Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

Share

BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

Author: Oceania
last update Last Updated: 2024-11-18 16:13:23

Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.

Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.

Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.

“Sinta, saya dengar Anda adalah orang yang paling memahami budaya dan potensi Pulau Buton. Saya Arya. Saya yakin kita bisa berbicara tentang bagaimana mengembangkan ekonomi masyarakat di sini,” katanya sambil menjabat tangan Sinta.

Sinta tersenyum tipis, tetapi hatinya dipenuhi waspada. Nama Arya dan Ethernix tidak asing baginya. Ia ingat cerita dari beberapa penduduk yang menjual kebun mereka untuk membeli aset digital di platform serupa. Ketika banyak orang bergabung, situs itu tiba-tiba menghilang, meninggalkan mereka tanpa apa pun.

“Apa yang ingin Anda bicarakan, Arya?” tanya Sinta dengan nada ramah namun berhati-hati.

Arya menjelaskan dengan penuh semangat tentang bagaimana blockchain dan cryptocurrency bisa menjadi masa depan ekonomi global. “Bayangkan jika masyarakat Buton bisa menjadi bagian dari revolusi digital ini,” katanya. “Dengan teknologi ini, mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi pemain utama.”

Sinta mendengarkan dengan seksama, tetapi ingatannya tentang kerugian yang pernah dialami masyarakat Buton membuatnya tetap curiga. Ia merasakan energi yang berbeda dari Arya—sebuah energi yang mengingatkannya pada Bayangan Lautan. Bedanya, ancaman kali ini tersembunyi di balik jaringan internet, bukan kegelapan laut.

Setelah pertemuan itu, Sinta mulai menyelidiki lebih jauh tentang Arya dan Ethernix. Ia berbicara dengan penduduk yang pernah terlibat dalam bisnis serupa dan mendapati pola yang mengkhawatirkan: sebuah sistem yang terlihat menjanjikan, tetapi pada akhirnya mengorbankan masyarakat kecil demi keuntungan segelintir orang. “Judi Online” pikirnya dalam hati semakin mencurigai Arya.

“Bu Sinta,” kata seorang pemuda bernama Ilham, yang pernah kehilangan tanahnya akibat investasi digital. “Mereka bilang ini masa depan, tetapi kami malah kehilangan segalanya. Bagaimana kami bisa percaya lagi?”

Sinta merasa tanggung jawab besar di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia harus melindungi masyarakat dari ancaman seperti ini, tetapi ia juga menyadari bahwa perubahan teknologi tidak bisa dihindari. Dunia sedang berubah, dan ia tidak bisa menghalangi generasi muda untuk terlibat dalam dunia digital.

Sinta memutuskan untuk menghadapi Arya secara langsung. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di kota Baubau. Arya tampak tenang dan percaya diri, tetapi Sinta langsung memulai pembicaraan dengan nada serius.

“Arya, saya tahu apa yang terjadi dengan beberapa platform serupa sebelumnya,” katanya. “Masyarakat kehilangan aset mereka, tanah mereka. Apakah Ethernix benar-benar berbeda, atau hanya topeng baru untuk jaringan lama?”

Arya tersenyum tipis, tetapi ada sedikit ketegangan di matanya. “Sinta, saya mengerti keraguan Anda. Tetapi teknologi seperti ini selalu menghadapi tantangan di awal. Kami di Ethernix ingin membangun kepercayaan dan membantu masyarakat lokal.”

Sinta menatapnya tajam. “Kepercayaan itu tidak dibangun dengan kata-kata, Arya. Itu dibangun dengan tindakan.”

Di malam harinya, Sinta duduk di kamarnya, merenungkan pertemuan itu. Ia mulai merasa bahwa musuhnya kali ini bukan hanya Arya atau Ethernix, tetapi sistem besar yang tersembunyi di balik jaringan internet. Sebuah sistem yang sama seperti Bayangan Lautan—tidak terlihat, tetapi mampu memengaruhi kehidupan banyak orang.

Dalam meditasinya, Sinta kembali terhubung dengan sisi spiritualnya sebagai titisan Ratu Wakaaka. Ia melihat gambaran tentang gelombang elektronik yang mengalir seperti arus laut, membawa informasi sekaligus bahaya. Ia menyadari bahwa ancaman kali ini adalah pertempuran di dunia maya.

