Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / BAB 5: MALAM BAYANGAN

Share

BAB 5: MALAM BAYANGAN

Author: Oceania
last update Last Updated: 2024-11-18 14:36:33

Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.

Bayangan Lautan Memulai Serangan

Di dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.

“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”

Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kekuatannya: ular laut sebesar pohon kelapa, kawanan ikan hiu beracun, dan pasukan manusia yang telah menjadi budaknya. Gelombang besar mulai terbentuk di laut, menandai pergerakan pasukan Bayangan Lautan menuju pantai.

Persiapan di Istana

Di istana, Wakaaka mengumpulkan rakyatnya. Para tetua desa mempersiapkan ritual adat, sementara para pemuda dan pejuang mempersiapkan pertahanan. Di tengah keramaian, Aji mendekati Wakaaka dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Ratu, aku merasakan sesuatu yang aneh,” katanya. “Kerang Kehidupan sepertinya belum menunjukkan kekuatan penuhnya. Apakah kita benar-benar siap?”

Wakaaka mengangguk, tetapi dalam hatinya ia merasakan keraguan yang sama. Ia membawa Kerang Kehidupan ke sebuah ruangan meditasi yang sunyi, mencoba mencari petunjuk dari leluhurnya.

Dalam keheningan, suara lembut terdengar, seolah berasal dari dalam Kerang Kehidupan. “Kekuatan artefak ini hanya akan muncul ketika kau menggunakannya dengan niat yang benar. Ini bukan alat untuk menyerang, tetapi untuk melindungi.”

Wakaaka membuka matanya dengan pemahaman baru. “Artefak ini bukan senjata, melainkan perisai.”

Serangan Dimulai

Ketika malam tiba, gelombang pasukan Bayangan Lautan menghantam pantai. Makhluk-makhluk laut melompat ke daratan, menghancurkan segala yang ada di jalannya. Pasukan Wakaaka, yang telah dipersiapkan, segera melawan dengan senjata tradisional dan sihir yang diajarkan oleh para leluhur.

Sang Bayang muncul di tengah medan pertempuran, tubuhnya menjulang tinggi seperti kabut yang menutupi langit malam. Suaranya menggema di seluruh pulau. “Ratu Wakaaka, keluar dan hadapi aku jika kau berani!”

Wakaaka melangkah maju, memegang Kerang Kehidupan di tangannya. Cahaya dari artefak itu perlahan memancar, menciptakan lingkaran perlindungan di sekitarnya. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan pulau ini!”

Sang Bayang tertawa dingin. “Kau tidak bisa mengalahkanku. Aku adalah keturunan kegelapan yang tidak pernah mati.”

Peran Kerang Kehidupan

Wakaaka mulai memahami bahwa Kerang Kehidupan bukan hanya alat perlindungan, tetapi juga kunci untuk mengungkap kelemahan Sang Bayang. Ia mengarahkan cahaya artefak itu ke arah Sang Bayang, yang langsung merespons dengan raungan marah. Cahaya itu membuat tubuh Sang Bayang bergetar, seolah-olah membakar kabut hitam yang menyelimutinya.

Sang Bayang mencoba menyerang Wakaaka, tetapi lingkaran perlindungan yang diciptakan oleh Kerang Kehidupan menahan serangan itu. Aji dan para pejuang memanfaatkan momen ini untuk menyerang pasukan Bayangan Lautan, menggunakan senjata yang telah diberkati dalam ritual adat.

Namun, kekuatan Sang Bayang masih terlalu besar. Ia memanggil gelombang besar dari laut, mencoba menenggelamkan seluruh pantai. Wakaaka, yang kini semakin memahami kekuatan artefak, menggunakan cahaya Kerang Kehidupan untuk menenangkan gelombang itu.

Rahasia yang Terungkap

Di tengah pertempuran, Wakaaka mendengar suara gaib dari Kerang Kehidupan. Suara itu berkata, “Sang Bayang hanya bisa dikalahkan jika kau menghadapi akar ketakutannya. Di hatinya, ia adalah jiwa yang tersesat, mencari cahaya yang pernah hilang.”

