Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

Share

Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

Author: Oceania
last update Last Updated: 2024-11-18 12:18:18

Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.

Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.

“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La Tando, dengan nada penuh keprihatinan, “kami khawatir bahwa bayangan itu adalah pertanda buruk. Mungkin leluhur kita marah karena kita telah melupakan tradisi.”

Wakaaka menatapnya dengan lembut. “La Tando, tradisi kita adalah akar yang menjaga kita tetap berdiri, tetapi itu tidak berarti kita tidak boleh tumbuh. Aku percaya bahwa apa pun yang kita temui malam ini akan membawa kita lebih dekat pada kebenaran. Percayalah padaku.”

Tetua itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kami percaya pada Anda, Ratu.”

Saat mereka mendekati pantai selatan, suasana menjadi semakin ganjil. Udara terasa lebih dingin, dan angin laut berhembus membawa aroma yang aneh, seperti campuran garam dan sesuatu yang membusuk. Di kejauhan, mereka mulai melihat bayangan putih melayang di atas ombak, bergerak perlahan seperti tarian anggun.

Ketika mereka tiba, Wakaaka melangkah maju, sementara yang lain berdiri di belakangnya. Ia mengangkat tangannya, mencoba berkomunikasi dengan sosok itu. “Siapa kau? Apa yang kau inginkan dari kami?”

Bayangan itu berhenti. Lalu, sebuah suara lembut namun penuh kekuatan bergema di udara, seperti nyanyian yang tidak berasal dari dunia ini. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Aku datang untuk memperingatkan bahwa ancaman besar sedang mendekat, dan kalian belum siap.”

Sosok itu perlahan turun ke atas pasir. Ketika cahaya bulan menerangi wujudnya, mereka melihat seorang wanita tua dengan rambut putih panjang dan mata yang bersinar biru. Ada aura yang menenangkan sekaligus menakutkan di sekelilingnya.

“Ancaman seperti apa?” tanya Wakaaka.

Wanita itu menggeleng pelan. “Bayangan Lautan telah bangkit, membawa kekuatan gelap yang akan menghancurkan keseimbangan dunia. Jika kalian tidak bersatu, kalian akan hancur.”

Keesokan harinya, Wakaaka kembali ke istana dengan pesan dari penjaga pantai selatan. Ia segera memanggil para penasihat dan tokoh masyarakat untuk membahas ancaman tersebut. Namun, seperti yang diduga, perbedaan pendapat segera mencuat.

La Putu, penasihat tua yang terkenal konservatif, berdiri dan berkata dengan nada tajam, “Ratu, kita tidak perlu mencari artefak atau melibatkan generasi muda yang belum memahami tradisi. Yang harus kita lakukan adalah memohon kepada leluhur dengan ritual adat, seperti yang telah kita lakukan selama berabad-abad.”

Sahril, seorang pemuda yang turut hadir, segera menyela. “La Putu, Anda terlalu terikat pada masa lalu. Dunia sudah berubah, dan kita tidak bisa hanya mengandalkan tradisi. Kita butuh pendekatan baru untuk melindungi pulau ini.”

Perdebatan pun memanas, dengan La Putu dan pendukungnya di satu sisi, sementara generasi muda berada di sisi lain. Wakaaka berdiri di tengah-tengah ruangan, mendengarkan dengan saksama, sebelum akhirnya mengangkat tangannya untuk meminta keheningan.

“Kita tidak bisa memilih salah satu sisi dan mengabaikan yang lain,” katanya dengan suara tenang namun tegas. “Tradisi adalah fondasi kita, tetapi inovasi adalah jembatan menuju masa depan. Jika kita tidak bersatu, bagaimana kita bisa melawan ancaman yang jauh lebih besar?”

Ia kemudian mengumumkan rencananya untuk menggelar *Ritual Kesatuan Adat*, sebuah upacara besar yang akan memadukan elemen tradisional dan modern. Generasi tua akan memimpin bagian ritual adat, sementara generasi muda akan menggunakan teknologi untuk mendokumentasikan dan mempromosikan ritual tersebut sebagai warisan budaya yang hidup.

Namun, di balik dinding istana, La Putu memiliki rencana lain. Ia tidak percaya pada pendekatan Wakaaka dan merasa bahwa sang ratu telah mengkhianati tradisi mereka. Diam-diam, ia mengirim pesan kepada orang-orang misterius yang ia tahu adalah pengikut Bayangan Lautan.

