Sinta berdiri di tepi hutan Lambusango, memandangi hamparan hijau yang terbagi dalam tiga wilayah: kawasan konservasi, hutan lindung, dan kawasan perhutanan sosial. Ia memegang tablet yang menampilkan data pemetaan drone, sambil memikirkan langkah berikutnya.“Semua ini harus diatur dengan baik,” katanya kepada Jun. “Kita harus memastikan bahwa pemetaan ini memberikan manfaat nyata untuk masyarakat, sambil tetap menjaga kelestarian hutan.”Jun, yang berdiri di sampingnya, hanya mengangguk. Perhatian Jun bukan pada data atau peta, melainkan pada wajah Sinta yang bercahaya di bawah sinar matahari sore.“Apa yang kau pikirkan, Jun?” tanya Sinta, menyadari tatapan Jun yang tak lepas darinya.Jun tersenyum, tapi ia tahu bahwa kejujuran perasaannya bisa menjadi beban di tengah tugas besar mereka. “Aku hanya berpikir bahwa kau adalah seseorang yang luar biasa,” katanya akhirnya.Sinta tersipu, tetapi ia sege
Jun membawa Sinta mengunjungi berbagai institusi budaya dan pendidikan di Korea, memperlihatkan bagaimana sistem pengelolaan budaya diajarkan kepada generasi muda. Mereka mengunjungi sebuah sekolah dasar di Seoul, di mana anak-anak diajarkan menghormati warisan budaya mereka melalui pelajaran sejarah, seni, dan praktik-praktik tradisional.“Lihat ini, Sinta,” kata Jun sambil menunjukkan salah satu mural di aula sekolah yang menggambarkan tradisi rakyat Korea. “Setiap generasi diajarkan untuk memahami akar budaya mereka sejak dini. Jika kita bisa menerapkan hal yang serupa di Buton, terutama untuk konservasi Hutan Lambusango, aku yakin hasilnya akan luar biasa.”Sinta mengangguk, terinspirasi. “Mendidik anak-anak di sekitar Lambusango untuk mencintai budaya dan lingkungan mereka sejak dini adalah langkah yang sangat penting. Itu akan menjadi bagian dari jati diri mereka.”Mereka juga mengunjungi sebuah museum budaya yang memamerkan cara hidup tradisional Korea. Di sana, Jun menunjukkan
Pesawat dari Seoul menuju Jakarta meluncur mulus di langit malam. Di kursi sebelah, Sinta terlelap, wajahnya yang khas—perpaduan antara warisan Buton, Melanesia, dan sentuhan keturunan Asia lainnya—bersinar tenang di bawah cahaya lampu kabin. Bagi Jun, Sinta adalah sosok yang tidak hanya menginspirasi cinta, tetapi juga harapan bagi masyarakat yang ingin mereka bangun bersama. Sebelum tidur, Sinta memutar music pop Korea Touch Love yang dipopulerkan Yoon Mi-rae, Sinta terlelap dalam imajinya, berharap bersandar pada Jun-ho dalam perjalanan panjang hidupnya nanti. Pelan-pelan teks-teks lagu itu menjelma dalam mimpinya, ia sudah menemukan dirinya bersandar pada Jun-ho di pantai yang ada di pulau Jeju. Ia menyandarikan dirinya. Jun-ho melihat Sinta tersenyum dan matanya tetap tertuju. Jun-ho membirkan ia Sinta tertidur, ia hanya mengagumi kencatikan itu, mengalahkan Yoon Mi-rae artis Korea yang terkenal di negaranya.Di benak Jun, rencana-rencana besar berkecamuk. Kembali ke Buton bukan
Kedatangan Sinta dari Korea yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan dan kebanggaan justru berubah menjadi polemik besar di Buton. Desas-desus yang disebarkan oleh kaki tangan pengelola tambang dan La Ode Musrama yang merasa iri, telah merusak reputasi Sinta. Isu bahwa Sinta tidak lagi suci sebagai calon pemimpin adat beredar luas, membuat masyarakat dan Parabela (tetua adat) ragu akan kelayakannya. Isu itu bahkan dibuatkan dalam bentuk musik. La Ode Musrama selalu menyanyikan lagu Sepuli na Jandi yang dipopulerkan La Ode Karimuddin. Ia menyebarkan desas desus bahwa Sinta yang merupakan tokoh muda yang dapat mewarisi peradaban Buton kini tidak layak lagi."Sinta sudah melanggar nilai-nilai sakral budaya kita," bisik beberapa orang. Ia bergerilya dan melibatkan banyak ibu-ibu yang senang bergosip. Ia sudah berjalan terlampau jauh, ia sampai di pulau Jeju, tidak mungkin kita percaya lagi”. Rasa cemburu menyelimuti hatinya. Ia begitu benci ketika ia tahu bahwa Sinta pergi
