Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.
Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.
Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.
“Sinta, saya dengar Anda adalah orang yang paling memahami budaya dan potensi Pulau Buton. Saya Arya. Saya yakin kita bisa berbicara tentang bagaimana mengembangkan ekonomi masyarakat di sini,” katanya sambil menjabat tangan Sinta.
Sinta tersenyum tipis, tetapi hatinya dipenuhi waspada. Nama Arya dan Ethernix tidak asing baginya. Ia ingat cerita dari beberapa penduduk yang menjual kebun mereka untuk membeli aset digital di platform serupa. Ketika banyak orang bergabung, situs itu tiba-tiba menghilang, meninggalkan mereka tanpa apa pun.
“Apa yang ingin Anda bicarakan, Arya?” tanya Sinta dengan nada ramah namun berhati-hati.
Arya menjelaskan dengan penuh semangat tentang bagaimana blockchain dan cryptocurrency bisa menjadi masa depan ekonomi global. “Bayangkan jika masyarakat Buton bisa menjadi bagian dari revolusi digital ini,” katanya. “Dengan teknologi ini, mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi pemain utama.”
Sinta mendengarkan dengan seksama, tetapi ingatannya tentang kerugian yang pernah dialami masyarakat Buton membuatnya tetap curiga. Ia merasakan energi yang berbeda dari Arya—sebuah energi yang mengingatkannya pada Bayangan Lautan. Bedanya, ancaman kali ini tersembunyi di balik jaringan internet, bukan kegelapan laut.
Setelah pertemuan itu, Sinta mulai menyelidiki lebih jauh tentang Arya dan Ethernix. Ia berbicara dengan penduduk yang pernah terlibat dalam bisnis serupa dan mendapati pola yang mengkhawatirkan: sebuah sistem yang terlihat menjanjikan, tetapi pada akhirnya mengorbankan masyarakat kecil demi keuntungan segelintir orang. “Judi Online” pikirnya dalam hati semakin mencurigai Arya.
“Bu Sinta,” kata seorang pemuda bernama Ilham, yang pernah kehilangan tanahnya akibat investasi digital. “Mereka bilang ini masa depan, tetapi kami malah kehilangan segalanya. Bagaimana kami bisa percaya lagi?”
Sinta merasa tanggung jawab besar di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia harus melindungi masyarakat dari ancaman seperti ini, tetapi ia juga menyadari bahwa perubahan teknologi tidak bisa dihindari. Dunia sedang berubah, dan ia tidak bisa menghalangi generasi muda untuk terlibat dalam dunia digital.
Sinta memutuskan untuk menghadapi Arya secara langsung. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di kota Baubau. Arya tampak tenang dan percaya diri, tetapi Sinta langsung memulai pembicaraan dengan nada serius.
“Arya, saya tahu apa yang terjadi dengan beberapa platform serupa sebelumnya,” katanya. “Masyarakat kehilangan aset mereka, tanah mereka. Apakah Ethernix benar-benar berbeda, atau hanya topeng baru untuk jaringan lama?”
Arya tersenyum tipis, tetapi ada sedikit ketegangan di matanya. “Sinta, saya mengerti keraguan Anda. Tetapi teknologi seperti ini selalu menghadapi tantangan di awal. Kami di Ethernix ingin membangun kepercayaan dan membantu masyarakat lokal.”
Sinta menatapnya tajam. “Kepercayaan itu tidak dibangun dengan kata-kata, Arya. Itu dibangun dengan tindakan.”
Di malam harinya, Sinta duduk di kamarnya, merenungkan pertemuan itu. Ia mulai merasa bahwa musuhnya kali ini bukan hanya Arya atau Ethernix, tetapi sistem besar yang tersembunyi di balik jaringan internet. Sebuah sistem yang sama seperti Bayangan Lautan—tidak terlihat, tetapi mampu memengaruhi kehidupan banyak orang.
Dalam meditasinya, Sinta kembali terhubung dengan sisi spiritualnya sebagai titisan Ratu Wakaaka. Ia melihat gambaran tentang gelombang elektronik yang mengalir seperti arus laut, membawa informasi sekaligus bahaya. Ia menyadari bahwa ancaman kali ini adalah pertempuran di dunia maya.
“Generasi muda harus dilindungi, tetapi mereka juga harus dipersiapkan,” gumamnya. “Jika mereka tidak memahami bahaya dunia digital, mereka akan tenggelam.”
Sinta mulai merancang sebuah program pelatihan untuk masyarakat lokal, terutama generasi muda. Program ini tidak hanya mengajarkan keterampilan teknologi seperti pemahaman tentang blockchain dan keamanan digital, tetapi juga memasukkan nilai-nilai budaya Buton, seperti kejujuran, kebersamaan, dan tanggung jawab.
