Ada pintu besar selebar tiga meter menghadang mereka. Pertemuan ini telah berakhir dan saatnya Istana Houston ditutup kembali. Isabel mempercepat langkahnya saat ia sadar sudah semakin sedikit orang di dalam Houston Hill. Dia tidak ingin terkurung lagi seperti sebelumnya, di tempat dimana hanya kesunyian yang menguasai. Seakan hidup di tempat yang hampa tanpa tanda kehidupan selain detak jantungmu sendiri yang terdengar, padahal kamu sadar di balik pintu utama Houston Hill masih ada puluhan bangunan lain yang diisi oleh napas manusia. Isabel menyebutnya dimensi berbeda dimana batas hidup dan ketiadaan ada di sana. Isabel tak ingin mengalaminya lagi, ketakutan yang menggerogoti mimpinya tetang dunia yang indah dan harapan tinggal satu-satunya, yakni ingin keluar dari sana. Hingga seberkas kilat seperti melintas dalam ingatannya, tentang apa yang dilakukannya saat itu. Tidak hanya duduk di sudut samping pintu utama, berteriak, kemudian mulai meneteskan air mata. Dia juga bermimpi tentang ia yang memijakkan kaki ke tangga spiral di sebelah kanan pintu utama. Tangga menuju lantai dua.
“Kamu juga ingin ke klinik?” Rin tiba-tiba bersuara dan sempat membuat Isabel tersentak.
Isabel tidak langsung menjawabnya. Dia penuhi matanya dengan raut wajah Rin yang menanti sesuatu, jawaban pasti dari Isabel. “Nanti, aku akan ke sana,” ucap Isabel terbata. Dia masih terpikir kejadian hampir setahun lalu, di hari pertamanya di Slavidion dan untuk pertama kali pula masuk ke Istana Houston. Marry yang menemukan kesalahannya dan menghukumnya, tapi Isabel tak pernah menyangka bahwa Mrs. Marry akan mengurungnya di istana itu.
Nanar tatapan Isabel pada padang rumput di depannya, yang hijau di hari cerah itu. Pandangan yang mengikuti langkah Rin hingga sosok Rin menghilang di balik salah satu gedung Slavidion. Isabel masih yakin tentang niatnya mencari lembaran kertas yang terselip dalam memorinya. Tentang mayat yang misterius itu.
Baru saja berbalik, Isabel dikejutkan lagi. Kali ini oleh sorot mata biru Diran. Laki-laki yang bersandar di salah satu tiang penyangga di teras istana. Agak aneh karena matahari terlalu tinggi untuk bisa melihat Diran di waktu itu. Tapi, tidaklah aneh mengingat Diran yang memegang kunci istana. Diran sendiri yang mengatakan demikian. Setahun lalu, jika orang itu tak memeriksa ke dalam istana, Isabel akan terkurung lebih lama. Isabel bilang pada Diran, “Mrs. Marry menghukumku,”tapi laki-laki itu justru bilang, “tidak ada hukuman seperti itu, karena hanya aku dan Lady Vanvier yang punya kunci istana,”dan sepertinya Diran yakin bahwa pintu itu samasekali tak terkunci.
“Terima kasih atas bunganya,”ucap Isabel seadanya. Sekadar formalitas untuk saling menyapa.
<>
Setengah berlari Isabel menyusuri koridor Istana, hingga jalan-jalan spiral yang bisa membawanya mengelilingi Slavidion. Isabel mencari kerumunan yang bisa membawanya pada dua mayat di Slavidion. Tapi, tampaknya itu sudah berakhir. Garis polisi hanya mengelilingi tempat kejadian kosong. Mayat itu telah dibawa.
“Maaf, apa Anda tahu siswa Slavidion yang meninggal itu? Siapa mereka?”tanya Isabel pada petugas polisi yang asyik menuliskan sesuatu di buku catatan kecilnya. Kata-kata Isabel cepat, dia hanya memanfaatkan waktu sebelum Marry Wolf ke kelas dan menyadari ketidakhadirannya.
Petugas itu memperhatikan Isabel dari ujung kepala hingga ujung kaki dan kembali ke kepala. “Sedang apa kamu di sini?”tanyanya.