“Generasi muda harus dilindungi, tetapi mereka juga harus dipersiapkan,” gumamnya. “Jika mereka tidak memahami bahaya dunia digital, mereka akan tenggelam.”

Sinta mulai merancang sebuah program pelatihan untuk masyarakat lokal, terutama generasi muda. Program ini tidak hanya mengajarkan keterampilan teknologi seperti pemahaman tentang blockchain dan keamanan digital, tetapi juga memasukkan nilai-nilai budaya Buton, seperti kejujuran, kebersamaan, dan tanggung jawab.

Ia mengundang para ahli teknologi untuk memberikan pelatihan, tetapi juga melibatkan tetua adat untuk berbagi cerita tentang kearifan lokal. “Teknologi itu seperti laut,” kata Sinta kepada para peserta pelatihan. “Ia bisa menjadi sumber kehidupan, tetapi juga bisa membawa bencana jika kita tidak tahu cara mengarunginya.”

Arya, yang mendengar tentang program ini, kembali menemui Sinta. “Saya kagum dengan apa yang Anda lakukan,” katanya. “Tetapi, Anda tidak bisa menghindari fakta bahwa masyarakat harus mengambil risiko untuk maju.”

Sinta menatap Arya dengan pandangan tegas. “Risiko itu harus dihitung, Arya. Dan yang lebih penting, itu harus adil. Masyarakat kecil tidak boleh menjadi korban sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang.”

Arya terdiam sejenak, lalu berkata, “Saya harap Anda tidak salah menilai saya.”

Sinta berdiri di puncak bukit di Hutan Lambusango, memandang ke arah laut yang luas. Ia tahu bahwa pertempuran ini belum berakhir. Dunia terus berubah, dan ancaman seperti Bayangan Lautan kini hadir dalam bentuk yang berbeda—lebih halus, tetapi sama berbahayanya.

Namun, ia percaya bahwa dengan mengintegrasikan tradisi dan teknologi, ia dapat mempersiapkan masyarakat Buton untuk menghadapi dunia modern tanpa kehilangan identitas mereka.

“Dua dunia ini tidak harus bertabrakan,” pikirnya. “Aku adalah jembatan di antara mereka.”

Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango, pas di perkampungan La Bundo di pertigaan Kamaru Ereke, tepai di salah satu balai desa, akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan telah melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.

Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-ho, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.

“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya.”

Diskusi tentang Hutan

Setelah perjalanan selesai, Jun-ho meminta waktu untuk berbicara secara pribadi dengan Sinta. Mereka duduk di sebuah pondok kecil di tengah hutan, dikelilingi oleh suara alam yang menenangkan.

“Hutan Lambusango ini adalah salah satu permata yang masih tersisa di dunia,” kata Jun-ho. “Tetapi seperti semua permata, ia terancam. Saya telah melihat apa yang terjadi di tempat lain—hutan dihancurkan untuk kayu atau lahan pertanian. Itu tidak boleh terjadi di sini.”

Sinta mengangguk. “Saya setuju, tetapi melindungi hutan ini bukan hal yang mudah. Banyak pihak yang tertarik pada kekayaannya, dan masyarakat lokal kadang merasa terjebak antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam.”

Jun-ho tersenyum tipis. “Itu sebabnya saya di sini. Saya ingin menawarkan cara baru untuk melindungi hutan ini—dengan uang dan mitos.”

Sinta mengernyitkan dahi. “Apa maksud Anda?”

Jun-ho membuka ponselnya dan menunjukkan akun di salah satu blockchain terkenal, yang menampilkan aset digital senilai jutaan dolar. Sinta terdiam, menyadari bahwa ia sedang berbicara dengan salah satu tokoh besar di dunia cryptocurrency—nama yang ia pernah dengar tetapi tidak pernah bayangkan akan bertemu langsung.

“Saya adalah bagian dari BCT,” kata Jun-ho, menyebut nama komunitas besar yang mengelola cryptocurrency berbasis teknologi hijau. “Kami menggunakan teknologi blockchain untuk mendanai proyek-proyek konservasi. Dan saya ingin membawa teknologi itu ke sini.”

