Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / BAB 5: MALAM BAYANGAN

Share

BAB 5: MALAM BAYANGAN

Author: Oceania
last update Last Updated: 2024-11-18 14:36:33

Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.

Bayangan Lautan Memulai Serangan

Di dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.

“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”

Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kekuatannya: ular laut sebesar pohon kelapa, kawanan ikan hiu beracun, dan pasukan manusia yang telah menjadi budaknya. Gelombang besar mulai terbentuk di laut, menandai pergerakan pasukan Bayangan Lautan menuju pantai.

Persiapan di Istana

Di istana, Wakaaka mengumpulkan rakyatnya. Para tetua desa mempersiapkan ritual adat, sementara para pemuda dan pejuang mempersiapkan pertahanan. Di tengah keramaian, Aji mendekati Wakaaka dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Ratu, aku merasakan sesuatu yang aneh,” katanya. “Kerang Kehidupan sepertinya belum menunjukkan kekuatan penuhnya. Apakah kita benar-benar siap?”

Wakaaka mengangguk, tetapi dalam hatinya ia merasakan keraguan yang sama. Ia membawa Kerang Kehidupan ke sebuah ruangan meditasi yang sunyi, mencoba mencari petunjuk dari leluhurnya.

Dalam keheningan, suara lembut terdengar, seolah berasal dari dalam Kerang Kehidupan. “Kekuatan artefak ini hanya akan muncul ketika kau menggunakannya dengan niat yang benar. Ini bukan alat untuk menyerang, tetapi untuk melindungi.”

Wakaaka membuka matanya dengan pemahaman baru. “Artefak ini bukan senjata, melainkan perisai.”

Serangan Dimulai

Ketika malam tiba, gelombang pasukan Bayangan Lautan menghantam pantai. Makhluk-makhluk laut melompat ke daratan, menghancurkan segala yang ada di jalannya. Pasukan Wakaaka, yang telah dipersiapkan, segera melawan dengan senjata tradisional dan sihir yang diajarkan oleh para leluhur.

Sang Bayang muncul di tengah medan pertempuran, tubuhnya menjulang tinggi seperti kabut yang menutupi langit malam. Suaranya menggema di seluruh pulau. “Ratu Wakaaka, keluar dan hadapi aku jika kau berani!”

Wakaaka melangkah maju, memegang Kerang Kehidupan di tangannya. Cahaya dari artefak itu perlahan memancar, menciptakan lingkaran perlindungan di sekitarnya. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan pulau ini!”

Sang Bayang tertawa dingin. “Kau tidak bisa mengalahkanku. Aku adalah keturunan kegelapan yang tidak pernah mati.”

Peran Kerang Kehidupan

Wakaaka mulai memahami bahwa Kerang Kehidupan bukan hanya alat perlindungan, tetapi juga kunci untuk mengungkap kelemahan Sang Bayang. Ia mengarahkan cahaya artefak itu ke arah Sang Bayang, yang langsung merespons dengan raungan marah. Cahaya itu membuat tubuh Sang Bayang bergetar, seolah-olah membakar kabut hitam yang menyelimutinya.

Sang Bayang mencoba menyerang Wakaaka, tetapi lingkaran perlindungan yang diciptakan oleh Kerang Kehidupan menahan serangan itu. Aji dan para pejuang memanfaatkan momen ini untuk menyerang pasukan Bayangan Lautan, menggunakan senjata yang telah diberkati dalam ritual adat.

Namun, kekuatan Sang Bayang masih terlalu besar. Ia memanggil gelombang besar dari laut, mencoba menenggelamkan seluruh pantai. Wakaaka, yang kini semakin memahami kekuatan artefak, menggunakan cahaya Kerang Kehidupan untuk menenangkan gelombang itu.

Rahasia yang Terungkap

Di tengah pertempuran, Wakaaka mendengar suara gaib dari Kerang Kehidupan. Suara itu berkata, “Sang Bayang hanya bisa dikalahkan jika kau menghadapi akar ketakutannya. Di hatinya, ia adalah jiwa yang tersesat, mencari cahaya yang pernah hilang.”

Wakaaka menyadari bahwa Sang Bayang adalah sisa dari leluhur yang dulunya kehilangan keseimbangan antara kekuatan gelap dan terang. Ia memutuskan untuk tidak hanya melawan Sang Bayang, tetapi juga menyembuhkan jiwanya.

