Aragon Gaultier, membangun istana Houston Hill untuk dihadiahkan kepada Puteri Elisa Denova. Sudah jelas dalam benak Elisa tentang tujuannya datang ke Slavidion. Berjalan mendatangi takdirnya. Seperti punya mata ketiga, dia bahkan tahu siapa yang kemudian dicintai dan mencintainya. Pertama kali Elisa melihat William Gaultier, pangeran itu terpukau dengan mawar yang ditanam di Houston Hill. Tanaman yang khusus dibawa Elisa dari kampungnya. Pangeran kecil ini, masih berusia dua puluh tahun saat itu, dia terlalu lugu untuk mengenal cinta. Dia tertegun melihat kecantikan Elisa, tapi kemudian ia memalingkan wajahnya untuk mawar-mawar di depannya. Masih bisa berpikir jernih ketika ingat gadis itu adalah tunangan ayahnya dan kedatangannya waktu itu untuk memperkenalkan diri sebagai calon anak tiri gadis yang mungkin berusia sama dengannya.
View MoreTiga Tahun Kemudian…“Wah! Selamat!” Sandra berteriak girang. Ia memeluk Rin berkali-kali, perempuan yang selalu nyaman dengan potongan rambut pendek itu terlihat begitu bersinar dengan gaun pengantin yang ia kenakan. Yang beruntung mendapatkan Rin adalah anak teman ayahnya sendiri, seorang pengusaha.Bagi Isabel dan Sandra, tentu tidak masalah siapa pun yang akan menikahi Rin. Hanya saja, mereka harus membuat Rin merasa “bahagia”. Ah, tidak, ukuran “bahagia” itu sepertinya terlalu rumit. Isabel ingin, orang yang menikahi Rin adalah orang yang tidak akan membuat Rin berpikir hal lain lagi selain hubungan mereka. Tentu saja, Isabel akan bersedih ketika Rin berkata di depan meja rias pengantin, “Seperti ada yang hilang dari diriku,” Rin memegangi dadanya dan orang itu tetap tidak menemukan serpihan yang seharusnya bisa melengkapi dirinya.Isabel memang tidak ingin jujur. Sejak ia sadar Rin telah melupakan Diran, Isabel merasa itu mungk
Aegel Forest, kediaman Aegel Gustave Saveri. Tidak terlihat ada riak air di sana, danau di bawah gazebo seolah beku. Hujan salju memang belum berhenti sejak William datang ke sana di malam sebelumnya. Meski begitu, salju yang berjatuhan tidak membuat Aegel Forest berwarna keperakan. Salju yang jatuh, hanya seperti permen kapas kecil yang tersentuh air liur, lalu menghilang segera.“Apa kamu bersedih?” tanya Maria yang akan selalu mengabaikan permintaan William untuk tidak diganggu. William enggan menjawabnya. Ia hanya mengedip lambat pada daun teratai yang berwarna kecoklatan. Yang jelas, sejak ia tidak bisa menemukan Isabel, William jadi tidak ingin melakukan apa-apa. Jika mungkin, ia kira ia ingin menjadi sehelai daun di antara ratusan juta daun di Aegel Forest. Tidak akan ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang berarti, dan angin adalah satu-satunya yang ia nanti. Suatu saat ia merasa lelah, maka ia akan terlepas dari ranting. Angin
William mencoba beristirahat sekali lagi. “Berhentilah berpikir tentangnya!” perintahnya berkali-kali pada dirinya sendiri, meski tahu itu sia-sia. Nyatanya, makhluk itu tidak pernah benar-benar tertidur.Tidak lama kemudian, ada frekuensi suara yang menyentaknya. Spontan, mata William terbuka. Tapi, setelah dilihat lagi, tidak ada apa pun yang terjadi. Diran belum kembali, juga tidak ada benda yang jatuh. William tidak punya jawaban dari mana asal suara yang masuk ke telinganya. Ia kemudian memegangi tengkuknya. “Seharusnya dia baik-baik saja. Ada Wang Mo Ryu di sana,” katanya.William kemudian mondar-mandir tidak keruan. Sejak ia tidak punya jawaban dari mana asal suara mengerikan itu, William jadi berpikir lebih keras. Seperti ada yang lancang memukul meja, raut kemarahan bisa dirasakan William saat itu. Tapi, William benar-benar tidak tahu di mana, dan untuk apa insiden itu sampai ke pikirannya. Itu sangat mengganggu.Tiba