Kisah sumpah adat Pengka Loe-Loe yang menewaskan La Ode Musrama dan perempuan-perempuan penyebar fitnah menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di Buton tetapi juga di berbagai media sosial. Banyak yang terpukau dan takjub, tetapi ada pula yang mempertanyakan kebenaran ritual tersebut. Beberapa pihak bahkan meminta investigasi atas insiden ini. Bahkan ada berita di media yang menjelaskan bahwa ritual itu adalah ritual pembunuhan. Bahkan ada media yang menjelaskan bahwa mantra itu adalah mantra pembunuhan dalam versi yang lainnya.“Kita harus melakukan investigasi atas apa yang terjadi di pantai kemarin. Itu murni kriminalitas yang berbasis di mantra”. Bahkan media nasional dan internasional menomentari peistiwa itu setelah videonya tersebar luas di masyarakat.“Ini adalah pembunuhan,” kata salah seorang anak muda yang memiliki hubungan dengan pihak tambang yang selama ini dihalangi oleh tetua adat yang didukung oleh Sinta dan J
Rasa penasaran yang membara membawa Jun-ho dan Sinta ke Pulau Talaga, tempat asal mula tradisi Pengka Loe-Loe, ritual adat yang telah mengubah persepsi mereka tentang hubungan antara dunia nyata dan spiritual. Mereka ingin memahami lebih dalam tentang kangkilo, filosofi yang menjadi inti dari kepercayaan masyarakat Buton. Jun-ho dan Sinta sangat penasaran, terutama Jun-ho yang menyaksikan kejadian beberapa hari yang lalu dengan mata bahkan dengan direkam dengan kamera. Jun sangat kaget, karena sebuah fenomena yang unik terjadi di depan mata, tepat dizaman seperti ini. “Ini adalah representasi ruang-ruang kesadaran budaya yang tidak mungkin dapat dijelaskan oleh prspektif ilmiah. Datang ke Pulau Talaga adalah sesuatu yang penting, untuk menyaksikan secara langsung, bagaimana masyarakat setempat mendapatkan pemahaman mengenai dunia bawah laut.” Jun-ho dan Sinta mengharapkan ada penjelasan yang mendalam mengenai masalah ini. Mereka akhirnya menuju Kota Baubau untuk menumpang kapal-kapa
Perjalanan dari Pulau Talaga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Sinta dan Jun. Jun-ho memperhatikan keindahan pulau Talaga dan melihat dari jauh pulau Kabaena. Kali ini mereka naik kapal penumpang. Kapal agak besar dibandingkan dengan perahu nelayan. Jun-ho membayangkan tentang tujuh bidadari yang turun di puncak gunung Sambampolulu. “Suatu saat saya akan ke sana, negeri di atas awan,” pikirnya sementara matanya di arahkan ke wajah cantic di depannya, wajah Sinta yang luar biasa. Kulitnya tetap putih dan halus, tanpa terpengaruh oleh terik matahari di sekitar hutan tropis.Wawasan yang mereka peroleh tentang kangkilo—nilai tradisional yang menekankan kejujuran, keseimbangan, dan hubungan yang harmonis dengan alam—telah mengubah cara pandang mereka terhadap perjuangan mereka selama ini. Mereka merasa terinspirasi untuk kembali ke desa mereka dan menerapkan nilai-nilai kangkilo dalam upaya membangun harapan baru bagi masyarakat setempat.