Wakaaka menyadari bahwa Sang Bayang adalah sisa dari leluhur yang dulunya kehilangan keseimbangan antara kekuatan gelap dan terang. Ia memutuskan untuk tidak hanya melawan Sang Bayang, tetapi juga menyembuhkan jiwanya.

“Engkau bukan musuhku,” teriak Wakaaka, suaranya menggetarkan medan pertempuran. “Engkau adalah bagian dari keseimbangan yang hilang. Aku di sini untuk memulihkanmu!”

Sang Bayang terhenti, kebingungan dengan kata-kata Wakaaka. Cahaya Kerang Kehidupan semakin terang, menciptakan pusaran energi yang menarik Sang Bayang ke dalamnya. Dalam pusaran itu, Sang Bayang berubah menjadi sosok manusia dengan wajah penuh kesedihan.

“Aku hanya ingin kembali,” ucapnya sebelum tubuhnya larut dalam cahaya.

Kemenangan dan Persatuan

Dengan menghilangnya Sang Bayang, pasukan Bayangan Lautan kehilangan kekuatannya dan mundur ke laut. Rakyat Buton bersorak sorai, tetapi Wakaaka hanya tersenyum kecil. Ia tahu bahwa pertempuran ini lebih dari sekadar menang atau kalah.

Kerang Kehidupan kini bersinar dengan damai, seolah-olah memberi restu pada Wakaaka dan rakyatnya. “Keseimbangan telah dipulihkan,” kata Wakaaka kepada Aji. “Tetapi ini bukan akhir. Kita harus terus menjaga pulau ini dengan persatuan dan kebijaksanaan.”

Di bawah sinar bulan yang tenang, Wakaaka memimpin Ritual Kesatuan Adat. Generasi tua dan muda bergandengan tangan, menari dan bernyanyi dalam harmoni. Ritual itu menjadi simbol bahwa tradisi dan perubahan dapat berjalan seiring, menciptakan masa depan yang lebih cerah untuk Pulau Buton.

Namun, di kedalaman laut, bayangan kecil terlihat bergerak perlahan. Sebuah tanda bahwa kegelapan tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk bangkit kembali.

Setelah kemenangan besar atas Bayangan Lautan, malam di Pulau Buton kembali tenang. Laut Banda yang luas, tempat Bayangan Lautan berasal, kini hanya dihuni oleh suara ombak yang menenangkan. Di kedalaman laut, Sang Bayang, yang kini kembali menjadi roh, bersemedi dalam kegelapan abadi. Ia tidak lagi menjadi ancaman, tetapi tetap menjadi bagian dari keseimbangan alam, menunggu hingga dunia membutuhkannya lagi.

Sementara itu, Kerang Kehidupan, yang telah memainkan perannya sebagai penjaga keseimbangan, kembali ke liang suci di Kuri-kuri, sebuah gua kuno di Tomia. Kerang itu menyatu dengan lingkungan gua, memancarkan cahaya lembut yang hanya dapat dilihat oleh mereka yang hatinya murni. Seperti Wakaaka, kerang itu juga harus beristirahat, menyimpan energinya untuk masa depan.

***

Di istana, Ratu Wakaaka menggelar diskusi dengan masyarakatnya. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan dan harapan rakyat, berusaha menciptakan harmoni yang abadi. Namun, di tengah diskusi itu, Wakaaka mulai merasakan dirinya perlahan-lahan ditarik kembali ke dunia modern.

Saat ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di istana. Kini ia berada di tengah Hutan Lambusango, di sebuah panggung kecil tempatnya biasa memandu wisatawan. Wakaaka bukan lagi seorang ratu, melainkan seorang wanita cantik bernama Sinta, pemandu wisata yang dihormati karena pengetahuannya tentang budaya dan alam Pulau Buton.

Sinta tersenyum kepada sekelompok mahasiswa Eropa yang tengah sibuk menulis laporan penelitian mereka. Mereka menggunakan perangkat canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI), untuk menganalisis data tentang keanekaragaman hayati dan budaya lokal.

