Beranda / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

Share

Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

Penulis: Oceania
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-18 12:18:18

Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.

Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.

“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La Tando, dengan nada penuh keprihatinan, “kami khawatir bahwa bayangan itu adalah pertanda buruk. Mungkin leluhur kita marah karena kita telah melupakan tradisi.”

Wakaaka menatapnya dengan lembut. “La Tando, tradisi kita adalah akar yang menjaga kita tetap berdiri, tetapi itu tidak berarti kita tidak boleh tumbuh. Aku percaya bahwa apa pun yang kita temui malam ini akan membawa kita lebih dekat pada kebenaran. Percayalah padaku.”

Tetua itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kami percaya pada Anda, Ratu.”

Saat mereka mendekati pantai selatan, suasana menjadi semakin ganjil. Udara terasa lebih dingin, dan angin laut berhembus membawa aroma yang aneh, seperti campuran garam dan sesuatu yang membusuk. Di kejauhan, mereka mulai melihat bayangan putih melayang di atas ombak, bergerak perlahan seperti tarian anggun.

Ketika mereka tiba, Wakaaka melangkah maju, sementara yang lain berdiri di belakangnya. Ia mengangkat tangannya, mencoba berkomunikasi dengan sosok itu. “Siapa kau? Apa yang kau inginkan dari kami?”

Bayangan itu berhenti. Lalu, sebuah suara lembut namun penuh kekuatan bergema di udara, seperti nyanyian yang tidak berasal dari dunia ini. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Aku datang untuk memperingatkan bahwa ancaman besar sedang mendekat, dan kalian belum siap.”

Sosok itu perlahan turun ke atas pasir. Ketika cahaya bulan menerangi wujudnya, mereka melihat seorang wanita tua dengan rambut putih panjang dan mata yang bersinar biru. Ada aura yang menenangkan sekaligus menakutkan di sekelilingnya.

“Ancaman seperti apa?” tanya Wakaaka.

Wanita itu menggeleng pelan. “Bayangan Lautan telah bangkit, membawa kekuatan gelap yang akan menghancurkan keseimbangan dunia. Jika kalian tidak bersatu, kalian akan hancur.”

Keesokan harinya, Wakaaka kembali ke istana dengan pesan dari penjaga pantai selatan. Ia segera memanggil para penasihat dan tokoh masyarakat untuk membahas ancaman tersebut. Namun, seperti yang diduga, perbedaan pendapat segera mencuat.

La Putu, penasihat tua yang terkenal konservatif, berdiri dan berkata dengan nada tajam, “Ratu, kita tidak perlu mencari artefak atau melibatkan generasi muda yang belum memahami tradisi. Yang harus kita lakukan adalah memohon kepada leluhur dengan ritual adat, seperti yang telah kita lakukan selama berabad-abad.”

Sahril, seorang pemuda yang turut hadir, segera menyela. “La Putu, Anda terlalu terikat pada masa lalu. Dunia sudah berubah, dan kita tidak bisa hanya mengandalkan tradisi. Kita butuh pendekatan baru untuk melindungi pulau ini.”

Perdebatan pun memanas, dengan La Putu dan pendukungnya di satu sisi, sementara generasi muda berada di sisi lain. Wakaaka berdiri di tengah-tengah ruangan, mendengarkan dengan saksama, sebelum akhirnya mengangkat tangannya untuk meminta keheningan.

“Kita tidak bisa memilih salah satu sisi dan mengabaikan yang lain,” katanya dengan suara tenang namun tegas. “Tradisi adalah fondasi kita, tetapi inovasi adalah jembatan menuju masa depan. Jika kita tidak bersatu, bagaimana kita bisa melawan ancaman yang jauh lebih besar?”

Ia kemudian mengumumkan rencananya untuk menggelar *Ritual Kesatuan Adat*, sebuah upacara besar yang akan memadukan elemen tradisional dan modern. Generasi tua akan memimpin bagian ritual adat, sementara generasi muda akan menggunakan teknologi untuk mendokumentasikan dan mempromosikan ritual tersebut sebagai warisan budaya yang hidup.

