Sabotase yang dilakukan oleh perusahaan tambang membawa konflik di Lambusango ke puncaknya. Sinta dan Jun harus menghadapi ancaman yang tidak hanya merusak secara fisik tetapi juga mencoba mematahkan semangat perjuangan mereka. Serangan dari pihak perusahaan semakin intensif, menggunakan preman untuk menebar teror. Namun, komunitas adat, para mahasiswa, dan tokoh-tokoh lokal tidak tinggal diam. Mereka bersatu untuk melawan kekuatan besar yang mencoba menghancurkan lingkungan dan kehidupan mereka. Solidaritas dan semangat juang yang tinggi menjadi kunci dalam menghadapi tantangan tersebut.Di suatu malam, Jun menjadi sasaran kekerasan. Dalam perjalanan kembali dari pertemuan dengan masyarakat adat, ia dikepung oleh beberapa preman bayaran perusahaan. Salah satu dari mereka mencoba menyerangnya dengan pukulan keras, tetapi Jun yang terlatih dalam seni bela diri Taekwondo berhasil menghindar dengan cekatan. Serangan itu hanya mengenai bahunya, meninggalkan lebam kecil. Namun, peristiwa i
Malam di Teluk Lawele dipenuhi suara ombak lembut yang menyentuh pantai, menciptakan suasana yang damai namun penuh makna. Setelah menarikan Balaba bersama, Sinta, Jun, dan La Ode Harimao duduk melingkar di atas pasir. Di depan mereka, pantai yang tenang menyimpan kisah peperangan masa lalu antara Oputa Yi Koo, pahlawan legendaris Buton, dan pasukan Belanda.“Tempat ini bukan hanya tanah,” La Ode Harimao memulai, suaranya penuh kebijaksanaan. “Ini adalah saksi sejarah, di mana leluhur kita mempertaruhkan segalanya demi melindungi kehormatan dan tanah air mereka. Kita adalah penerus perjuangan itu.” Sinta, Jun, dan La Ode Harimao merenungkan kata-kata tersebut dengan penuh penghormatan, menyadari betapa pentingnya warisan yang mereka sandang. Mereka berjanji untuk terus menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai luhur yang telah ditinggalkan oleh leluhur mereka.La Ode Harimao membuka sebuah naskah kuno yang dibawanya, sebuah teks bhanti-bhanti yang membahas cinta, kesucian, dan kehormatan
Di tengah perjalanan mereka menyusuri Hutan Lambusango, Sinta dan Jun tiba-tiba mendengar suara-suara keras dari arah barat. Ketukan kapak pada batang kayu terdengar berulang-ulang, membelah keheningan hutan yang selama ini terasa seperti surga tersembunyi. Dengan rasa penasaran, mereka mendekati asal suara tersebut. Mereka kembali terkejut ketika melihat sekelompok pemburu liar sedang menebang pohon-pohon besar. Mereka menargetkan Kayu Cendana dan kayu Besi untuk diolah dan dijual ke Wakatobi. Mereka tidak bisa mempercayai apa yang mereka lihat. Bagaimana mungkin ada orang yang berani merusak hutan ini, tempat yang selama ini mereka anggap sebagai tempat yang suci dan penuh keindahan alam? Sinta dan Jun merasa marah dan sedih melihat pemandangan itu; mereka merasa bertanggung jawab untuk melindungi hutan ini dari ancaman yang datang dari dalam. Dengan langkah hati-hati, mereka menyusup ke dalam kerumunan pemburu liar tersebut, siap untuk mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya."Ini
