Dunia tidak akan peduli jika mereka tidak tahu apa yang kita lindungi.”
Selama beberapa hari berikutnya, Sinta dan Jun-ho memimpin pelatihan intensif untuk para pemuda. Jun-ho mengajarkan mereka cara menggunakan drone dan kamera perangkap untuk memantau aktivitas ilegal. Ia juga menunjukkan cara menganalisis data dari sensor gerak yang sudah dipasang di beberapa titik.
“Teknologi ini adalah mata kita,” kata Jun-ho. “Tapi kalian harus ingat, teknologi ini hanya alat. Kalian yang akan menjadi penjaga sebenarnya. Kearifan lokal yang kalian miliki.”
Di sisi lain, Sinta mengajarkan tentang pentingnya menjaga hubungan dengan masyarakat adat yang lebih tua. Ia meminta para pemuda untuk mendengarkan kisah-kisah mereka, memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi, dan menggunakannya sebagai fondasi dalam perjuangan mereka.
“Kalian adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan,” kata Sinta. “Gunakan itu dengan bijak.”
Sementara itu, tekanan dari perusahaan tambang semakin besar. Jalan-jalan menuju tambang terus dijaga oleh masyarakat adat, tetapi perusahaan mulai mengirim lebih banyak alat berat dan personel keamanan. Sabotase kecil-kecilan terus terjadi—ladang masyarakat dirusak, hewan ternak hilang, dan beberapa anggota masyarakat bahkan menerima ancaman langsung.
Di malam hari, ketika Sinta sedang duduk di pondoknya, Wira datang dengan tergesa-gesa. “Sinta, mereka membawa lebih banyak truk. Aku tidak tahu apakah kita bisa terus menahan mereka.”
Sinta menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Wira, kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita harus tetap bertahan. Kita punya rencana, dan kita harus mempercayainya.”
Keesokan harinya, barikade manusia yang dipimpin oleh masyarakat adat kembali terbentuk di jalan utama. Wira dan La Ode berdiri di barisan depan, diapit oleh para pemuda lainnya. Di belakang mereka, para wanita dan anak-anak memegang spanduk sederhana yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami.”
Di sisi lain, alat-alat berat perusahaan tambang terhenti. Para sopir tampak ragu untuk melangkah lebih jauh, terutama dengan kehadiran kamera dan drone yang mengawasi setiap gerakan mereka. Namun, ketegangan tetap terasa, terutama dengan keberadaan jenderal yang mengawal operasi ini.
“Kalian pikir kalian bisa menang hanya dengan duduk di sana?” teriak salah satu jenderal. “Kami punya izin, dan kami akan melewati kalian.”
Namun, La Tahang melangkah maju dengan tenang. “Kalian mungkin punya izin, tetapi kami punya hak. Hutan ini adalah milik leluhur kami, dan kami tidak akan membiarkan kalian menghancurkannya. Hutan ini adalah paru-paru dunia yang harusnya kita jaga bersama”
Melihat keberanian masyarakat adat dan pemuda, Sinta merasa harapan yang tumbuh di tengah tekanan ini. Ia tahu bahwa perjuangan ini jauh dari selesai, tetapi ia juga tahu bahwa mereka tidak sendiri.
“Kalian adalah bukti bahwa kekuatan tidak selalu tentang senjata atau uang,” kata Sinta kepada para pemuda malam itu. “Kalian adalah penjaga sejati hutan ini, dan dunia akan mendengar suara kalian.”
Beberapa hari kemudian, perusahaan tambang mencoba membawa hasil tambang keluar dari lokasi. Namun, masyarakat adat menutup akses jalan dengan cara yang sederhana tetapi efektif—mereka duduk di tengah jalan, membentuk barikade manusia yang sulit ditembus. Mereka tidak membawa senjata, hanya simbol-simbol adat seperti bendera kain dan tombak kayu.
“Tembus barikade ini!” perintah salah satu jenderal kepada sopir truk.