“Mereka sedang bersiap untuk ritual besar,” tulisnya dalam pesan itu. “Jika kalian menyerang pada saat itu, rakyat akan melihat kelemahan Wakaaka, dan aku akan memastikan kalian mendapatkan apa yang kalian cari.”

Pesan itu disampaikan dengan cara yang licik, tanpa ada yang mencurigai niat La Putu. Namun, Aji, yang telah mencurigai La Putu sejak awal, mulai memantau gerak-geriknya.

Sementara itu, Wakaaka meminta Aji untuk memimpin pelatihan bagi para pemuda. Mereka dilatih bukan hanya dalam seni bela diri, tetapi juga dalam teknik bertahan hidup dan pertahanan spiritual, menggunakan warisan pengetahuan leluhur Aji.

Saat pelatihan berlangsung, seorang pemuda berlari masuk, membawa kabar bahwa bayangan putih telah terlihat lagi di pantai selatan. Kali ini, suara nyanyian yang terdengar lebih jelas, seolah-olah memanggil Wakaaka dan Aji untuk kembali.

Wakaaka segera memutuskan untuk pergi ke sana lagi, membawa Aji dan beberapa pemuda terbaiknya. Setibanya di pantai, mereka mendapati bayangan putih itu menunggu di depan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun.

“Wakaaka,” panggil suara lembut itu, “ujianmu telah tiba. Di dalam gua ini terdapat *Kerang Kehidupan*, artefak yang akan memberimu kekuatan untuk melawan Bayangan Lautan. Tetapi untuk mendapatkannya, kau harus membuktikan bahwa hatimu murni dan niatmu benar.”

Wakaaka melangkah maju, diikuti oleh Aji. Dengan napas yang dalam, mereka memasuki gua yang gelap dan penuh misteri, bersiap menghadapi ujian yang akan mengubah takdir Pulau Buton.

Wakaaka dan Aji melangkah masuk ke dalam gua, di mana kegelapan seakan-akan menelan mereka. Suara gemericik air dari air terjun di luar semakin memudar, digantikan oleh keheningan yang pekat. Hanya cahaya redup dari lentera yang dibawa Aji yang membimbing mereka.

“Ratu, gua ini terasa hidup,” bisik Aji. Matanya menatap dinding gua yang dipenuhi ukiran kuno, menampilkan cerita tentang perjuangan leluhur Pulau Buton melawan kekuatan gelap.

Wakaaka mengangguk. “Ini adalah bagian dari ujian kita. Kekuatan gua ini akan menguji hati dan niat kita.”

Langkah mereka terhenti ketika jalan di depan tiba-tiba dipenuhi bayangan. Dari bayangan itu muncul makhluk-makhluk mengerikan dengan mata merah menyala, gigi tajam, dan tubuh besar seperti gabungan manusia dan binatang. Makhluk-makhluk itu mendekat dengan geraman rendah, memancarkan rasa takut yang menusuk hati.

Aji menghunus pedangnya, tetapi Wakaaka menghentikannya. “Ini bukan musuh nyata, Aji. Mereka adalah bayangan ketakutan kita sendiri. Kita harus melawannya dengan keberanian, bukan kekerasan.”

Wakaaka melangkah maju, menatap langsung ke mata salah satu makhluk. “Aku tidak takut pada kalian. Aku berdiri di sini untuk melindungi rakyatku, bukan untuk diriku sendiri.”

Makhluk itu berhenti, tubuhnya mulai memudar seperti kabut. Satu per satu, makhluk lainnya mengikuti, hingga jalan di depan mereka kembali kosong.

“Keberanian tidak datang dari kekuatan, tetapi dari keyakinan,” ujar Wakaaka, melanjutkan perjalanan.

Di ruangan berikutnya, mereka menemukan sebuah meja besar dengan tiga cawan yang terbuat dari batu hitam. Di atas meja terdapat tulisan kuno yang berbunyi:

*"Hanya air kehidupan yang dapat membuka jalan. Pilihlah dengan hati yang murni."*

Di samping meja, terdapat tiga kendi yang masing-masing berisi cairan berwarna berbeda: merah, biru, dan bening. Aji membaca tulisan itu dengan saksama. “Air kehidupan… Tapi tidak ada petunjuk lebih lanjut.”