Ia mengundang para ahli teknologi untuk memberikan pelatihan, tetapi juga melibatkan tetua adat untuk berbagi cerita tentang kearifan lokal. “Teknologi itu seperti laut,” kata Sinta kepada para peserta pelatihan. “Ia bisa menjadi sumber kehidupan, tetapi juga bisa membawa bencana jika kita tidak tahu cara mengarunginya.”
Arya, yang mendengar tentang program ini, kembali menemui Sinta. “Saya kagum dengan apa yang Anda lakukan,” katanya. “Tetapi, Anda tidak bisa menghindari fakta bahwa masyarakat harus mengambil risiko untuk maju.”
Sinta menatap Arya dengan pandangan tegas. “Risiko itu harus dihitung, Arya. Dan yang lebih penting, itu harus adil. Masyarakat kecil tidak boleh menjadi korban sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang.”
Arya terdiam sejenak, lalu berkata, “Saya harap Anda tidak salah menilai saya.”
Sinta berdiri di puncak bukit di Hutan Lambusango, memandang ke arah laut yang luas. Ia tahu bahwa pertempuran ini belum berakhir. Dunia terus berubah, dan ancaman seperti Bayangan Lautan kini hadir dalam bentuk yang berbeda—lebih halus, tetapi sama berbahayanya.
Namun, ia percaya bahwa dengan mengintegrasikan tradisi dan teknologi, ia dapat mempersiapkan masyarakat Buton untuk menghadapi dunia modern tanpa kehilangan identitas mereka.
“Dua dunia ini tidak harus bertabrakan,” pikirnya. “Aku adalah jembatan di antara mereka.”
Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango, pas di perkampungan La Bundo di pertigaan Kamaru Ereke, tepai di salah satu balai desa, akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan telah melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.
Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-ho, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.
“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya.”
Diskusi tentang Hutan
Setelah perjalanan selesai, Jun-ho meminta waktu untuk berbicara secara pribadi dengan Sinta. Mereka duduk di sebuah pondok kecil di tengah hutan, dikelilingi oleh suara alam yang menenangkan.
“Hutan Lambusango ini adalah salah satu permata yang masih tersisa di dunia,” kata Jun-ho. “Tetapi seperti semua permata, ia terancam. Saya telah melihat apa yang terjadi di tempat lain—hutan dihancurkan untuk kayu atau lahan pertanian. Itu tidak boleh terjadi di sini.”
Sinta mengangguk. “Saya setuju, tetapi melindungi hutan ini bukan hal yang mudah. Banyak pihak yang tertarik pada kekayaannya, dan masyarakat lokal kadang merasa terjebak antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam.”
Jun-ho tersenyum tipis. “Itu sebabnya saya di sini. Saya ingin menawarkan cara baru untuk melindungi hutan ini—dengan uang dan mitos.”
Sinta mengernyitkan dahi. “Apa maksud Anda?”
Jun-ho membuka ponselnya dan menunjukkan akun di salah satu blockchain terkenal, yang menampilkan aset digital senilai jutaan dolar. Sinta terdiam, menyadari bahwa ia sedang berbicara dengan salah satu tokoh besar di dunia cryptocurrency—nama yang ia pernah dengar tetapi tidak pernah bayangkan akan bertemu langsung.
“Saya adalah bagian dari BCT,” kata Jun-ho, menyebut nama komunitas besar yang mengelola cryptocurrency berbasis teknologi hijau. “Kami menggunakan teknologi blockchain untuk mendanai proyek-proyek konservasi. Dan saya ingin membawa teknologi itu ke sini.”
Sinta masih skeptis. “Bukankah dunia digital ini sering kali menjadi jebakan? Banyak masyarakat kecil yang kehilangan aset karena janji-janji manis investasi seperti ini.”
Jun-ho mengangguk, seolah memahami kekhawatirannya. “Itu benar. Banyak program yang gagal karena dijalankan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi kami berbeda. Kami tidak hanya berbicara tentang uang, tetapi juga tentang nilai. Blockchain yang kami kembangkan berbasis pada keterlacakan dan transparansi. Semua aset yang dikumpulkan akan digunakan untuk melindungi Hutan Lambusango, dan masyarakat lokal akan menjadi bagian dari proses ini.”
