Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.
Bayangan Lautan Memulai Serangan
Di dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.
“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”
Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kekuatannya: ular laut sebesar pohon kelapa, kawanan ikan hiu beracun, dan pasukan manusia yang telah menjadi budaknya. Gelombang besar mulai terbentuk di laut, menandai pergerakan pasukan Bayangan Lautan menuju pantai.
Persiapan di Istana
Di istana, Wakaaka mengumpulkan rakyatnya. Para tetua desa mempersiapkan ritual adat, sementara para pemuda dan pejuang mempersiapkan pertahanan. Di tengah keramaian, Aji mendekati Wakaaka dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Ratu, aku merasakan sesuatu yang aneh,” katanya. “Kerang Kehidupan sepertinya belum menunjukkan kekuatan penuhnya. Apakah kita benar-benar siap?”
Wakaaka mengangguk, tetapi dalam hatinya ia merasakan keraguan yang sama. Ia membawa Kerang Kehidupan ke sebuah ruangan meditasi yang sunyi, mencoba mencari petunjuk dari leluhurnya.
Dalam keheningan, suara lembut terdengar, seolah berasal dari dalam Kerang Kehidupan. “Kekuatan artefak ini hanya akan muncul ketika kau menggunakannya dengan niat yang benar. Ini bukan alat untuk menyerang, tetapi untuk melindungi.”
Wakaaka membuka matanya dengan pemahaman baru. “Artefak ini bukan senjata, melainkan perisai.”
Serangan Dimulai
Ketika malam tiba, gelombang pasukan Bayangan Lautan menghantam pantai. Makhluk-makhluk laut melompat ke daratan, menghancurkan segala yang ada di jalannya. Pasukan Wakaaka, yang telah dipersiapkan, segera melawan dengan senjata tradisional dan sihir yang diajarkan oleh para leluhur.
Sang Bayang muncul di tengah medan pertempuran, tubuhnya menjulang tinggi seperti kabut yang menutupi langit malam. Suaranya menggema di seluruh pulau. “Ratu Wakaaka, keluar dan hadapi aku jika kau berani!”
Wakaaka melangkah maju, memegang Kerang Kehidupan di tangannya. Cahaya dari artefak itu perlahan memancar, menciptakan lingkaran perlindungan di sekitarnya. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan pulau ini!”
Sang Bayang tertawa dingin. “Kau tidak bisa mengalahkanku. Aku adalah keturunan kegelapan yang tidak pernah mati.”
Peran Kerang Kehidupan
Wakaaka mulai memahami bahwa Kerang Kehidupan bukan hanya alat perlindungan, tetapi juga kunci untuk mengungkap kelemahan Sang Bayang. Ia mengarahkan cahaya artefak itu ke arah Sang Bayang, yang langsung merespons dengan raungan marah. Cahaya itu membuat tubuh Sang Bayang bergetar, seolah-olah membakar kabut hitam yang menyelimutinya.
Sang Bayang mencoba menyerang Wakaaka, tetapi lingkaran perlindungan yang diciptakan oleh Kerang Kehidupan menahan serangan itu. Aji dan para pejuang memanfaatkan momen ini untuk menyerang pasukan Bayangan Lautan, menggunakan senjata yang telah diberkati dalam ritual adat.
Namun, kekuatan Sang Bayang masih terlalu besar. Ia memanggil gelombang besar dari laut, mencoba menenggelamkan seluruh pantai. Wakaaka, yang kini semakin memahami kekuatan artefak, menggunakan cahaya Kerang Kehidupan untuk menenangkan gelombang itu.
Rahasia yang Terungkap
Di tengah pertempuran, Wakaaka mendengar suara gaib dari Kerang Kehidupan. Suara itu berkata, “Sang Bayang hanya bisa dikalahkan jika kau menghadapi akar ketakutannya. Di hatinya, ia adalah jiwa yang tersesat, mencari cahaya yang pernah hilang.”