Namun, di balik dinding istana, La Putu memiliki rencana lain. Ia tidak percaya pada pendekatan Wakaaka dan merasa bahwa sang ratu telah mengkhianati tradisi mereka. Diam-diam, ia mengirim pesan kepada orang-orang misterius yang ia tahu adalah pengikut Bayangan Lautan.

“Mereka sedang bersiap untuk ritual besar,” tulisnya dalam pesan itu. “Jika kalian menyerang pada saat itu, rakyat akan melihat kelemahan Wakaaka, dan aku akan memastikan kalian mendapatkan apa yang kalian cari.”

Pesan itu disampaikan dengan cara yang licik, tanpa ada yang mencurigai niat La Putu. Namun, Aji, yang telah mencurigai La Putu sejak awal, mulai memantau gerak-geriknya.

Sementara itu, Wakaaka meminta Aji untuk memimpin pelatihan bagi para pemuda. Mereka dilatih bukan hanya dalam seni bela diri, tetapi juga dalam teknik bertahan hidup dan pertahanan spiritual, menggunakan warisan pengetahuan leluhur Aji.

Saat pelatihan berlangsung, seorang pemuda berlari masuk, membawa kabar bahwa bayangan putih telah terlihat lagi di pantai selatan. Kali ini, suara nyanyian yang terdengar lebih jelas, seolah-olah memanggil Wakaaka dan Aji untuk kembali.

Wakaaka segera memutuskan untuk pergi ke sana lagi, membawa Aji dan beberapa pemuda terbaiknya. Setibanya di pantai, mereka mendapati bayangan putih itu menunggu di depan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun.

“Wakaaka,” panggil suara lembut itu, “ujianmu telah tiba. Di dalam gua ini terdapat *Kerang Kehidupan*, artefak yang akan memberimu kekuatan untuk melawan Bayangan Lautan. Tetapi untuk mendapatkannya, kau harus membuktikan bahwa hatimu murni dan niatmu benar.”

Wakaaka melangkah maju, diikuti oleh Aji. Dengan napas yang dalam, mereka memasuki gua yang gelap dan penuh misteri, bersiap menghadapi ujian yang akan mengubah takdir Pulau Buton.

Wakaaka dan Aji melangkah masuk ke dalam gua, di mana kegelapan seakan-akan menelan mereka. Suara gemericik air dari air terjun di luar semakin memudar, digantikan oleh keheningan yang pekat. Hanya cahaya redup dari lentera yang dibawa Aji yang membimbing mereka.

“Ratu, gua ini terasa hidup,” bisik Aji. Matanya menatap dinding gua yang dipenuhi ukiran kuno, menampilkan cerita tentang perjuangan leluhur Pulau Buton melawan kekuatan gelap.

Wakaaka mengangguk. “Ini adalah bagian dari ujian kita. Kekuatan gua ini akan menguji hati dan niat kita.”

Langkah mereka terhenti ketika jalan di depan tiba-tiba dipenuhi bayangan. Dari bayangan itu muncul makhluk-makhluk mengerikan dengan mata merah menyala, gigi tajam, dan tubuh besar seperti gabungan manusia dan binatang. Makhluk-makhluk itu mendekat dengan geraman rendah, memancarkan rasa takut yang menusuk hati.

Aji menghunus pedangnya, tetapi Wakaaka menghentikannya. “Ini bukan musuh nyata, Aji. Mereka adalah bayangan ketakutan kita sendiri. Kita harus melawannya dengan keberanian, bukan kekerasan.”

Wakaaka melangkah maju, menatap langsung ke mata salah satu makhluk. “Aku tidak takut pada kalian. Aku berdiri di sini untuk melindungi rakyatku, bukan untuk diriku sendiri.”

Makhluk itu berhenti, tubuhnya mulai memudar seperti kabut. Satu per satu, makhluk lainnya mengikuti, hingga jalan di depan mereka kembali kosong.

“Keberanian tidak datang dari kekuatan, tetapi dari keyakinan,” ujar Wakaaka, melanjutkan perjalanan.

Di ruangan berikutnya, mereka menemukan sebuah meja besar dengan tiga cawan yang terbuat dari batu hitam. Di atas meja terdapat tulisan kuno yang berbunyi:

*"Hanya air kehidupan yang dapat membuka jalan. Pilihlah dengan hati yang murni."*

Di samping meja, terdapat tiga kendi yang masing-masing berisi cairan berwarna berbeda: merah, biru, dan bening. Aji membaca tulisan itu dengan saksama. “Air kehidupan… Tapi tidak ada petunjuk lebih lanjut.”