Di tengah kesibukan Sinta dan Jun menyusun strategi pemberdayaan masyarakat lokal, datang seorang tamu tak terduga ke Hutan Lambusango. Seorang pria paruh baya dengan ransel besar dan sikap tenang memperkenalkan dirinya kepada tokoh adat setempat. Pria tersebut adalah seorang peneliti yang tertarik untuk melakukan studi tentang keanekaragaman hayati di hutan tersebut. Dengan pengalaman dan pengetahuannya, ia berharap dapat memberikan kontribusi positif bagi pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.“Nama saya Dr. Malik Al-Fahmi,” katanya sambil tersenyum. “Saya peneliti ekologi sosial dan aktivis lingkungan serta karbon. Saya mendengar tentang upaya konservasi di Lambusango dan ingin membantu, jika diizinkan.” Tokoh adat setempat menyambut kedatangan Dr. Malik dengan hangat, mengapresiasi minatnya dalam pelestarian lingkungan. Mereka pun berdiskusi lebih lanjut tentang rencana studi yang akan dilakukan oleh Dr. Malik di hutan Lambusango.Dr. Malik adalah sosok yang
Di malam-malam yang tenang, di bawah kerlip bintang dan nyala api unggun kecil, Sinta dan Jun meluangkan waktu untuk membuka kembali teks-teks kuno kabanti. Aroma dedaunan dan suara hutan yang hidup menjadi latar belakang refleksi mereka. Kabanti, dengan bait-baitnya yang penuh makna, menjadi lebih dari sekadar puisi bagi mereka—ia adalah jembatan antara tradisi dan masa kini.Sinta menunjuk sebuah teks yang menarik perhatiannya. “Lihat ini, Jun. Di sini disebutkan bahwa manusia harus menjadi penjaga bumi, bukan penguasanya. Kita bagian dari alam, bukan pemiliknya.”Jun membaca dengan saksama, lalu berkata, “Ini mengingatkan kita bahwa hubungan kita dengan alam bukan soal kekuasaan, tapi soal tanggung jawab. La Ode Harimao benar. Jika kita mencintai sesuatu, kita harus menjaga dan melindunginya.”Sinta mengangguk perlahan. “Kabanti ini mengajarkan keseimbangan. Bukan hanya antara manusia dan alam, tapi juga antara kebutuhan kita dan kebutuhan generasi mendatang. Jika kita serakah hari
Sinta berdiri di tepi hutan Lambusango, memandangi hamparan hijau yang terbagi dalam tiga wilayah: kawasan konservasi, hutan lindung, dan kawasan perhutanan sosial. Ia memegang tablet yang menampilkan data pemetaan drone, sambil memikirkan langkah berikutnya.“Semua ini harus diatur dengan baik,” katanya kepada Jun. “Kita harus memastikan bahwa pemetaan ini memberikan manfaat nyata untuk masyarakat, sambil tetap menjaga kelestarian hutan.”Jun, yang berdiri di sampingnya, hanya mengangguk. Perhatian Jun bukan pada data atau peta, melainkan pada wajah Sinta yang bercahaya di bawah sinar matahari sore.“Apa yang kau pikirkan, Jun?” tanya Sinta, menyadari tatapan Jun yang tak lepas darinya.Jun tersenyum, tapi ia tahu bahwa kejujuran perasaannya bisa menjadi beban di tengah tugas besar mereka. “Aku hanya berpikir bahwa kau adalah seseorang yang luar biasa,” katanya akhirnya.Sinta tersipu, tetapi ia sege
Jun membawa Sinta mengunjungi berbagai institusi budaya dan pendidikan di Korea, memperlihatkan bagaimana sistem pengelolaan budaya diajarkan kepada generasi muda. Mereka mengunjungi sebuah sekolah dasar di Seoul, di mana anak-anak diajarkan menghormati warisan budaya mereka melalui pelajaran sejarah, seni, dan praktik-praktik tradisional.“Lihat ini, Sinta,” kata Jun sambil menunjukkan salah satu mural di aula sekolah yang menggambarkan tradisi rakyat Korea. “Setiap generasi diajarkan untuk memahami akar budaya mereka sejak dini. Jika kita bisa menerapkan hal yang serupa di Buton, terutama untuk konservasi Hutan Lambusango, aku yakin hasilnya akan luar biasa.”Sinta mengangguk, terinspirasi. “Mendidik anak-anak di sekitar Lambusango untuk mencintai budaya dan lingkungan mereka sejak dini adalah langkah yang sangat penting. Itu akan menjadi bagian dari jati diri mereka.”Mereka juga mengunjungi sebuah museum budaya yang memamerkan cara hidup tradisional Korea. Di sana, Jun menunjukkan