Wakaaka menyadari bahwa Sang Bayang adalah sisa dari leluhur yang dulunya kehilangan keseimbangan antara kekuatan gelap dan terang. Ia memutuskan untuk tidak hanya melawan Sang Bayang, tetapi juga menyembuhkan jiwanya.
“Engkau bukan musuhku,” teriak Wakaaka, suaranya menggetarkan medan pertempuran. “Engkau adalah bagian dari keseimbangan yang hilang. Aku di sini untuk memulihkanmu!”
Sang Bayang terhenti, kebingungan dengan kata-kata Wakaaka. Cahaya Kerang Kehidupan semakin terang, menciptakan pusaran energi yang menarik Sang Bayang ke dalamnya. Dalam pusaran itu, Sang Bayang berubah menjadi sosok manusia dengan wajah penuh kesedihan.
“Aku hanya ingin kembali,” ucapnya sebelum tubuhnya larut dalam cahaya.
Kemenangan dan Persatuan
Dengan menghilangnya Sang Bayang, pasukan Bayangan Lautan kehilangan kekuatannya dan mundur ke laut. Rakyat Buton bersorak sorai, tetapi Wakaaka hanya tersenyum kecil. Ia tahu bahwa pertempuran ini lebih dari sekadar menang atau kalah.
Kerang Kehidupan kini bersinar dengan damai, seolah-olah memberi restu pada Wakaaka dan rakyatnya. “Keseimbangan telah dipulihkan,” kata Wakaaka kepada Aji. “Tetapi ini bukan akhir. Kita harus terus menjaga pulau ini dengan persatuan dan kebijaksanaan.”
Di bawah sinar bulan yang tenang, Wakaaka memimpin Ritual Kesatuan Adat. Generasi tua dan muda bergandengan tangan, menari dan bernyanyi dalam harmoni. Ritual itu menjadi simbol bahwa tradisi dan perubahan dapat berjalan seiring, menciptakan masa depan yang lebih cerah untuk Pulau Buton.
Namun, di kedalaman laut, bayangan kecil terlihat bergerak perlahan. Sebuah tanda bahwa kegelapan tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk bangkit kembali.
Setelah kemenangan besar atas Bayangan Lautan, malam di Pulau Buton kembali tenang. Laut Banda yang luas, tempat Bayangan Lautan berasal, kini hanya dihuni oleh suara ombak yang menenangkan. Di kedalaman laut, Sang Bayang, yang kini kembali menjadi roh, bersemedi dalam kegelapan abadi. Ia tidak lagi menjadi ancaman, tetapi tetap menjadi bagian dari keseimbangan alam, menunggu hingga dunia membutuhkannya lagi.
Sementara itu, Kerang Kehidupan, yang telah memainkan perannya sebagai penjaga keseimbangan, kembali ke liang suci di Kuri-kuri, sebuah gua kuno di Tomia. Kerang itu menyatu dengan lingkungan gua, memancarkan cahaya lembut yang hanya dapat dilihat oleh mereka yang hatinya murni. Seperti Wakaaka, kerang itu juga harus beristirahat, menyimpan energinya untuk masa depan.
***
Di istana, Ratu Wakaaka menggelar diskusi dengan masyarakatnya. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan dan harapan rakyat, berusaha menciptakan harmoni yang abadi. Namun, di tengah diskusi itu, Wakaaka mulai merasakan dirinya perlahan-lahan ditarik kembali ke dunia modern.
Saat ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di istana. Kini ia berada di tengah Hutan Lambusango, di sebuah panggung kecil tempatnya biasa memandu wisatawan. Wakaaka bukan lagi seorang ratu, melainkan seorang wanita cantik bernama Sinta, pemandu wisata yang dihormati karena pengetahuannya tentang budaya dan alam Pulau Buton.
Sinta tersenyum kepada sekelompok mahasiswa Eropa yang tengah sibuk menulis laporan penelitian mereka. Mereka menggunakan perangkat canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI), untuk menganalisis data tentang keanekaragaman hayati dan budaya lokal.