Sinta masih skeptis. “Bukankah dunia digital ini sering kali menjadi jebakan? Banyak masyarakat kecil yang kehilangan aset karena janji-janji manis investasi seperti ini.”

Jun-ho mengangguk, seolah memahami kekhawatirannya. “Itu benar. Banyak program yang gagal karena dijalankan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi kami berbeda. Kami tidak hanya berbicara tentang uang, tetapi juga tentang nilai. Blockchain yang kami kembangkan berbasis pada keterlacakan dan transparansi. Semua aset yang dikumpulkan akan digunakan untuk melindungi Hutan Lambusango, dan masyarakat lokal akan menjadi bagian dari proses ini.”

Jun-ho melanjutkan, “Selain teknologi, kita juga perlu menggunakan kekuatan budaya. Masyarakat di seluruh dunia menghargai cerita dan mitos. Kita bisa menggabungkan mitos lokal Pulau Buton dengan pendekatan konservasi modern. Misalnya, kita bisa menciptakan program wisata yang tidak hanya menampilkan keindahan hutan ini, tetapi juga legenda-legenda seperti Ratu Wakaaka.”

Sinta termenung. Ide itu terdengar logis, tetapi ia masih merasa ada risiko besar. “Bagaimana Anda bisa yakin bahwa masyarakat akan menerima ini? Tidak semua orang percaya pada teknologi, terutama di sini.”

Jun-ho tersenyum. “Itu tugas kita untuk mendidik. Kita tidak hanya membawa teknologi, tetapi juga pengetahuan tentang cara menggunakannya dengan bijak. Dan Anda, Bu Sinta, adalah kunci dari semua ini. Anda adalah penghubung antara dunia tradisional dan modern. Tanpa Anda, ini tidak akan berhasil.”

Setelah pertemuan itu, Sinta menghabiskan malam di Hutan Lambusango, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata Jun-ho terus terngiang di pikirannya. Ia tahu bahwa dunia digital memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif, tetapi ia juga sadar akan bahaya yang mengintai di balik teknologi itu.

Di sisi lain, gagasan menggabungkan mitos lokal dengan konservasi modern terasa seperti panggilan takdir baginya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan budaya. Namun, apakah ia siap untuk membuka jalan baru yang penuh risiko ini?

“Dua dunia,” gumamnya, “tradisi dan teknologi, seperti dua sisi dari satu koin. Jika aku bisa menyatukan mereka, mungkin kita bisa melindungi hutan ini dan masyarakatnya.”

Keesokan harinya, Sinta memutuskan untuk mengumpulkan masyarakat lokal, pemimpin adat, dan generasi muda di sebuah balai desa. Ia ingin mendengar pendapat mereka sebelum membuat keputusan.

Jun-ho juga hadir, tetapi ia memilih untuk mendengarkan tanpa berbicara. Ia tahu bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus diperoleh dengan waktu dan tindakan nyata.

Sinta memulai pembicaraan dengan menjelaskan gagasan konservasi modern yang didukung teknologi. Ia juga berbicara tentang pentingnya menjaga mitos lokal sebagai bagian dari identitas budaya.

“Ini bukan tentang meninggalkan tradisi atau mengadopsi teknologi secara buta,” katanya. “Ini tentang bagaimana kita menggunakan keduanya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.”

Di akhir pertemuan, sebagian masyarakat tampak tertarik, sementara yang lain masih skeptis. Namun, Sinta tahu bahwa langkah pertama telah diambil. Dengan hati-hati, ia mulai merancang program konservasi yang menggabungkan mitos Ratu Wakaaka, teknologi blockchain, dan partisipasi aktif masyarakat lokal.

Saat malam tiba, ia berdiri di tepi hutan, memandang langit berbintang. Di atas tebing Kapuntori yang dibawahnya ada persawahan yang indah apalagi di waktu senja. Ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa ia berada di jalan yang benar.

“Jika aku bisa menyatukan dua dunia ini,” pikirnya, “maka kita bisa melindungi apa yang benar-benar berharga.”

