หน้าหลัก / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 18: Sinergi untuk Masa Depan

แชร์

Bab 18: Sinergi untuk Masa Depan

ผู้เขียน: Oceania
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-12-09 13:02:56

Dengan semangat dan antusiasme yang menggelora, Sinta dan Jun-ho menyaksikan bagaimana berbagai elemen masyarakat mulai terhubung dalam visi yang sama untuk Hutan Lambusango. Universitas, masyarakat adat, komunitas lokal, dan pemimpin desa bahu-membahu dalam mengembangkan konsep keberlanjutan yang berpijak pada tradisi dan teknologi. Mereka menyadari bahwa sinergi antara berbagai pihak merupakan kunci utama untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan sekitarnya. Dengan kerjasama yang solid, mereka yakin masa depan Hutan Lambusango akan menjadi lebih terjamin.

****

Perwakilan dari universitas setempat dan internasional telah menandatangani nota kesepahaman untuk menjadikan Lambusango sebagai pusat riset global. Mereka sepakat untuk mengirim mahasiswa dan peneliti ke Lambusango, tidak hanya untuk mempelajari ekosistemnya, tetapi juga untuk mengembangkan solusi berbasis komunitas yang inovatif.

“Kita memiliki peluang besar di sini,” kata Profesor Rahmat d
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 19: Dunia Bunian dan Jejak Keajaiban

    Kisah Sinta dan Jun semakin mendalam ketika mereka akhirnya masuk ke dalam dimensi ghaib yang dihuni oleh suku Bunian. Dunia ini tidak hanya memperlihatkan kehidupan yang unik, tetapi juga menghubungkan Sinta dengan jati dirinya sebagai titisan Ratu Wakaaka. Perjalanan ini mengungkapkan keajaiban, tantangan, dan pelajaran yang tidak dapat ditemukan di dunia nyata.Mereka bertemu dengan makhluk-makhluk gaib yang memiliki kekuatan luar biasa dan kebijaksanaan yang mendalam. Sinta dan Jun belajar banyak hal baru tentang kehidupan, cinta, dan kekuatan sejati. Mereka merasakan kedamaian yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, dan semakin yakin bahwa petualangan ini membawa mereka pada takdir yang sudah ditentukan sejak awal.Mereka juga menemukan bahwa ada konspirasi gelap yang mengancam kedamaian dunia gaib tersebut, dan mereka harus bersatu untuk melawan kekuatan jahat yang mengancam keberlangsungan hidup mereka. Dalam perjalanan mereka, Sinta dan Jun menemukan bahwa kekuatan sejati

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-10
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 20: Tarian Cinta dan Tarian Balaba

    Sabotase yang dilakukan oleh perusahaan tambang membawa konflik di Lambusango ke puncaknya. Sinta dan Jun harus menghadapi ancaman yang tidak hanya merusak secara fisik tetapi juga mencoba mematahkan semangat perjuangan mereka. Serangan dari pihak perusahaan semakin intensif, menggunakan preman untuk menebar teror. Namun, komunitas adat, para mahasiswa, dan tokoh-tokoh lokal tidak tinggal diam. Mereka bersatu untuk melawan kekuatan besar yang mencoba menghancurkan lingkungan dan kehidupan mereka. Solidaritas dan semangat juang yang tinggi menjadi kunci dalam menghadapi tantangan tersebut.Di suatu malam, Jun menjadi sasaran kekerasan. Dalam perjalanan kembali dari pertemuan dengan masyarakat adat, ia dikepung oleh beberapa preman bayaran perusahaan. Salah satu dari mereka mencoba menyerangnya dengan pukulan keras, tetapi Jun yang terlatih dalam seni bela diri Taekwondo berhasil menghindar dengan cekatan. Serangan itu hanya mengenai bahunya, meninggalkan lebam kecil. Namun, peristiwa i

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-13
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 21: Keteguhan Hati di Bawah Langit Lawele