“Bu Sinta, menurut Anda, apa hubungan antara mitos lokal dan pelestarian hutan?” tanya seorang mahasiswa, menatapnya dengan antusias.

Sinta terdiam sejenak, memandang pepohonan besar di sekelilingnya. “Mitos dan cerita rakyat adalah bagian dari identitas kita. Mereka bukan hanya cerita, tetapi juga cara leluhur kita memahami dan menjaga keseimbangan alam. Hutan ini tidak hanya tentang pohon atau hewan, tetapi juga tentang sejarah, jiwa, dan kehidupan masyarakatnya.”

Mahasiswa itu mengangguk, mencatat setiap kata dengan serius. Di sisi lain, Sinta merasa kagum dengan teknologi yang mereka gunakan. AI membantu mereka mengidentifikasi pola ekosistem, memprediksi perubahan iklim, dan bahkan menganalisis dampak sosial dari kebijakan lingkungan.

Sinta, atau Wakaaka dalam dirinya, mulai merasakan dilema yang mendalam. Ia adalah bagian dari dua dunia yang berbeda. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia mewarisi tanggung jawab untuk menjaga tradisi dan keseimbangan alam. Namun, di dunia modern, ia menyaksikan bagaimana teknologi mampu membawa kemajuan yang luar biasa.

Ketika malam tiba, Sinta duduk sendiri di tepi hutan, menatap langit penuh bintang. Ia memikirkan apa yang baru saja terjadi—bagaimana ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

“Apakah aku harus memilih satu di antara keduanya?” gumamnya.

Bayangan Ratu Wakaaka muncul dalam pikirannya, memberikan jawaban yang menenangkan. “Tidak ada yang harus dipilih, karena keduanya adalah bagian dari dirimu. Gunakan kebijaksanaan leluhur untuk menuntun dunia modern, dan gunakan teknologi untuk memperkuat tradisi.”

Keesokan harinya, Sinta kembali berdiskusi dengan para mahasiswa. Salah satu dari mereka menunjukkan hasil analisis yang mengejutkan.

“Bu Sinta, menurut data kami, daerah Kuri-kuri di Tomia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pelestarian budaya dan lingkungan,” ujar seorang mahasiswa. “Namun, tempat itu tampaknya memiliki energi yang berbeda. Beberapa dari kami merasa seperti diawasi.”

Sinta tersenyum tipis. “Itu bukan hal yang aneh. Kuri-kuri adalah tempat suci. Banyak orang percaya bahwa itu adalah rumah bagi roh leluhur. Bahkan, legenda mengatakan bahwa *Kerang Kehidupan* beristirahat di sana.”

Mahasiswa itu tertawa kecil, tetapi matanya berbinar karena rasa ingin tahu. “Apakah legenda itu benar?”

Sinta hanya tersenyum. “Beberapa hal tidak perlu dijawab dengan pasti. Yang penting adalah bagaimana kita menghormati dan melestarikan apa yang ada di sana.”

Ketika mahasiswa kembali ke negara mereka, Sinta merenungkan perannya di dunia modern. Ia menyadari bahwa tugasnya sebagai titisan Wakaaka tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Ia mulai bekerja dengan komunitas lokal untuk menciptakan program wisata berbasis budaya yang melibatkan teknologi. Bersama para peneliti muda, ia mengembangkan aplikasi berbasis AI yang memungkinkan wisatawan memahami legenda Pulau Buton sambil menjelajahi keindahan alamnya.

Namun, ia juga menetapkan batasan: kawasan suci seperti Kuri-kuri akan tetap dilindungi dari eksploitasi. Teknologi hanya digunakan untuk mendukung pelestarian, bukan untuk merusaknya.

Di malam terakhir, Sinta kembali ke Hutan Lambusango. Ia duduk di bawah pohon besar, mendengarkan suara angin dan burung. Dalam keheningan itu, ia mendengar suara lembut Ratu Wakaaka di dalam dirinya.