Namun, sopir itu ragu. Ia tahu bahwa jika ia melanggar barikade ini, itu akan menjadi pemberitaan besar yang bisa memperburuk citra perusahaan.
Di balik barikade itu, Sinta berdiri dengan tegap. Ia tahu bahwa keberadaannya sebagai titisan Ratu Wakaaka memberi kekuatan simbolis kepada masyarakat adat. “Kalian tidak akan lewat di sini,” katanya dengan suara tegas. “Jalan ini adalah jalan leluhur kami, dan kami tidak akan membiarkan kalian merusaknya.”
Di tengah situasi yang semakin menegangkan, Sinta mencoba menjaga ketenangan masyarakatnya. Ia mengingatkan mereka untuk tetap sabar, meskipun tekanan semakin besar. “Jangan biarkan mereka memancing kita untuk bertindak ceroboh,” katanya. “Sabar adalah senjata kita yang paling kuat.”
Namun, sabar tidak berarti pasif. Sinta dan Jun-ho mulai menghubungi jaringan internasional mereka untuk melaporkan situasi ini. Media internasional mulai meliput konflik ini, menyoroti perjuangan masyarakat adat Lambusango yang melawan korporasi besar.
Di malam yang tenang, Sinta merenung di tepi Sungai Wakarumba. Ia merasa bahwa perjuangan ini adalah ujian bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi dirinya sendiri sebagai titisan Ratu Wakaaka.
Jun-ho menghampirinya. “Sinta, kita harus menemukan jalan lain. Ini tidak bisa dibiarkan terus seperti ini.”
Sinta mengangguk, tetapi matanya tetap menatap ke kejauhan. “Aku tahu, Jun-ho. Tapi jalan itu belum terlihat. Semua terasa buntu.”
Jun-ho terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin saatnya kita mencari cara untuk mengubah permainan ini. Mereka menggunakan kekuatan fisik, tetapi kita bisa menggunakan kekuatan hukum dan teknologi.”
BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir
Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan
Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke
Di bawah sinar matahari pagi yang menyilaukan, suasana di Lambusango semakin tegang. Para parabela—pemimpin adat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur—berdiri di barikade yang semakin kokoh. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai pagar hidup, menolak keras masuknya alat berat yang ingin merusak hutan. Dengan suara bulat, mereka berkata, “Langkahi mayat kami sebelum kau bisa melewati jalan ini.”Di balik barikade, Sinta berdiri di tengah masyarakat adat, menjadi pusat perhatian. Ia tidak hanya seorang pemimpin dalam kampanye ini, tetapi juga simbol kekuatan yang menyatukan mereka. Jun-ho, di sisinya, merasa tekanan semakin besar. Kehadiran pemilik tambang, seorang pengusaha asing yang mendesak untuk mengeluarkan hasil tambang berkadar tinggi, menambah beban di medan perlawanan ini.“Jangan pernah berpikir hasil tambang itu bisa keluar jika belum kita temukan kesempatan. Ini adalah ruang untuk melakukan negosiasi, pasti ada jalannya”, pikir Sinta dengan tenang. Ia memandang pemilik ta
Di bawah langit Lambusango yang cerah, situasi semakin memanas. Pemilik tambang asing, seorang pria berkebangsaan asing dengan mata penuh ambisi, berdiri di balik barisan petugas keamanan dan alat berat. Ia semakin kehilangan kesabaran.“Waktu adalah uang,” katanya dengan nada dingin kepada timnya. “Pastikan alat berat itu bergerak, apa pun yang terjadi. Gunakan semua cara yang perlu.”Petugas keamanan dan karyawan tambang lokal yang hadir merasa tegang saat mendengar perintah tegas dari pemilik tambang asing tersebut. Mereka merasa terancam dan tidak yakin apakah tindakan mereka akan sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang mereka pegang. Namun, di tengah tekanan yang semakin meningkat, mereka merasa tidak punya pilihan selain melaksanakan perintah tersebut demi menjaga pekerjaan dan keselamatan mereka. Semua mata tertuju pada alat berat yang mulai bergerak, menandakan dimulainya konflik yang tak terelakkan di tambang tersebut.Para Parabela melihat aspek itu sebagai ruang konflik ya