    Malam di Teluk Lawele dipenuhi suara ombak lembut yang menyentuh pantai, menciptakan suasana yang damai namun penuh makna. Setelah menarikan Balaba bersama, Sinta, Jun, dan La Ode Harimao duduk melingkar di atas pasir. Di depan mereka, pantai yang tenang menyimpan kisah peperangan masa lalu antara Oputa Yi Koo, pahlawan legendaris Buton, dan pasukan Belanda.“Tempat ini bukan hanya tanah,” La Ode Harimao memulai, suaranya penuh kebijaksanaan. “Ini adalah saksi sejarah, di mana leluhur kita mempertaruhkan segalanya demi melindungi kehormatan dan tanah air mereka. Kita adalah penerus perjuangan itu.” Sinta, Jun, dan La Ode Harimao merenungkan kata-kata tersebut dengan penuh penghormatan, menyadari betapa pentingnya warisan yang mereka sandang. Mereka berjanji untuk terus menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai luhur yang telah ditinggalkan oleh leluhur mereka.La Ode Harimao membuka sebuah naskah kuno yang dibawanya, sebuah teks bhanti-bhanti yang membahas cinta, kesucian, dan kehormatan

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-14
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 22: Menemukan Ancaman dari Dalam

    Di tengah perjalanan mereka menyusuri Hutan Lambusango, Sinta dan Jun tiba-tiba mendengar suara-suara keras dari arah barat. Ketukan kapak pada batang kayu terdengar berulang-ulang, membelah keheningan hutan yang selama ini terasa seperti surga tersembunyi. Dengan rasa penasaran, mereka mendekati asal suara tersebut. Mereka kembali terkejut ketika melihat sekelompok pemburu liar sedang menebang pohon-pohon besar. Mereka menargetkan Kayu Cendana dan kayu Besi untuk diolah dan dijual ke Wakatobi. Mereka tidak bisa mempercayai apa yang mereka lihat. Bagaimana mungkin ada orang yang berani merusak hutan ini, tempat yang selama ini mereka anggap sebagai tempat yang suci dan penuh keindahan alam? Sinta dan Jun merasa marah dan sedih melihat pemandangan itu; mereka merasa bertanggung jawab untuk melindungi hutan ini dari ancaman yang datang dari dalam. Dengan langkah hati-hati, mereka menyusup ke dalam kerumunan pemburu liar tersebut, siap untuk mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya."Ini

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-17
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 23: Kehadiran Sang Peneliti

    Di tengah kesibukan Sinta dan Jun menyusun strategi pemberdayaan masyarakat lokal, datang seorang tamu tak terduga ke Hutan Lambusango. Seorang pria paruh baya dengan ransel besar dan sikap tenang memperkenalkan dirinya kepada tokoh adat setempat. Pria tersebut adalah seorang peneliti yang tertarik untuk melakukan studi tentang keanekaragaman hayati di hutan tersebut. Dengan pengalaman dan pengetahuannya, ia berharap dapat memberikan kontribusi positif bagi pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.“Nama saya Dr. Malik Al-Fahmi,” katanya sambil tersenyum. “Saya peneliti ekologi sosial dan aktivis lingkungan serta karbon. Saya mendengar tentang upaya konservasi di Lambusango dan ingin membantu, jika diizinkan.” Tokoh adat setempat menyambut kedatangan Dr. Malik dengan hangat, mengapresiasi minatnya dalam pelestarian lingkungan. Mereka pun berdiskusi lebih lanjut tentang rencana studi yang akan dilakukan oleh Dr. Malik di hutan Lambusango.Dr. Malik adalah sosok yang

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-22
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 24: Resonansi Cinta dalam Kabanti

    Di malam-malam yang tenang, di bawah kerlip bintang dan nyala api unggun kecil, Sinta dan Jun meluangkan waktu untuk membuka kembali teks-teks kuno kabanti. Aroma dedaunan dan suara hutan yang hidup menjadi latar belakang refleksi mereka. Kabanti, dengan bait-baitnya yang penuh makna, menjadi lebih dari sekadar puisi bagi mereka—ia adalah jembatan antara tradisi dan masa kini.Sinta menunjuk sebuah teks yang menarik perhatiannya. “Lihat ini, Jun. Di sini disebutkan bahwa manusia harus menjadi penjaga bumi, bukan penguasanya. Kita bagian dari alam, bukan pemiliknya.”Jun membaca dengan saksama, lalu berkata, “Ini mengingatkan kita bahwa hubungan kita dengan alam bukan soal kekuasaan, tapi soal tanggung jawab. La Ode Harimao benar. Jika kita mencintai sesuatu, kita harus menjaga dan melindunginya.”Sinta mengangguk perlahan. “Kabanti ini mengajarkan keseimbangan. Bukan hanya antara manusia dan alam, tapi juga antara kebutuhan kita dan kebutuhan generasi mendatang. Jika kita serakah hari

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-26
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 25: Langkah di Antara Cinta dan Tradisi