“Anda tahu bagaimana kondisi mayatnya?”sasar Isabel.
“Bukan urusanmu. Kembalilah ke kelas, atau kami akan melaporkanmu ke gurumu!” ancamnya. Polisi itu meninggalkan Isabel begitu saja. Bias-bias kilatan kamera yang kemudian menghujaninya. Polisi lain yang memoto garis putih membentuk posisi korban saat ditemukan, mereka mati berdampingan. Isabel bertahan di posisinya sambil memandangi sepatunya yang menginjak rumput hijau halaman paling belakang di Slavidion. Tentang untuk apa mereka ke tempat itu? Gedung-gedung yang lapuk dimakan waktu, dirambati tanaman-tanaman hijau yang mengakar angker.
Dan mulai sekarang polisi-polisi itu akan menanyai seluruh siswa mengenai alibi mereka, dimana mereka tadi malam dan malam sebelum mayat Max MacAvoy ditemukan. Sekolah menjadi sangat sibuk dan anak-anak mulai menanyakan nasib mereka jika tetap berada di Slavidion. Max mungkin saja terserang virus yang belum teridentifikasi, atau binatang malam yang langka yang belum pernah masuk national geografi telah mengisap darahnya, atau dia memang dibunuh dan pembunuhnya masih berkeliaran di Slavidion. Hanya saja, Lady Vanvier tidak akan semudah itu mengambil keputusan, memulangkan seluruh siswa bahkan hanya untuk sementara. Ini masalah reputasi. Terlebih karena ujian akhir tahun segera akan dimulai.
<>
Tepat jam sembilan tiga puluh saat Isabel kembali ke kelasnya. Marry Wolf sudah berada di depan kelas, matanya meneliti bangku-bangku kosong di baris nomor dua dari belakang di pojok kanannya. Bibir Isabel kelu mengingat ia harus berbohong untuk alasannya tidak berada di kelas waktu itu. Isabel berada di mulut pintu saat Mrs. Marry juga mengamatinya. Hentakan stiletto merah menggema kemudian. Mrs. Marry yang berjalan menghampiri Isabel. Hanya saja, seseorang menabrak Isabel dari belakang sebelum Isabel sempat mengatakan sesuatu.
“Maaf! Kami baru saja dari klinik. Sandra butuh teman!”kata Rin. Rin yakin Marry Wolf tidak akan berkomentar jika itu menyangkut Sandra. Korban keadaan yang mengerikan di Slavidion. Sekali wanita itu berkomentar, maka seisi kelas juga akan mengomentari satu hal, “Apa yang sedang terjadi?” bukankah semua penghuni Slavidion berhak tahu tentang itu? Tapi kepala sekolah dan pengikutnya belum menjelaskan apa pun, juga tentang hasil penyelidikan polisi. Bukan satu dua orang yang merasa hidup mereka dipertaruhkan. Lagipula tidak ada jaminan tinggal di asrama lengkap dengan peraturan jam malam baik untuk mereka. Karena alasan itulah, tentu saja Mrs. Marry tidak akan memberikan penjelasan apa pun. Rin menarik tangan Isabel, membawanya kembali ke tempat duduk. Mrs. Marry membiarkan mereka lewat begitu saja, sebelum akhirnya dia membetulkan letak kacamatanya dan kembali membahas hal yang terdengar amat klise dari sifat pemarahnya, tentang etika.
<>
Queen of Rose, dibalut cairan dalam vas kristal bening. Terpajang anggun di meja rias Isabel. Semakin merekah malam itu dan aroma harumnya menyebar ke seluruh ruangan. Kristal yang menyimpan bayangan Isabel, Rin dan Sandra dalam jarak berdekatan. Sandra terbaring di ranjang Isabel, Rin merapikan selimut yang membalut gadis berambut pirang kemerahan itu. Ada pintu kaca besar menuju balkon di kamar itu, lampu kristal di atas plafon bergoyang saat Isabel menggeser pintu kaca dan membiarkan angin dingin menembus kamarnya. Dari atas sana, dia bisa melihat jalan-jalan hitam beraspal, berlapis rumput hijau dan gedung putih, semuanya membentuk jalur spiral. Dari kolam air mancur Houston Hill terdapat jalan beraspal membelah lingkaran spiral, ke utara menuju pintu gerbang, dan ke selatan menuju gedung tempatnya berdiri sekarang. Di sebelah timur titik pusat Slavidion, terdapat Istana Houston Hill dan di sebelah barat, perpustakaan tua menjadi bangunan termegah ke dua. Kabut tipis menyelimuti Slavidion saat itu.