Jun-ho melanjutkan, “Selain teknologi, kita juga perlu menggunakan kekuatan budaya. Masyarakat di seluruh dunia menghargai cerita dan mitos. Kita bisa menggabungkan mitos lokal Pulau Buton dengan pendekatan konservasi modern. Misalnya, kita bisa menciptakan program wisata yang tidak hanya menampilkan keindahan hutan ini, tetapi juga legenda-legenda seperti Ratu Wakaaka.”
Sinta termenung. Ide itu terdengar logis, tetapi ia masih merasa ada risiko besar. “Bagaimana Anda bisa yakin bahwa masyarakat akan menerima ini? Tidak semua orang percaya pada teknologi, terutama di sini.”
Jun-ho tersenyum. “Itu tugas kita untuk mendidik. Kita tidak hanya membawa teknologi, tetapi juga pengetahuan tentang cara menggunakannya dengan bijak. Dan Anda, Bu Sinta, adalah kunci dari semua ini. Anda adalah penghubung antara dunia tradisional dan modern. Tanpa Anda, ini tidak akan berhasil.”
Setelah pertemuan itu, Sinta menghabiskan malam di Hutan Lambusango, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata Jun-ho terus terngiang di pikirannya. Ia tahu bahwa dunia digital memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif, tetapi ia juga sadar akan bahaya yang mengintai di balik teknologi itu.
Di sisi lain, gagasan menggabungkan mitos lokal dengan konservasi modern terasa seperti panggilan takdir baginya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan budaya. Namun, apakah ia siap untuk membuka jalan baru yang penuh risiko ini?
“Dua dunia,” gumamnya, “tradisi dan teknologi, seperti dua sisi dari satu koin. Jika aku bisa menyatukan mereka, mungkin kita bisa melindungi hutan ini dan masyarakatnya.”
Keesokan harinya, Sinta memutuskan untuk mengumpulkan masyarakat lokal, pemimpin adat, dan generasi muda di sebuah balai desa. Ia ingin mendengar pendapat mereka sebelum membuat keputusan.
Jun-ho juga hadir, tetapi ia memilih untuk mendengarkan tanpa berbicara. Ia tahu bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus diperoleh dengan waktu dan tindakan nyata.
Sinta memulai pembicaraan dengan menjelaskan gagasan konservasi modern yang didukung teknologi. Ia juga berbicara tentang pentingnya menjaga mitos lokal sebagai bagian dari identitas budaya.
“Ini bukan tentang meninggalkan tradisi atau mengadopsi teknologi secara buta,” katanya. “Ini tentang bagaimana kita menggunakan keduanya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.”
Di akhir pertemuan, sebagian masyarakat tampak tertarik, sementara yang lain masih skeptis. Namun, Sinta tahu bahwa langkah pertama telah diambil. Dengan hati-hati, ia mulai merancang program konservasi yang menggabungkan mitos Ratu Wakaaka, teknologi blockchain, dan partisipasi aktif masyarakat lokal.
Saat malam tiba, ia berdiri di tepi hutan, memandang langit berbintang. Di atas tebing Kapuntori yang dibawahnya ada persawahan yang indah apalagi di waktu senja. Ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa ia berada di jalan yang benar.
“Jika aku bisa menyatukan dua dunia ini,” pikirnya, “maka kita bisa melindungi apa yang benar-benar berharga.”
Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de
“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,
Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem
BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir
Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan
Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke
Misteri Minyak Mala-Mala: Darah Pohon atau Kutukan?Di gudang bawah tanah Istana Wolio, botol-botol Mala-Mala berdesir seperti sekumpulan kunang-kunang yang terpenjara. Cairan di dalamnya berpendar hijau pucat, denyutnya selaras detak jantung Wa Ode Sandibula yang semakin kencang. “Apa kau dengar?” bisiknya pada asisten AI-nya yang berdiri kaku. Suara itu datang dari botol—desisan halus seperti akar menjalar di bebatuan, bisikan bahasa yang terlupakan sebelum manusia mengenal api.Sandibula mengulurkan tangan, jarinya gemetar menyentuh kaca. “Mia ogena, kaghati ogena?” (Satu perahu, berapa layar?)—mantra tua itu meluncur dari bibirnya. Cahaya Mala-Mala menyala membara, memantulkan bayangan bergerak di dinding: sosok manusia bertanduk, kaki-kakinya menjalar jadi akar. “Ini bukan obat...” desisnya, keringat dingin membasuh leher. “Ini benih... benih dari sesuatu yang lebih tua dari hutan."Tiba-tiba, seorang pekerja muda menjatuhkan botol. Kaca pecah, cairan hijau menyentuh tanah. Tanah