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Last Updated : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Last Updated : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Last Updated : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Last Updated : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Last Updated : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 12: Sungai Bembe dan Bayangan Masa Lalu

    Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat

    Last Updated : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 13: Suara dari Hutan

    Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan

    Last Updated : 2024-12-03
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 14: Perlawanan di Lambusango

    Di bawah terik matahari yang menyengat, suara deru alat berat bergema di sekitar Lambusango, menciptakan suasana tegang. Di tengah jalan tanah yang sempit, sekelompok pemuda dan masyarakat adat berdiri membentuk barikade manusia. Mereka tidak bersenjata, hanya memegang spanduk yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami, Bukan Milik Tambang.”Sinta dan Jun-ho tiba di lokasi, suasana sudah memanas. Parabela, pemimpin adat setempat, berdiri di garis depan bersama para pemuda. Wajah-wajah mereka penuh ketegasan, tetapi matanya memancarkan rasa lelah yang sulit disembunyikan. Pempimpin parabela tersebut menatap alat berat yang mencoba bergerak lebih dekat, tetapi tidak satu pun dari masyarakatnya yang mundur.Sinta dan Jun mendekati para Parabela, mencoba memahami situasi lebih jelas. “Apa yang terjadi, La Ode?” tanya Sinta dengan nada khawatir.Beberapa parabela menghela napas panjang. “Mereka mencoba membawa alat berat ke

    Last Updated : 2024-12-04

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 56: "Benih dari Bintang-Bintang"

    Buton, 03.00 WITASinta terbangun dengan keringat dingin, darah di lengannya masih berpendar biru pucat. Dalam mimpinya, Ratu Wakaaka berdiri di antara ribuan bintang, dikelilingi makhluk perak yang berkata: "Darahmu adalah benih terakhir. Pilih: tumbuh di sini, atau berkecambah di galaksi lain." Di luar jendela, langit memerah—gunung api di Chile dan Jepang mulai erupsi bersamaan. Sinta merasa takut dan bingung dengan arti dari mimpi yang terasa begitu nyata tersebut. Apakah benar darahnya memiliki kekuatan khusus yang dapat mempengaruhi nasib bumi dan galaksi lain? Langit yang memerah di luar jendela membuatnya semakin gelisah, seakan menandakan bahwa keputusan yang harus diambil oleh Sinta akan memiliki dampak yang besar bagi seluruh alam semesta. Dengan gemetar, Sinta akhirnya mengambil keputusan untuk... menjalani meditasi mendalam untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Ia memutuskan untuk memperkuat hubungan spiritualnya dengan alam semesta dan mema

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 55: "Bintang dan Jurang"

    Kuil Bawah Laut Ratu Wakaaka, 04.00 WITATrisula Kapten Pierre menyala biru saat tertancap di celah batu karang berbentuk mahkota. Gemuruh menggelegar, dinding kuil retak, memperlihatkan lorong menuju ruang dalam yang dipenuhi prasasti bercahaya. Sinta, Jun Ho, dan Dr. Lee menyelam masuk, lampu sorot mereka berkedip-kedip."Ini bukan cuma kuil," bisik Jun Ho, kamera drone merekam simbol aneh di langit-langit. "Ini... peta bintang?"Mereka melanjutkan perjalanan ke dalam kuil, melewati prasasti-prasasti kuno yang bercahaya di dalam ruangan gelap. Suasana di dalam kuil terasa semakin mencekam, namun ketiganya tetap berani melanjutkan eksplorasi. Sinta memperhatikan dengan seksama setiap detail yang ada di sekitar mereka, sementara Jun Ho terus mengoperasikan kamera drone untuk merekam setiap temuan yang mereka temui. Dr. Lee, yang merupakan ahli sejarah, mulai mengidentifikasi simbol-simbol yang ada di dinding dan langit-langit kuil. Tiba-tiba, sebuah gemuruh yang lebih keras terdengar,

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 54: "Radiasi, Magma, dan Lab Terapung"

