Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan
Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke
Di bawah sinar matahari pagi yang menyilaukan, suasana di Lambusango semakin tegang. Para parabela—pemimpin adat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur—berdiri di barikade yang semakin kokoh. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai pagar hidup, menolak keras masuknya alat berat yang ingin merusak hutan. Dengan suara bulat, mereka berkata, “Langkahi mayat kami sebelum kau bisa melewati jalan ini.”Di balik barikade, Sinta berdiri di tengah masyarakat adat, menjadi pusat perhatian. Ia tidak hanya seorang pemimpin dalam kampanye ini, tetapi juga simbol kekuatan yang menyatukan mereka. Jun-ho, di sisinya, merasa tekanan semakin besar. Kehadiran pemilik tambang, seorang pengusaha asing yang mendesak untuk mengeluarkan hasil tambang berkadar tinggi, menambah beban di medan perlawanan ini.“Jangan pernah berpikir hasil tambang itu bisa keluar jika belum kita temukan kesempatan. Ini adalah ruang untuk melakukan negosiasi, pasti ada jalannya”, pikir Sinta dengan tenang. Ia memandang pemilik ta
Di bawah langit Lambusango yang cerah, situasi semakin memanas. Pemilik tambang asing, seorang pria berkebangsaan asing dengan mata penuh ambisi, berdiri di balik barisan petugas keamanan dan alat berat. Ia semakin kehilangan kesabaran.“Waktu adalah uang,” katanya dengan nada dingin kepada timnya. “Pastikan alat berat itu bergerak, apa pun yang terjadi. Gunakan semua cara yang perlu.”Petugas keamanan dan karyawan tambang lokal yang hadir merasa tegang saat mendengar perintah tegas dari pemilik tambang asing tersebut. Mereka merasa terancam dan tidak yakin apakah tindakan mereka akan sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang mereka pegang. Namun, di tengah tekanan yang semakin meningkat, mereka merasa tidak punya pilihan selain melaksanakan perintah tersebut demi menjaga pekerjaan dan keselamatan mereka. Semua mata tertuju pada alat berat yang mulai bergerak, menandakan dimulainya konflik yang tak terelakkan di tambang tersebut.Para Parabela melihat aspek itu sebagai ruang konflik ya
Di tengah perjuangan mempertahankan Lambusango, Sinta dan Jun-ho menyadari bahwa mereka membutuhkan strategi yang lebih luas. Perlawanan di barikade memberikan kekuatan moral, tetapi itu tidak cukup untuk menghadapi kekuatan perusahaan tambang yang memiliki pengaruh besar. Mereka memutuskan untuk melibatkan lebih banyak pihak, khususnya dari komunitas lokal dan dunia akademik. Dengan dukungan dari komunitas akademik dan dunia digital, Sinta dan Jun-ho berharap dapat menarik perhatian lebih banyak orang terhadap isu lingkungan yang mereka hadapi. Melalui kolaborasi ini, mereka berharap dapat memperkuat perlawanan mereka dan menciptakan perubahan positif yang lebih besar.Sinta mengusulkan untuk membawa isu Lambusango ke universitas-universitas lokal. “Jun, kita perlu melibatkan generasi muda. Mereka adalah pewaris tanah ini, dan mereka harus memahami bahwa Lambusango adalah aset yang tak ternilai.” Jun-ho setuju dengan usulan Sinta dan mengatakan bahwa pendidikan l
Dengan semangat dan antusiasme yang menggelora, Sinta dan Jun-ho menyaksikan bagaimana berbagai elemen masyarakat mulai terhubung dalam visi yang sama untuk Hutan Lambusango. Universitas, masyarakat adat, komunitas lokal, dan pemimpin desa bahu-membahu dalam mengembangkan konsep keberlanjutan yang berpijak pada tradisi dan teknologi. Mereka menyadari bahwa sinergi antara berbagai pihak merupakan kunci utama untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan sekitarnya. Dengan kerjasama yang solid, mereka yakin masa depan Hutan Lambusango akan menjadi lebih terjamin.****Perwakilan dari universitas setempat dan internasional telah menandatangani nota kesepahaman untuk menjadikan Lambusango sebagai pusat riset global. Mereka sepakat untuk mengirim mahasiswa dan peneliti ke Lambusango, tidak hanya untuk mempelajari ekosistemnya, tetapi juga untuk mengembangkan solusi berbasis komunitas yang inovatif.“Kita memiliki peluang besar di sini,” kata Profesor Rahmat d