“Semakin sepi saja,”Rin menghampiri Isabel. “Jika tidak salah, dua mayat siswa Slavidion ditemukan jauh di belakang sana,”mata Rin mengarah ke area yang tadi siang dikunjungi Isabel.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Polisi mendatangi Lisa tadi siang.”
“Untuk apa?”
“Mereka bertanya apakah kejadian ini pernah terjadi sebelumnya, juga tentang riwayat penyakit ketiga anak itu.”
“Maksudmu Max dan dua anak itu… siapa?”
“Jadi kamu belum tahu? Apa itu juga yang membuatmu terlambat masuk kelas tadi pagi?”
Isabel diam.
“Salah satu dari kembar Albert dan Diana,” lanjut Rin.
“Diana?” Isabel hampir tak percaya. Meski tak terlalu akrab, Isabel tahu Diana. Dia tak punya masalah dengan siapa pun. Mereka pernah bicara beberapa kali, bukan masalah serius, tapi sikap baik Diana membuat Isabel menggelengkan kepala,”tidak mungkin,” katanya lagi. “Kenapa juga dia harus pergi sejauh itu?” kesal Isabel.
Rin berpaling ke Isabel, “menurutmu kenapa?” tanyanya. “Laki-laki dan perempuan bertemu di tempat gelap seperti itu?”
Isabel sedikit tersenyum, tentang yang ada di pikiran Rin yang coba disangkalnya, “tidak mungkin,” katanya.
“Apanya yang tidak mungkin?”
“Risikonya terlalu besar jika mereka ketahuan.”
“Makanya mereka memilih tempat itu. Tidak ada yang lewat sana dan tidak ada sorot lampu.”
Isabel membalik badannya, memunggungi pagar balkon. Sandra yang masih terpejam di tempat tidur yang diperhatikannya sambil berpikir tentang kemungkinan ucapan Rin. Slavidion tidak akan mengizinkan siswa-siswinya berpacaran. Itu sudah jadi peraturan. Tapi, soal cinta, tidak sedikit yang melanggar peraturan dan tidak sedikit yang akhirnya harus dikeluarkan karena masalah itu. Isabel tentu sadar, yang dikeluarkan akan baik-baik saja. Tapi kali ini, hukuman yang dibayarkan terlalu mahal untuk Diana.
“Jadi… kenapa mereka harus mati?” lirih Isabel.
Rin mengangkat dua bahunya, “entahlah”, katanya.
<>
Hari berikutnya,
Sekali lagi, Isabel berhenti di dekat taman bunga Houston. Warna merah yang ditaburi kristal embun yang membuat Isabel tak pernah bosan memandanginya.
"Aku merasa bersalah meminta yang satu itu,” katanya pada Diran perihal setangkai mawar di kamarnya. Keegoisan yang menyisakan satu ruang kosong di antara batang-batang mawar lain.
“Pada akhirnya akan sama saja. Pada waktunya kelopak mawar itu akan berguguran dan fase hidup mereka akan berakhir. Peduli kamu mempertahankan dia bersama akarnya, atau kamu menaruhnya dalam vas bunga. Sangat singkat. Makanya, selagi bisa dinikmati, nikmati saja. Mawar-mawar ini tumbuh dengan sangat cantik, dia terus ingin terlihat indah. Dengan menikmatinya seperti ini, bukankah cita-cita mawar itu sudah tercapai.”
“Kamu bicara seakan-akan bunga-bunga itu pernah bicara padamu,” Isabel tersenyum lebar. Dia tak pernah mengira bicara dengan Diran bisa sangat menyenangkan. Pria berkulit putih susu dengan mata birunya, saat itu berdiri di samping Isabel sambil berpangku tangan. Tatapannya lurus pada barisan bunga mawar di depannya. Pria cantik, bibirnya tipis memerah dan suaranya yang sangat lembut. Dua hal yang membuatnya tidak dikira sebagai perempuan adalah jakunnya yang besar bergerak turun naik dan dadanya yang rata. Mungkin saja dia penganut Transgender yang tetap mengakui identitasnya sebagai laki-laki, yang ingin juga karakter femininnya diakui. Pria seperti itu pantas dikagumi, tapi masih perlu pertimbangan untuk mencintainya.