“Bu Sinta, menurut Anda, apa hubungan antara mitos lokal dan pelestarian hutan?” tanya seorang mahasiswa, menatapnya dengan antusias.
Sinta terdiam sejenak, memandang pepohonan besar di sekelilingnya. “Mitos dan cerita rakyat adalah bagian dari identitas kita. Mereka bukan hanya cerita, tetapi juga cara leluhur kita memahami dan menjaga keseimbangan alam. Hutan ini tidak hanya tentang pohon atau hewan, tetapi juga tentang sejarah, jiwa, dan kehidupan masyarakatnya.”
Mahasiswa itu mengangguk, mencatat setiap kata dengan serius. Di sisi lain, Sinta merasa kagum dengan teknologi yang mereka gunakan. AI membantu mereka mengidentifikasi pola ekosistem, memprediksi perubahan iklim, dan bahkan menganalisis dampak sosial dari kebijakan lingkungan.
Sinta, atau Wakaaka dalam dirinya, mulai merasakan dilema yang mendalam. Ia adalah bagian dari dua dunia yang berbeda. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia mewarisi tanggung jawab untuk menjaga tradisi dan keseimbangan alam. Namun, di dunia modern, ia menyaksikan bagaimana teknologi mampu membawa kemajuan yang luar biasa.
Ketika malam tiba, Sinta duduk sendiri di tepi hutan, menatap langit penuh bintang. Ia memikirkan apa yang baru saja terjadi—bagaimana ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
“Apakah aku harus memilih satu di antara keduanya?” gumamnya.
Bayangan Ratu Wakaaka muncul dalam pikirannya, memberikan jawaban yang menenangkan. “Tidak ada yang harus dipilih, karena keduanya adalah bagian dari dirimu. Gunakan kebijaksanaan leluhur untuk menuntun dunia modern, dan gunakan teknologi untuk memperkuat tradisi.”
Keesokan harinya, Sinta kembali berdiskusi dengan para mahasiswa. Salah satu dari mereka menunjukkan hasil analisis yang mengejutkan.
“Bu Sinta, menurut data kami, daerah Kuri-kuri di Tomia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pelestarian budaya dan lingkungan,” ujar seorang mahasiswa. “Namun, tempat itu tampaknya memiliki energi yang berbeda. Beberapa dari kami merasa seperti diawasi.”
Sinta tersenyum tipis. “Itu bukan hal yang aneh. Kuri-kuri adalah tempat suci. Banyak orang percaya bahwa itu adalah rumah bagi roh leluhur. Bahkan, legenda mengatakan bahwa *Kerang Kehidupan* beristirahat di sana.”
Mahasiswa itu tertawa kecil, tetapi matanya berbinar karena rasa ingin tahu. “Apakah legenda itu benar?”
Sinta hanya tersenyum. “Beberapa hal tidak perlu dijawab dengan pasti. Yang penting adalah bagaimana kita menghormati dan melestarikan apa yang ada di sana.”
Ketika mahasiswa kembali ke negara mereka, Sinta merenungkan perannya di dunia modern. Ia menyadari bahwa tugasnya sebagai titisan Wakaaka tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Ia mulai bekerja dengan komunitas lokal untuk menciptakan program wisata berbasis budaya yang melibatkan teknologi. Bersama para peneliti muda, ia mengembangkan aplikasi berbasis AI yang memungkinkan wisatawan memahami legenda Pulau Buton sambil menjelajahi keindahan alamnya.
Namun, ia juga menetapkan batasan: kawasan suci seperti Kuri-kuri akan tetap dilindungi dari eksploitasi. Teknologi hanya digunakan untuk mendukung pelestarian, bukan untuk merusaknya.
Di malam terakhir, Sinta kembali ke Hutan Lambusango. Ia duduk di bawah pohon besar, mendengarkan suara angin dan burung. Dalam keheningan itu, ia mendengar suara lembut Ratu Wakaaka di dalam dirinya.