Pesawat dari Seoul menuju Jakarta meluncur mulus di langit malam. Di kursi sebelah, Sinta terlelap, wajahnya yang khas—perpaduan antara warisan Buton, Melanesia, dan sentuhan keturunan Asia lainnya—bersinar tenang di bawah cahaya lampu kabin. Bagi Jun, Sinta adalah sosok yang tidak hanya menginspirasi cinta, tetapi juga harapan bagi masyarakat yang ingin mereka bangun bersama. Sebelum tidur, Sinta memutar music pop Korea Touch Love yang dipopulerkan Yoon Mi-rae, Sinta terlelap dalam imajinya, berharap bersandar pada Jun-ho dalam perjalanan panjang hidupnya nanti. Pelan-pelan teks-teks lagu itu menjelma dalam mimpinya, ia sudah menemukan dirinya bersandar pada Jun-ho di pantai yang ada di pulau Jeju. Ia menyandarikan dirinya. Jun-ho melihat Sinta tersenyum dan matanya tetap tertuju. Jun-ho membirkan ia Sinta tertidur, ia hanya mengagumi kencatikan itu, mengalahkan Yoon Mi-rae artis Korea yang terkenal di negaranya.Di benak Jun, rencana-rencana besar berkecamuk. Kembali ke Buton bukan
Langit di atas Jenewa memuntahkan hujan es, butiran kristal tajam yang menari di atas kaca gedung PBB bagai air mata bintang yang membeku. Di dalam ruang sidang, La Ode Harimao berdiri di antara dua dunia: di sebelah kirinya, bendera Buton yang dijahit dari kain tenun berlubang; di kanannya, layar hologram raksasa yang memproyeksikan data pertambangan seperti ular naga bermata rubi. Suaranya menggema, merobek kesunyian yang dibungkus bahasa diplomasi:"Kalian menyebut kami terbelakang karena kami memilih berbicara dengan angin daripada spreadsheet. Tapi lihatlah—" Tangannya menunjuk ke jendela, di mana rekaman drone menunjukkan pulau alien selatan yang kini berpendar seperti mutiara terlempar dari sabuk Orion. "—bahkan bintang-bintang pun memilih berpihak pada yang tak bersuara!"Di layar, gambar berganti: kapal alien purba setinggi gunung, tubuhnya diselimuti lumut bioluminesen, panel-panel logamnya diukir hieroglif cahaya biru. Lintang, dalam rekaman itu, menyentuh dinding kapal den
Langit di atas New York berselimut awan kelabu, mencerminkan dinginnya ruang sidang PBB yang dipenuhi wajah-wajah tak bernyawa. Di layar raksasa, bendera Buton kuno—kain tenun berlubang dihiasi motif kamaru—terkoyak oleh animasi digital yang memperlihatkan hutan-hutan yang diklaim "tak produktif." La Ode Harimao berdiri di podium, tangannya menggenggam Perjanjian Wolio 1624 yang lapuk, kertasnya berderak seperti suara tulang leluhur yang menggugat. Dia melangkah maju dengan langkah tegap, suaranya bergema di ruang sidang yang sunyi. Dengan penuh keyakinan, ia mulai membacakan isi perjanjian tersebut, mengingatkan para delegasi tentang hak-hak tradisional masyarakat Buton yang telah terabaikan selama bertahun-tahun. Matanya bersinar dengan determinasi, menuntut pengakuan dan penghormatan atas warisan budaya mereka. Seluruh ruangan terdiam, terpaku pada kata-kata yang keluar dari mulut La Ode Harimao."Yang Mulia," suaranya menggema, memecah kesunyian ruang berlapis marmer, "kami tidak