    Sinta berdiri di tepi hutan Lambusango, memandangi hamparan hijau yang terbagi dalam tiga wilayah: kawasan konservasi, hutan lindung, dan kawasan perhutanan sosial. Ia memegang tablet yang menampilkan data pemetaan drone, sambil memikirkan langkah berikutnya.“Semua ini harus diatur dengan baik,” katanya kepada Jun. “Kita harus memastikan bahwa pemetaan ini memberikan manfaat nyata untuk masyarakat, sambil tetap menjaga kelestarian hutan.”Jun, yang berdiri di sampingnya, hanya mengangguk. Perhatian Jun bukan pada data atau peta, melainkan pada wajah Sinta yang bercahaya di bawah sinar matahari sore.“Apa yang kau pikirkan, Jun?” tanya Sinta, menyadari tatapan Jun yang tak lepas darinya.Jun tersenyum, tapi ia tahu bahwa kejujuran perasaannya bisa menjadi beban di tengah tugas besar mereka. “Aku hanya berpikir bahwa kau adalah seseorang yang luar biasa,” katanya akhirnya.Sinta tersipu, tetapi ia sege

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 26: Mengunjungi Ruang Budaya dan Pendidikan di Korea

    Jun membawa Sinta mengunjungi berbagai institusi budaya dan pendidikan di Korea, memperlihatkan bagaimana sistem pengelolaan budaya diajarkan kepada generasi muda. Mereka mengunjungi sebuah sekolah dasar di Seoul, di mana anak-anak diajarkan menghormati warisan budaya mereka melalui pelajaran sejarah, seni, dan praktik-praktik tradisional.“Lihat ini, Sinta,” kata Jun sambil menunjukkan salah satu mural di aula sekolah yang menggambarkan tradisi rakyat Korea. “Setiap generasi diajarkan untuk memahami akar budaya mereka sejak dini. Jika kita bisa menerapkan hal yang serupa di Buton, terutama untuk konservasi Hutan Lambusango, aku yakin hasilnya akan luar biasa.”Sinta mengangguk, terinspirasi. “Mendidik anak-anak di sekitar Lambusango untuk mencintai budaya dan lingkungan mereka sejak dini adalah langkah yang sangat penting. Itu akan menjadi bagian dari jati diri mereka.”Mereka juga mengunjungi sebuah museum budaya yang memamerkan cara hidup tradisional Korea. Di sana, Jun menunjukkan

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-30

บทล่าสุด

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 142 – Jejak Padi, Sayap Cendrawasih, dan Sinar Timur Laut

    Pagi itu, medan mentari Merauke tak lagi menyapa dari balik awan, melainkan menyemai cahaya keemasan yang menembus sekat pepohonan sagu dan merangkul atap rumah petani baru di Hamparan Persawahan Karang Mulia. Lintang melangkah melintasi pematang sawah, air menggenangi tanah liat yang lunak, memantulkan sinar mentari seakan permadani cermin. Di hadapannya terbentang ribuan hektar padi varietas unggul, hamparan hijau tak bertepi yang dikembangan pemerintah demi kemandirian pangan global.Di sana, ia menemui Pak Mawar, petani keturunan Papua yang memimpin kelompok tani di Merauke. Wajah Pak Mawar teduh seperti kayu ulin tua, dan sorot matanya memancarkan kebanggaan kepada sawah yang dibangun bersama masyarakat adat. “Kita tidak hanya menanam padi,” ujar Pak Mawar sambil mengusap mutir biji padi di telapak tangannya, “kita merajut masa depan. Persawahan ini—sawah tematik seribu hari—dapat memberi makan jutaan perut. Padi menanam dir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 141 – Jejak Benih di Seluruh Penjuru

    Pagi merambat lembut di kaki Bukit Merauke ketika Lintang menginjakkan kaki di hamparan ladang Papua. Embun menetes di daun sagu, dan kabut tipis menyelimuti barisan pohon kelapa dan ubi kayu. Di sana, sekelompok petani Papua—lelaki dan perempuan bertopi bambu, kulitnya menolak terik—menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat datang di Merauke, Kak,” sambut Yanto, koordinator komunitas tani lokal. “Di sini, si kaya dan si miskin menanam bersama. Anak‑anak muda kami belajar bercocok tanam demplot jagung hibrida, sagu liar, dan bahkan menanam padi organik di lahan rawa.”Lintang mengangguk, terpesona. Ia mendekati salah satu petani muda yang sedang meracik bibit padi organik.“Bagaimana kalian membebaskan diri dari ketergantungan impor beras?” tanyanya.Petani itu tersenyum, “Kami menerapkan rotasi tanaman dengan sagu dan ubi kayu agar tanah tak terlelah, serta menanam var