“Kadang, jawaban paling sederhana adalah yang benar,” kata Wakaaka. Ia mengambil cawan dan menuangkan air bening ke dalamnya. Ketika ia meneguk air itu, jalan di depan mereka terbuka, menunjukkan lorong panjang yang dipenuhi cahaya biru.

“Kesederhanaan sering kali menjadi jawaban bagi kebijaksanaan,” ujar Wakaaka.

Di ruangan terakhir, Wakaaka dan Aji dihadapkan pada cermin besar yang memantulkan bayangan mereka sendiri. Namun, pantulan itu segera berubah. Wakaaka melihat dirinya dalam momen terburuk—rasa bersalah, keraguan, dan ketakutannya muncul dengan jelas di cermin.

“Lihatlah dirimu sendiri,” suara gaib bergema. “Hanya mereka yang dapat menerima kelemahan dan berdamai dengan bayangan mereka yang layak melanjutkan.”

Air mata mengalir di pipi Wakaaka ketika ia melihat bayangan itu. “Aku telah melakukan kesalahan. Aku memiliki keraguan. Tetapi aku tidak akan membiarkan itu menghentikanku untuk melindungi rakyatku.”

Aji, di sisi lain, melihat bayangan dirinya sebagai seorang pemuda yang kehilangan keluarganya. Ia menatap pantulan itu dengan mata berkaca-kaca, tetapi ia berkata dengan suara mantap, “Aku mungkin kehilangan orang-orang yang kucintai, tetapi aku akan menggunakan rasa kehilangan itu untuk melindungi yang lain.”

Ketika mereka menerima bayangan itu, cermin memudar, dan di belakangnya terdapat *Kerang Kehidupan*. Artefak itu bersinar dengan cahaya emas lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan.

Di istana, La Putu memanfaatkan ketidakhadiran Wakaaka untuk melancarkan rencananya menggagalkan *Ritual Kesatuan Adat*. Ia menghasut beberapa tokoh tua untuk percaya bahwa ritual tersebut adalah penghinaan terhadap leluhur. 

“La Tando,” ujar La Putu dengan nada penuh tipu daya, “Ritual ini akan mengundang kutukan. Generasi muda telah melupakan nilai-nilai kita. Mereka bahkan berani mengubah cara kita menghormati leluhur!”

La Tando, yang masih dihormati oleh banyak orang, mulai terpengaruh. Ia mengumpulkan kelompok kecil untuk menyabotase ritual, termasuk menyebarkan kebohongan bahwa ritual itu akan membangkitkan kekuatan gelap.

Namun, Aji yang telah memantau pergerakan La Putu melalui jaringan pemuda desa, berhasil mendapatkan bukti pengkhianatannya. Saat Wakaaka kembali dengan *Kerang Kehidupan*, Aji segera melaporkan semuanya.

“Ratu, La Putu tidak hanya mencoba menggagalkan ritual ini, tetapi ia juga bekerja sama dengan Bayangan Lautan,” kata Aji dengan nada tegas.

Wakaaka menghadap La Putu di depan para penasihat dan rakyat. Dengan suara yang penuh wibawa, ia berkata, “La Putu, aku telah mendengar cukup banyak tentang rencanamu. Tetapi aku ingin mendengar darimu sendiri—apa alasanmu?”

La Putu, yang sadar bahwa rahasianya telah terbongkar, tersenyum tipis. “Kau terlalu naif, Wakaaka. Bayangan Lautan adalah masa depan pulau ini. Mereka membawa kekuatan yang tidak pernah kita miliki. Kau mencoba melawan mereka dengan tradisi yang usang dan inovasi yang bodoh.”

Wakaaka mengangkat *Kerang Kehidupan*, yang bersinar terang. “Kekuatan ini bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk melindungi. Leluhur kita telah meninggalkan alat ini untuk melawan ancaman seperti Bayangan Lautan, bukan untuk menyerah pada mereka.”

La Putu tertawa sinis. “Bayangan Lautan lebih dari sekadar ancaman. Mereka adalah garis keturunan dari kekuatan yang pernah dikalahkan oleh leluhurmu, tetapi mereka tidak pernah benar-benar lenyap. Artefak itu adalah satu-satunya hal yang dapat menghentikan mereka, dan aku akan memastikan mereka memilikinya.”

La Putu mencoba melarikan diri, tetapi pasukan Wakaaka berhasil menangkapnya. Dengan bukti yang ada, La Putu diadili oleh dewan istana dan dijatuhi hukuman pengasingan.