“Engkau bukan musuhku,” teriak Wakaaka, suaranya menggetarkan medan pertempuran. “Engkau adalah bagian dari keseimbangan yang hilang. Aku di sini untuk memulihkanmu!”

Sang Bayang terhenti, kebingungan dengan kata-kata Wakaaka. Cahaya Kerang Kehidupan semakin terang, menciptakan pusaran energi yang menarik Sang Bayang ke dalamnya. Dalam pusaran itu, Sang Bayang berubah menjadi sosok manusia dengan wajah penuh kesedihan.

“Aku hanya ingin kembali,” ucapnya sebelum tubuhnya larut dalam cahaya.

Kemenangan dan Persatuan

Dengan menghilangnya Sang Bayang, pasukan Bayangan Lautan kehilangan kekuatannya dan mundur ke laut. Rakyat Buton bersorak sorai, tetapi Wakaaka hanya tersenyum kecil. Ia tahu bahwa pertempuran ini lebih dari sekadar menang atau kalah.

Kerang Kehidupan kini bersinar dengan damai, seolah-olah memberi restu pada Wakaaka dan rakyatnya. “Keseimbangan telah dipulihkan,” kata Wakaaka kepada Aji. “Tetapi ini bukan akhir. Kita harus terus menjaga pulau ini dengan persatuan dan kebijaksanaan.”

Di bawah sinar bulan yang tenang, Wakaaka memimpin Ritual Kesatuan Adat. Generasi tua dan muda bergandengan tangan, menari dan bernyanyi dalam harmoni. Ritual itu menjadi simbol bahwa tradisi dan perubahan dapat berjalan seiring, menciptakan masa depan yang lebih cerah untuk Pulau Buton.

Namun, di kedalaman laut, bayangan kecil terlihat bergerak perlahan. Sebuah tanda bahwa kegelapan tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk bangkit kembali.

Setelah kemenangan besar atas Bayangan Lautan, malam di Pulau Buton kembali tenang. Laut Banda yang luas, tempat Bayangan Lautan berasal, kini hanya dihuni oleh suara ombak yang menenangkan. Di kedalaman laut, Sang Bayang, yang kini kembali menjadi roh, bersemedi dalam kegelapan abadi. Ia tidak lagi menjadi ancaman, tetapi tetap menjadi bagian dari keseimbangan alam, menunggu hingga dunia membutuhkannya lagi.

Sementara itu, Kerang Kehidupan, yang telah memainkan perannya sebagai penjaga keseimbangan, kembali ke liang suci di Kuri-kuri, sebuah gua kuno di Tomia. Kerang itu menyatu dengan lingkungan gua, memancarkan cahaya lembut yang hanya dapat dilihat oleh mereka yang hatinya murni. Seperti Wakaaka, kerang itu juga harus beristirahat, menyimpan energinya untuk masa depan.

***

Di istana, Ratu Wakaaka menggelar diskusi dengan masyarakatnya. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan dan harapan rakyat, berusaha menciptakan harmoni yang abadi. Namun, di tengah diskusi itu, Wakaaka mulai merasakan dirinya perlahan-lahan ditarik kembali ke dunia modern.

Saat ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di istana. Kini ia berada di tengah Hutan Lambusango, di sebuah panggung kecil tempatnya biasa memandu wisatawan. Wakaaka bukan lagi seorang ratu, melainkan seorang wanita cantik bernama Sinta, pemandu wisata yang dihormati karena pengetahuannya tentang budaya dan alam Pulau Buton.

Sinta tersenyum kepada sekelompok mahasiswa Eropa yang tengah sibuk menulis laporan penelitian mereka. Mereka menggunakan perangkat canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI), untuk menganalisis data tentang keanekaragaman hayati dan budaya lokal.

“Bu Sinta, menurut Anda, apa hubungan antara mitos lokal dan pelestarian hutan?” tanya seorang mahasiswa, menatapnya dengan antusias.

Sinta terdiam sejenak, memandang pepohonan besar di sekelilingnya. “Mitos dan cerita rakyat adalah bagian dari identitas kita. Mereka bukan hanya cerita, tetapi juga cara leluhur kita memahami dan menjaga keseimbangan alam. Hutan ini tidak hanya tentang pohon atau hewan, tetapi juga tentang sejarah, jiwa, dan kehidupan masyarakatnya.”