“Kadang, jawaban paling sederhana adalah yang benar,” kata Wakaaka. Ia mengambil cawan dan menuangkan air bening ke dalamnya. Ketika ia meneguk air itu, jalan di depan mereka terbuka, menunjukkan lorong panjang yang dipenuhi cahaya biru.

“Kesederhanaan sering kali menjadi jawaban bagi kebijaksanaan,” ujar Wakaaka.

Di ruangan terakhir, Wakaaka dan Aji dihadapkan pada cermin besar yang memantulkan bayangan mereka sendiri. Namun, pantulan itu segera berubah. Wakaaka melihat dirinya dalam momen terburuk—rasa bersalah, keraguan, dan ketakutannya muncul dengan jelas di cermin.

“Lihatlah dirimu sendiri,” suara gaib bergema. “Hanya mereka yang dapat menerima kelemahan dan berdamai dengan bayangan mereka yang layak melanjutkan.”

Air mata mengalir di pipi Wakaaka ketika ia melihat bayangan itu. “Aku telah melakukan kesalahan. Aku memiliki keraguan. Tetapi aku tidak akan membiarkan itu menghentikanku untuk melindungi rakyatku.”

Aji, di sisi lain, melihat bayangan dirinya sebagai seorang pemuda yang kehilangan keluarganya. Ia menatap pantulan itu dengan mata berkaca-kaca, tetapi ia berkata dengan suara mantap, “Aku mungkin kehilangan orang-orang yang kucintai, tetapi aku akan menggunakan rasa kehilangan itu untuk melindungi yang lain.”

Ketika mereka menerima bayangan itu, cermin memudar, dan di belakangnya terdapat *Kerang Kehidupan*. Artefak itu bersinar dengan cahaya emas lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan.

Di istana, La Putu memanfaatkan ketidakhadiran Wakaaka untuk melancarkan rencananya menggagalkan *Ritual Kesatuan Adat*. Ia menghasut beberapa tokoh tua untuk percaya bahwa ritual tersebut adalah penghinaan terhadap leluhur. 

“La Tando,” ujar La Putu dengan nada penuh tipu daya, “Ritual ini akan mengundang kutukan. Generasi muda telah melupakan nilai-nilai kita. Mereka bahkan berani mengubah cara kita menghormati leluhur!”

La Tando, yang masih dihormati oleh banyak orang, mulai terpengaruh. Ia mengumpulkan kelompok kecil untuk menyabotase ritual, termasuk menyebarkan kebohongan bahwa ritual itu akan membangkitkan kekuatan gelap.

Namun, Aji yang telah memantau pergerakan La Putu melalui jaringan pemuda desa, berhasil mendapatkan bukti pengkhianatannya. Saat Wakaaka kembali dengan *Kerang Kehidupan*, Aji segera melaporkan semuanya.

“Ratu, La Putu tidak hanya mencoba menggagalkan ritual ini, tetapi ia juga bekerja sama dengan Bayangan Lautan,” kata Aji dengan nada tegas.

Wakaaka menghadap La Putu di depan para penasihat dan rakyat. Dengan suara yang penuh wibawa, ia berkata, “La Putu, aku telah mendengar cukup banyak tentang rencanamu. Tetapi aku ingin mendengar darimu sendiri—apa alasanmu?”

La Putu, yang sadar bahwa rahasianya telah terbongkar, tersenyum tipis. “Kau terlalu naif, Wakaaka. Bayangan Lautan adalah masa depan pulau ini. Mereka membawa kekuatan yang tidak pernah kita miliki. Kau mencoba melawan mereka dengan tradisi yang usang dan inovasi yang bodoh.”

Wakaaka mengangkat *Kerang Kehidupan*, yang bersinar terang. “Kekuatan ini bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk melindungi. Leluhur kita telah meninggalkan alat ini untuk melawan ancaman seperti Bayangan Lautan, bukan untuk menyerah pada mereka.”

