Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 29: Mengurai Misteri Pengka Loe-Loe

Share

Bab 29: Mengurai Misteri Pengka Loe-Loe

Author: Oceania
last update Last Updated: 2025-01-13 19:13:42

Kisah sumpah adat Pengka Loe-Loe yang menewaskan La Ode Musrama dan perempuan-perempuan penyebar fitnah menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di Buton tetapi juga di berbagai media sosial. Banyak yang terpukau dan takjub, tetapi ada pula yang mempertanyakan kebenaran ritual tersebut. Beberapa pihak bahkan meminta investigasi atas insiden ini. Bahkan ada berita di media yang menjelaskan bahwa ritual itu adalah ritual pembunuhan. Bahkan ada media yang menjelaskan bahwa mantra itu adalah mantra pembunuhan dalam versi yang lainnya.

“Kita harus melakukan investigasi atas apa yang terjadi di pantai kemarin. Itu murni kriminalitas yang berbasis di mantra”. Bahkan media nasional dan internasional menomentari peistiwa itu setelah videonya tersebar luas di masyarakat.

“Ini adalah pembunuhan,” kata salah seorang anak muda yang memiliki hubungan dengan pihak tambang yang selama ini dihalangi oleh tetua adat yang didukung oleh Sinta dan J

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 30: Perjalanan ke Talaga dan Misteri Kangkilo

    Rasa penasaran yang membara membawa Jun-ho dan Sinta ke Pulau Talaga, tempat asal mula tradisi Pengka Loe-Loe, ritual adat yang telah mengubah persepsi mereka tentang hubungan antara dunia nyata dan spiritual. Mereka ingin memahami lebih dalam tentang kangkilo, filosofi yang menjadi inti dari kepercayaan masyarakat Buton. Jun-ho dan Sinta sangat penasaran, terutama Jun-ho yang menyaksikan kejadian beberapa hari yang lalu dengan mata bahkan dengan direkam dengan kamera. Jun sangat kaget, karena sebuah fenomena yang unik terjadi di depan mata, tepat dizaman seperti ini. “Ini adalah representasi ruang-ruang kesadaran budaya yang tidak mungkin dapat dijelaskan oleh prspektif ilmiah. Datang ke Pulau Talaga adalah sesuatu yang penting, untuk menyaksikan secara langsung, bagaimana masyarakat setempat mendapatkan pemahaman mengenai dunia bawah laut.” Jun-ho dan Sinta mengharapkan ada penjelasan yang mendalam mengenai masalah ini. Mereka akhirnya menuju Kota Baubau untuk menumpang kapal-kapa

    Last Updated : 2025-01-17
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 31: Kembali dari Talaga, Membangun Harapan Baru

    Perjalanan dari Pulau Talaga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Sinta dan Jun. Jun-ho memperhatikan keindahan pulau Talaga dan melihat dari jauh pulau Kabaena. Kali ini mereka naik kapal penumpang. Kapal agak besar dibandingkan dengan perahu nelayan. Jun-ho membayangkan tentang tujuh bidadari yang turun di puncak gunung Sambampolulu. “Suatu saat saya akan ke sana, negeri di atas awan,” pikirnya sementara matanya di arahkan ke wajah cantic di depannya, wajah Sinta yang luar biasa. Kulitnya tetap putih dan halus, tanpa terpengaruh oleh terik matahari di sekitar hutan tropis.Wawasan yang mereka peroleh tentang kangkilo—nilai tradisional yang menekankan kejujuran, keseimbangan, dan hubungan yang harmonis dengan alam—telah mengubah cara pandang mereka terhadap perjuangan mereka selama ini. Mereka merasa terinspirasi untuk kembali ke desa mereka dan menerapkan nilai-nilai kangkilo dalam upaya membangun harapan baru bagi masyarakat setempat.