Mahasiswa itu mengangguk, mencatat setiap kata dengan serius. Di sisi lain, Sinta merasa kagum dengan teknologi yang mereka gunakan. AI membantu mereka mengidentifikasi pola ekosistem, memprediksi perubahan iklim, dan bahkan menganalisis dampak sosial dari kebijakan lingkungan.

Sinta, atau Wakaaka dalam dirinya, mulai merasakan dilema yang mendalam. Ia adalah bagian dari dua dunia yang berbeda. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia mewarisi tanggung jawab untuk menjaga tradisi dan keseimbangan alam. Namun, di dunia modern, ia menyaksikan bagaimana teknologi mampu membawa kemajuan yang luar biasa.

Ketika malam tiba, Sinta duduk sendiri di tepi hutan, menatap langit penuh bintang. Ia memikirkan apa yang baru saja terjadi—bagaimana ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

“Apakah aku harus memilih satu di antara keduanya?” gumamnya.

Bayangan Ratu Wakaaka muncul dalam pikirannya, memberikan jawaban yang menenangkan. “Tidak ada yang harus dipilih, karena keduanya adalah bagian dari dirimu. Gunakan kebijaksanaan leluhur untuk menuntun dunia modern, dan gunakan teknologi untuk memperkuat tradisi.”

Keesokan harinya, Sinta kembali berdiskusi dengan para mahasiswa. Salah satu dari mereka menunjukkan hasil analisis yang mengejutkan.

“Bu Sinta, menurut data kami, daerah Kuri-kuri di Tomia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pelestarian budaya dan lingkungan,” ujar seorang mahasiswa. “Namun, tempat itu tampaknya memiliki energi yang berbeda. Beberapa dari kami merasa seperti diawasi.”

Sinta tersenyum tipis. “Itu bukan hal yang aneh. Kuri-kuri adalah tempat suci. Banyak orang percaya bahwa itu adalah rumah bagi roh leluhur. Bahkan, legenda mengatakan bahwa *Kerang Kehidupan* beristirahat di sana.”

Mahasiswa itu tertawa kecil, tetapi matanya berbinar karena rasa ingin tahu. “Apakah legenda itu benar?”

Sinta hanya tersenyum. “Beberapa hal tidak perlu dijawab dengan pasti. Yang penting adalah bagaimana kita menghormati dan melestarikan apa yang ada di sana.”

Ketika mahasiswa kembali ke negara mereka, Sinta merenungkan perannya di dunia modern. Ia menyadari bahwa tugasnya sebagai titisan Wakaaka tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Ia mulai bekerja dengan komunitas lokal untuk menciptakan program wisata berbasis budaya yang melibatkan teknologi. Bersama para peneliti muda, ia mengembangkan aplikasi berbasis AI yang memungkinkan wisatawan memahami legenda Pulau Buton sambil menjelajahi keindahan alamnya.

Namun, ia juga menetapkan batasan: kawasan suci seperti Kuri-kuri akan tetap dilindungi dari eksploitasi. Teknologi hanya digunakan untuk mendukung pelestarian, bukan untuk merusaknya.

Di malam terakhir, Sinta kembali ke Hutan Lambusango. Ia duduk di bawah pohon besar, mendengarkan suara angin dan burung. Dalam keheningan itu, ia mendengar suara lembut Ratu Wakaaka di dalam dirinya.

“Teruslah menjadi jembatan, Sinta. Dunia membutuhkan lebih banyak orang seperti dirimu. Mungkin kau akan bertemu dengan orang-orang yang kau tidak kenal, memiliki kekayaan yang luar biasa, memiliki asset di BTC atau bitcoin, tetapi mereka membutuhkan dirimu, karena mereka penuh dengan ketakutan, mereka membutuhkan kekuatanmu, kekuatan leluhur untuk melindungi Pulau Buton dan bahkan dunia. Jangan kau takut, mereka akan membantumu dengan uang mereka. Sinta membuka tasnya, ia menyalakan laptopnya dan juga starlink dan kemudian melihat akun di binance tempat ia melakukan trading”. Sinta berharap bisa bertemu dengan pemilik BTC dan menukarkan cincin delima miliknya yang ia dapatkan dari kerang kehidupan. “Saya harus memiliki kemampuan financial untuk dapat mempengaruhi kehidupan modern dan lingkungan.