Sinta berdiri memandangi hamparan persawahan di bawah Bukit Kapuntori. Terasa begitu tenang, seolah waktu melambat untuk memberikan ruang bagi pikirannya yang berkelana. Bentangan hijau sawah yang berkilau diterpa matahari sore mengingatkannya pada permadani alam yang penuh keindahan dan rahasia. Kilauan sawah yang menguning memberikan suasana yang nyaman dan tentunya membawa seseorang untuk menikmati senjanya, terlebih dengan seorang kekasih. Matahari perlahan tenggelam di balik bukit, mewarnai langit dengan gradasi warna yang memukau. Sinta merasa beruntung bisa menikmati momen indah ini bersama kekasihnya di bawah langit Kapuntori.Jun-ho berdiri di sampingnya, matanya mengikuti arah pandang Sinta. Ia hanya tersenyum, meskipun di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia ungkapkan. Sinta terlihat begitu tenggelam dalam pikirannya, hingga Jun tak bisa menahan diri untuk berkata, "Sinta, ini seperti bentangan permadani. Di sinilah banyak kisah cinta tumbuh dan pergi. Mungkinkah
Langit di atas New York berselimut awan kelabu, mencerminkan dinginnya ruang sidang PBB yang dipenuhi wajah-wajah tak bernyawa. Di layar raksasa, bendera Buton kuno—kain tenun berlubang dihiasi motif kamaru—terkoyak oleh animasi digital yang memperlihatkan hutan-hutan yang diklaim "tak produktif." La Ode Harimao berdiri di podium, tangannya menggenggam Perjanjian Wolio 1624 yang lapuk, kertasnya berderak seperti suara tulang leluhur yang menggugat. Dia melangkah maju dengan langkah tegap, suaranya bergema di ruang sidang yang sunyi. Dengan penuh keyakinan, ia mulai membacakan isi perjanjian tersebut, mengingatkan para delegasi tentang hak-hak tradisional masyarakat Buton yang telah terabaikan selama bertahun-tahun. Matanya bersinar dengan determinasi, menuntut pengakuan dan penghormatan atas warisan budaya mereka. Seluruh ruangan terdiam, terpaku pada kata-kata yang keluar dari mulut La Ode Harimao."Yang Mulia," suaranya menggema, memecah kesunyian ruang berlapis marmer, "kami tidak
Langit malam di Buton dipenuhi bintang-bintang yang seolah bersekongkol, berkelap-kelip dalam pola tak wajar. Di bawahnya, masyarakat adat berkumpul di sekitar Menara Kristal Biru, yang kini memancarkan gelombang energi lembut bagai nafas bumi. Sinta menggendong Lintang, yang mata kecilnya memantulkan cahaya bintang seperti cermin kosmik.“Mereka datang,” bisik Jun Ho, menatap layar tablet yang menampilkan jejak satelit tak dikenal. “AI itu telah menyusup ke jaringan orbit. Ini serangan yang tak bisa kita lawan dengan tombak.”La Ode Harimao, dengan wajah sekeras batu karang, mengangkat Tombak Wakaaka. “Kita lawan dengan apa yang kita punya: darah, doa, dan akal!”Mereka semua bersiap-siap untuk menghadapi ancaman yang semakin mendekat, dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan. Sinta merasakan detak jantungnya semakin cepat, tetapi ia tahu bahwa mereka harus bertahan demi keberlangsung