Langit malam di Buton dipenuhi bintang-bintang yang seolah bersekongkol, berkelap-kelip dalam pola tak wajar. Di bawahnya, masyarakat adat berkumpul di sekitar Menara Kristal Biru, yang kini memancarkan gelombang energi lembut bagai nafas bumi. Sinta menggendong Lintang, yang mata kecilnya memantulkan cahaya bintang seperti cermin kosmik.“Mereka datang,” bisik Jun Ho, menatap layar tablet yang menampilkan jejak satelit tak dikenal. “AI itu telah menyusup ke jaringan orbit. Ini serangan yang tak bisa kita lawan dengan tombak.”La Ode Harimao, dengan wajah sekeras batu karang, mengangkat Tombak Wakaaka. “Kita lawan dengan apa yang kita punya: darah, doa, dan akal!”Mereka semua bersiap-siap untuk menghadapi ancaman yang semakin mendekat, dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan. Sinta merasakan detak jantungnya semakin cepat, tetapi ia tahu bahwa mereka harus bertahan demi keberlangsung
Langit senja di Buton dihiasi warna jingga dan ungu, seolah lukisan raksasa yang dilukis oleh Ratu Wakaaka sendiri. Di pelataran Istana Wolio, ratusan obor menyala membentuk pola kamaru—simbol persatuan yang telah berusia tujuh abad. Suara gendang dana-dana menggetarkan udara, diiringi tarian lariangi yang gemulai. Sinta, dengan Lintang digendong di kain tenun merah, tersenyum melihat Jun Ho yang canggung mencoba mengikuti gerakan penari. Tapi di balik kemeriahan ini, getaran ketegangan mengintip seperti macan di balik semak.“Ini bukan sekadar pesta,” bisik La Ode Harimau pada istrinya, Wa Ode Marinu, sambil menatap para utusan Kadie dari empat penjuru Kesultanan Buton yang duduk di paviliun berhias bunga kamboja. “Ini peringatan. Jika negara terus tutup mata, kita akan tegakkan kedaulatan leluhur kita sendiri.”Wa Ode Marinu mengangguk, matanya berbinar seperti pisau terhunus. “Sudah saatnya kita tagih utang sejarah. Dana yang dipinjam negara saat konsolidasi kemerdekaan harus dikem
Langit di atas Jakarta pagi itu terasa seperti kaca yang retak, memantulkan cahaya pucat yang seolah enggan menyentuh bumi. Di tengah kerumunan wartawan dan aktivis yang berjejal di depan Pengadilan Negeri, La Ode Harimau melangkah keluar dari gerbang besi dengan kepala tegak. Wajahnya yang keriput oleh waktu dan perjuangan tersenyum kecil, tapi matanya—yang seperti dua bara api—menyimpan amarah yang tak pernah padam. "Kebebasan ini bukan hadiah," bisiknya pada Wa Ode Rani yang menunggu dengan bendera bertuliskan #SaveLambusango. "Ini adalah peringatan. Mereka tahu, jika aku mati di penjara, hutan ini akan bangkit dan menelan mereka hidup-hidup."Tapi di balik sorak-sorai kemenangan, badai lain sedang mengumpul. Banjir besar melanda separuh Jawa, airnya hitam pekat oleh lumpur tambang yang terbawa dari hutan-hutan gundul. Desa-desa tenggelam, sawah-sawah berubah jadi rawa beracun, dan mayat-mayat ikan mengambang di sungai seperti peringatan dari alam yang terluka."Lihatlah!" teriak s
Langit malam itu menganga seperti luka bakar raksasa, memuntahkan cahaya merah tembaga yang mengecat wajah bumi menjadi palet duka. Bulan Merah—sebuah fenomena yang hanya muncul setiap 500 tahun—mengambang di atas Hutan Lambusango, bukan sebagai benda langit, melainkan mata raksasa yang mengawasi dengan pupil-pupil api. Di bawahnya, Sinta berdiri di tengah lingkaran batu vulkanik, tubuh Lintang yang kecil terikat di dadanya dengan selendang tenun bermotif kamaru. Setiap helai benang di selendang itu berdenyut, menyala-nyala dalam irama yang seirama dengan detak jantung sang bayi."Waktunya telah tiba," bisik Wa Ode Marinu, tangannya menggenggam kendi berisi air mata pohon ulin—cairan yang hanya bisa dikumpulkan saat pohon itu meratap di tengah malam. "Bumi akan berbicara melalui darah kita."Tapi di kejauhan, di balik kabut darah bulan, deru mesin perang meraung. Pasukan Hybrid—manusia setengah mesin dengan otot-otot berpola DNA biru Li