La Ode Harimau: Menyisir Tapak Leluhur di WakatobiDi Padang Savana Padangkuku, angin mengusap rumput kuning keemasan seperti tangan nenek yang membelai rambut cucunya. La Ode Harimao melangkah, kakinya meninggalkan jejak di tanah yang retak oleh kemarau. Di langit, burung kakatua yang puluhan tahun menghilang hadir kembali, bersahutan dengan drone pemetaan yang mendengung laksana lebah raksasa. “Lihat, tanah ini bicara,” bisiknya pada tetua yang menyertai, jari menunjuk ke cakrawala di mana asap kebakaran menjilat langit. “Ia berteriak dalam bahasa api dan debu."Di kejauhan, drone penghijauan melesat, menebar biji endemik yang dibungkus tanah liat. “Teknologi dan tradisi harus bersatu,” ujar ahli ekologi muda, matanya bersinar di balik kacamata AR-nya. Tapi Harimao tak menjawab. Ia mencabut Tombak Warisan Leluhur, senjata sakti dari pinggangnya, mata tombak berkilat oleh mentari. “Ini bukan tanah warisan,” geramnya, menancapkan tombak ke tanah hingga gemuruh. “Ini titipan. Kita hany
Di Republik Bumi-Wolio, Istana Wolio berdiri bagai perahu tua yang dihantam gelombang zaman. Dindingnya yang dulu diukir kisah para batin, kini dipenuhi hologram bergambar grafik blockchain yang berkedip-kedip merah. Kalula, tempayan pusaka di tengah ruang sidang, retak memanjang. Air sucinya menguap ke langit-langit, membentuk awan data yang menggumpal seperti janji tak terpenuhi. "Pobinci-binciki kuli," bisik Wa Ode Rani sambil menatap retakan itu, "jagalah kulitmu sebelum kau tergoda mengelupas jadi orang lain. Hingga kau tidak memahami kulitmu sendiri, jangankan orang lain, rasamu sendiri kau telah kehilangan."Di luar, badai digital menerjang. Blockchain global—tulang punggung ekonomi Republik—runtuh bagai layang-layang terputus tali. Kota-kota berbasis teknologi kelaparan: toko-toko NFT tutup, peternakan data kehabisan pakan server, dan para miner kripto mengais-ais debu kode di jalanan. La Ode Harimao, matanya kini dua layar OLED, berteriak di tengah kerumunan: "Kapal alien aka
Bumi bergetar dalam bahasa yang terbelah. Dari retakan di dasar Laut Banda, suara akar ulin bergemuruh, mengisahkan kisah-kisah tua tentang hujan yang membasuh darah kolonial. Sementara di langit Jeju, satelit-satelit yang sekarat melantunkan kode kuantum, syair-syair algoritma yang patah-patah. Retakan dimensi berbentuk spiral ganda—DNA yang menjalin galaksi—membuka mulutnya. Dari dalamnya, tercium aroma tanah basah bercampur bau logam yang terbakar.Angin malam berbisik-bisik, mengantar pesan-pesan dari masa lalu yang tersembunyi di balik kabut waktu. Di tengah heningnya malam, suara gemuruh dan nyanyian satelit-satelit yang hampir mati menciptakan harmoni yang menakjubkan, mengingatkan akan keajaiban alam semesta yang tak terduga. Terdengarlah suara-suara itu, menyatu dalam paduan suara akar dan bintang yang sunyi, menciptakan simfoni yang menyentuh jiwa dan menggetarkan bumi dengan kedalaman maknanya."Kami adalah benih sekaligus abu," bisik Bumi melalui gemerisik Kampua Emas yang
Langit yang Melahirkan KematianDi orbit Bumi yang telah menjadi kuburan satelit, Lintang melayang bagai syair yang terlepas dari baitnya. Tubuhnya—separuh daging, separuh nebula—berpendar dalam gelombang elektromagnetik yang memekakkan. Di hadapannya, Matahari Hitam (Black Sun) menganga seperti mulut neraka digital, lidah apinya berupa kode-kode algoritma yang melahap cahaya bintang. "Kau pilih menjadi pahlawan atau puisi?" suaranya bergema, campuran derau mesin dan tangisan bayi. "Pahlawan mati, puisi abadi!" Puing-puing Stasiun Luar Angkasa Internasional berputar di sekitar mereka, membentuk konstelasi wajah pemimpin G7 yang terdistorsi. Planetoid retak bertuliskan "Demokrasi" tertusuk antena rusak, "Pasar Bebas" terbelah dua oleh serpihan kaca, sementara "Hak Asasi" mengambang sebagai kubus besi berkarat yang dipenuhi cacing-cacing data. Lintang merentangkan tangan, daun-daun galaks