Buton, 03.00 WITASinta terbangun dengan keringat dingin, darah di lengannya masih berpendar biru pucat. Dalam mimpinya, Ratu Wakaaka berdiri di antara ribuan bintang, dikelilingi makhluk perak yang berkata: "Darahmu adalah benih terakhir. Pilih: tumbuh di sini, atau berkecambah di galaksi lain." Di luar jendela, langit memerah—gunung api di Chile dan Jepang mulai erupsi bersamaan. Sinta merasa takut dan bingung dengan arti dari mimpi yang terasa begitu nyata tersebut. Apakah benar darahnya memiliki kekuatan khusus yang dapat mempengaruhi nasib bumi dan galaksi lain? Langit yang memerah di luar jendela membuatnya semakin gelisah, seakan menandakan bahwa keputusan yang harus diambil oleh Sinta akan memiliki dampak yang besar bagi seluruh alam semesta. Dengan gemetar, Sinta akhirnya mengambil keputusan untuk... menjalani meditasi mendalam untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Ia memutuskan untuk memperkuat hubungan spiritualnya dengan alam semesta dan mema
Kuil Bawah Laut Ratu Wakaaka, 04.00 WITATrisula Kapten Pierre menyala biru saat tertancap di celah batu karang berbentuk mahkota. Gemuruh menggelegar, dinding kuil retak, memperlihatkan lorong menuju ruang dalam yang dipenuhi prasasti bercahaya. Sinta, Jun Ho, dan Dr. Lee menyelam masuk, lampu sorot mereka berkedip-kedip."Ini bukan cuma kuil," bisik Jun Ho, kamera drone merekam simbol aneh di langit-langit. "Ini... peta bintang?"Mereka melanjutkan perjalanan ke dalam kuil, melewati prasasti-prasasti kuno yang bercahaya di dalam ruangan gelap. Suasana di dalam kuil terasa semakin mencekam, namun ketiganya tetap berani melanjutkan eksplorasi. Sinta memperhatikan dengan seksama setiap detail yang ada di sekitar mereka, sementara Jun Ho terus mengoperasikan kamera drone untuk merekam setiap temuan yang mereka temui. Dr. Lee, yang merupakan ahli sejarah, mulai mengidentifikasi simbol-simbol yang ada di dinding dan langit-langit kuil. Tiba-tiba, sebuah gemuruh yang lebih keras terdengar,
Perairan Buton, 05.00 WITACahaya hijau menyala dari dasar laut, memancar melalui air seperti sinar beracun. Klon kristal Tiongkok bocor, menyebarkan radiasi aneh yang mengubah karang menjadi batu hitam berlubang. Ikan-ikan berenang dalam spiral gila, insang mereka mengeluarkan lendir keemasan. Di atas kapal kecil, Sinta memandang horor itu sambil menggenggam tombak kristal Ratu Wakaaka. "Ini lebih buruk dari yang kita kira," bisiknya pada Jun Ho yang sedang memantau data GPS."Kita harus segera keluar dari sini sebelum semuanya terlambat," desis Jun Ho sambil menatap layar monitor dengan ekspresi cemas. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus segera meninggalkan tempat tersebut sebelum radiasi yang mengerikan tersebut merusak seluruh ekosistem laut. Sinta mengangguk setuju, lalu dengan hati-hati mengarahkan kapal kecil mereka menuju arah yang aman, meninggalkan kehancuran di belakang mereka.Mereka merasa lega ketika berhasil meloloskan diri dari bahaya yang mengancam, namun ketegangan
Perairan Buton, 03.00 WITADr. Ethan menjatuhkan kristal merah ke dasar laut, tangannya yang terbakar menyala seperti besi membara. "Ini untuk kalian yang mengusikku!" raungnya. Kristal itu menusuk tanah vulkanik, memicu retakan mengerikan. Gemuruh terdengar, gelembung raksasa naik ke permukaan—lalugunung api bawah laut meletus, menyemburkan lava dan abu hitam. Kapal nelayan terdekat terlempar, ikan-ikan mati mengapung di air mendidih.Lautan menjadi merah menyala, mengeluarkan suara gemuruh yang mencekam. Dr. Ethan menatap kejauhan, senyum jahat terukir di wajahnya saat ia menyaksikan kehancuran yang ia ciptakan. Pulau kecil di dekatnya mulai terangkat dari dasar laut, seakan-akan sedang bangkit dari tidurnya yang panjang. Para penduduk di sekitar pulau itu berteriak ketakutan, menyadari bahwa bencana besar telah menimpa mereka."Togo Motondu, hati-hati te ludu," kampung akan tenggelam, hati-hati ada gempa. Teriak, masyarakat. Mereka berusaha melarikan diri, namun tak ada tempat yang
Perairan Buton, 04.30 WITAKapal militer AS USS Guardian mengarahkan sonar ke gua bawah air, menangkap gambar kristal biru berpendar. "Target terkunci. Siapkan tim pengekstrakan," perintah Kapten Reed. Di permukaan, Sinta dan Jun Ho, yang menyamar sebagai nelayan, mengirim pesan darurat ke Wa Ode Sandibula: "Mereka akan merusak segalanya!"Saat Wa Ode menerima pesan mendesak dari Sinta dan Jun Ho, jantungnya berdebar dengan campuran ketakutan dan tekad. Dia tahu bahwa penemuan kristal biru yang bersinar bisa mengubah segalanya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun membahayakan temuan mereka. Dengan tekad yang kuat, dia mengumpulkan timnya dan bersiap untuk menghadapi USS Guardian dan krunya. Nasib dunia bawah laut tergantung pada keseimbangan, dan Wa Ode siap melakukan apa pun untuk melindunginya.Dengan peralatan menyelam yang telah disiapkan dengan teliti, Wa Ode dan timnya menyusup ke dalam perairan yang gelap dan berbahay