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 140 – Bayang Oligarki dan Cahaya Petani

    Kala fajar pertama menembus ufuk timur Buton, cahaya keemasan menyapa bentang hutan Lambusango. Senandung burung Parakohau bergema menembus rimbun pepohonan, seolah menjadi lagu pembuka bagi hari yang penuh janji. Di pelataran Madrasah Langit, anak-anak berlarian membawa sekantong bibit rempah, hidangannya tepuk tangan meriah. Lintang berdiri di podium bambu, menyaksikan generasi muda Pulau Buton menari riang, memeragakan gerakan tanam padi dan tarian Balaba dalam parafrase modern.“Selamat pagi, adik‑adik!” sapa Lintang dengan senyum hangat. “Madrasah Langit kini telah bersemi di lebih dari seratus daerah di seluruh belahan bumi. Di sana, petani kecil di Padang, nelayan di Maladewa, penggembala di stepa Mongolia, semua belajar bersama, berbagi ilmu, dan menjaga tanah mereka.”Anak‑anak menatap dengan mata berbinar. “Makasih, Kak Lintang!” teriak seorang bocah berlumur tanah. Mereka duduk melingkar, memegang alat tulis sederhana dan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 139 – Jalinan Tanah, Jaringan Langit, dan Laut Tak Bertepi

    Setelah pertemuan akbar di Madrasah Langit usai, para delegasi kembali ke tanah air masing‑masing, hati dan pikiran penuh tanggung jawab baru. Dari padang pasir Gobi hingga hutan Mayombe, dari benteng Jeju hingga ke pantai Maladewa, mereka pulang membawa nyala harapan untuk membangkitkan peradaban yang berakar pada kejujuran, kesucian hati, dan penghormatan pada tanah.Di Jawa, Pak Slamet, petani kopi di lereng Merapi, membuka lokakarya di balai desa. Warga berdatangan, membawa biji kopi, alat pengolah sederhana, dan secangkir hangat kenangan. “Tanah kita,” ujar Pak Slamet, “adalah tapak sejarah—menyuburkan gigir gunung dan mencipta kopi yang harum. Dari sini, kita belajar dari sistem irigasi tetes di China: tetes adalah doa; tiap tetes air yang menyentuh akar adalah janji kehidupan.” Ia mencontohkan pola pengairan sederhana: selang plastik kecil ditempel di setiap pohon kopi, menghemat air dan memaksimalkan produksi—&ldquo

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 138 – Madrasah Dawiah dan Orkestra Tanah Dunia

    Lintang melangkah pelan menyusuri lorong benteng Kraton Buton, di antara dinding purba yang disulam lumut hijau dan ukiran kayu yang menuturkan kisah silam. Pintu berat berderit perlahan ketika ia membukanya, membuka ruangan bangsal Madrasah Dawiah—sekolah Islam tertua di nusantara timur, kawasan tempat para ulama dan cendekiawan berkumpul menenun perjanjian antarbangsa. Di sudut aula, cahaya lampu temaram menari pada naskah kuno dan pita tangan para santri berwarna-warni.Terngiang di benak Lintang dialognya dengan Prof. Mark di Leiden—guru sejarah yang menggambarkan Madrasah Dawiah sebagai simpul perjanjian “yang lahir dari kebijakan kesultanan untuk mempersatukan Kerajaan Buton dengan permukiman dagang Eropa, India, dan Arab. Di sinilah interaksi agama, sains, dan etika sipil pertama kali disalin ke dalam buku-buku pergulatan batin dan resolusi damai.” Di depannya kini terhampar prasasti marmer tua: “Madrasah Dawiah, Rumah Perjanjian, 1616.&rd

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 137- Tanah, Jembatan antara Big Data dan Doa