    Perairan Buton, 05.00 WITACahaya hijau menyala dari dasar laut, memancar melalui air seperti sinar beracun. Klon kristal Tiongkok bocor, menyebarkan radiasi aneh yang mengubah karang menjadi batu hitam berlubang. Ikan-ikan berenang dalam spiral gila, insang mereka mengeluarkan lendir keemasan. Di atas kapal kecil, Sinta memandang horor itu sambil menggenggam tombak kristal Ratu Wakaaka. "Ini lebih buruk dari yang kita kira," bisiknya pada Jun Ho yang sedang memantau data GPS."Kita harus segera keluar dari sini sebelum semuanya terlambat," desis Jun Ho sambil menatap layar monitor dengan ekspresi cemas. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus segera meninggalkan tempat tersebut sebelum radiasi yang mengerikan tersebut merusak seluruh ekosistem laut. Sinta mengangguk setuju, lalu dengan hati-hati mengarahkan kapal kecil mereka menuju arah yang aman, meninggalkan kehancuran di belakang mereka.Mereka merasa lega ketika berhasil meloloskan diri dari bahaya yang mengancam, namun ketegangan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 53: "Letusan, Kloning, dan Pulau yang Bangkit"

    Perairan Buton, 03.00 WITADr. Ethan menjatuhkan kristal merah ke dasar laut, tangannya yang terbakar menyala seperti besi membara. "Ini untuk kalian yang mengusikku!" raungnya. Kristal itu menusuk tanah vulkanik, memicu retakan mengerikan. Gemuruh terdengar, gelembung raksasa naik ke permukaan—lalugunung api bawah laut meletus, menyemburkan lava dan abu hitam. Kapal nelayan terdekat terlempar, ikan-ikan mati mengapung di air mendidih.Lautan menjadi merah menyala, mengeluarkan suara gemuruh yang mencekam. Dr. Ethan menatap kejauhan, senyum jahat terukir di wajahnya saat ia menyaksikan kehancuran yang ia ciptakan. Pulau kecil di dekatnya mulai terangkat dari dasar laut, seakan-akan sedang bangkit dari tidurnya yang panjang. Para penduduk di sekitar pulau itu berteriak ketakutan, menyadari bahwa bencana besar telah menimpa mereka."Togo Motondu, hati-hati te ludu," kampung akan tenggelam, hati-hati ada gempa. Teriak, masyarakat. Mereka berusaha melarikan diri, namun tak ada tempat yang

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 52: "Kristal dan Ujian Laut"

    Perairan Buton, 04.30 WITAKapal militer AS USS Guardian mengarahkan sonar ke gua bawah air, menangkap gambar kristal biru berpendar. "Target terkunci. Siapkan tim pengekstrakan," perintah Kapten Reed. Di permukaan, Sinta dan Jun Ho, yang menyamar sebagai nelayan, mengirim pesan darurat ke Wa Ode Sandibula: "Mereka akan merusak segalanya!"Saat Wa Ode menerima pesan mendesak dari Sinta dan Jun Ho, jantungnya berdebar dengan campuran ketakutan dan tekad. Dia tahu bahwa penemuan kristal biru yang bersinar bisa mengubah segalanya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun membahayakan temuan mereka. Dengan tekad yang kuat, dia mengumpulkan timnya dan bersiap untuk menghadapi USS Guardian dan krunya. Nasib dunia bawah laut tergantung pada keseimbangan, dan Wa Ode siap melakukan apa pun untuk melindunginya.Dengan peralatan menyelam yang telah disiapkan dengan teliti, Wa Ode dan timnya menyusup ke dalam perairan yang gelap dan berbahay

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 51: "Samudra dan Bayangan Dosa"

    Perairan Buton, 02.00 WITATelur baru kura-kura albino mengapung di laut, memancarkan cahaya kebiruan yang menuntun Sinta dan Jun Ho ke kapal kargo ilegal yang membuang limbah hitam pekat. Di dek kapal, logo samar perusahaan farmasi global terlihat—Pharmara Inc.—sama dengan yang mengincar enzim Wa Ode. “Mereka meracuni laut untuk tutupi jejak,” geram Jun Ho, kamera drone di tangannya merekam bukti. Sinta dan Jun Ho mencoba menyusup ke dalam kapal untuk mengumpulkan lebih banyak bukti tentang kegiatan ilegal yang dilakukan oleh Pharmara Inc. Mereka melihat para pekerja kapal dengan sibuknya membuang limbah ke laut tanpa ampun, tanpa peduli dengan dampak yang akan ditimbulkan bagi lingkungan dan hewan-hewan laut. Sinta merasa semakin bertekad untuk membongkar kejahatan perusahaan farmasi tersebut dan menyelamatkan kura-kura albino serta habitatnya.Sementara tetua adat di Kulati Wakatobi, sibuk membersihkan pantai Kulati, pasir putih yang panjang itu dipenuhi sampah plastik. Tetapi pagi