    Last Updated : 2025-01-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 32: Di Bawah Langit Kapuntori

    Sinta berdiri memandangi hamparan persawahan di bawah Bukit Kapuntori. Terasa begitu tenang, seolah waktu melambat untuk memberikan ruang bagi pikirannya yang berkelana. Bentangan hijau sawah yang berkilau diterpa matahari sore mengingatkannya pada permadani alam yang penuh keindahan dan rahasia. Kilauan sawah yang menguning memberikan suasana yang nyaman dan tentunya membawa seseorang untuk menikmati senjanya, terlebih dengan seorang kekasih. Matahari perlahan tenggelam di balik bukit, mewarnai langit dengan gradasi warna yang memukau. Sinta merasa beruntung bisa menikmati momen indah ini bersama kekasihnya di bawah langit Kapuntori.Jun-ho berdiri di sampingnya, matanya mengikuti arah pandang Sinta. Ia hanya tersenyum, meskipun di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia ungkapkan. Sinta terlihat begitu tenggelam dalam pikirannya, hingga Jun tak bisa menahan diri untuk berkata, "Sinta, ini seperti bentangan permadani. Di sinilah banyak kisah cinta tumbuh dan pergi. Mungkinkah

    Last Updated : 2025-01-19
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 33: Menjaga Hutan Lambusango dengan Kangkilo

    Pagi itu, mentari bersinar lembut menyentuh dedaunan Hutan Lambusango. Sinta dan Jun-ho melangkah mantap memasuki desa-desa di sekitar hutan, menyapa warga dan mendengarkan suara mereka. Hari ini, mereka memiliki agenda penting: bertemu dengan tokoh-tokoh adat untuk mendiskusikan ancaman peta izin tambang yang mengintai kelestarian hutan.Sinta dan Jun-ho merasa tegang namun juga penuh semangat untuk melindungi hutan Lambusango. Mereka sadar betapa pentingnya menjaga ekosistem hutan tersebut agar tidak terancam oleh aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Dengan hati yang penuh tekad, mereka berharap pertemuan dengan tokoh-tokoh adat dapat membawa solusi yang terbaik untuk menjaga kelestarian hutan yang mereka cintai.Sinta berbicara dengan penuh semangat, "Jun, hari ini kita harus fokus pada pemberdayaan masyarakat. Kita harus memperkenalkan kembali nilai-nilai kangkilo sebagai materi utama dalam pelatihan yang akan datang."Jun menatap Sinta, wajah

    Last Updated : 2025-01-19
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 34: Lambusango Koin dan Perpustakaan di Teluk Lawele

    Pagi itu, Jun memulai harinya dengan membuka platform cryptocurrency tempat Lambusango Koin—proyek ambisiusnya—baru saja diluncurkan. Dengan fondasi ekonomi yang kuat, koin ini didukung oleh valuasi ekosistem Hutan Lambusango yang kaya akan keanekaragaman hayati dan nilai budaya. Awalnya, pasar menerima koin tersebut dengan antusias, namun pagi ini segalanya berubah.Investor mulai menjual Lambusango Koin secara massal, menyebabkan harga turun drastis dalam waktu singkat. Jun merasa cemas dan bingung, tidak mengerti apa yang menyebabkan perubahan mendadak ini. Dia segera menuju ke perpustakaan di Teluk Lawele, tempat dia biasa mencari inspirasi dan solusi dalam menghadapi masalah. Saat dia tiba di sana, dia melihat sekelompok orang sedang berdiskusi dengan serius di sudut ruangan. Jun mendekati mereka dan akhirnya menemukan jawaban atas kejadian yang sedang terjadi.Jun kembali melihat layar handphonenya, "Semua merah," gumam Jun, menatap grafik yang menunjukkan penurunan drastis. Lam

    Last Updated : 2025-01-20
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 35: Jejaring Sosial dan Valuasi Hutan Lambusango

    Wa Ode Sandibula dan kelompoknya semakin ahli dalam pembuatan minyak kelapa berkualitas tinggi, sebuah produk lokal yang kini mulai mendapatkan perhatian di pasar regional. Mereka bekerja keras, menjaga kualitas dan tradisi dalam setiap proses produksi. Hasilnya, minyak kelapa Lambusango semakin dikenal luas dan diminati oleh konsumen di berbagai daerah. Melalui jejaring sosial yang mereka bangun, Wa Ode Sandibula dan kelompoknya berhasil memperluas pasar dan meningkatkan valuasi produk hutan Lambusango. Dengan terus mempertahankan kualitas dan nilai-nilai tradisional, mereka berhasil menciptakan produk unggulan yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat."Ode, minyak ini bagus, hanya saja kalau kita tidak bicara sama bapak-bapak kita, kita akan kehabisan bahan baku," ujar Wa Ambe saat mereka menyaksikan minyak kelapa yang selesai mereka masak. Wa Ode Sandibula dan kelompoknya terus berupaya untuk menjaga hubungan baik dengan para petani lokal agar pasokan bahan baku ter