Langit senja di Buton dihiasi warna jingga dan ungu, seolah lukisan raksasa yang dilukis oleh Ratu Wakaaka sendiri. Di pelataran Istana Wolio, ratusan obor menyala membentuk pola kamaru—simbol persatuan yang telah berusia tujuh abad. Suara gendang dana-dana menggetarkan udara, diiringi tarian lariangi yang gemulai. Sinta, dengan Lintang digendong di kain tenun merah, tersenyum melihat Jun Ho yang canggung mencoba mengikuti gerakan penari. Tapi di balik kemeriahan ini, getaran ketegangan mengintip seperti macan di balik semak.“Ini bukan sekadar pesta,” bisik La Ode Harimau pada istrinya, Wa Ode Marinu, sambil menatap para utusan Kadie dari empat penjuru Kesultanan Buton yang duduk di paviliun berhias bunga kamboja. “Ini peringatan. Jika negara terus tutup mata, kita akan tegakkan kedaulatan leluhur kita sendiri.”Wa Ode Marinu mengangguk, matanya berbinar seperti pisau terhunus. “Sudah saatnya kita tagih utang sejarah. Dana yang dipinjam negara saat konsolidasi kemerdekaan harus dikem
Langit di atas Jakarta pagi itu terasa seperti kaca yang retak, memantulkan cahaya pucat yang seolah enggan menyentuh bumi. Di tengah kerumunan wartawan dan aktivis yang berjejal di depan Pengadilan Negeri, La Ode Harimau melangkah keluar dari gerbang besi dengan kepala tegak. Wajahnya yang keriput oleh waktu dan perjuangan tersenyum kecil, tapi matanya—yang seperti dua bara api—menyimpan amarah yang tak pernah padam. "Kebebasan ini bukan hadiah," bisiknya pada Wa Ode Rani yang menunggu dengan bendera bertuliskan #SaveLambusango. "Ini adalah peringatan. Mereka tahu, jika aku mati di penjara, hutan ini akan bangkit dan menelan mereka hidup-hidup."Tapi di balik sorak-sorai kemenangan, badai lain sedang mengumpul. Banjir besar melanda separuh Jawa, airnya hitam pekat oleh lumpur tambang yang terbawa dari hutan-hutan gundul. Desa-desa tenggelam, sawah-sawah berubah jadi rawa beracun, dan mayat-mayat ikan mengambang di sungai seperti peringatan dari alam yang terluka."Lihatlah!" teriak s
Langit malam itu menganga seperti luka bakar raksasa, memuntahkan cahaya merah tembaga yang mengecat wajah bumi menjadi palet duka. Bulan Merah—sebuah fenomena yang hanya muncul setiap 500 tahun—mengambang di atas Hutan Lambusango, bukan sebagai benda langit, melainkan mata raksasa yang mengawasi dengan pupil-pupil api. Di bawahnya, Sinta berdiri di tengah lingkaran batu vulkanik, tubuh Lintang yang kecil terikat di dadanya dengan selendang tenun bermotif kamaru. Setiap helai benang di selendang itu berdenyut, menyala-nyala dalam irama yang seirama dengan detak jantung sang bayi."Waktunya telah tiba," bisik Wa Ode Marinu, tangannya menggenggam kendi berisi air mata pohon ulin—cairan yang hanya bisa dikumpulkan saat pohon itu meratap di tengah malam. "Bumi akan berbicara melalui darah kita."Tapi di kejauhan, di balik kabut darah bulan, deru mesin perang meraung. Pasukan Hybrid—manusia setengah mesin dengan otot-otot berpola DNA biru Li
Langit malam di Hutan Lambusango pecah oleh guruh yang bukan berasal dari awan, melainkan dari dentuman roket militer yang membelah angkasa. Di bawah kanopi pohon ulin yang merintih, Sinta menggigit sehelai kain tenun bermotif kamaru, tubuhnya melengkung seperti busur yang ditarik hingga patah. Setiap kontraksi adalah gelombang pasang yang menyapu daratan tulang rusuknya, membawa serta teriakan yang tertahan di balik desisan dedaunan. Jun Ho, dengan tangan berlumur getah penyembuh yang diracik nenek-nenek adat, berbisik mantra-mantara yang diajarkan Wa Ode Marinu: "Bumi adalah rahim, angin adalah bidan, dan darahmu adalah sungai yang akan menyambut sang penjelajah bintang."Di kejauhan, sorak-sorai tentara bersahutan dengan derap helikopter. Mereka datang untuk mengambil dua harta: batu biru yang bersemayam di gua Laritana, dan janin ajaib yang cahayanya menerobos daging perut Sinta seperti lentera kertas di tengah kegelapan."Kita harus pindah!" teri