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 50: "Harta, Sisik Emas, dan Abu yang Menyelamatkan"

    Teluk Lawele, 04.30 Kura-kura albino itu muncul di kamar hotel Sinta, cangkang retaknya mengeluarkan cahaya biru pucat. Di kakinya, telur berlumur darah berisi peta bertuliskan aksara Wolio: “Harta bukan emas, tapi nafas tanah.” Sinta segera paham—ini petunjuk ke gua Wakaaka, tempat Ratu menyimpan tombak penjaga keseimbangan. Jun Ho memeluknya: “Kita harus pulang. Hutan Lambusangodalam bahaya.”Mereka segera bergegas mengumpulkan semua barang bawaan mereka dan bersiap-siap untuk meninggalkan hotel. Sinta merasa tegang namun juga bersemangat dengan petualangan yang akan mereka hadapi. Mereka tahu bahwa misi mereka untuk menemukan tombak penjaga keseimbangan sangat penting, dan mereka siap untuk menghadapi segala rintangan yang ada di depan mereka. Dengan tekad yang kuat, mereka meninggalkan kamar hotel dan melangkah menuju gua Wakaaka dengan penuh keyakinan.Mereka berjalan dengan cepat melewati hamparan padang rumput dan melewati sungai-sungai kecil yang mengalir jernih. Sinta merasa

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 49: "Hieroglif, Pengkhianatan, dan Sintesis Dosa"

    Pukul 15.00 CET, Danau Zurich berkilau di bawah matahari musim semi. Sinta terduduk di tepi danau, matanya menatap kura-kura albino yang muncul tiba-tiba. Di cangkangnya, hieroglif Wolio kuno berpendar: “Darahmu adalah jembatan, jiwamu adalah medan perang.” Jun Ho, yang sedang berbicara dengan investor, terpaku saat melihat Sinta mengusap cangkang itu. “Ini peringatan dari Ratu Wakaaka,” bisiknya, “tapi tentang apa?”Sinta mengangkat kepalanya dan menatap Jun Ho dengan tatapan penuh pertanyaan. Mereka berdua sama-sama merasa kebingungan dengan makna dari hieroglif tersebut. Namun, mereka yakin bahwa pesan dari Ratu Wakaaka pasti memiliki hubungan dengan pengkhianatan yang terjadi belakangan ini di antara mereka. Dengan hati-hati, mereka mulai merencanakan strategi untuk mengungkap misteri di balik hieroglif tersebut, sambil tetap waspada terhadap kemungkinan adanya sindikat penjahat yang akan menghalangi usaha mereka.Mereka memutuskan untuk melakukan riset lebih lanjut tentang sejara

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 48: "Kura-Kura Putih dan Jejak Misterinya"

    Pukul 03.00 WITA, telur kura-kura albino menetas di kolam villa. Bayi kura-kura itu bersisik seperti mutiara, matanya merah delima. Tanpa ragu, ia berenang ke arah Sinta yang sedang video call dengan Jun Ho dari bandara. “Ini pertanda, Jun. Dia memilih kita,” bisik Sinta, air mata menetes. Tapi sebelum ia bisa menyentuhnya, kura-kura kecil itu menyelam ke dasar kolam dan menghilang, meninggalkan jejak cahaya keperakan.Sinta dan Jun Ho terpesona oleh kehadiran kura-kura putih yang misterius itu. Mereka merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa dari makhluk itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mereka pun merasa bahwa kura-kura tersebut membawa sebuah pesan atau pertanda yang penting bagi mereka berdua. Dengan hati penuh haru, Sinta dan Jun Ho memutuskan untuk mengikuti jejak cahaya keperakan yang ditinggalkan oleh kura-kura kecil tersebut, tanpa tahu apa yang akan menunggu mereka di ujung perjalanan tersebut."Dia kemana?" tanya Sinta penasaran, sebab matanya tinggal

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status