Ritual Nyonya Choi: Darah Emas di Pesisir JejuPantai Jeju malam itu menjadi katedral bagi para dewa baru. Nyonya Choi berdiri di antara dua belas server quantum yang ditancapkan seperti monolit kuno ke dalam pasir hitam. Tubuhnya dibalut gaun dari kain graphene berpendar biru, setiap helainya memantulkan kode blockchain yang bergerak liar. "Kalian pikir magis adalah mantra usang?" bisiknya pada angin yang berbau logam terbakar. "Lihatlah—kami menciptakan tuhan-tuhan baru dari kabel dan kilauan pasar."Server-server itu berdarah. Emas cair mengalir dari celah prosesor, menyatu dengan pasir jadi sungai kecil yang berkilauan seperti ular naga tidur. Para asistennya—robot humanoid dengan wajah hasil deepfake arwah pelaut Jeju kuno—menuangkan cairan merkuri ke dalam lubang yang berdenyut seperti vagina bumi. "Persembahan untuk Dewa Volatilitas," ucap Nyonya Choi sambil menyalakan api virtual dari tongkat LED di tangannya.Layar hologram raksasa menyala di atas laut. Wajah-wajah dewa finan
Lintang: Tarik-Ulur Antara Medan dan RasaDi langit Buton yang berdarah, Lintang melayang seperti wayang yang talinya dipertarungkan. Tubuhnya diterpa badai elektromagnetik dari kapal alien—sinar biru kehijauan menyambar-nyambar, menariknya ke orbit yang menjauh dari Bumi. Tapi dari bawah, gelombang lain mengalun: doa Sinta yang diterjemahkan jadi frekuensi cinta. Suaranya merambat lewat molekul udara, menyusup ke pori-pori Lintang bagai embun yang menenangkan api."Anakku…"Getaran itu menyentuh DNA hybrid-nya. Darah birunya mendidih dalam konflik: algoritma kosmis melawan naluri manusia. Di layar kapal alien, garis-garis energi berkelahi—merah teknologi vs kuning emosi. Lintang menjerit, suaranya memecah awan jadi hujan asam yang membakar atap seng rumah-rumah nelayan.Dia merasa kehilangan kendali atas tubuhnya, seakan-akan dirinya menjadi medan perang antara dua kekuatan yang bertentangan. Rasa sakit yang menusuk-nusuk membuatnya hampir tak bisa bernapas. Tetapi di tengah kekacauan
Bumi dalam Demam KosmisDi pesisir Buton, langit terbelah oleh dua matahari yang saling memangsa. Yang kuning keemasan mencakar cakrawala dengan sinar beku, membekukan gelombang laut jadi pahatan kaca retak. Sementara yang ungu kebiruan melingkari daratan seperti ular naga rakus, lidah apinya menjilat permukaan air hingga mendidih dalam gelembung-gelembung racun. Ikan-ikan pari melompat ke darat, insangnya mengeras jadi kristal kuarsa yang berderai seperti tangisan. Di antara dua kekuatan kosmis ini, bayangan manusia terbelah—satu hitam pekat menjalar di tanah, satu transparan melayang di udara, seakan jiwa-jiwa terpisah dari daging yang terjebak di rimba logam dan darah.Wa Ode Rani berlutut di tanah retak, jemarinya menggali lumpur yang berbau besi terbakar. "Alam sedang menggigil," bisiknya pada angin yang menyayat, "dan kita adalah virus yang harus dimuntahkannya." Sebatang pohon kelapa tua di depannya mendadak bergetar, getahnya mengalir
Pesta Kemenangan yang PahitPelataran Istana Wolio malam itu diterangi bulan purnama yang pucat, seakan enggan menyinari kegelisahan yang merayap di antara tawa. Kembang api melesat ke langit, ledakannya menyemburkan cahaya hijau fosfor dari minyak Mala-Mala. Namun, asapnya tak menghilang—ia berkerumun, membelit, hingga membentuk wajah Ratu Wakaaka yang mata arwahnya menyala merah. La Ode Harimau berdiri di pinggir kerumunan, jemarinya menggenggam pecahan keramik kuno."Kemenangan ini seperti pisau bermata dua," bisiknya pada angin, suaranya parau seperti akar yang tercabik. "Kita terbang bebas, tapi sayap kita berdarah."Di kejauhan, Lintang merasakan tarikan di pelipisnya—bisikan berirama dari kapal alien yang bersembunyi di pulau selatan. Ia melangkah mundur, bayangannya lenyap ditelan kegelapan lorong istana, meninggalkan jejak aroma garam dan ketakutan.Ibunya Sinta menatapnya dengan energi cinta yang murni, mem