“Sudah puas memandangiku?”
“Hah?” Isabel terperangah. Tak tahu sejak kapan Diran sadar Isabel terus memandanginya.
“Matamu itu…,” tunjuk Isabel ke wajah Diran.
“Apa?”
“Apa itu asli?”
“Memang kenapa?”
“Bercahaya, rasanya tak mungkin seperti itu.”
“Ini asli. Orang tuaku, kakekku sampai nenek moyangku punya mata seperti ini,”Diran membuka matanya lebar-lebar dan mengarahkan jari telunjuknya ke mata itu.
“Apa… kamu siluman? Keturunan anjing?”
“Apa? Anjing?”Diran mengerutkan keningnya.
“Bukan, ya? Aku tahu pasti bukan. Aku hanya bercanda.”
“Kenapa harus anjing, sifatnya penurut dan selalu disuruh-suruh. Aku benci pada anjing. Aku keturunan serigala,” tegas Diran.
Isabel tertawa hebat. Diran dengan ekspresi marahnya membuat Isabel tak mampu menahan tawa.
“Kenapa? Ada yang lucu?”
“Bagaimana mungkin kamu bisa mengaku keturunan serigala? Setiap hari kamu terlihat serius, dan sekarang kamu bilang kamu keturunan serigala. Aku benar-benar tidak menyangka.”
“Apa aku kelihatan berbohong?”Diran mengarahkan pandangannya ke mata Isabel. Isabel menghentikan tawanya. Diran yang ia lihat saat itu tetap seserius yang ia ingat tentang orang itu.
“Hah?” tanggap Isabel.”Jadi, kamu benar keturunan serigala?” Isabel coba menahan tawanya kali ini dan mengakui secara bahasa bahwa laki-laki di depannya keturunan serigala. “Iya sich. Serigala memang seratus kali lebih berwibawa daripada anjing. Dia kuat, punya bulu yang indah, suara yang besar, buas dan terlihat gagah,” lanjut Isabel.
Diran tersenyum. Tampaknya puas dengan pujian dari Isabel.
…
“Baiklah Tuan Serigala! Aku pergi!” Isabel mengatakannya, tapi dia belum beranjak dari tempatnya berdiri. Masih ingin melihat Diran saat itu, yang senyum sendiri dengan alasan tak terduga.
<>
Tawa keras Rin terdengar dari balik piano di kelas musik. Dia berhasil lagi mengagetkan orang dengan cerita hantunya. Isabel menghampiri sahabatnya,
“Kamu, semakin akrab saja dengan serigala itu!”ucap Rin mengawali pertemuan mereka di pagi itu.
“Serigala?” Isabel menyimpan kata-kata itu dalam otaknya. Ia ingat bukan sekali Rin menggunakan istilah itu untuk menyebut Diran. Dan yang menggunakan kata “anjing”, hanyalah Isabel seorang. Tanpa permisi, Isabel menarik tangan Rin, membawanya agak ke pojokan. Gadis itu belum mengatakan apa-apa sampai mereka benar-benar menempelkan pantat mereka di kursi dan Isabel telah menyisipkan rambutnya di telinganya.
“Aku kira aku bermimpi,” antusias Isabel. “Tapi, kupikir tidak. Buku itu ada di Istana Houston Hill lantai 2.”
“Apa?” Rin hampir saja mengagetkan semua orang dalam kelas musik. Isabel berusaha menenangkannya, sementara ia sendiri terlihat waspada. “Kamu pernah naik ke sana?” tanya Rin berbisik.
Isabel diam. Dia tidak menyangkal sangkaan Rin.
“Dan kamu ingin ke sana lagi?”
“Aku mohon, bantu aku kali ini.”
“Kamu gila!” Rin berdiri, dia berjalan ke luar kelas.