    Last Updated : 2025-01-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 36: Hutan Lambusango, Apotik Hidup

    Pagi yang cerah membawa Sinta dan Jun ke Kakenauwe, sebuah desa yang dikenal dengan kearifan lokalnya dan keberadaan kampus pengembangan komunitas. Di sana, Sinta berencana melibatkan mahasiswa sebagai penggerak penelitian dan inovasi berbasis sumber daya lokal, terutama yang berkaitan dengan potensi hutan Lambusango.Di ruang pertemuan sederhana, Dr. Mukhsin, seorang peneliti lingkungan dan ahli etnobotani, tengah menggali informasi dari beberapa tokoh adat dan ahli obat tradisional. Fokusnya adalah mengeksplorasi potensi hutan Lambusango sebagai apotik hidup. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah Ue Ndoke, sebuah ramuan anti-racun yang dipercaya mampu mengobati gigitan rabies.Sinta sangat bersemangat melihat potensi kolaborasi dan berbagi pengetahuan antara para mahasiswa dan komunitas lokal di kampus pengembangan. Dia membayangkan masa depan di mana para mahasiswa dapat terlibat aktif dalam penelitian dan inovasi menggunakan sumber daya lokal, terutama dengan fokus pada pote

    Last Updated : 2025-01-22
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 37: Apotek Hidup Lambusango

    Pagi itu, Sinta dan Jun berdiskusi panjang lebar di bawah rindangnya pepohonan Hutan Lambusango. Mereka baru saja selesai menemani Dr. Mukhlis, yang begitu tekun menggali informasi dari para dukun dan tokoh adat setempat. Penelitian Dr. Mukhlis tentang potensi obat-obatan tradisional di Hutan Lambusango membuka mata mereka pada kemungkinan besar yang selama ini terabaikan."Jun," Sinta memulai, "apa yang dilakukan oleh Dr. Mukhlis itu bisa menjadi kunci untuk menjadikan Buton sebagai pusat pengembangan obat tradisional di Indonesia. Bayangkan saja, dunia bisa mengenal potensi besar dari hutan ini, bukan hanya sebagai paru-paru dunia, tapi juga sumber pengobatan alami."Jun mengangguk, matanya menyipit menatap rimbunnya dedaunan di kejauhan. "Betul. Tapi potensi sebesar ini harus dikelola dengan bijak. Tidak hanya untuk kemajuan ekonomi, tetapi juga untuk melindungi hutan ini dari eksploitasi. Jika kita tidak melibatkan masyarakat, nilai-nilai lokal seperti yang diajarkan para dukun it

    Last Updated : 2025-01-23

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 144 – Tangan Besi dan Lidah Tanah

    Di balik udara hangat Lambusango, Lintang menyaksikan kabut pekat mulai menggantung. Bukan kabut embun, melainkan kabut politik, dikirim dari kantor-kantor gelap para oligarki yang tak senang gerakan Madrasah Langit terus berakar dan menjalar.Pagi itu, berita mengejutkan menghentak komunitas: Sinta, sahabat karib sekaligus ibu Lintang, ditahan. Tuduhan: provokasi, menghalang-halangi pembangunan nasional. Polisi bersenjata lengkap mendatangi rumahnya di pinggir hutan, menggiringnya seperti penjahat besar.Lintang berdiri membatu di depan Madrasah, napasnya berat. Sinta, yang selalu menanam pohon dengan anak-anak, yang mengajari tentang tanah sebagai ibu, kini diikat oleh tangan hukum yang dikendalikan uang. Dia merasa marah dan putus asa, namun juga penuh tekad untuk melawan ketidakadilan yang terjadi. Dengan langkah mantap, Lintang memutuskan untuk mencari bantuan dari teman-teman seperjuangannya di Madrasah Langit. Mereka berkomitmen

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 143 – Bayang Oligarki dan Labirin Kebenaran