Langit malam di Hutan Lambusango pecah oleh guruh yang bukan berasal dari awan, melainkan dari dentuman roket militer yang membelah angkasa. Di bawah kanopi pohon ulin yang merintih, Sinta menggigit sehelai kain tenun bermotif kamaru, tubuhnya melengkung seperti busur yang ditarik hingga patah. Setiap kontraksi adalah gelombang pasang yang menyapu daratan tulang rusuknya, membawa serta teriakan yang tertahan di balik desisan dedaunan. Jun Ho, dengan tangan berlumur getah penyembuh yang diracik nenek-nenek adat, berbisik mantra-mantara yang diajarkan Wa Ode Marinu: "Bumi adalah rahim, angin adalah bidan, dan darahmu adalah sungai yang akan menyambut sang penjelajah bintang."Di kejauhan, sorak-sorai tentara bersahutan dengan derap helikopter. Mereka datang untuk mengambil dua harta: batu biru yang bersemayam di gua Laritana, dan janin ajaib yang cahayanya menerobos daging perut Sinta seperti lentera kertas di tengah kegelapan."Kita harus pindah!" teri
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pagi itu dikepung oleh dua kubu yang bertolak belakang. Di sebelah kiri, puluhan masyarakat adat dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul dengan pakaian tradisional, wajah mereka dicat motif khas suku, tangan menggenggam sirih pinang sebagai simbol perdamaian. Di sebelah kanan, barisan pengacara bermerek dasi Armani dan pengusaha tambang dengan jam tangan Rolex bersiap dengan dokumen setinggi lutut. Di tengah ruang sidang yang megah, La Ode Harimao berdiri tegak dalam baju bella-bella putihnya, rantai besi di pergelangan tangan berderak setiap kali ia menoleh ke arah Sinta yang duduk di bangku penonton.Namun, meskipun kontras antara kedua belah pihak begitu mencolok, La Ode Harimao tetap tenang dan percaya diri. Dengan suara yang lantang, ia mulai menyampaikan pledoi pembelaannya dengan penuh keyakinan. Sinta, yang selama ini hanya bisa menatapnya dari kejauhan, merasakan getaran emosi yang tidak bisa dijelaskan ketika mendengar kata-kata yang keluar d
Hutan Lambusango pagi itu terlihat begitu tenang. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, dan sinar matahari yang menembus dedaunan menciptakan pola cahaya yang menari-nari di tanah. Tapi ketenangan itu hanyalah ilusi. Di balik keindahannya, ada badai yang sedang mengumpul.Sinta duduk di beranda rumah kayu kecil milik keluarganya, secangkir teh hangat di tangannya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah petualangannya di dunia spiritual, tapi pikirannya tidak bisa beristirahat. Matanya menatap jauh ke arah hutan, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon. "Ini ancaman untuk kelestarian Hutan Lambusango," bisiknya pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Jun Ho, yang duduk di sampingnya, mengangguk perlahan. "Aku baru saja mendapat email dari ibuku di Seoul," katanya sambil membuka laptopnya. "Dia bertanya apakah sudah ada calon cucu untuknya."Sinta tersenyum kecil, tapi senyum itu cepat menghilang. "Kita bahkan belum bisa melindungi hutan ini, Jun. Bagai