Di tengah perjuangan mempertahankan Lambusango, Sinta dan Jun-ho menyadari bahwa mereka membutuhkan strategi yang lebih luas. Perlawanan di barikade memberikan kekuatan moral, tetapi itu tidak cukup untuk menghadapi kekuatan perusahaan tambang yang memiliki pengaruh besar. Mereka memutuskan untuk melibatkan lebih banyak pihak, khususnya dari komunitas lokal dan dunia akademik. Dengan dukungan dari komunitas akademik dan dunia digital, Sinta dan Jun-ho berharap dapat menarik perhatian lebih banyak orang terhadap isu lingkungan yang mereka hadapi. Melalui kolaborasi ini, mereka berharap dapat memperkuat perlawanan mereka dan menciptakan perubahan positif yang lebih besar.Sinta mengusulkan untuk membawa isu Lambusango ke universitas-universitas lokal. “Jun, kita perlu melibatkan generasi muda. Mereka adalah pewaris tanah ini, dan mereka harus memahami bahwa Lambusango adalah aset yang tak ternilai.” Jun-ho setuju dengan usulan Sinta dan mengatakan bahwa pendidikan l
Pagi itu, Jun memulai harinya dengan membuka platform cryptocurrency tempat Lambusango Koin—proyek ambisiusnya—baru saja diluncurkan. Dengan fondasi ekonomi yang kuat, koin ini didukung oleh valuasi ekosistem Hutan Lambusango yang kaya akan keanekaragaman hayati dan nilai budaya. Awalnya, pasar menerima koin tersebut dengan antusias, namun pagi ini segalanya berubah.Investor mulai menjual Lambusango Koin secara massal, menyebabkan harga turun drastis dalam waktu singkat. Jun merasa cemas dan bingung, tidak mengerti apa yang menyebabkan perubahan mendadak ini. Dia segera menuju ke perpustakaan di Teluk Lawele, tempat dia biasa mencari inspirasi dan solusi dalam menghadapi masalah. Saat dia tiba di sana, dia melihat sekelompok orang sedang berdiskusi dengan serius di sudut ruangan. Jun mendekati mereka dan akhirnya menemukan jawaban atas kejadian yang sedang terjadi.Jun kembali melihat layar handphonenya, "Semua merah," gumam Jun, menatap grafik yang menunjukkan penurunan drastis. Lam
Pagi itu, mentari bersinar lembut menyentuh dedaunan Hutan Lambusango. Sinta dan Jun-ho melangkah mantap memasuki desa-desa di sekitar hutan, menyapa warga dan mendengarkan suara mereka. Hari ini, mereka memiliki agenda penting: bertemu dengan tokoh-tokoh adat untuk mendiskusikan ancaman peta izin tambang yang mengintai kelestarian hutan.Sinta dan Jun-ho merasa tegang namun juga penuh semangat untuk melindungi hutan Lambusango. Mereka sadar betapa pentingnya menjaga ekosistem hutan tersebut agar tidak terancam oleh aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Dengan hati yang penuh tekad, mereka berharap pertemuan dengan tokoh-tokoh adat dapat membawa solusi yang terbaik untuk menjaga kelestarian hutan yang mereka cintai.Sinta berbicara dengan penuh semangat, "Jun, hari ini kita harus fokus pada pemberdayaan masyarakat. Kita harus memperkenalkan kembali nilai-nilai kangkilo sebagai materi utama dalam pelatihan yang akan datang."Jun menatap Sinta, wajah