“Teruslah menjadi jembatan, Sinta. Dunia membutuhkan lebih banyak orang seperti dirimu. Mungkin kau akan bertemu dengan orang-orang yang kau tidak kenal, memiliki kekayaan yang luar biasa, memiliki asset di BTC atau bitcoin, tetapi mereka membutuhkan dirimu, karena mereka penuh dengan ketakutan, mereka membutuhkan kekuatanmu, kekuatan leluhur untuk melindungi Pulau Buton dan bahkan dunia. Jangan kau takut, mereka akan membantumu dengan uang mereka. Sinta membuka tasnya, ia menyalakan laptopnya dan juga starlink dan kemudian melihat akun di binance tempat ia melakukan trading”. Sinta berharap bisa bertemu dengan pemilik BTC dan menukarkan cincin delima miliknya yang ia dapatkan dari kerang kehidupan. “Saya harus memiliki kemampuan financial untuk dapat mempengaruhi kehidupan modern dan lingkungan.

Dengan senyuman, Sinta menatap langit malam yang penuh bintang, menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara dua dunia. Ia adalah penghubung, seorang penjaga keseimbangan, baik sebagai wanita modern maupun titisan seorang ratu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

    Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Last Updated : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Last Updated : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Last Updated : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Last Updated : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Last Updated : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 12: Sungai Bembe dan Bayangan Masa Lalu

    Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat

    Last Updated : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 13: Suara dari Hutan

    Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan

    Last Updated : 2024-12-03

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 110 — Air Mata di Bawah Pohon Ginkgo

    Langit Seoul berwarna kelabu saat Lintang melangkah keluar dari stasiun. Hujan tipis mengguyur jalanan kota yang sibuk, namun suara langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak menanggung beban masa silam yang belum benar-benar selesai. Di tangannya, ia menggenggam sekuntum bunga camellia putih—simbol kerendahan hati dan penyesalan.Alamat rumah sang nenek tertera di selembar kertas yang kini telah lecek di sakunya. Meski sebelumnya begitu yakin akan percakapan ini, kini dadanya berdebar, dan pikirannya berliku: Akankah neneknya menerima? Ataukah ambisi masa lalu masih tertinggal dalam darah perempuan tua itu?Rumah kayu tua di pinggir kota itu tampak seperti lukisan dari masa lalu: beranda kecil dengan tanaman bonsai, dan pintu geser dari kayu pinus tua. Aroma kayu dan hujan membaur di udara, menciptakan suasana yang melankolis namun sakral.Lintang mengatur napas. Ia mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan.Lalu suara lembut, r

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 109 — Ladang yang Menyimpan Doa dan Dunia yang Terbelah

    Dedaunan gingko menari perlahan di sepanjang lembah Gangwon-do, seolah menyambut tamu dari arah khatulistiwa yang datang membawa rencana besar dalam kepalanya dan doa lembut dalam dadanya. Lintang berjalan di jalur tanah yang mengarah ke ladang pertanian, tempat para petani Korea masih menggantungkan hidup mereka dari tanah, air, dan musim yang tak selalu bersahabat.Di antara ladang itu, berdiri seorang lelaki tua dengan topi bambu dan tangan penuh lumpur, namun senyum dan matanya jernih bak telaga.“Annyeong haseyo,” sapa Lintang, sedikit kaku tapi tulus.Petani itu mengangguk. “Kau dari Indonesia?” tanyanya, sambil meletakkan alat cangkul ke tanah. “Aku pernah bertemu peneliti dari Buton dulu, tentang metode tanam dengan bulan.”Lintang tersenyum, seakan semesta mempertemukannya tepat dengan orang yang tak asing dengan tanah airnya.“Aku datang membawa gagasan Madrasah Langit,” katanya pelan. &ldqu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 108 — Madrasah Langit dan Akar yang Memanggil