“Akhhh! Apa aku harus memperlakukanmu seperti penjahat lain? Memukulimu sampai mau bicara?” satu pukulan terarah ke atas meja. Isabel telah membuat Giulian Vasco geram. Hampir satu jam komandan itu menginterogasi Isabel, yang keluar dari mulut Isabel hanyalah kalimat, “Aku tidak tahu.”“Katakan! Di mana aku bisa menemukannya?” tangan Giulian Vasco berada di udara. Ia siap melayangkan itu dan mungkin akan membuat Isabel terlempar setelahnya.“Komandan! Jangan berlebihan! Dia hanya saksi, bukan tersangka!” tahan Petter.“Apa dia berbuat salah? Kenapa kalian ingin sekali menangkapnya?” Isabel balik bertanya. Ia kira ia sudah merasakan rasa sakitnya dipenjara dengan tangan terborgol, dibentak, lalu diancam berkali-kali. Pukulan demi pukulan mungkin saja benar-benar ia alami setelah ini. “Apa begini kalian memperlakukan dirinya?” lirih Isabel. Ia tiba-tiba merasa sedih.“Hmmm.
Mata Isabel mengedip pelan. Segala yang tertangkap oleh lensa matanya masih tampak buram saat itu. Tapi, Isabel yakin ia tidak lagi berada di Istana Houston. Karena istana tempat sang pangeran, selalu tampak abu-abu.Isabel juga melihat seseorang berdiri di dekat jendela kayu yang terbuka, “Aku benci musim dingin,” katanya.Isabel tersenyum, “Nada yang keluar dari ghuzeng yang Anda mainkan memang sangat cocok dengan musim semi,” tanggapnya. “Entah kenapa saya merasa sedih ketika mendengar nada-nada itu muncul di antara butiran salju yang jatuh. Anda tahu ada hal buruk yang akan terjadi. Tapi, Anda tidak kuasa mencegahnya. Lalu, Anda merasa sedih. Saya pun ikut bersedih.”“Kamu harus menguncinya segera. Pintu dimensi itu. Jika tidak, aku terpaksa harus membunuhnya!” Ryu Laoshi menyerahkan sebuah buku kepada Isabel.Isabel terperangah, begitu juga Rin yang berdiri di depan pintu kamar Ryu
“Tinggallah untuk malam ini!” Diran merapatkan pintu gerbang Slavidion.Langkah Isabel terhenti di jarak tiga meter dari pintu gerbang. Tatapannya nanar pada gembok besi yang berwarna hitam yang baru saja ditekan Diran. Ia hampir pingsan ketika mencoba berjalan, dan tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Diran soal haruskah ia tinggal di Slavidion.“Aku akan mengantarkanmu pada pangeran,” katanya lagi.Isabel menggeser bola matanya ke laki-laki berwajah sendu yang terlihat begitu bersinar dengan sisa-sisa tangisannya.“Kukatakan pada Rin kamu tidak akan pulang malam ini. Jadi, Rin dan temannya sudah pergi. Tidak akan ada yang mengantarmu pulang ke sekolah barumu malam ini.”“Kenapa aku merasa seperti pelacur jika kau bersikap seperti ini?” pertanyaan Isabel membentuk satu kerutan di kening Diran. Sesuatu yang mutlak, Isabel menolak untuk bertemu William malam itu.“Aku