La Putu tertawa sinis. “Bayangan Lautan lebih dari sekadar ancaman. Mereka adalah garis keturunan dari kekuatan yang pernah dikalahkan oleh leluhurmu, tetapi mereka tidak pernah benar-benar lenyap. Artefak itu adalah satu-satunya hal yang dapat menghentikan mereka, dan aku akan memastikan mereka memilikinya.”

La Putu mencoba melarikan diri, tetapi pasukan Wakaaka berhasil menangkapnya. Dengan bukti yang ada, La Putu diadili oleh dewan istana dan dijatuhi hukuman pengasingan.

Dengan *Kerang Kehidupan* di tangannya dan pengkhianatan La Putu yang telah diungkap, Wakaaka mempersiapkan *Ritual Kesatuan Adat*. Ia tahu bahwa serangan terakhir Bayangan Lautan akan segera datang, tetapi ia percaya bahwa persatuan rakyat Buton, ditambah kekuatan artefak leluhur, akan menjadi kunci kemenangan mereka.

Namun, di kejauhan, Bayangan Lautan mulai menggerakkan pasukannya, siap untuk menghadapi Wakaaka dalam pertempuran yang akan menentukan nasib Pulau Buton.

Bab terkait

  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 5: MALAM BAYANGAN

    Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

    Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 12: Sungai Bembe dan Bayangan Masa Lalu

    Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01

Bab terbaru

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 56: "Benih dari Bintang-Bintang"

    Buton, 03.00 WITASinta terbangun dengan keringat dingin, darah di lengannya masih berpendar biru pucat. Dalam mimpinya, Ratu Wakaaka berdiri di antara ribuan bintang, dikelilingi makhluk perak yang berkata: "Darahmu adalah benih terakhir. Pilih: tumbuh di sini, atau berkecambah di galaksi lain." Di luar jendela, langit memerah—gunung api di Chile dan Jepang mulai erupsi bersamaan. Sinta merasa takut dan bingung dengan arti dari mimpi yang terasa begitu nyata tersebut. Apakah benar darahnya memiliki kekuatan khusus yang dapat mempengaruhi nasib bumi dan galaksi lain? Langit yang memerah di luar jendela membuatnya semakin gelisah, seakan menandakan bahwa keputusan yang harus diambil oleh Sinta akan memiliki dampak yang besar bagi seluruh alam semesta. Dengan gemetar, Sinta akhirnya mengambil keputusan untuk... menjalani meditasi mendalam untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Ia memutuskan untuk memperkuat hubungan spiritualnya dengan alam semesta dan mema

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 55: "Bintang dan Jurang"

    Kuil Bawah Laut Ratu Wakaaka, 04.00 WITATrisula Kapten Pierre menyala biru saat tertancap di celah batu karang berbentuk mahkota. Gemuruh menggelegar, dinding kuil retak, memperlihatkan lorong menuju ruang dalam yang dipenuhi prasasti bercahaya. Sinta, Jun Ho, dan Dr. Lee menyelam masuk, lampu sorot mereka berkedip-kedip."Ini bukan cuma kuil," bisik Jun Ho, kamera drone merekam simbol aneh di langit-langit. "Ini... peta bintang?"Mereka melanjutkan perjalanan ke dalam kuil, melewati prasasti-prasasti kuno yang bercahaya di dalam ruangan gelap. Suasana di dalam kuil terasa semakin mencekam, namun ketiganya tetap berani melanjutkan eksplorasi. Sinta memperhatikan dengan seksama setiap detail yang ada di sekitar mereka, sementara Jun Ho terus mengoperasikan kamera drone untuk merekam setiap temuan yang mereka temui. Dr. Lee, yang merupakan ahli sejarah, mulai mengidentifikasi simbol-simbol yang ada di dinding dan langit-langit kuil. Tiba-tiba, sebuah gemuruh yang lebih keras terdengar,

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 54: "Radiasi, Magma, dan Lab Terapung"