“Teruslah menjadi jembatan, Sinta. Dunia membutuhkan lebih banyak orang seperti dirimu. Mungkin kau akan bertemu dengan orang-orang yang kau tidak kenal, memiliki kekayaan yang luar biasa, memiliki asset di BTC atau bitcoin, tetapi mereka membutuhkan dirimu, karena mereka penuh dengan ketakutan, mereka membutuhkan kekuatanmu, kekuatan leluhur untuk melindungi Pulau Buton dan bahkan dunia. Jangan kau takut, mereka akan membantumu dengan uang mereka. Sinta membuka tasnya, ia menyalakan laptopnya dan juga starlink dan kemudian melihat akun di binance tempat ia melakukan trading”. Sinta berharap bisa bertemu dengan pemilik BTC dan menukarkan cincin delima miliknya yang ia dapatkan dari kerang kehidupan. “Saya harus memiliki kemampuan financial untuk dapat mempengaruhi kehidupan modern dan lingkungan.
Dengan senyuman, Sinta menatap langit malam yang penuh bintang, menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara dua dunia. Ia adalah penghubung, seorang penjaga keseimbangan, baik sebagai wanita modern maupun titisan seorang ratu.
Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya
Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de
“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,
Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem
BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir
Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan
Pagi itu, Jun memulai harinya dengan membuka platform cryptocurrency tempat Lambusango Koin—proyek ambisiusnya—baru saja diluncurkan. Dengan fondasi ekonomi yang kuat, koin ini didukung oleh valuasi ekosistem Hutan Lambusango yang kaya akan keanekaragaman hayati dan nilai budaya. Awalnya, pasar menerima koin tersebut dengan antusias, namun pagi ini segalanya berubah.Investor mulai menjual Lambusango Koin secara massal, menyebabkan harga turun drastis dalam waktu singkat. Jun merasa cemas dan bingung, tidak mengerti apa yang menyebabkan perubahan mendadak ini. Dia segera menuju ke perpustakaan di Teluk Lawele, tempat dia biasa mencari inspirasi dan solusi dalam menghadapi masalah. Saat dia tiba di sana, dia melihat sekelompok orang sedang berdiskusi dengan serius di sudut ruangan. Jun mendekati mereka dan akhirnya menemukan jawaban atas kejadian yang sedang terjadi.Jun kembali melihat layar handphonenya, "Semua merah," gumam Jun, menatap grafik yang menunjukkan penurunan drastis. Lam
Pagi itu, mentari bersinar lembut menyentuh dedaunan Hutan Lambusango. Sinta dan Jun-ho melangkah mantap memasuki desa-desa di sekitar hutan, menyapa warga dan mendengarkan suara mereka. Hari ini, mereka memiliki agenda penting: bertemu dengan tokoh-tokoh adat untuk mendiskusikan ancaman peta izin tambang yang mengintai kelestarian hutan.Sinta dan Jun-ho merasa tegang namun juga penuh semangat untuk melindungi hutan Lambusango. Mereka sadar betapa pentingnya menjaga ekosistem hutan tersebut agar tidak terancam oleh aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Dengan hati yang penuh tekad, mereka berharap pertemuan dengan tokoh-tokoh adat dapat membawa solusi yang terbaik untuk menjaga kelestarian hutan yang mereka cintai.Sinta berbicara dengan penuh semangat, "Jun, hari ini kita harus fokus pada pemberdayaan masyarakat. Kita harus memperkenalkan kembali nilai-nilai kangkilo sebagai materi utama dalam pelatihan yang akan datang."Jun menatap Sinta, wajah