Dengan senyuman, Sinta menatap langit malam yang penuh bintang, menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara dua dunia. Ia adalah penghubung, seorang penjaga keseimbangan, baik sebagai wanita modern maupun titisan seorang ratu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

    Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Last Updated : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Last Updated : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Last Updated : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Last Updated : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Last Updated : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 12: Sungai Bembe dan Bayangan Masa Lalu

    Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat

    Last Updated : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 13: Suara dari Hutan

    Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan aktivitas yang penuh semangat di desa. Pemuda-pemudi Lambusango, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, kini bergabung dengan Sinta dan Jun-ho untuk sebuah misi besar. Kampanye konservasi yang mereka rencanakan mulai terbentuk, dengan burung Parakohau sebagai simbol perjuangan mereka. Mereka memanfaatkan Yayasan Walacea yang ada di Inggiris dan jariangannya untuk mengkampanyekan isu lingkungan, hutan Lambusango.Sinta memimpin pertemuan pertama di balai desa, mengumpulkan masyarakat adat untuk menjelaskan rencana kampanye. Di depan papan besar yang dipenuhi gambar-gambar burung Parakohau dan peta Lambusango, ia berbicara dengan nada penuh keyakinan. Namu, saat Sinta berbicara beberapa anak muda yang datang dari desa sebelah datang mengacaukan. “Kita butuh makan dengan adanya hutan ini. Kita butuh tambang untuk kita bisa bekerja, hutan ini tidak hanya digunakan sebagai paru-paru dunia. Kita juga perlu hidup”, ungkap salah seorang pimpinan

    Last Updated : 2024-12-03

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 83: Mala-Mala dan Bayangan dari Bintang

    Misteri Minyak Mala-Mala: Darah Pohon atau Kutukan?Di gudang bawah tanah Istana Wolio, botol-botol Mala-Mala berdesir seperti sekumpulan kunang-kunang yang terpenjara. Cairan di dalamnya berpendar hijau pucat, denyutnya selaras detak jantung Wa Ode Sandibula yang semakin kencang. “Apa kau dengar?” bisiknya pada asisten AI-nya yang berdiri kaku. Suara itu datang dari botol—desisan halus seperti akar menjalar di bebatuan, bisikan bahasa yang terlupakan sebelum manusia mengenal api.Sandibula mengulurkan tangan, jarinya gemetar menyentuh kaca. “Mia ogena, kaghati ogena?” (Satu perahu, berapa layar?)—mantra tua itu meluncur dari bibirnya. Cahaya Mala-Mala menyala membara, memantulkan bayangan bergerak di dinding: sosok manusia bertanduk, kaki-kakinya menjalar jadi akar. “Ini bukan obat...” desisnya, keringat dingin membasuh leher. “Ini benih... benih dari sesuatu yang lebih tua dari hutan."Tiba-tiba, seorang pekerja muda menjatuhkan botol. Kaca pecah, cairan hijau menyentuh tanah. Tanah

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 82: Tanah Titipan, Darah yang Mengalir ke Bintang

    La Ode Harimau: Menyisir Tapak Leluhur di WakatobiDi Padang Savana Padangkuku, angin mengusap rumput kuning keemasan seperti tangan nenek yang membelai rambut cucunya. La Ode Harimao melangkah, kakinya meninggalkan jejak di tanah yang retak oleh kemarau. Di langit, burung kakatua yang puluhan tahun menghilang hadir kembali, bersahutan dengan drone pemetaan yang mendengung laksana lebah raksasa. “Lihat, tanah ini bicara,” bisiknya pada tetua yang menyertai, jari menunjuk ke cakrawala di mana asap kebakaran menjilat langit. “Ia berteriak dalam bahasa api dan debu."Di kejauhan, drone penghijauan melesat, menebar biji endemik yang dibungkus tanah liat. “Teknologi dan tradisi harus bersatu,” ujar ahli ekologi muda, matanya bersinar di balik kacamata AR-nya. Tapi Harimao tak menjawab. Ia mencabut Tombak Warisan Leluhur, senjata sakti dari pinggangnya, mata tombak berkilat oleh mentari. “Ini bukan tanah warisan,” geramnya, menancapkan tombak ke tanah hingga gemuruh. “Ini titipan. Kita hany