    Perairan Buton, 05.00 WITACahaya hijau menyala dari dasar laut, memancar melalui air seperti sinar beracun. Klon kristal Tiongkok bocor, menyebarkan radiasi aneh yang mengubah karang menjadi batu hitam berlubang. Ikan-ikan berenang dalam spiral gila, insang mereka mengeluarkan lendir keemasan. Di atas kapal kecil, Sinta memandang horor itu sambil menggenggam tombak kristal Ratu Wakaaka. "Ini lebih buruk dari yang kita kira," bisiknya pada Jun Ho yang sedang memantau data GPS."Kita harus segera keluar dari sini sebelum semuanya terlambat," desis Jun Ho sambil menatap layar monitor dengan ekspresi cemas. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus segera meninggalkan tempat tersebut sebelum radiasi yang mengerikan tersebut merusak seluruh ekosistem laut. Sinta mengangguk setuju, lalu dengan hati-hati mengarahkan kapal kecil mereka menuju arah yang aman, meninggalkan kehancuran di belakang mereka.Mereka merasa lega ketika berhasil meloloskan diri dari bahaya yang mengancam, namun ketegangan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 53: "Letusan, Kloning, dan Pulau yang Bangkit"

    Perairan Buton, 03.00 WITADr. Ethan menjatuhkan kristal merah ke dasar laut, tangannya yang terbakar menyala seperti besi membara. "Ini untuk kalian yang mengusikku!" raungnya. Kristal itu menusuk tanah vulkanik, memicu retakan mengerikan. Gemuruh terdengar, gelembung raksasa naik ke permukaan—lalugunung api bawah laut meletus, menyemburkan lava dan abu hitam. Kapal nelayan terdekat terlempar, ikan-ikan mati mengapung di air mendidih.Lautan menjadi merah menyala, mengeluarkan suara gemuruh yang mencekam. Dr. Ethan menatap kejauhan, senyum jahat terukir di wajahnya saat ia menyaksikan kehancuran yang ia ciptakan. Pulau kecil di dekatnya mulai terangkat dari dasar laut, seakan-akan sedang bangkit dari tidurnya yang panjang. Para penduduk di sekitar pulau itu berteriak ketakutan, menyadari bahwa bencana besar telah menimpa mereka."Togo Motondu, hati-hati te ludu," kampung akan tenggelam, hati-hati ada gempa. Teriak, masyarakat. Mereka berusaha melarikan diri, namun tak ada tempat yang

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 52: "Kristal dan Ujian Laut"

    Perairan Buton, 04.30 WITAKapal militer AS USS Guardian mengarahkan sonar ke gua bawah air, menangkap gambar kristal biru berpendar. "Target terkunci. Siapkan tim pengekstrakan," perintah Kapten Reed. Di permukaan, Sinta dan Jun Ho, yang menyamar sebagai nelayan, mengirim pesan darurat ke Wa Ode Sandibula: "Mereka akan merusak segalanya!"Saat Wa Ode menerima pesan mendesak dari Sinta dan Jun Ho, jantungnya berdebar dengan campuran ketakutan dan tekad. Dia tahu bahwa penemuan kristal biru yang bersinar bisa mengubah segalanya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun membahayakan temuan mereka. Dengan tekad yang kuat, dia mengumpulkan timnya dan bersiap untuk menghadapi USS Guardian dan krunya. Nasib dunia bawah laut tergantung pada keseimbangan, dan Wa Ode siap melakukan apa pun untuk melindunginya.Dengan peralatan menyelam yang telah disiapkan dengan teliti, Wa Ode dan timnya menyusup ke dalam perairan yang gelap dan berbahay

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 51: "Samudra dan Bayangan Dosa"

    Perairan Buton, 02.00 WITATelur baru kura-kura albino mengapung di laut, memancarkan cahaya kebiruan yang menuntun Sinta dan Jun Ho ke kapal kargo ilegal yang membuang limbah hitam pekat. Di dek kapal, logo samar perusahaan farmasi global terlihat—Pharmara Inc.—sama dengan yang mengincar enzim Wa Ode. “Mereka meracuni laut untuk tutupi jejak,” geram Jun Ho, kamera drone di tangannya merekam bukti. Sinta dan Jun Ho mencoba menyusup ke dalam kapal untuk mengumpulkan lebih banyak bukti tentang kegiatan ilegal yang dilakukan oleh Pharmara Inc. Mereka melihat para pekerja kapal dengan sibuknya membuang limbah ke laut tanpa ampun, tanpa peduli dengan dampak yang akan ditimbulkan bagi lingkungan dan hewan-hewan laut. Sinta merasa semakin bertekad untuk membongkar kejahatan perusahaan farmasi tersebut dan menyelamatkan kura-kura albino serta habitatnya.Sementara tetua adat di Kulati Wakatobi, sibuk membersihkan pantai Kulati, pasir putih yang panjang itu dipenuhi sampah plastik. Tetapi pagi