Sinta berdiri memandangi hamparan persawahan di bawah Bukit Kapuntori. Terasa begitu tenang, seolah waktu melambat untuk memberikan ruang bagi pikirannya yang berkelana. Bentangan hijau sawah yang berkilau diterpa matahari sore mengingatkannya pada permadani alam yang penuh keindahan dan rahasia. Kilauan sawah yang menguning memberikan suasana yang nyaman dan tentunya membawa seseorang untuk menikmati senjanya, terlebih dengan seorang kekasih. Matahari perlahan tenggelam di balik bukit, mewarnai langit dengan gradasi warna yang memukau. Sinta merasa beruntung bisa menikmati momen indah ini bersama kekasihnya di bawah langit Kapuntori.Jun-ho berdiri di sampingnya, matanya mengikuti arah pandang Sinta. Ia hanya tersenyum, meskipun di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia ungkapkan. Sinta terlihat begitu tenggelam dalam pikirannya, hingga Jun tak bisa menahan diri untuk berkata, "Sinta, ini seperti bentangan permadani. Di sinilah banyak kisah cinta tumbuh dan pergi. Mungkinkah
Perjalanan dari Pulau Talaga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Sinta dan Jun. Jun-ho memperhatikan keindahan pulau Talaga dan melihat dari jauh pulau Kabaena. Kali ini mereka naik kapal penumpang. Kapal agak besar dibandingkan dengan perahu nelayan. Jun-ho membayangkan tentang tujuh bidadari yang turun di puncak gunung Sambampolulu. “Suatu saat saya akan ke sana, negeri di atas awan,” pikirnya sementara matanya di arahkan ke wajah cantic di depannya, wajah Sinta yang luar biasa. Kulitnya tetap putih dan halus, tanpa terpengaruh oleh terik matahari di sekitar hutan tropis.Wawasan yang mereka peroleh tentang kangkilo—nilai tradisional yang menekankan kejujuran, keseimbangan, dan hubungan yang harmonis dengan alam—telah mengubah cara pandang mereka terhadap perjuangan mereka selama ini. Mereka merasa terinspirasi untuk kembali ke desa mereka dan menerapkan nilai-nilai kangkilo dalam upaya membangun harapan baru bagi masyarakat setempat.
Rasa penasaran yang membara membawa Jun-ho dan Sinta ke Pulau Talaga, tempat asal mula tradisi Pengka Loe-Loe, ritual adat yang telah mengubah persepsi mereka tentang hubungan antara dunia nyata dan spiritual. Mereka ingin memahami lebih dalam tentang kangkilo, filosofi yang menjadi inti dari kepercayaan masyarakat Buton. Jun-ho dan Sinta sangat penasaran, terutama Jun-ho yang menyaksikan kejadian beberapa hari yang lalu dengan mata bahkan dengan direkam dengan kamera. Jun sangat kaget, karena sebuah fenomena yang unik terjadi di depan mata, tepat dizaman seperti ini. “Ini adalah representasi ruang-ruang kesadaran budaya yang tidak mungkin dapat dijelaskan oleh prspektif ilmiah. Datang ke Pulau Talaga adalah sesuatu yang penting, untuk menyaksikan secara langsung, bagaimana masyarakat setempat mendapatkan pemahaman mengenai dunia bawah laut.” Jun-ho dan Sinta mengharapkan ada penjelasan yang mendalam mengenai masalah ini. Mereka akhirnya menuju Kota Baubau untuk menumpang kapal-kapa
Kisah sumpah adat Pengka Loe-Loe yang menewaskan La Ode Musrama dan perempuan-perempuan penyebar fitnah menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di Buton tetapi juga di berbagai media sosial. Banyak yang terpukau dan takjub, tetapi ada pula yang mempertanyakan kebenaran ritual tersebut. Beberapa pihak bahkan meminta investigasi atas insiden ini. Bahkan ada berita di media yang menjelaskan bahwa ritual itu adalah ritual pembunuhan. Bahkan ada media yang menjelaskan bahwa mantra itu adalah mantra pembunuhan dalam versi yang lainnya.“Kita harus melakukan investigasi atas apa yang terjadi di pantai kemarin. Itu murni kriminalitas yang berbasis di mantra”. Bahkan media nasional dan internasional menomentari peistiwa itu setelah videonya tersebar luas di masyarakat.“Ini adalah pembunuhan,” kata salah seorang anak muda yang memiliki hubungan dengan pihak tambang yang selama ini dihalangi oleh tetua adat yang didukung oleh Sinta dan J