“Tidak hanya aku yang gila. Semua orang dibuat gila karena kejadian ini. Sandra, kamu ingat tadi pagi dia berteriak ingin pulang? Ayolah! Isabel mengejar Rin.
“Tidak mau. Ini tidak ada hubungannya denganku dan tidak ada hubungannya juga denganmu.”
“Kenapa? Kamu takut dengan apa yang akan terjadi, soal cerita hantu dan mitos-mitos yang kamu umbar ke semua orang. Membuat mereka takut dan sebenarnya kamu juga takut?”
“Dengar! Anggap saja aku tak percaya dengan hal-hal semacam itu. Tapi, kamu perlu memahami mitos itu sebagai alasan mereka membunuh. Semacam, mereka perlu tumbal untuk sebuah ritual.”
“Aku tahu kamu pintar, aku bodoh untuk sejarah Slavidion. Lagi pula, apa kamu tak penasaran kenapa kita dilarang naik ke lantai dua istana. Mereka bilang bangunan di atas sangat rapuh dan berbahaya. Yang kulihat waktu itu, sangat berbeda. Dan kenapa Lady Vanvier memberlakukan jam malam, padahal baik malam kematian Max ataupun dua orang kemarin, banyak orang yang ada di halaman Slavidion. Polisi juga ada. Kenapa mereka yang mati dan hanya mereka? Satu lagi, jika itu benar pembunuhan, apa kamu tak takut pembunuhnya ada di anatara kita?”
“Lalu? Bagaimana caranya kita masuk ke istana?”
“Diran. Dia yang memegang kuncinya.”
<>
Sebentar lagi matahari tenggelam. Garis jingga harusnya semakin tebal saat itu, tapi Rin dan Isabel dinaungi tanaman-tanaman yang tidak mereka kenal. Semacam tanaman rambat, kemudian batang berduri dan daun-daun agak kemerahan. Bergumpal membentuk sebuah lorong. Tempat itu agaknya gelap sepanjang hari. Ada yang tidak mengizinkan cahaya matahari menembus benteng tanaman yang mungkin saja akan melukai mereka.
Di sudut lain, Isabel memutar sudut kakinya hingga tiga ratus enam puluh derajad. Menyoroti sekelilingnya dengan senter berdiameter lima inchi. Ia ingat Rin pernah bilang Istana Houston Hill dibangun oleh seorang raja sebagai hadiah untuk puteri yang sangat dikaguminya. Puteri yang sangat menyukai malam dan seringkali menghujani dirinya sendiri dengan sinar bulan. Jendela kaca besar yang dibingkai dengan ukiran jati memenuhi ruangan itu. Memungkinkan cahaya bulan masuk leluasa. Isabel sebenarnya tak perlu menyalakan senternya saat berada dalam ruangan itu.
Keesokan harinya, Awan gelap bergerak cepat saat matahari harusnya mulai terlihat. Kabut pekat yang mengurangi jarak pandang menyelimuti Slavidion. Isabel, dia meraba-raba apa yang ada di balik kabut itu, selangkah demi selangkah menembusnya. Sisa-sisa badai tadi malam rupanya masih ada, tetes air yang menusuk keheningan menjadi pemandu Isabel. Butiran yang datang dari ujung ranting pohon maple, yang jatuh di atas kolam Houston. Diran berdiri di de
Rin duduk di anak tangga terbawah di lantai satu asrama. Dia baru saja ke kamar Isabel, mengetuk pintu beberapa kali dan Isabel tetap tidak mau membukakan pintu kamarnya. “Tinggalkan aku sendiri!” katanya. Dan kemudian hanya terdengar suara muntah-muntah dari gadis muda yang mengurung dirinya di kamar saat itu. Rin kira Isabel bukanlah orang yang bisa mengungkapkan isi hatinya begitu saja, dan yang mengganggu Isabel akhir-akhir ini telah membuatnya stress. Hanya saja, Rin tak pernah menyangka bahwa akan ada saat dimana mereka akan berada di tiga tempat berbeda, masing-masing sedang melamunkan sesuatu dan sejenak membuat Rin sedih. Saat tidak ada Isabel, setidaknya ada Sandra dan saat tidak ada Sandra, setidaknya Isabe
Di kamarnya, Isabel menekuk lutut seraya bersandar di sisi tempat tidur meghadap pintu balkon kamarnya yang terbuka. Dia mulai berpikir tentang yang terjadi dan kali ini ia harus percaya.