Perairan Buton, 02.00 WITATelur baru kura-kura albino mengapung di laut, memancarkan cahaya kebiruan yang menuntun Sinta dan Jun Ho ke kapal kargo ilegal yang membuang limbah hitam pekat. Di dek kapal, logo samar perusahaan farmasi global terlihat—Pharmara Inc.—sama dengan yang mengincar enzim Wa Ode. “Mereka meracuni laut untuk tutupi jejak,” geram Jun Ho, kamera drone di tangannya merekam bukti. Sinta dan Jun Ho mencoba menyusup ke dalam kapal untuk mengumpulkan lebih banyak bukti tentang kegiatan ilegal yang dilakukan oleh Pharmara Inc. Mereka melihat para pekerja kapal dengan sibuknya membuang limbah ke laut tanpa ampun, tanpa peduli dengan dampak yang akan ditimbulkan bagi lingkungan dan hewan-hewan laut. Sinta merasa semakin bertekad untuk membongkar kejahatan perusahaan farmasi tersebut dan menyelamatkan kura-kura albino serta habitatnya.Sementara tetua adat di Kulati Wakatobi, sibuk membersihkan pantai Kulati, pasir putih yang panjang itu dipenuhi sampah plastik. Tetapi pagi
Teluk Lawele, 04.30 Kura-kura albino itu muncul di kamar hotel Sinta, cangkang retaknya mengeluarkan cahaya biru pucat. Di kakinya, telur berlumur darah berisi peta bertuliskan aksara Wolio: “Harta bukan emas, tapi nafas tanah.” Sinta segera paham—ini petunjuk ke gua Wakaaka, tempat Ratu menyimpan tombak penjaga keseimbangan. Jun Ho memeluknya: “Kita harus pulang. Hutan Lambusangodalam bahaya.”Mereka segera bergegas mengumpulkan semua barang bawaan mereka dan bersiap-siap untuk meninggalkan hotel. Sinta merasa tegang namun juga bersemangat dengan petualangan yang akan mereka hadapi. Mereka tahu bahwa misi mereka untuk menemukan tombak penjaga keseimbangan sangat penting, dan mereka siap untuk menghadapi segala rintangan yang ada di depan mereka. Dengan tekad yang kuat, mereka meninggalkan kamar hotel dan melangkah menuju gua Wakaaka dengan penuh keyakinan.Mereka berjalan dengan cepat melewati hamparan padang rumput dan melewati sungai-sungai kecil yang mengalir jernih. Sinta merasa
Pukul 15.00 CET, Danau Zurich berkilau di bawah matahari musim semi. Sinta terduduk di tepi danau, matanya menatap kura-kura albino yang muncul tiba-tiba. Di cangkangnya, hieroglif Wolio kuno berpendar: “Darahmu adalah jembatan, jiwamu adalah medan perang.” Jun Ho, yang sedang berbicara dengan investor, terpaku saat melihat Sinta mengusap cangkang itu. “Ini peringatan dari Ratu Wakaaka,” bisiknya, “tapi tentang apa?”Sinta mengangkat kepalanya dan menatap Jun Ho dengan tatapan penuh pertanyaan. Mereka berdua sama-sama merasa kebingungan dengan makna dari hieroglif tersebut. Namun, mereka yakin bahwa pesan dari Ratu Wakaaka pasti memiliki hubungan dengan pengkhianatan yang terjadi belakangan ini di antara mereka. Dengan hati-hati, mereka mulai merencanakan strategi untuk mengungkap misteri di balik hieroglif tersebut, sambil tetap waspada terhadap kemungkinan adanya sindikat penjahat yang akan menghalangi usaha mereka.Mereka memutuskan untuk melakukan riset lebih lanjut tentang sejara
Pukul 03.00 WITA, telur kura-kura albino menetas di kolam villa. Bayi kura-kura itu bersisik seperti mutiara, matanya merah delima. Tanpa ragu, ia berenang ke arah Sinta yang sedang video call dengan Jun Ho dari bandara. “Ini pertanda, Jun. Dia memilih kita,” bisik Sinta, air mata menetes. Tapi sebelum ia bisa menyentuhnya, kura-kura kecil itu menyelam ke dasar kolam dan menghilang, meninggalkan jejak cahaya keperakan.Sinta dan Jun Ho terpesona oleh kehadiran kura-kura putih yang misterius itu. Mereka merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa dari makhluk itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mereka pun merasa bahwa kura-kura tersebut membawa sebuah pesan atau pertanda yang penting bagi mereka berdua. Dengan hati penuh haru, Sinta dan Jun Ho memutuskan untuk mengikuti jejak cahaya keperakan yang ditinggalkan oleh kura-kura kecil tersebut, tanpa tahu apa yang akan menunggu mereka di ujung perjalanan tersebut."Dia kemana?" tanya Sinta penasaran, sebab matanya tinggal