Kedatangan Sinta dari Korea yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan dan kebanggaan justru berubah menjadi polemik besar di Buton. Desas-desus yang disebarkan oleh kaki tangan pengelola tambang dan La Ode Musrama yang merasa iri, telah merusak reputasi Sinta. Isu bahwa Sinta tidak lagi suci sebagai calon pemimpin adat beredar luas, membuat masyarakat dan Parabela (tetua adat) ragu akan kelayakannya. Isu itu bahkan dibuatkan dalam bentuk musik. La Ode Musrama selalu menyanyikan lagu Sepuli na Jandi yang dipopulerkan La Ode Karimuddin. Ia menyebarkan desas desus bahwa Sinta yang merupakan tokoh muda yang dapat mewarisi peradaban Buton kini tidak layak lagi."Sinta sudah melanggar nilai-nilai sakral budaya kita," bisik beberapa orang. Ia bergerilya dan melibatkan banyak ibu-ibu yang senang bergosip. Ia sudah berjalan terlampau jauh, ia sampai di pulau Jeju, tidak mungkin kita percaya lagi”. Rasa cemburu menyelimuti hatinya. Ia begitu benci ketika ia tahu bahwa Sinta pergi
Pesawat dari Seoul menuju Jakarta meluncur mulus di langit malam. Di kursi sebelah, Sinta terlelap, wajahnya yang khas—perpaduan antara warisan Buton, Melanesia, dan sentuhan keturunan Asia lainnya—bersinar tenang di bawah cahaya lampu kabin. Bagi Jun, Sinta adalah sosok yang tidak hanya menginspirasi cinta, tetapi juga harapan bagi masyarakat yang ingin mereka bangun bersama. Sebelum tidur, Sinta memutar music pop Korea Touch Love yang dipopulerkan Yoon Mi-rae, Sinta terlelap dalam imajinya, berharap bersandar pada Jun-ho dalam perjalanan panjang hidupnya nanti. Pelan-pelan teks-teks lagu itu menjelma dalam mimpinya, ia sudah menemukan dirinya bersandar pada Jun-ho di pantai yang ada di pulau Jeju. Ia menyandarikan dirinya. Jun-ho melihat Sinta tersenyum dan matanya tetap tertuju. Jun-ho membirkan ia Sinta tertidur, ia hanya mengagumi kencatikan itu, mengalahkan Yoon Mi-rae artis Korea yang terkenal di negaranya.Di benak Jun, rencana-rencana besar berkecamuk. Kembali ke Buton bukan
Jun membawa Sinta mengunjungi berbagai institusi budaya dan pendidikan di Korea, memperlihatkan bagaimana sistem pengelolaan budaya diajarkan kepada generasi muda. Mereka mengunjungi sebuah sekolah dasar di Seoul, di mana anak-anak diajarkan menghormati warisan budaya mereka melalui pelajaran sejarah, seni, dan praktik-praktik tradisional.“Lihat ini, Sinta,” kata Jun sambil menunjukkan salah satu mural di aula sekolah yang menggambarkan tradisi rakyat Korea. “Setiap generasi diajarkan untuk memahami akar budaya mereka sejak dini. Jika kita bisa menerapkan hal yang serupa di Buton, terutama untuk konservasi Hutan Lambusango, aku yakin hasilnya akan luar biasa.”Sinta mengangguk, terinspirasi. “Mendidik anak-anak di sekitar Lambusango untuk mencintai budaya dan lingkungan mereka sejak dini adalah langkah yang sangat penting. Itu akan menjadi bagian dari jati diri mereka.”Mereka juga mengunjungi sebuah museum budaya yang memamerkan cara hidup tradisional Korea. Di sana, Jun menunjukkan