Beberapa bulan kemudian, Slavidion sepertinya berhasil keluar dari keterpurukan. Ketenangan kembali tanpa media dan polisi yang berkeliaran di halaman itu. Bukti-bukti tak cukup untuk mengatakan kematian Max, Diana dan France adalah kasus pembunuhan. Polisi hanya berkesimpulan yang terjadi pada ketiga orang itu sejenis penyakit baru dari sebab yang tidak diketahui. Karena korban hanya tiga orang, juga tidak ada indikasi penularan, polisi tidak bisa memasukkannya dalam kasus wabah berbahaya yang memungkinkan proses belajar mengajar dihentikan dan seluruh penghuninya dievakuasi. Slavidion tetap berjalan seperti biasa.
Hampir pukul tiga siang ketika teriakan anak-anak menggema dari kejauhan. Ketakutan anak baru yang ada dalam bayangan Isabel, seperti roti keju lembut yang masuk ke mulutnya diiringi aroma latte yang memanjakan hidungnya, dinikmati saat matahari ada di seperempat langit di sebelah barat. Benar-benar akan membuatnya merasa tak ada beban, walau dilakukan di atas penderitaan orang lain. Itu adalah bentuk kepuasan bagi seorang senior. Arti sebuah status yang tinggi dan kekuasaan. Dan tidak sebatas itu saja, banyak yang bilang rasa sakit yang junior rasakan menjadi kenangan yang tak pernah mereka lupakan kelak. Seperti yang dirasakan Isabel sekarang, perjuangan menyenangkan di hari itu, sedikit keinginan untuk balas dendam pada saat ini, tapi lebih menghargai kebersamaan. Saat ke
Keesokan paginya, Isabel duduk di bangku taman. Diran belum terlihat di permulaan terang saat itu. Isabel menikmati embun pagi yang mendinginkan paru-parunya, dengan sejauh telinganya membuka, hanya terdengar sayup hembusan angin. Isabel bisa membayangkan apa yang terjadi pada Max dan dua temannya di Slavidion. Tapi, ia pikir hal itu belum pernah terjadi sebelumnya di Slavidion. Catatan sejarah yang bilang begitu. Apakah itu tentang sepuluh tahun lalu, seratus, atau tiga ratus tahun lalu. Tidak ada catatan ten
Tiga Tahun Kemudian…“Wah! Selamat!” Sandra berteriak girang. Ia memeluk Rin berkali-kali, perempuan yang selalu nyaman dengan potongan rambut pendek itu terlihat begitu bersinar dengan gaun pengantin yang ia kenakan. Yang beruntung mendapatkan Rin adalah anak teman ayahnya sendiri, seorang pengusaha.Bagi Isabel dan Sandra, tentu tidak masalah siapa pun yang akan menikahi Rin. Hanya saja, mereka harus membuat Rin merasa “bahagia”. Ah, tidak, ukuran “bahagia” itu sepertinya terlalu rumit. Isabel ingin, orang yang menikahi Rin adalah orang yang tidak akan membuat Rin berpikir hal lain lagi selain hubungan mereka. Tentu saja, Isabel akan bersedih ketika Rin berkata di depan meja rias pengantin, “Seperti ada yang hilang dari diriku,” Rin memegangi dadanya dan orang itu tetap tidak menemukan serpihan yang seharusnya bisa melengkapi dirinya.Isabel memang tidak ingin jujur. Sejak ia sadar Rin telah melupakan Diran, Isabel merasa itu mungk
Aegel Forest, kediaman Aegel Gustave Saveri. Tidak terlihat ada riak air di sana, danau di bawah gazebo seolah beku. Hujan salju memang belum berhenti sejak William datang ke sana di malam sebelumnya. Meski begitu, salju yang berjatuhan tidak membuat Aegel Forest berwarna keperakan. Salju yang jatuh, hanya seperti permen kapas kecil yang tersentuh air liur, lalu menghilang segera.“Apa kamu bersedih?” tanya Maria yang akan selalu mengabaikan permintaan William untuk tidak diganggu. William enggan menjawabnya. Ia hanya mengedip lambat pada daun teratai yang berwarna kecoklatan. Yang jelas, sejak ia tidak bisa menemukan Isabel, William jadi tidak ingin melakukan apa-apa. Jika mungkin, ia kira ia ingin menjadi sehelai daun di antara ratusan juta daun di Aegel Forest. Tidak akan ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang berarti, dan angin adalah satu-satunya yang ia nanti. Suatu saat ia merasa lelah, maka ia akan terlepas dari ranting. Angin