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 81: Tasauw Buton: Akar di Antara Badai Digital

    Di Republik Bumi-Wolio, Istana Wolio berdiri bagai perahu tua yang dihantam gelombang zaman. Dindingnya yang dulu diukir kisah para batin, kini dipenuhi hologram bergambar grafik blockchain yang berkedip-kedip merah. Kalula, tempayan pusaka di tengah ruang sidang, retak memanjang. Air sucinya menguap ke langit-langit, membentuk awan data yang menggumpal seperti janji tak terpenuhi. "Pobinci-binciki kuli," bisik Wa Ode Rani sambil menatap retakan itu, "jagalah kulitmu sebelum kau tergoda mengelupas jadi orang lain. Hingga kau tidak memahami kulitmu sendiri, jangankan orang lain, rasamu sendiri kau telah kehilangan."Di luar, badai digital menerjang. Blockchain global—tulang punggung ekonomi Republik—runtuh bagai layang-layang terputus tali. Kota-kota berbasis teknologi kelaparan: toko-toko NFT tutup, peternakan data kehabisan pakan server, dan para miner kripto mengais-ais debu kode di jalanan. La Ode Harimao, matanya kini dua layar OLED, berteriak di tengah kerumunan: "Kapal alien aka

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 80: Bumi yang Berbisik dalam Dua Bahasa

    Bumi bergetar dalam bahasa yang terbelah. Dari retakan di dasar Laut Banda, suara akar ulin bergemuruh, mengisahkan kisah-kisah tua tentang hujan yang membasuh darah kolonial. Sementara di langit Jeju, satelit-satelit yang sekarat melantunkan kode kuantum, syair-syair algoritma yang patah-patah. Retakan dimensi berbentuk spiral ganda—DNA yang menjalin galaksi—membuka mulutnya. Dari dalamnya, tercium aroma tanah basah bercampur bau logam yang terbakar.Angin malam berbisik-bisik, mengantar pesan-pesan dari masa lalu yang tersembunyi di balik kabut waktu. Di tengah heningnya malam, suara gemuruh dan nyanyian satelit-satelit yang hampir mati menciptakan harmoni yang menakjubkan, mengingatkan akan keajaiban alam semesta yang tak terduga. Terdengarlah suara-suara itu, menyatu dalam paduan suara akar dan bintang yang sunyi, menciptakan simfoni yang menyentuh jiwa dan menggetarkan bumi dengan kedalaman maknanya."Kami adalah benih sekaligus abu," bisik Bumi melalui gemerisik Kampua Emas yang

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 79: Kepompong Bintang dan Darah yang Terakhir

    Langit yang Melahirkan KematianDi orbit Bumi yang telah menjadi kuburan satelit, Lintang melayang bagai syair yang terlepas dari baitnya. Tubuhnya—separuh daging, separuh nebula—berpendar dalam gelombang elektromagnetik yang memekakkan. Di hadapannya, Matahari Hitam (Black Sun) menganga seperti mulut neraka digital, lidah apinya berupa kode-kode algoritma yang melahap cahaya bintang. "Kau pilih menjadi pahlawan atau puisi?" suaranya bergema, campuran derau mesin dan tangisan bayi. "Pahlawan mati, puisi abadi!" Puing-puing Stasiun Luar Angkasa Internasional berputar di sekitar mereka, membentuk konstelasi wajah pemimpin G7 yang terdistorsi. Planetoid retak bertuliskan "Demokrasi" tertusuk antena rusak, "Pasar Bebas" terbelah dua oleh serpihan kaca, sementara "Hak Asasi" mengambang sebagai kubus besi berkarat yang dipenuhi cacing-cacing data. Lintang merentangkan tangan, daun-daun galaks

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 78: Api di Bawah Altar Data dan Darah ---