William tertunduk ketika Isabel mencoba menciptakan jarak di antara mereka. Kulitnya yang terbakar, rasa sakitnya tidak lagi berarti. William sudah kehilangan kesadarannya sejak ia merasa sebagai pengkhianat untuk Elisa. Ia menempatkan dirinya sebagai yang pantas mendapatkan hukuman. Bagaimana pun itu, dengan dahaga yang tidak kunjung terpenuhi, atau terkurung dalam dimensi gelap Slavidion. Namun, tetap saja. Itu mudah dikatakan, tapi batinnya tidak pernah ikhlas. Rasa rakusnya masih menguasai dan ia tidak berdaya melawan perasaannya sendiri.William bahkan mengumpat untuk tempat asing yang ia pijak sekarang. Ia agak tidak percaya jika taman yang memenuhi matanya adalah bagian dari Slavidion. Langit di atas, seperti dibatasi oleh tembok tinggi. Kemudian, musim semi datang lebih cepat di tempat itu karena warna-warni bunga yang mekar di atas bebatuan. Ada genangan air yang jernih yang mengalir di bawahnya.Lalu, mata William terpaku pada Isabel yang be
[...Apa yang kuharapkan dan tidak ingin kuharapkan. Aku tidak tahu...]Diran berdiri di dekat kolam Houston. Tidak ada yang bisa ia nikmati sebenarnya dari pemandangan di sana. Kolam Houston membeku, tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah lama mengering, lalu mati. Diran hanya sedang membayangkan, “Ada apa di sana?” Di bawah kolam Houston itu. Seperti tuannya bilang, ia juga akan terseret ke dalam sana. Lalu, tidakkah sama saja jika ia menceburkan diri ke dalam sana sekarang?Diran menghela napas. Ia benci harus melarikan diri lagi dari orang yang dirindukannya. Bau Rin yang semakin pekat. Dia mendekat. Lalu, seperti asap, Diran akan menghilang bersama angin.“Sepertinya kita kedatangan tamu, Tuan!” lapor Diran pada Pangeran William. Saat itu Rin dan teman-temannya masih berada di depan gerbang.“Biarkan saja! Awasi mereka dari jauh!” instruksi William yang tidak disangka oleh Diran. Ia kira William tidak akan
“Hei, anak baru! Ada yang mencari kalian!”Isabel dan Rin berpandangan. Tidak terpikir siapa yang Grim maksud.“Ayo!” Rin bangkit dari tempat duduknya.Isabel ikut saja. Berjalan di belakang Grim sambil terus berpikir orang seperti apa yang akan mereka temui. Grim, penjaga sekolah itu, dari tampilannya yang garang, ia patut ditakuti. Siapa yang mau berurusan dengan penjaga sekolah itu? Fredy tentu lebih baik untuk diajak bicara. Namun, Isabel tidak bisa menyingkirkan rasa kasihannya ketika melihat tangan grim yang masih hitam. Isabel bisa membayangkan bagaimana sakitnya itu. Cahaya hitam Black Finger yang memang sebuah kutukan.Isabel mengusap pergelangan tangannya. Bulu kuduknya berdiri setiap kali membayangkan genggaman tangan William yang begitu erat hingga menyakitinya. Sekarang, hitam itu telah hilang, bersama kehadiran setangkai Queen of Rose dan helaian sayap iblis yang tertinggal. “Bagaimana mungkin ini terjadi?
Mayat laki-laki belasan tahun ditemukan di gudang belakang ruang seni lukis. Tubuhnya hitam mengering. Bekas cekikan melingkar di leher disertai beberapa titik luka. Hanya saja, ukuran jari yang mencekik korban sepertinya tidak biasa. Pembuluh darah korban juga kosong dari aliran darah. Namanya Max, anak kelas 2 Slavidion. Dia dikabarkan hilang sejak tiga hari lalu dan ditemukan sudah tak bernyawa lagi. “Jika kamu tanya apa dia punya musuh atau tidak, aku tidak bisa menyebutkan daftar panjang yang menaruh dendam pada Max McAvoy,” Isabel me...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments