Mayat laki-laki belasan tahun ditemukan di gudang belakang ruang seni lukis. Tubuhnya hitam mengering. Bekas cekikan melingkar di leher disertai beberapa titik luka. Hanya saja, ukuran jari yang mencekik korban sepertinya tidak biasa. Pembuluh darah korban juga kosong dari aliran darah. Namanya Max, anak kelas 2 Slavidion. Dia dikabarkan hilang sejak tiga hari lalu dan ditemukan sudah tak bernyawa lagi.
“Jika kamu tanya apa dia punya musuh atau tidak, aku tidak bisa menyebutkan daftar panjang yang menaruh dendam pada Max McAvoy,” Isabel menjumput satu buku yang tersusun di antara ribuan buku di perpustakaan Slavidion. Sandra, temannya, masih syok di ruang perawatan. Gadis berambut pirang itu yang pertama kali membuka pintu gudang dan menemukan Max di antara patahan kursi dan tumpukan kardus. Sandra berteriak dan tentu saja Isabel yang kebetulan berada di ruang seni lukis segera menghampiri Sandra.
Mayat itu seperti terbakar, tapi kulitnya tak rusak, hanya kering dan mengeriput. Semua orang yang melihat, menutup mulut dan menahan mual di perut mereka. Untuk waktu yang cukup lama, sosok itu hanya diperhatikan, tanpa seorang pun berani menyentuhnya. Tapi, bagi Isabel, mayat Max seperti sebuah sketsa dalam buku kuno. Gambaran yang pernah ia lihat di suatu tempat di Slavidion. Mungkin di perpustakaan atau mungkin juga di tempat lain. Terlalu banyak pertanyaan menggema tentang siapa yang membunuhnya kemudian. Apa kesalahan Max hingga dia harus mati mengenaskan dan yang paling menyita perhatian adalah bagaimana pembunuhan itu dilakukan?
“Kamu sudah menemukan bukunya?” Rin menetapkan pandangannya ke Isabel.
Isabel sempat tersentak dengan suara Rin saat itu dan mata sahabatnya seperti menyuarakan sesuatu, “Untuk apa kamu ikut campur dengan masalah ini?” Ya. Rin memang tidak punya niat membantu, dia hanya membolak-balik lembaran buku tanpa tujuan.
“Aku hanya penasaran,” jawab Isabel.
“Penasaran adalah ciri khusus makhluk cerdas sepertimu. Aku tahu itu. Tapi, ayolah! Menurutmu apa yang perlu dikhawatirkan? Kita tak pernah punya masalah dengan orang lain, di sini ada banyak sekali orang. Dan polisi, selama beberapa minggu akan berjaga di sini, bukan?”
Isabel coba mencerna kata-kata Rin. Dari sudut mana yang membenarkan siswa belasan tahun ikut berpikir tentang kasus pembunuhan. “Entahlah, perasaanku ini mungkin tidak biasa. Tapi, aku merasa khawatir,” jelas Isabel.
Mata Isabel menembus luas ke balik jendela kaca berbingkai kayu jati tua. Istana Houston Hill yang menjadi nyawa Slavidion berdiri megah di antara bangunan-bangunan lain yang berjejer membentuk lingkaran spiral dengan kolam air mancur yang terletak di antara Istana Houston dan perpustakaan Slavidion menjadi titik pusatnya. Garis-garis jingga muncul di sebelah Barat, di atas gerbang Slavidion. Dan suara gagak yang bersahutan, tak pernah ada yang mengerti di mana sosok mereka. Hanya sesekali terlihat makhluk bersayap hitam itu bertengger di beranda asrama, dan itu pun tanpa kawanan mereka. Perlahan kabut malam akan datang seiring suara gagak yang tenggelam beralih ke pekikan serigala dan burung hantu.
<>
Hampir malam ketika Rin dan Isabel kembali menapaki kayu tua asrama, naik ke lantai tiga kamar mereka. Baru beberapa anak tangga terinjak, seseorang mendorong pintu asrama. Itu Sandra Gilbert. Dia terengah, matanya memancarkan ketakutan tak terkira.
“Aku senang bertemu kalian,” katanya pada Rin dan Isabel.
“Kami kira kamu tetap di klinik sampai besok?” bahas Isabel.
“Aku tidak akan kabur kalau saja Lisa tak meninggalkanku sendiri.”
Sandra menyusup di antara Rin dan Isabel. Kejadian pagi tadi membuatnya selalu waspada. Perempuan itu menjadi paranoid, selalu saja khawatir ada seseorang di belakang yang mengikutinya. Pelan-pelan akan membunuhnya dan akhirnya akan membunuh mereka semua.
“Tenangkan dirimu! Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa! Kami janji akan selalu bersamamu,” Rin menimpali. Dia tidak tahan melihat Sandra yang terus menggigil sambil menggigit ibu jarinya. Dalam hitungan semenit, dua tiga kali Sandra berpaling ke belakang. Saat di kamar pun, gadis itu ragu untuk menelentangkan tubuhnya. Dia takut dengan sudut-sudut hitam yang samasekali tak terkena cahaya. Sandra bahkan takut untuk membuka lemari pakaiannya.
Rin meletakkan tasnya di atas ranjang setelah memapah Sandra ke tempat tidur, sementara Isabel masih berdiri di mulut pintu kamar dua temannya itu. “Apa aku juga perlu tidur di sini?” tawarnya mengingat Sandra yang gelisah hanya karena Rin meninggalkannya ke kamar mandi.
“Hanya jika kamu merasa takut,” sahut Rin keluar dari kamar mandi.
Isabel tersenyum, ia mengerti maksud Rin yang mengira dirinya ketakutan tidur sendirian di kamar setelah ada kasus pembunuhan Max McAvoy. Hanya saja, Rin sepertinya lupa Isabel telah tidur sendirian di kamar terujung di lantai tiga hampir setahun lamanya dan kesendirian kadang justru membuatnya merasa nyaman.
<>
Keesokan paginya,
Baru pertama kali Isabel melihatnya. Mawar-mawar itu mekar, mawar merah yang mengelilingi kolam Houston. Dia kagum dengan warnanya yang merah merekah. Itu bukan seperti mawar merah kebanyakan. Entah kenapa pesonanya menelan keindahan sekitarnya. Isabel tertegun dengan itu, dia bahkan lupa kelas etika sebentar lagi akan dimulai. Dan setelah bel masuk menyadarkannya, untuk sekali saja, Isabel ingin memetik mawar itu.
Isabel membungkuk, menjulurkan tangannya. Tapi, tiba-tiba, “Hati-hati! Jarimu bisa terluka,” seseorang mengagetkan Isabel.
Tubuh Isabel menegak segera, dia berpaling ke belakang. Rambut brunette-nya terayun indah saat itu. Untuk selanjutnya, Isabel merasa bersalah dan ia gelisah. Diran, “Bagaimana bisa aku melupakannya?”batinnya. Orang itu yang setiap hari merawat batangan hitam yang semua orang pikir sudah tak ada harapan. Tidak ada yang menyangka bahwa batang yang miskin akan daun dan kaya akan duri itu adalah batangan mawar. Banyak yang menyebutnya tanaman paku yang mati dan mengering.
“Maaf,” ucap Isabel.
“Jujur saja aku tidak suka ada yang menyentuh bunga-bunga ini,”katanya sambil berpangku tangan menghadapi Isabel.
Isabel menunduk. Ia pikir ia pantas dimarahi kali ini, jelas terlihat Diran sangat menyayangi bunga-bunga itu.
“Bayangkan saja jika satu orang sepertimu menginginkan satu mawar, dan ada lebih dari tiga ratus perempuan di Slavidion sepertimu, apa yang harus kulakukan?” lanjut Diran berjalan melewati Isabel. Diran merendahkan tubuhnya, meraih batang mawar dekat akar dan memotong batang di bagian itu dengan gunting besar di tangannya. Memotong durinya, sebelum akhirnya menyerahkan setangkai mawar itu pada Isabel.
“Untukku?” heran Isabel.
Laki-laki bermata biru mengembuskan napas keras. Masih dengan ekspresinya yang datar dan terkesan tak ikhlas.
“Terima kasih,” ucap Isabel terbata. Sejauh ingatannya, Diran sangat misterius dan tak pernah bicara pada siapa pun. Peduli kamu menyapanya atau mengajukan sebuah pertanyaan padanya, dia tetap diam. Lebih dari itu, anak-anak Slavidion sebenarnya takut pada makhluk berkulit putih susu yang hanya muncul saat subuh dan petang hari. Mata biru Diran yang menyala dan bibirnya yang tipis merekah seakan habis minum darah. Tatapan mata itu membuatnya disangka seorang psikopat atau seorang yang punya hobi menggali kuburan di tengah malam dan mengangkut mayatnya untuk dijadikan bagian ritual. Orang itu selalu saja menyembunyikan matanya di balik helayan rambut cokelat bercahaya yang tertutup oleh kupluk jaketnya. Mimpi buruk ketika sorot mata itu hinggap padamu. Tapi, yang dirasa Isabel saat itu tidaklah begitu. Suara Diran terkesan lembut, dan sorot matanya masih menyorotkan pengertian.
<>
Di kelas,
“Percaya tidak ini dari Diran?” bisik Isabel pada Rin dan Sandra. Isabel memperlihatkan setangkai mawar di tangannya.
“Kamu curi ini dari kebun dia?” Rin terbelalak.
“Sungguh. Dia yang memberikan ini padaku.”
Rin mengerutkan keningnya, dia memperhatikan lagi mawar yang dibawa Isabel, yang kini tergeletak pasrah di atas meja,”Kamu mau aku percaya?”
“Soal ini dari kebun Diran? Itu benar,”sahut Isabel.
“Bukan. Soal Diran yang memberikan ini padamu. Kudengar Queen of Rose hanya berbunga setahun sekali di musim semi. Tapi itu beratus-ratus tahun lalu saat pertama kali tanaman ini ditanam. Beberapa tahun belakang Queen of Rose tak pernah berbunga, kita beruntung bisa melihatnya tahun ini. Dan apa kamu percaya, bunga yang sekarang kamu pegang berasal dari akar yang sama dengan beratus-ratus tahun yang lalu?”
"Maksudmu, tanaman ini bahkan lebih tua dari nenek buyutku?”
“Benar. Makanya Queen of Rose sangat berharga.”
“Kamu pasti bercanda.”
“Ya. Anggap saja ini mitos. Tapi, jika kamu bisa mendapatkan bunga ini dari Diran, kamu tentu bisa tanya lebih banyak tentang mitos bunga ini sama dia. Dia kayak orang gila ngerawat bunga yang nggak jelas nasibnya.”
Isabel dan Rin tertawa. Sementara Sandra, dia senyum seadanya. Yang satu ini begitu tak suka membicarakan soal mitos, cerita hantu membuat tangannya bergetar dan dia akan mengatakan “Stop”, saat cerita baru dimulai. “Jika bukan karena orang tuaku, aku tak akan masuk Slavidion,”katanya suatu waktu. Slavidion yang punya sejarah panjang dan sejarah punya banyak misteri yang sulit untuk dijelaskan. Bagi Rin dan Isabel, itu menarik, sekadar untuk dijadikan hiburan. Tapi, bagi Sandra, anak ini selalu saja berkata, “Bagaimana kalau itu benar?” dan atas pertanyaannya itu, tidak ada yang mampu menjawabnya.
SEMUA KUMPUL DI HOUSTON HILL SEKARANG, Nara hampir terpeleset saat berlari ke dalam kelas dan secara tiba-tiba harus menghentikan gerak kakinya di atas ubin yang licin. Isabel, Rin dan Sandra melupakan sejenak soal Diran dan mawarnya. “Ada apa?” pertanyaan pertama hinggap di benak Isabel dan juga siswa-siswi Slavidion tentang Houston Hill. Istana yang jarang terbuka itu hanya digunakan saat ingin mengumpulkan seluruh siswa Slavidion, seperti upacara di awal tahun ajaran. “Kecuali ada hal yang benar-benar penting, ini tidak akan terjadi,”ujar Sandra dengan suaranya tak bertenaga.
<>
Itu Mrs.Marry, anak-anak lebih suka menyebutnya Marry Wolf. Wanita paruh baya yang seharusnya mengajar etika di kelas Isabel saat itu. Serigala betina dengan bibir besar yang diwarnai lipstick merah menyala, seakan siap menelan sesuatu. Marry Wolf tak pernah lepas dari tongkat kayu hitam di tangannya. Yang terayun setiap saat ke telapak tangannya. Wanita itu lebih mengerikan dibanding cerita hantu yang tersebar berabad-abad di Slavidion. Ia berdiri di belakang Lady Vanvier, kepala sekolah Slavidion. Vanvier siap dengan pengeras suara di depan mulutnya. Semua tahu Vanvier tidak akan bicara sebelum Marry mengatakan “Silakan”. Maka sebelum itu, Marry Wolf akan berkeliling ke sudut-sudut Istana Houston untuk memastikan tidak ada yang bersuara, bergerak, bahkan untuk menggerakkan bola mata.
“Akan diberlakukan jam malam,” Lady Vanvier mengucapkan sesuatu yang mengubah keheningan menjadi gumaman. Kata displin terlupakan begitu saja dan kehadiran Marry Wolf seakan tak berarti.
Ditemukan dua lagi yang terbunuh di halaman belakang gedung di lapis ketiga Slavidion. Akses tempat yang cukup jauh dari pusat kegiatan Slavidion mengingat komplek Slavidion yang amat luas. Lapis ketiga berarti halaman rumput yang berbatasan langsung dengan pagar besi hitam yang memisahkan Slavidion dengan dunia luar. Gedung-gedung yang ada di sana adalah gedung tua kosong tak terpakai. Kabar itu memang tidak didengar Isabel dari Lady Vanvier, tapi dari orang yang berbaris di sampingnya. Hanya saja mereka tidak mengatakan bagaimana kondisi mayat itu. Atau mungkin mereka yang tidak tahu. Lady Vanvier dan semua petugas sekolah pasti tak ingin berita ini tersebar keluar, juga agar anak-anak tidak panik. Tapi, kecepatan informasi untuk berpindah dari satu orang ke orang lain, melebihi kemampuan seorang Vanvier menahannya. Di luar gerbang Slavidion, media telah menanti Lady Vanvier untuk bicara.
“Sandra!” suara Rin menggema di Houston Hill. Isabel berbalik terkejut. Sandra terkulai tak berdaya di pangkuan Rin. Keringat dingin membasahi tubuh muda itu. Gadis itu pingsan dan anak-anak segera menggotongnya kembali ke klinik. “Dia sakit semenjak kematian Max McAvoy. Sepanjang malam tadi dia juga mengigau,” jelas Rin dengan kerutan di dahinya. Isabel bisa mengerti apa yang dikatakan Rin. Gadis berambut pendek yang kini mulai menggigit ujung ibu jarinya, bukan karena takut, tapi sedang memikirkan sesuatu. “Bahwa ini bukan kejadian biasa,”lanjut Rin. Rin dan Isabel saling bertatapan. “Apa yang akan terjadi kemudian?” Rin mulai mengakui kekhawatiran Isabel sebelumnya.
<>
Ada pintu besar selebar tiga meter menghadang mereka. Pertemuan ini telah berakhir dan saatnya Istana Houston ditutup kembali. Isabel mempercepat langkahnya saat ia sadar sudah semakin sedikit orang di dalam Houston Hill. Dia tidak ingin terkurung lagi seperti sebelumnya, di tempat dimana hanya kesunyian yang menguasai. Seakan hidup di tempat yang hampa tanpa tanda kehidupan selain detak jantungmu sendiri yang terdengar, padahal kamu sadar di balik pintu utama Houston Hill masih ada puluhan bangunan lain yang diisi oleh napas manusia. Isabel menyebutnya dimensi berbeda dimana batas hidup dan ketiadaan ada di sana. Isabel tak ingin mengalaminya lagi, ketakutan yang menggerogoti mimpinya tetang dunia yang indah dan harapan tinggal satu-satunya, yakni ingin keluar dari sana. Hi
Sebentar lagi matahari tenggelam. Garis jingga harusnya semakin tebal saat itu, tapi Rin dan Isabel dinaungi tanaman-tanaman yang tidak mereka kenal. Semacam tanaman rambat, kemudian batang berduri dan daun-daun agak kemerahan. Bergumpal membentuk sebuah lorong. Tempat itu agaknya gelap sepanjang hari. Ada yang tidak mengizinkan cahaya matahari menembus benteng tanaman yang mungkin saja akan melukai mereka.
Di sudut lain, Isabel memutar sudut kakinya hingga tiga ratus enam puluh derajad. Menyoroti sekelilingnya dengan senter berdiameter lima inchi. Ia ingat Rin pernah bilang Istana Houston Hill dibangun oleh seorang raja sebagai hadiah untuk puteri yang sangat dikaguminya. Puteri yang sangat menyukai malam dan seringkali menghujani dirinya sendiri dengan sinar bulan. Jendela kaca besar yang dibingkai dengan ukiran jati memenuhi ruangan itu. Memungkinkan cahaya bulan masuk leluasa. Isabel sebenarnya tak perlu menyalakan senternya saat berada dalam ruangan itu.
Keesokan harinya, Awan gelap bergerak cepat saat matahari harusnya mulai terlihat. Kabut pekat yang mengurangi jarak pandang menyelimuti Slavidion. Isabel, dia meraba-raba apa yang ada di balik kabut itu, selangkah demi selangkah menembusnya. Sisa-sisa badai tadi malam rupanya masih ada, tetes air yang menusuk keheningan menjadi pemandu Isabel. Butiran yang datang dari ujung ranting pohon maple, yang jatuh di atas kolam Houston. Diran berdiri di de
Rin duduk di anak tangga terbawah di lantai satu asrama. Dia baru saja ke kamar Isabel, mengetuk pintu beberapa kali dan Isabel tetap tidak mau membukakan pintu kamarnya. “Tinggalkan aku sendiri!” katanya. Dan kemudian hanya terdengar suara muntah-muntah dari gadis muda yang mengurung dirinya di kamar saat itu. Rin kira Isabel bukanlah orang yang bisa mengungkapkan isi hatinya begitu saja, dan yang mengganggu Isabel akhir-akhir ini telah membuatnya stress. Hanya saja, Rin tak pernah menyangka bahwa akan ada saat dimana mereka akan berada di tiga tempat berbeda, masing-masing sedang melamunkan sesuatu dan sejenak membuat Rin sedih. Saat tidak ada Isabel, setidaknya ada Sandra dan saat tidak ada Sandra, setidaknya Isabe
Di kamarnya, Isabel menekuk lutut seraya bersandar di sisi tempat tidur meghadap pintu balkon kamarnya yang terbuka. Dia mulai berpikir tentang yang terjadi dan kali ini ia harus percaya.
Beberapa bulan kemudian, Slavidion sepertinya berhasil keluar dari keterpurukan. Ketenangan kembali tanpa media dan polisi yang berkeliaran di halaman itu. Bukti-bukti tak cukup untuk mengatakan kematian Max, Diana dan France adalah kasus pembunuhan. Polisi hanya berkesimpulan yang terjadi pada ketiga orang itu sejenis penyakit baru dari sebab yang tidak diketahui. Karena korban hanya tiga orang, juga tidak ada indikasi penularan, polisi tidak bisa memasukkannya dalam kasus wabah berbahaya yang memungkinkan proses belajar mengajar dihentikan dan seluruh penghuninya dievakuasi. Slavidion tetap berjalan seperti biasa.
Hampir pukul tiga siang ketika teriakan anak-anak menggema dari kejauhan. Ketakutan anak baru yang ada dalam bayangan Isabel, seperti roti keju lembut yang masuk ke mulutnya diiringi aroma latte yang memanjakan hidungnya, dinikmati saat matahari ada di seperempat langit di sebelah barat. Benar-benar akan membuatnya merasa tak ada beban, walau dilakukan di atas penderitaan orang lain. Itu adalah bentuk kepuasan bagi seorang senior. Arti sebuah status yang tinggi dan kekuasaan. Dan tidak sebatas itu saja, banyak yang bilang rasa sakit yang junior rasakan menjadi kenangan yang tak pernah mereka lupakan kelak. Seperti yang dirasakan Isabel sekarang, perjuangan menyenangkan di hari itu, sedikit keinginan untuk balas dendam pada saat ini, tapi lebih menghargai kebersamaan. Saat ke
Tiga Tahun Kemudian…“Wah! Selamat!” Sandra berteriak girang. Ia memeluk Rin berkali-kali, perempuan yang selalu nyaman dengan potongan rambut pendek itu terlihat begitu bersinar dengan gaun pengantin yang ia kenakan. Yang beruntung mendapatkan Rin adalah anak teman ayahnya sendiri, seorang pengusaha.Bagi Isabel dan Sandra, tentu tidak masalah siapa pun yang akan menikahi Rin. Hanya saja, mereka harus membuat Rin merasa “bahagia”. Ah, tidak, ukuran “bahagia” itu sepertinya terlalu rumit. Isabel ingin, orang yang menikahi Rin adalah orang yang tidak akan membuat Rin berpikir hal lain lagi selain hubungan mereka. Tentu saja, Isabel akan bersedih ketika Rin berkata di depan meja rias pengantin, “Seperti ada yang hilang dari diriku,” Rin memegangi dadanya dan orang itu tetap tidak menemukan serpihan yang seharusnya bisa melengkapi dirinya.Isabel memang tidak ingin jujur. Sejak ia sadar Rin telah melupakan Diran, Isabel merasa itu mungk
Aegel Forest, kediaman Aegel Gustave Saveri. Tidak terlihat ada riak air di sana, danau di bawah gazebo seolah beku. Hujan salju memang belum berhenti sejak William datang ke sana di malam sebelumnya. Meski begitu, salju yang berjatuhan tidak membuat Aegel Forest berwarna keperakan. Salju yang jatuh, hanya seperti permen kapas kecil yang tersentuh air liur, lalu menghilang segera.“Apa kamu bersedih?” tanya Maria yang akan selalu mengabaikan permintaan William untuk tidak diganggu. William enggan menjawabnya. Ia hanya mengedip lambat pada daun teratai yang berwarna kecoklatan. Yang jelas, sejak ia tidak bisa menemukan Isabel, William jadi tidak ingin melakukan apa-apa. Jika mungkin, ia kira ia ingin menjadi sehelai daun di antara ratusan juta daun di Aegel Forest. Tidak akan ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang berarti, dan angin adalah satu-satunya yang ia nanti. Suatu saat ia merasa lelah, maka ia akan terlepas dari ranting. Angin
William mencoba beristirahat sekali lagi. “Berhentilah berpikir tentangnya!” perintahnya berkali-kali pada dirinya sendiri, meski tahu itu sia-sia. Nyatanya, makhluk itu tidak pernah benar-benar tertidur.Tidak lama kemudian, ada frekuensi suara yang menyentaknya. Spontan, mata William terbuka. Tapi, setelah dilihat lagi, tidak ada apa pun yang terjadi. Diran belum kembali, juga tidak ada benda yang jatuh. William tidak punya jawaban dari mana asal suara yang masuk ke telinganya. Ia kemudian memegangi tengkuknya. “Seharusnya dia baik-baik saja. Ada Wang Mo Ryu di sana,” katanya.William kemudian mondar-mandir tidak keruan. Sejak ia tidak punya jawaban dari mana asal suara mengerikan itu, William jadi berpikir lebih keras. Seperti ada yang lancang memukul meja, raut kemarahan bisa dirasakan William saat itu. Tapi, William benar-benar tidak tahu di mana, dan untuk apa insiden itu sampai ke pikirannya. Itu sangat mengganggu.Tiba
“Akhhh! Apa aku harus memperlakukanmu seperti penjahat lain? Memukulimu sampai mau bicara?” satu pukulan terarah ke atas meja. Isabel telah membuat Giulian Vasco geram. Hampir satu jam komandan itu menginterogasi Isabel, yang keluar dari mulut Isabel hanyalah kalimat, “Aku tidak tahu.”“Katakan! Di mana aku bisa menemukannya?” tangan Giulian Vasco berada di udara. Ia siap melayangkan itu dan mungkin akan membuat Isabel terlempar setelahnya.“Komandan! Jangan berlebihan! Dia hanya saksi, bukan tersangka!” tahan Petter.“Apa dia berbuat salah? Kenapa kalian ingin sekali menangkapnya?” Isabel balik bertanya. Ia kira ia sudah merasakan rasa sakitnya dipenjara dengan tangan terborgol, dibentak, lalu diancam berkali-kali. Pukulan demi pukulan mungkin saja benar-benar ia alami setelah ini. “Apa begini kalian memperlakukan dirinya?” lirih Isabel. Ia tiba-tiba merasa sedih.“Hmmm.
Mata Isabel mengedip pelan. Segala yang tertangkap oleh lensa matanya masih tampak buram saat itu. Tapi, Isabel yakin ia tidak lagi berada di Istana Houston. Karena istana tempat sang pangeran, selalu tampak abu-abu.Isabel juga melihat seseorang berdiri di dekat jendela kayu yang terbuka, “Aku benci musim dingin,” katanya.Isabel tersenyum, “Nada yang keluar dari ghuzeng yang Anda mainkan memang sangat cocok dengan musim semi,” tanggapnya. “Entah kenapa saya merasa sedih ketika mendengar nada-nada itu muncul di antara butiran salju yang jatuh. Anda tahu ada hal buruk yang akan terjadi. Tapi, Anda tidak kuasa mencegahnya. Lalu, Anda merasa sedih. Saya pun ikut bersedih.”“Kamu harus menguncinya segera. Pintu dimensi itu. Jika tidak, aku terpaksa harus membunuhnya!” Ryu Laoshi menyerahkan sebuah buku kepada Isabel.Isabel terperangah, begitu juga Rin yang berdiri di depan pintu kamar Ryu
“Tinggallah untuk malam ini!” Diran merapatkan pintu gerbang Slavidion.Langkah Isabel terhenti di jarak tiga meter dari pintu gerbang. Tatapannya nanar pada gembok besi yang berwarna hitam yang baru saja ditekan Diran. Ia hampir pingsan ketika mencoba berjalan, dan tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Diran soal haruskah ia tinggal di Slavidion.“Aku akan mengantarkanmu pada pangeran,” katanya lagi.Isabel menggeser bola matanya ke laki-laki berwajah sendu yang terlihat begitu bersinar dengan sisa-sisa tangisannya.“Kukatakan pada Rin kamu tidak akan pulang malam ini. Jadi, Rin dan temannya sudah pergi. Tidak akan ada yang mengantarmu pulang ke sekolah barumu malam ini.”“Kenapa aku merasa seperti pelacur jika kau bersikap seperti ini?” pertanyaan Isabel membentuk satu kerutan di kening Diran. Sesuatu yang mutlak, Isabel menolak untuk bertemu William malam itu.“Aku