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 50: "Harta, Sisik Emas, dan Abu yang Menyelamatkan"

    Teluk Lawele, 04.30 Kura-kura albino itu muncul di kamar hotel Sinta, cangkang retaknya mengeluarkan cahaya biru pucat. Di kakinya, telur berlumur darah berisi peta bertuliskan aksara Wolio: “Harta bukan emas, tapi nafas tanah.” Sinta segera paham—ini petunjuk ke gua Wakaaka, tempat Ratu menyimpan tombak penjaga keseimbangan. Jun Ho memeluknya: “Kita harus pulang. Hutan Lambusangodalam bahaya.”Mereka segera bergegas mengumpulkan semua barang bawaan mereka dan bersiap-siap untuk meninggalkan hotel. Sinta merasa tegang namun juga bersemangat dengan petualangan yang akan mereka hadapi. Mereka tahu bahwa misi mereka untuk menemukan tombak penjaga keseimbangan sangat penting, dan mereka siap untuk menghadapi segala rintangan yang ada di depan mereka. Dengan tekad yang kuat, mereka meninggalkan kamar hotel dan melangkah menuju gua Wakaaka dengan penuh keyakinan.Mereka berjalan dengan cepat melewati hamparan padang rumput dan melewati sungai-sungai kecil yang mengalir jernih. Sinta merasa

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 49: "Hieroglif, Pengkhianatan, dan Sintesis Dosa"

    Pukul 15.00 CET, Danau Zurich berkilau di bawah matahari musim semi. Sinta terduduk di tepi danau, matanya menatap kura-kura albino yang muncul tiba-tiba. Di cangkangnya, hieroglif Wolio kuno berpendar: “Darahmu adalah jembatan, jiwamu adalah medan perang.” Jun Ho, yang sedang berbicara dengan investor, terpaku saat melihat Sinta mengusap cangkang itu. “Ini peringatan dari Ratu Wakaaka,” bisiknya, “tapi tentang apa?”Sinta mengangkat kepalanya dan menatap Jun Ho dengan tatapan penuh pertanyaan. Mereka berdua sama-sama merasa kebingungan dengan makna dari hieroglif tersebut. Namun, mereka yakin bahwa pesan dari Ratu Wakaaka pasti memiliki hubungan dengan pengkhianatan yang terjadi belakangan ini di antara mereka. Dengan hati-hati, mereka mulai merencanakan strategi untuk mengungkap misteri di balik hieroglif tersebut, sambil tetap waspada terhadap kemungkinan adanya sindikat penjahat yang akan menghalangi usaha mereka.Mereka memutuskan untuk melakukan riset lebih lanjut tentang sejara

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 48: "Kura-Kura Putih dan Jejak Misterinya"

    Pukul 03.00 WITA, telur kura-kura albino menetas di kolam villa. Bayi kura-kura itu bersisik seperti mutiara, matanya merah delima. Tanpa ragu, ia berenang ke arah Sinta yang sedang video call dengan Jun Ho dari bandara. “Ini pertanda, Jun. Dia memilih kita,” bisik Sinta, air mata menetes. Tapi sebelum ia bisa menyentuhnya, kura-kura kecil itu menyelam ke dasar kolam dan menghilang, meninggalkan jejak cahaya keperakan.Sinta dan Jun Ho terpesona oleh kehadiran kura-kura putih yang misterius itu. Mereka merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa dari makhluk itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mereka pun merasa bahwa kura-kura tersebut membawa sebuah pesan atau pertanda yang penting bagi mereka berdua. Dengan hati penuh haru, Sinta dan Jun Ho memutuskan untuk mengikuti jejak cahaya keperakan yang ditinggalkan oleh kura-kura kecil tersebut, tanpa tahu apa yang akan menunggu mereka di ujung perjalanan tersebut."Dia kemana?" tanya Sinta penasaran, sebab matanya tinggal

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status