    Lintang berdiri di pelataran balai tani, dikelilingi oleh barisan petani yang menunggu penjelasannya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah catatan ringkas tentang teknik pertanian modern China, di tangan kirinya tergenggam kitab kecil berisi bait‑bait Bhumi Suktam dari Veda—sebuah simbol perpaduan ilmu dan jiwa. Dengan suara lembut namun tegas ia membuka pembicaraan.“Para petani terhormat,” mulanya, “di Xinjiang, China, petani kita memanfaatkan teknik irigasi tetes—drip irrigation—untuk tanaman gandum musim dingin. Dengan selang‑selang plastik berteknologi tinggi yang meneteskan air langsung ke akar, hasil panen meningkat pesat, dan air hanya digunakan seperlunya". “Tak hanya itu, di wilayah kering, mulched drip irrigation—irigasi tetes berlumur—membantu mengontrol salinitas tanah dan menjaga struktur tanah, sehingga kapas pun tumbuh subur hingga puluhan tahun”.Seorang petani tua mengerutkan kening. “B

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 136 – Sujud, Reruntuhan, dan Daun-daun Perang

    Lintang duduk bersila di pendapa usang yang menghadap ke teluk Lawele. Angin senja membelai wajahnya dengan sepoi, membawa aroma laut dan lumut yang membasahi karang di bibir pantai. Di depannya terhampar buku tua berkulit kayu, halaman‑halamannya sudah memutih dan rapuh. Ia merengkuh buku itu, menundukkan kepala, dan membacakan bait-bait puisi kakeknya dengan suara bergetar:Aku sujud,tapi tak tahu: kepada siapa sesungguhnya dahiku ini menyentuh?Apakah Engkau, Wahai Kekasih,atau hanya bayangan dari diriku sendiri?Suara Lintang mengalun pelan, bak aliran sungai kecil yang memecah hening. Setiap baris puisi itu menembus relung hatinya, menggugah kerinduan akan kesucian yang pernah ia miliki dahulu. Ia melanjutkan:Aku melafazkan nama‑Mu,tapi diam‑diam ingin disanjung,ingin dilihat sebagai kekasih‑Mu,padahal tak sekali pun aku benar‑benar tenggelam dalam‑Mu.Kilatan m

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 135 – Pelajaran dari Yuanmingyuan dan Kebanggaan yang Terlahir Kembali

    Senja menyaput langit Jakarta dengan semburat jingga lembut kala Lintang melangkah turun dari pesawat. Di ujung pintu kedatangan, berdiri dua sosok yang paling ia rindukan—Sinta, ibunya, dengan senyum hangat yang meneduhkan; dan Jun Hoo, ayahnya, tegap namun lembut menatap putrinya dengan mata berbinar bangga. Tanpa kata, mereka berpelukan erat. Hanya deru mesin pesawat yang menjadi saksi, sementara hati mereka bergetar dalam kesunyian yang penuh makna.“Anakku…” suara Sinta bergetar, “selamat pulang.”“Ka…aku belajar begitu banyak, Bu, Pa,” ujar Lintang, menahan air mata haru. Ia merasakan setiap inci pelukan itu menghadirkan kekuatan baru dalam dirinya, selaras dengan kebijaksanaan yang dibawanya dari perjalanan panjang ke tanah peradaban.Mereka beranjak menuju mobil, menembus lalu lintas kota yang berdenyut. Sepanjang perjalanan, Lintang mulai bercerita, suaranya nyaris berbisik agar setiap kata dapat diresapi. Ia mengisahkan kunjungannya ke Yuanmingyuan—Old

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 134 – Melodi Desyhuang, Suara Damai di Negeri Terpecah

    Senja di Taiwan adalah suatu lukisan hidup yang memukau, di mana langit memerah bagai benang sutra yang diatur oleh tangan para dewa. Di sudut sebuah kafe kecil di Taipei, Lintang duduk menyendiri, mendengarkan lagu-lagu Desyhuang yang menggema lembut melalui headphone-nya. Nada-nada musik itu mengalir, bagaikan aliran sungai yang mengalir dari masa lalu, membawa pesan-pesan rahasia tentang cinta, pengorbanan, dan perjanjian yang telah ditorehkan di antara keberagaman budaya.Dalam sekejap, irama melankolis Desyhuang itu membangkitkan sebuah kerinduan mendalam dalam jiwa Lintang—sebuah rindu kepada tanah yang dahulu menyatu dalam harmoni, namun kini terpecah oleh dua kekuatan ekonomi besar yang saling bersaing. Ia terpaut antara bayang-bayang kekuatan China yang modern dan ambisi global yang sering kali mengabaikan kehalusan budaya, dan bayang-bayang masa depan yang ia impikan untuk pulau kecil yang mempesona ini. Lintang menyadari, bahwa Taiwan adalah tanah bag

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status