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pagi itu dikepung oleh dua kubu yang bertolak belakang. Di sebelah kiri, puluhan masyarakat adat dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul dengan pakaian tradisional, wajah mereka dicat motif khas suku, tangan menggenggam sirih pinang sebagai simbol perdamaian. Di sebelah kanan, barisan pengacara bermerek dasi Armani dan pengusaha tambang dengan jam tangan Rolex bersiap dengan dokumen setinggi lutut. Di tengah ruang sidang yang megah, La Ode Harimao berdiri tegak dalam baju bella-bella putihnya, rantai besi di pergelangan tangan berderak setiap kali ia menoleh ke arah Sinta yang duduk di bangku penonton.Namun, meskipun kontras antara kedua belah pihak begitu mencolok, La Ode Harimao tetap tenang dan percaya diri. Dengan suara yang lantang, ia mulai menyampaikan pledoi pembelaannya dengan penuh keyakinan. Sinta, yang selama ini hanya bisa menatapnya dari kejauhan, merasakan getaran emosi yang tidak bisa dijelaskan ketika mendengar kata-kata yang keluar d
Hutan Lambusango pagi itu terlihat begitu tenang. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, dan sinar matahari yang menembus dedaunan menciptakan pola cahaya yang menari-nari di tanah. Tapi ketenangan itu hanyalah ilusi. Di balik keindahannya, ada badai yang sedang mengumpul.Sinta duduk di beranda rumah kayu kecil milik keluarganya, secangkir teh hangat di tangannya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah petualangannya di dunia spiritual, tapi pikirannya tidak bisa beristirahat. Matanya menatap jauh ke arah hutan, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon. "Ini ancaman untuk kelestarian Hutan Lambusango," bisiknya pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Jun Ho, yang duduk di sampingnya, mengangguk perlahan. "Aku baru saja mendapat email dari ibuku di Seoul," katanya sambil membuka laptopnya. "Dia bertanya apakah sudah ada calon cucu untuknya."Sinta tersenyum kecil, tapi senyum itu cepat menghilang. "Kita bahkan belum bisa melindungi hutan ini, Jun. Bagai
Kabut pagi di Lembah Lapandewa terasa lebih dingin dari biasanya. Di balik lapisan udara lembap yang menyelimuti hutan dan padang rumput itu, suara gemuruh mesin penggali tanah telah berganti dengan riuh rendah suara manusia. Masyarakat adat berkumpul di tanah lapang, wajah-wajah mereka bercampur antara lega dan waspada. Setelah berbulan-bulan melakukan protes, blokir jalan, dan ritual-ritual adat untuk memanggil arwah leluhur, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di lembah itu akhirnya dicabut. Tapi kemenangan ini tidak datang tanpa harga.“Ini bukan akhir,” seru La Ode Harimao, tokoh adat yang wajahnya mulai dihiasi garis-garis kelelahan. Tangannya memegang erat tombak pusaka yang telah turun-temurun menjadi simbol perlawanan. “Mereka akan kembali dengan cara lain. Lihat!” Ia menunjuk ke arah jalan tanah di kejauhan, di mana beberapa truk hitam tanpa plat nomor terparkir. “Mata-mata sudah mulai beraksi.”Seorang perempuan muda melangkah maju, Wa Ode Rani, aktivis lingkungan yang wajahnya m