Sinta berdiri memandangi hamparan persawahan di bawah Bukit Kapuntori. Terasa begitu tenang, seolah waktu melambat untuk memberikan ruang bagi pikirannya yang berkelana. Bentangan hijau sawah yang berkilau diterpa matahari sore mengingatkannya pada permadani alam yang penuh keindahan dan rahasia. Kilauan sawah yang menguning memberikan suasana yang nyaman dan tentunya membawa seseorang untuk menikmati senjanya, terlebih dengan seorang kekasih. Matahari perlahan tenggelam di balik bukit, mewarnai langit dengan gradasi warna yang memukau. Sinta merasa beruntung bisa menikmati momen indah ini bersama kekasihnya di bawah langit Kapuntori.Jun-ho berdiri di sampingnya, matanya mengikuti arah pandang Sinta. Ia hanya tersenyum, meskipun di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia ungkapkan. Sinta terlihat begitu tenggelam dalam pikirannya, hingga Jun tak bisa menahan diri untuk berkata, "Sinta, ini seperti bentangan permadani. Di sinilah banyak kisah cinta tumbuh dan pergi. Mungkinkah
Perjalanan dari Pulau Talaga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Sinta dan Jun. Jun-ho memperhatikan keindahan pulau Talaga dan melihat dari jauh pulau Kabaena. Kali ini mereka naik kapal penumpang. Kapal agak besar dibandingkan dengan perahu nelayan. Jun-ho membayangkan tentang tujuh bidadari yang turun di puncak gunung Sambampolulu. “Suatu saat saya akan ke sana, negeri di atas awan,” pikirnya sementara matanya di arahkan ke wajah cantic di depannya, wajah Sinta yang luar biasa. Kulitnya tetap putih dan halus, tanpa terpengaruh oleh terik matahari di sekitar hutan tropis.Wawasan yang mereka peroleh tentang kangkilo—nilai tradisional yang menekankan kejujuran, keseimbangan, dan hubungan yang harmonis dengan alam—telah mengubah cara pandang mereka terhadap perjuangan mereka selama ini. Mereka merasa terinspirasi untuk kembali ke desa mereka dan menerapkan nilai-nilai kangkilo dalam upaya membangun harapan baru bagi masyarakat setempat.
Rasa penasaran yang membara membawa Jun-ho dan Sinta ke Pulau Talaga, tempat asal mula tradisi Pengka Loe-Loe, ritual adat yang telah mengubah persepsi mereka tentang hubungan antara dunia nyata dan spiritual. Mereka ingin memahami lebih dalam tentang kangkilo, filosofi yang menjadi inti dari kepercayaan masyarakat Buton. Jun-ho dan Sinta sangat penasaran, terutama Jun-ho yang menyaksikan kejadian beberapa hari yang lalu dengan mata bahkan dengan direkam dengan kamera. Jun sangat kaget, karena sebuah fenomena yang unik terjadi di depan mata, tepat dizaman seperti ini. “Ini adalah representasi ruang-ruang kesadaran budaya yang tidak mungkin dapat dijelaskan oleh prspektif ilmiah. Datang ke Pulau Talaga adalah sesuatu yang penting, untuk menyaksikan secara langsung, bagaimana masyarakat setempat mendapatkan pemahaman mengenai dunia bawah laut.” Jun-ho dan Sinta mengharapkan ada penjelasan yang mendalam mengenai masalah ini. Mereka akhirnya menuju Kota Baubau untuk menumpang kapal-kapa
Kisah sumpah adat Pengka Loe-Loe yang menewaskan La Ode Musrama dan perempuan-perempuan penyebar fitnah menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di Buton tetapi juga di berbagai media sosial. Banyak yang terpukau dan takjub, tetapi ada pula yang mempertanyakan kebenaran ritual tersebut. Beberapa pihak bahkan meminta investigasi atas insiden ini. Bahkan ada berita di media yang menjelaskan bahwa ritual itu adalah ritual pembunuhan. Bahkan ada media yang menjelaskan bahwa mantra itu adalah mantra pembunuhan dalam versi yang lainnya.“Kita harus melakukan investigasi atas apa yang terjadi di pantai kemarin. Itu murni kriminalitas yang berbasis di mantra”. Bahkan media nasional dan internasional menomentari peistiwa itu setelah videonya tersebar luas di masyarakat.“Ini adalah pembunuhan,” kata salah seorang anak muda yang memiliki hubungan dengan pihak tambang yang selama ini dihalangi oleh tetua adat yang didukung oleh Sinta dan J