William tertunduk ketika Isabel mencoba menciptakan jarak di antara mereka. Kulitnya yang terbakar, rasa sakitnya tidak lagi berarti. William sudah kehilangan kesadarannya sejak ia merasa sebagai pengkhianat untuk Elisa. Ia menempatkan dirinya sebagai yang pantas mendapatkan hukuman. Bagaimana pun itu, dengan dahaga yang tidak kunjung terpenuhi, atau terkurung dalam dimensi gelap Slavidion. Namun, tetap saja. Itu mudah dikatakan, tapi batinnya tidak pernah ikhlas. Rasa rakusnya masih menguasai dan ia tidak berdaya melawan perasaannya sendiri.William bahkan mengumpat untuk tempat asing yang ia pijak sekarang. Ia agak tidak percaya jika taman yang memenuhi matanya adalah bagian dari Slavidion. Langit di atas, seperti dibatasi oleh tembok tinggi. Kemudian, musim semi datang lebih cepat di tempat itu karena warna-warni bunga yang mekar di atas bebatuan. Ada genangan air yang jernih yang mengalir di bawahnya.Lalu, mata William terpaku pada Isabel yang be
[...Apa yang kuharapkan dan tidak ingin kuharapkan. Aku tidak tahu...]Diran berdiri di dekat kolam Houston. Tidak ada yang bisa ia nikmati sebenarnya dari pemandangan di sana. Kolam Houston membeku, tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah lama mengering, lalu mati. Diran hanya sedang membayangkan, “Ada apa di sana?” Di bawah kolam Houston itu. Seperti tuannya bilang, ia juga akan terseret ke dalam sana. Lalu, tidakkah sama saja jika ia menceburkan diri ke dalam sana sekarang?Diran menghela napas. Ia benci harus melarikan diri lagi dari orang yang dirindukannya. Bau Rin yang semakin pekat. Dia mendekat. Lalu, seperti asap, Diran akan menghilang bersama angin.“Sepertinya kita kedatangan tamu, Tuan!” lapor Diran pada Pangeran William. Saat itu Rin dan teman-temannya masih berada di depan gerbang.“Biarkan saja! Awasi mereka dari jauh!” instruksi William yang tidak disangka oleh Diran. Ia kira William tidak akan
“Hei, anak baru! Ada yang mencari kalian!”Isabel dan Rin berpandangan. Tidak terpikir siapa yang Grim maksud.“Ayo!” Rin bangkit dari tempat duduknya.Isabel ikut saja. Berjalan di belakang Grim sambil terus berpikir orang seperti apa yang akan mereka temui. Grim, penjaga sekolah itu, dari tampilannya yang garang, ia patut ditakuti. Siapa yang mau berurusan dengan penjaga sekolah itu? Fredy tentu lebih baik untuk diajak bicara. Namun, Isabel tidak bisa menyingkirkan rasa kasihannya ketika melihat tangan grim yang masih hitam. Isabel bisa membayangkan bagaimana sakitnya itu. Cahaya hitam Black Finger yang memang sebuah kutukan.Isabel mengusap pergelangan tangannya. Bulu kuduknya berdiri setiap kali membayangkan genggaman tangan William yang begitu erat hingga menyakitinya. Sekarang, hitam itu telah hilang, bersama kehadiran setangkai Queen of Rose dan helaian sayap iblis yang tertinggal. “Bagaimana mungkin ini terjadi?