William mencoba beristirahat sekali lagi. “Berhentilah berpikir tentangnya!” perintahnya berkali-kali pada dirinya sendiri, meski tahu itu sia-sia. Nyatanya, makhluk itu tidak pernah benar-benar tertidur.Tidak lama kemudian, ada frekuensi suara yang menyentaknya. Spontan, mata William terbuka. Tapi, setelah dilihat lagi, tidak ada apa pun yang terjadi. Diran belum kembali, juga tidak ada benda yang jatuh. William tidak punya jawaban dari mana asal suara yang masuk ke telinganya. Ia kemudian memegangi tengkuknya. “Seharusnya dia baik-baik saja. Ada Wang Mo Ryu di sana,” katanya.William kemudian mondar-mandir tidak keruan. Sejak ia tidak punya jawaban dari mana asal suara mengerikan itu, William jadi berpikir lebih keras. Seperti ada yang lancang memukul meja, raut kemarahan bisa dirasakan William saat itu. Tapi, William benar-benar tidak tahu di mana, dan untuk apa insiden itu sampai ke pikirannya. Itu sangat mengganggu.Tiba
“Akhhh! Apa aku harus memperlakukanmu seperti penjahat lain? Memukulimu sampai mau bicara?” satu pukulan terarah ke atas meja. Isabel telah membuat Giulian Vasco geram. Hampir satu jam komandan itu menginterogasi Isabel, yang keluar dari mulut Isabel hanyalah kalimat, “Aku tidak tahu.”“Katakan! Di mana aku bisa menemukannya?” tangan Giulian Vasco berada di udara. Ia siap melayangkan itu dan mungkin akan membuat Isabel terlempar setelahnya.“Komandan! Jangan berlebihan! Dia hanya saksi, bukan tersangka!” tahan Petter.“Apa dia berbuat salah? Kenapa kalian ingin sekali menangkapnya?” Isabel balik bertanya. Ia kira ia sudah merasakan rasa sakitnya dipenjara dengan tangan terborgol, dibentak, lalu diancam berkali-kali. Pukulan demi pukulan mungkin saja benar-benar ia alami setelah ini. “Apa begini kalian memperlakukan dirinya?” lirih Isabel. Ia tiba-tiba merasa sedih.“Hmmm.
Mata Isabel mengedip pelan. Segala yang tertangkap oleh lensa matanya masih tampak buram saat itu. Tapi, Isabel yakin ia tidak lagi berada di Istana Houston. Karena istana tempat sang pangeran, selalu tampak abu-abu.Isabel juga melihat seseorang berdiri di dekat jendela kayu yang terbuka, “Aku benci musim dingin,” katanya.Isabel tersenyum, “Nada yang keluar dari ghuzeng yang Anda mainkan memang sangat cocok dengan musim semi,” tanggapnya. “Entah kenapa saya merasa sedih ketika mendengar nada-nada itu muncul di antara butiran salju yang jatuh. Anda tahu ada hal buruk yang akan terjadi. Tapi, Anda tidak kuasa mencegahnya. Lalu, Anda merasa sedih. Saya pun ikut bersedih.”“Kamu harus menguncinya segera. Pintu dimensi itu. Jika tidak, aku terpaksa harus membunuhnya!” Ryu Laoshi menyerahkan sebuah buku kepada Isabel.Isabel terperangah, begitu juga Rin yang berdiri di depan pintu kamar Ryu