    Matahari pagi menyinari lembah Lambusango dengan lembut, menelusup celah daun bambu dan menciptakan simfoni cahaya di lantai hutan. Di aula Madrasah Langit, para peserta berkumpul dalam lingkaran—aneka wajah lintas benua, anak muda datang dengan harapan beradab. Namun di balik kelembutan fajar, bergulir badai tak kasat mata: gerakan oligarki telah menyusup, ingin mencabik jaring peradaban yang baru dirajut.Mereka bertekad untuk menjaga kebenaran dan keadilan tetap terang, meskipun harus melewati labirin yang rumit dan penuh intrik. Para peserta Madrasah Langit siap untuk melawan kekuatan gelap yang ingin menguasai dan mengontrol; mereka bersatu dalam semangat persaudaraan dan kebijaksanaan. Dengan tekad yang bulat, mereka siap membuat perubahan dan melawan kekuasaan oligarki yang tidak dapat diabaikan.Lintang menatap layar besar yang memajang daftar peserta terbaru. Di antara nama-nama petani dan nelayan, muncul sejumlah “mentor” dan “investor” baru: Conrad Vanderholt, nama yang men

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 142 – Jejak Padi, Sayap Cendrawasih, dan Sinar Timur Laut

    Pagi itu, medan mentari Merauke tak lagi menyapa dari balik awan, melainkan menyemai cahaya keemasan yang menembus sekat pepohonan sagu dan merangkul atap rumah petani baru di Hamparan Persawahan Karang Mulia. Lintang melangkah melintasi pematang sawah, air menggenangi tanah liat yang lunak, memantulkan sinar mentari seakan permadani cermin. Di hadapannya terbentang ribuan hektar padi varietas unggul, hamparan hijau tak bertepi yang dikembangan pemerintah demi kemandirian pangan global.Di sana, ia menemui Pak Mawar, petani keturunan Papua yang memimpin kelompok tani di Merauke. Wajah Pak Mawar teduh seperti kayu ulin tua, dan sorot matanya memancarkan kebanggaan kepada sawah yang dibangun bersama masyarakat adat. “Kita tidak hanya menanam padi,” ujar Pak Mawar sambil mengusap mutir biji padi di telapak tangannya, “kita merajut masa depan. Persawahan ini—sawah tematik seribu hari—dapat memberi makan jutaan perut. Padi menanam dir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 141 – Jejak Benih di Seluruh Penjuru

    Pagi merambat lembut di kaki Bukit Merauke ketika Lintang menginjakkan kaki di hamparan ladang Papua. Embun menetes di daun sagu, dan kabut tipis menyelimuti barisan pohon kelapa dan ubi kayu. Di sana, sekelompok petani Papua—lelaki dan perempuan bertopi bambu, kulitnya menolak terik—menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat datang di Merauke, Kak,” sambut Yanto, koordinator komunitas tani lokal. “Di sini, si kaya dan si miskin menanam bersama. Anak‑anak muda kami belajar bercocok tanam demplot jagung hibrida, sagu liar, dan bahkan menanam padi organik di lahan rawa.”Lintang mengangguk, terpesona. Ia mendekati salah satu petani muda yang sedang meracik bibit padi organik.“Bagaimana kalian membebaskan diri dari ketergantungan impor beras?” tanyanya.Petani itu tersenyum, “Kami menerapkan rotasi tanaman dengan sagu dan ubi kayu agar tanah tak terlelah, serta menanam var

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 140 – Bayang Oligarki dan Cahaya Petani

    Kala fajar pertama menembus ufuk timur Buton, cahaya keemasan menyapa bentang hutan Lambusango. Senandung burung Parakohau bergema menembus rimbun pepohonan, seolah menjadi lagu pembuka bagi hari yang penuh janji. Di pelataran Madrasah Langit, anak-anak berlarian membawa sekantong bibit rempah, hidangannya tepuk tangan meriah. Lintang berdiri di podium bambu, menyaksikan generasi muda Pulau Buton menari riang, memeragakan gerakan tanam padi dan tarian Balaba dalam parafrase modern.“Selamat pagi, adik‑adik!” sapa Lintang dengan senyum hangat. “Madrasah Langit kini telah bersemi di lebih dari seratus daerah di seluruh belahan bumi. Di sana, petani kecil di Padang, nelayan di Maladewa, penggembala di stepa Mongolia, semua belajar bersama, berbagi ilmu, dan menjaga tanah mereka.”Anak‑anak menatap dengan mata berbinar. “Makasih, Kak Lintang!” teriak seorang bocah berlumur tanah. Mereka duduk melingkar, memegang alat tulis sederhana dan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 139 – Jalinan Tanah, Jaringan Langit, dan Laut Tak Bertepi