    Angin dari selatan menggulung pelan, membawa wangi laut dan sisa embun hutan. Di halaman rumah kayu yang terpahat di bibir tebing, suara burung murai bersahut seperti zikir pagi yang tak putus. Di sana, di bawah atap yang teduh oleh pohon mangga tua, Lintang duduk berhadapan dengan dua wajah yang telah lama ia kenali, namun baru kini ia pandang sepenuh makna: Sinta, ibunya—wanita berdarah Melanesia dan Bangladeshi yang matanya menyimpan luka dan keberanian, serta Jun Hoo, ayahnya—lelaki berdarah Korea Selatan yang rambutnya telah memutih, namun sorotnya masih jernih seperti riak danau.Pertemuan ini bukan hanya temu darah, melainkan temu jiwa yang telah lama mencari ruang untuk bicara tanpa kata-kata tertunda.“Lintang...” Sinta meraih tangan putrinya dengan gemetar, seakan takut tangan itu hanya mimpi. “Kau datang tepat saat dunia mulai membuka pintu langit.”Lintang tersenyum. “Aku dat

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 107 — Meja Bundar dari Pinggiran Dunia

    Hutan Lambusango masih berselimut embun pagi. Aroma tanah basah dan kayu tua mengalun perlahan seperti bait puisi purba. Di sebuah rumah panggung kayu, di tengah bentangan hijau yang tak pernah memihak siapa pun, Lintang duduk di depan layar, menyambut dunia.Hari ini, layar itu menjadi meja bundar virtual. Tapi bukan meja milik kekuasaan, bukan juga milik konferensi besar yang dikelilingi jas dan dasi. Ini adalah meja milik suara-suara kecil dari pelosok yang mulai berbicara, menolak dibungkam oleh jargon-jargon global.Lintang membuka pertemuan daring. Di layar muncul wajah-wajah dari benua yang berbeda—ada Mikhail dari Rusia, Alina dari Ukraina, Elias dari Jerman, dan kini bergabung pula wajah baru: Robert McAllister dari Amerika Serikat, Gao Yixuan dari China, Selene Ortega dari Meksiko, dan Camille Dupuis dari Kanada.Lintang membuka dengan senyum ya

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 106 — Di Antara Salju dan Api: Percakapan yang Menenun Harapan

    Langit Lambusango pagi itu berwarna kelabu lembut, seperti abu dupa yang naik dari altar doa. Hutan tampak lebih sunyi dari biasanya, seakan ikut menghela napas panjang dunia. Lintang duduk di bale bambu, di depan layar komputer yang memantulkan cahaya pucat. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau pelan, menandai bahwa hari baru telah dimulai, meski dunia belum benar-benar damai.Ia membuka ruang pertemuan daring internasional—sebuah diskusi lintas budaya yang melibatkan para sahabatnya dari Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat. Mereka tidak hadir sebagai wakil negara, tetapi sebagai anak-anak zaman yang ingin menjahit kembali kain dunia yang mulai koyak.Suara pertama datang dari Timur yang beku.“Halo, Lintang. Salju pertama turun kemarin,” ujar Mikhail, pemuda Rusia yang selalu berbicara seolah membawa denting lonceng gereja ortodoks. “Tapi yang dingin bukan hanya langit kami

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 105 — Napas yang Menjaga Peradaban

    Di bawah langit jingga yang mulai merunduk ke peluk senja, langkah Lintang menyusuri jalur setapak Lambusango seolah menari dalam irama yang tak kasat mata. Daun-daun mengayun pelan, seperti menyambutnya dengan kidung rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti makna keheningan. Hutan itu tidak sekadar rimba—ia adalah kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan hati.Udara lembap dan wangi resin dari pohon-pohon tua memenuhi dada. Ada keheningan yang tidak mati, melainkan tumbuh, seperti akar yang terus menyerap kearifan bumi. Di sinilah, di tengah jantung Lambusango, Lintang bersama timnya melakukan riset intensif mengenai hasil hutan non-kayu—resin, rotan, madu hutan, hingga tumbuhan obat yang disimpan oleh rimba dalam sunyi panjangnya.Mereka bukan sekadar peneliti. Mereka adalah para pembaca tanah, penyair bumi yang menuliskan ulang masa depan bukan dengan tinta, melainkan dengan dedikasi dan cinta. Lintang memandangi sebotol kecil madu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 104 – Madrasah Langit, Sekolah dari Akar

    Malam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 103 – Di Tengah Riuh Dunia yang Terguncang

    Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 102 – Singgasana yang Mendengar Daun Jatuh

    Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status