“Tinggallah untuk malam ini!” Diran merapatkan pintu gerbang Slavidion.Langkah Isabel terhenti di jarak tiga meter dari pintu gerbang. Tatapannya nanar pada gembok besi yang berwarna hitam yang baru saja ditekan Diran. Ia hampir pingsan ketika mencoba berjalan, dan tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Diran soal haruskah ia tinggal di Slavidion.“Aku akan mengantarkanmu pada pangeran,” katanya lagi.Isabel menggeser bola matanya ke laki-laki berwajah sendu yang terlihat begitu bersinar dengan sisa-sisa tangisannya.“Kukatakan pada Rin kamu tidak akan pulang malam ini. Jadi, Rin dan temannya sudah pergi. Tidak akan ada yang mengantarmu pulang ke sekolah barumu malam ini.”“Kenapa aku merasa seperti pelacur jika kau bersikap seperti ini?” pertanyaan Isabel membentuk satu kerutan di kening Diran. Sesuatu yang mutlak, Isabel menolak untuk bertemu William malam itu.“Aku
William tertunduk ketika Isabel mencoba menciptakan jarak di antara mereka. Kulitnya yang terbakar, rasa sakitnya tidak lagi berarti. William sudah kehilangan kesadarannya sejak ia merasa sebagai pengkhianat untuk Elisa. Ia menempatkan dirinya sebagai yang pantas mendapatkan hukuman. Bagaimana pun itu, dengan dahaga yang tidak kunjung terpenuhi, atau terkurung dalam dimensi gelap Slavidion. Namun, tetap saja. Itu mudah dikatakan, tapi batinnya tidak pernah ikhlas. Rasa rakusnya masih menguasai dan ia tidak berdaya melawan perasaannya sendiri.William bahkan mengumpat untuk tempat asing yang ia pijak sekarang. Ia agak tidak percaya jika taman yang memenuhi matanya adalah bagian dari Slavidion. Langit di atas, seperti dibatasi oleh tembok tinggi. Kemudian, musim semi datang lebih cepat di tempat itu karena warna-warni bunga yang mekar di atas bebatuan. Ada genangan air yang jernih yang mengalir di bawahnya.Lalu, mata William terpaku pada Isabel yang be
[...Apa yang kuharapkan dan tidak ingin kuharapkan. Aku tidak tahu...]Diran berdiri di dekat kolam Houston. Tidak ada yang bisa ia nikmati sebenarnya dari pemandangan di sana. Kolam Houston membeku, tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah lama mengering, lalu mati. Diran hanya sedang membayangkan, “Ada apa di sana?” Di bawah kolam Houston itu. Seperti tuannya bilang, ia juga akan terseret ke dalam sana. Lalu, tidakkah sama saja jika ia menceburkan diri ke dalam sana sekarang?Diran menghela napas. Ia benci harus melarikan diri lagi dari orang yang dirindukannya. Bau Rin yang semakin pekat. Dia mendekat. Lalu, seperti asap, Diran akan menghilang bersama angin.“Sepertinya kita kedatangan tamu, Tuan!” lapor Diran pada Pangeran William. Saat itu Rin dan teman-temannya masih berada di depan gerbang.“Biarkan saja! Awasi mereka dari jauh!” instruksi William yang tidak disangka oleh Diran. Ia kira William tidak akan
“Hei, anak baru! Ada yang mencari kalian!”Isabel dan Rin berpandangan. Tidak terpikir siapa yang Grim maksud.“Ayo!” Rin bangkit dari tempat duduknya.Isabel ikut saja. Berjalan di belakang Grim sambil terus berpikir orang seperti apa yang akan mereka temui. Grim, penjaga sekolah itu, dari tampilannya yang garang, ia patut ditakuti. Siapa yang mau berurusan dengan penjaga sekolah itu? Fredy tentu lebih baik untuk diajak bicara. Namun, Isabel tidak bisa menyingkirkan rasa kasihannya ketika melihat tangan grim yang masih hitam. Isabel bisa membayangkan bagaimana sakitnya itu. Cahaya hitam Black Finger yang memang sebuah kutukan.Isabel mengusap pergelangan tangannya. Bulu kuduknya berdiri setiap kali membayangkan genggaman tangan William yang begitu erat hingga menyakitinya. Sekarang, hitam itu telah hilang, bersama kehadiran setangkai Queen of Rose dan helaian sayap iblis yang tertinggal. “Bagaimana mungkin ini terjadi?