    Setelah pertemuan akbar di Madrasah Langit usai, para delegasi kembali ke tanah air masing‑masing, hati dan pikiran penuh tanggung jawab baru. Dari padang pasir Gobi hingga hutan Mayombe, dari benteng Jeju hingga ke pantai Maladewa, mereka pulang membawa nyala harapan untuk membangkitkan peradaban yang berakar pada kejujuran, kesucian hati, dan penghormatan pada tanah.Di Jawa, Pak Slamet, petani kopi di lereng Merapi, membuka lokakarya di balai desa. Warga berdatangan, membawa biji kopi, alat pengolah sederhana, dan secangkir hangat kenangan. “Tanah kita,” ujar Pak Slamet, “adalah tapak sejarah—menyuburkan gigir gunung dan mencipta kopi yang harum. Dari sini, kita belajar dari sistem irigasi tetes di China: tetes adalah doa; tiap tetes air yang menyentuh akar adalah janji kehidupan.” Ia mencontohkan pola pengairan sederhana: selang plastik kecil ditempel di setiap pohon kopi, menghemat air dan memaksimalkan produksi—&ldquo

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 138 – Madrasah Dawiah dan Orkestra Tanah Dunia

    Lintang melangkah pelan menyusuri lorong benteng Kraton Buton, di antara dinding purba yang disulam lumut hijau dan ukiran kayu yang menuturkan kisah silam. Pintu berat berderit perlahan ketika ia membukanya, membuka ruangan bangsal Madrasah Dawiah—sekolah Islam tertua di nusantara timur, kawasan tempat para ulama dan cendekiawan berkumpul menenun perjanjian antarbangsa. Di sudut aula, cahaya lampu temaram menari pada naskah kuno dan pita tangan para santri berwarna-warni.Terngiang di benak Lintang dialognya dengan Prof. Mark di Leiden—guru sejarah yang menggambarkan Madrasah Dawiah sebagai simpul perjanjian “yang lahir dari kebijakan kesultanan untuk mempersatukan Kerajaan Buton dengan permukiman dagang Eropa, India, dan Arab. Di sinilah interaksi agama, sains, dan etika sipil pertama kali disalin ke dalam buku-buku pergulatan batin dan resolusi damai.” Di depannya kini terhampar prasasti marmer tua: “Madrasah Dawiah, Rumah Perjanjian, 1616.&rd

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 137- Tanah, Jembatan antara Big Data dan Doa

    Lintang berdiri di pelataran balai tani, dikelilingi oleh barisan petani yang menunggu penjelasannya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah catatan ringkas tentang teknik pertanian modern China, di tangan kirinya tergenggam kitab kecil berisi bait‑bait Bhumi Suktam dari Veda—sebuah simbol perpaduan ilmu dan jiwa. Dengan suara lembut namun tegas ia membuka pembicaraan.“Para petani terhormat,” mulanya, “di Xinjiang, China, petani kita memanfaatkan teknik irigasi tetes—drip irrigation—untuk tanaman gandum musim dingin. Dengan selang‑selang plastik berteknologi tinggi yang meneteskan air langsung ke akar, hasil panen meningkat pesat, dan air hanya digunakan seperlunya". “Tak hanya itu, di wilayah kering, mulched drip irrigation—irigasi tetes berlumur—membantu mengontrol salinitas tanah dan menjaga struktur tanah, sehingga kapas pun tumbuh subur hingga puluhan tahun”.Seorang petani tua mengerutkan kening. “B

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 136 – Sujud, Reruntuhan, dan Daun-daun Perang

    Lintang duduk bersila di pendapa usang yang menghadap ke teluk Lawele. Angin senja membelai wajahnya dengan sepoi, membawa aroma laut dan lumut yang membasahi karang di bibir pantai. Di depannya terhampar buku tua berkulit kayu, halaman‑halamannya sudah memutih dan rapuh. Ia merengkuh buku itu, menundukkan kepala, dan membacakan bait-bait puisi kakeknya dengan suara bergetar:Aku sujud,tapi tak tahu: kepada siapa sesungguhnya dahiku ini menyentuh?Apakah Engkau, Wahai Kekasih,atau hanya bayangan dari diriku sendiri?Suara Lintang mengalun pelan, bak aliran sungai kecil yang memecah hening. Setiap baris puisi itu menembus relung hatinya, menggugah kerinduan akan kesucian yang pernah ia miliki dahulu. Ia melanjutkan:Aku melafazkan nama‑Mu,tapi diam‑diam ingin disanjung,ingin dilihat sebagai kekasih‑Mu,padahal tak sekali pun aku benar‑benar tenggelam dalam‑Mu.Kilatan m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status