Kedatangan Sinta dari Korea yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan dan kebanggaan justru berubah menjadi polemik besar di Buton. Desas-desus yang disebarkan oleh kaki tangan pengelola tambang dan La Ode Musrama yang merasa iri, telah merusak reputasi Sinta. Isu bahwa Sinta tidak lagi suci sebagai calon pemimpin adat beredar luas, membuat masyarakat dan Parabela (tetua adat) ragu akan kelayakannya. Isu itu bahkan dibuatkan dalam bentuk musik. La Ode Musrama selalu menyanyikan lagu Sepuli na Jandi yang dipopulerkan La Ode Karimuddin. Ia menyebarkan desas desus bahwa Sinta yang merupakan tokoh muda yang dapat mewarisi peradaban Buton kini tidak layak lagi."Sinta sudah melanggar nilai-nilai sakral budaya kita," bisik beberapa orang. Ia bergerilya dan melibatkan banyak ibu-ibu yang senang bergosip. Ia sudah berjalan terlampau jauh, ia sampai di pulau Jeju, tidak mungkin kita percaya lagi”. Rasa cemburu menyelimuti hatinya. Ia begitu benci ketika ia tahu bahwa Sinta pergi
Pesawat dari Seoul menuju Jakarta meluncur mulus di langit malam. Di kursi sebelah, Sinta terlelap, wajahnya yang khas—perpaduan antara warisan Buton, Melanesia, dan sentuhan keturunan Asia lainnya—bersinar tenang di bawah cahaya lampu kabin. Bagi Jun, Sinta adalah sosok yang tidak hanya menginspirasi cinta, tetapi juga harapan bagi masyarakat yang ingin mereka bangun bersama. Sebelum tidur, Sinta memutar music pop Korea Touch Love yang dipopulerkan Yoon Mi-rae, Sinta terlelap dalam imajinya, berharap bersandar pada Jun-ho dalam perjalanan panjang hidupnya nanti. Pelan-pelan teks-teks lagu itu menjelma dalam mimpinya, ia sudah menemukan dirinya bersandar pada Jun-ho di pantai yang ada di pulau Jeju. Ia menyandarikan dirinya. Jun-ho melihat Sinta tersenyum dan matanya tetap tertuju. Jun-ho membirkan ia Sinta tertidur, ia hanya mengagumi kencatikan itu, mengalahkan Yoon Mi-rae artis Korea yang terkenal di negaranya.Di benak Jun, rencana-rencana besar berkecamuk. Kembali ke Buton bukan
Jun membawa Sinta mengunjungi berbagai institusi budaya dan pendidikan di Korea, memperlihatkan bagaimana sistem pengelolaan budaya diajarkan kepada generasi muda. Mereka mengunjungi sebuah sekolah dasar di Seoul, di mana anak-anak diajarkan menghormati warisan budaya mereka melalui pelajaran sejarah, seni, dan praktik-praktik tradisional.“Lihat ini, Sinta,” kata Jun sambil menunjukkan salah satu mural di aula sekolah yang menggambarkan tradisi rakyat Korea. “Setiap generasi diajarkan untuk memahami akar budaya mereka sejak dini. Jika kita bisa menerapkan hal yang serupa di Buton, terutama untuk konservasi Hutan Lambusango, aku yakin hasilnya akan luar biasa.”Sinta mengangguk, terinspirasi. “Mendidik anak-anak di sekitar Lambusango untuk mencintai budaya dan lingkungan mereka sejak dini adalah langkah yang sangat penting. Itu akan menjadi bagian dari jati diri mereka.”Mereka juga mengunjungi sebuah museum budaya yang memamerkan cara hidup tradisional Korea. Di sana, Jun menunjukkan