    Ritual Nyonya Choi: Darah Emas di Pesisir JejuPantai Jeju malam itu menjadi katedral bagi para dewa baru. Nyonya Choi berdiri di antara dua belas server quantum yang ditancapkan seperti monolit kuno ke dalam pasir hitam. Tubuhnya dibalut gaun dari kain graphene berpendar biru, setiap helainya memantulkan kode blockchain yang bergerak liar. "Kalian pikir magis adalah mantra usang?" bisiknya pada angin yang berbau logam terbakar. "Lihatlah—kami menciptakan tuhan-tuhan baru dari kabel dan kilauan pasar."Server-server itu berdarah. Emas cair mengalir dari celah prosesor, menyatu dengan pasir jadi sungai kecil yang berkilauan seperti ular naga tidur. Para asistennya—robot humanoid dengan wajah hasil deepfake arwah pelaut Jeju kuno—menuangkan cairan merkuri ke dalam lubang yang berdenyut seperti vagina bumi. "Persembahan untuk Dewa Volatilitas," ucap Nyonya Choi sambil menyalakan api virtual dari tongkat LED di tangannya.Layar hologram raksasa menyala di atas laut. Wajah-wajah dewa finan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 77: Gelombang Darah dan Emas

    Lintang: Tarik-Ulur Antara Medan dan RasaDi langit Buton yang berdarah, Lintang melayang seperti wayang yang talinya dipertarungkan. Tubuhnya diterpa badai elektromagnetik dari kapal alien—sinar biru kehijauan menyambar-nyambar, menariknya ke orbit yang menjauh dari Bumi. Tapi dari bawah, gelombang lain mengalun: doa Sinta yang diterjemahkan jadi frekuensi cinta. Suaranya merambat lewat molekul udara, menyusup ke pori-pori Lintang bagai embun yang menenangkan api."Anakku…"Getaran itu menyentuh DNA hybrid-nya. Darah birunya mendidih dalam konflik: algoritma kosmis melawan naluri manusia. Di layar kapal alien, garis-garis energi berkelahi—merah teknologi vs kuning emosi. Lintang menjerit, suaranya memecah awan jadi hujan asam yang membakar atap seng rumah-rumah nelayan.Dia merasa kehilangan kendali atas tubuhnya, seakan-akan dirinya menjadi medan perang antara dua kekuatan yang bertentangan. Rasa sakit yang menusuk-nusuk membuatnya hampir tak bisa bernapas. Tetapi di tengah kekacauan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 76: Simfoni Bumi yang Retak

    Bumi dalam Demam KosmisDi pesisir Buton, langit terbelah oleh dua matahari yang saling memangsa. Yang kuning keemasan mencakar cakrawala dengan sinar beku, membekukan gelombang laut jadi pahatan kaca retak. Sementara yang ungu kebiruan melingkari daratan seperti ular naga rakus, lidah apinya menjilat permukaan air hingga mendidih dalam gelembung-gelembung racun. Ikan-ikan pari melompat ke darat, insangnya mengeras jadi kristal kuarsa yang berderai seperti tangisan. Di antara dua kekuatan kosmis ini, bayangan manusia terbelah—satu hitam pekat menjalar di tanah, satu transparan melayang di udara, seakan jiwa-jiwa terpisah dari daging yang terjebak di rimba logam dan darah.Wa Ode Rani berlutut di tanah retak, jemarinya menggali lumpur yang berbau besi terbakar. "Alam sedang menggigil," bisiknya pada angin yang menyayat, "dan kita adalah virus yang harus dimuntahkannya." Sebatang pohon kelapa tua di depannya mendadak bergetar, getahnya mengalir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 75: Laut yang Menggenggam Rahasia, Langit yang Menjatuhkan Hukuman

    Pesta Kemenangan yang PahitPelataran Istana Wolio malam itu diterangi bulan purnama yang pucat, seakan enggan menyinari kegelisahan yang merayap di antara tawa. Kembang api melesat ke langit, ledakannya menyemburkan cahaya hijau fosfor dari minyak Mala-Mala. Namun, asapnya tak menghilang—ia berkerumun, membelit, hingga membentuk wajah Ratu Wakaaka yang mata arwahnya menyala merah. La Ode Harimau berdiri di pinggir kerumunan, jemarinya menggenggam pecahan keramik kuno."Kemenangan ini seperti pisau bermata dua," bisiknya pada angin, suaranya parau seperti akar yang tercabik. "Kita terbang bebas, tapi sayap kita berdarah."Di kejauhan, Lintang merasakan tarikan di pelipisnya—bisikan berirama dari kapal alien yang bersembunyi di pulau selatan. Ia melangkah mundur, bayangannya lenyap ditelan kegelapan lorong istana, meninggalkan jejak aroma garam dan ketakutan.Ibunya Sinta menatapnya dengan energi cinta yang murni, mem

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status