Dengan *Kerang Kehidupan* di tangannya dan pengkhianatan La Putu yang telah diungkap, Wakaaka mempersiapkan *Ritual Kesatuan Adat*. Ia tahu bahwa serangan terakhir Bayangan Lautan akan segera datang, tetapi ia percaya bahwa persatuan rakyat Buton, ditambah kekuatan artefak leluhur, akan menjadi kunci kemenangan mereka.

Namun, di kejauhan, Bayangan Lautan mulai menggerakkan pasukannya, siap untuk menghadapi Wakaaka dalam pertempuran yang akan menentukan nasib Pulau Buton.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 5: MALAM BAYANGAN

    Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

    Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Last Updated : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Last Updated : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Last Updated : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Last Updated : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Last Updated : 2024-12-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 12: Sungai Bembe dan Bayangan Masa Lalu

    Perjalanan ke air terjun Bembe adalah keputusan spontan. Sinta ingin memperkenalkan Jun-ho pada salah satu keajaiban tersembunyi di tanah Buton, tempat yang tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah tetapi juga membawa jejak sejarah yang mendalam. Jalan menuju Bembe dipenuhi oleh suara gemericik air dan kicauan burung-burung yang membuat hutan di sekitarnya terasa hidup.Ketika mereka tiba di sana, air terjun Bembe menyambut mereka dengan deburan air yang jatuh dari tebing tinggi, membentuk tirai air yang memukau. Pelangi kecil melengkung di atas kolam air di bawahnya, menciptakan suasana magis. Jun-ho langsung mengeluarkan kameranya, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.Sementara Jun-ho sibuk mengambil gambar, Sinta berdiri di tepi air, terdiam. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang seolah-olah memanggilnya melalui suara air dan aroma hutan di sekitarnya. Ia membayangkan bagaimana pasukan Oputa yi Koo pernah mandi dan mengatur strat

    Last Updated : 2024-12-01

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 110 — Air Mata di Bawah Pohon Ginkgo

    Langit Seoul berwarna kelabu saat Lintang melangkah keluar dari stasiun. Hujan tipis mengguyur jalanan kota yang sibuk, namun suara langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak menanggung beban masa silam yang belum benar-benar selesai. Di tangannya, ia menggenggam sekuntum bunga camellia putih—simbol kerendahan hati dan penyesalan.Alamat rumah sang nenek tertera di selembar kertas yang kini telah lecek di sakunya. Meski sebelumnya begitu yakin akan percakapan ini, kini dadanya berdebar, dan pikirannya berliku: Akankah neneknya menerima? Ataukah ambisi masa lalu masih tertinggal dalam darah perempuan tua itu?Rumah kayu tua di pinggir kota itu tampak seperti lukisan dari masa lalu: beranda kecil dengan tanaman bonsai, dan pintu geser dari kayu pinus tua. Aroma kayu dan hujan membaur di udara, menciptakan suasana yang melankolis namun sakral.Lintang mengatur napas. Ia mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan.Lalu suara lembut, r

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 109 — Ladang yang Menyimpan Doa dan Dunia yang Terbelah

    Dedaunan gingko menari perlahan di sepanjang lembah Gangwon-do, seolah menyambut tamu dari arah khatulistiwa yang datang membawa rencana besar dalam kepalanya dan doa lembut dalam dadanya. Lintang berjalan di jalur tanah yang mengarah ke ladang pertanian, tempat para petani Korea masih menggantungkan hidup mereka dari tanah, air, dan musim yang tak selalu bersahabat.Di antara ladang itu, berdiri seorang lelaki tua dengan topi bambu dan tangan penuh lumpur, namun senyum dan matanya jernih bak telaga.“Annyeong haseyo,” sapa Lintang, sedikit kaku tapi tulus.Petani itu mengangguk. “Kau dari Indonesia?” tanyanya, sambil meletakkan alat cangkul ke tanah. “Aku pernah bertemu peneliti dari Buton dulu, tentang metode tanam dengan bulan.”Lintang tersenyum, seakan semesta mempertemukannya tepat dengan orang yang tak asing dengan tanah airnya.“Aku datang membawa gagasan Madrasah Langit,” katanya pelan. &ldqu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 108 — Madrasah Langit dan Akar yang Memanggil

    Angin dari selatan menggulung pelan, membawa wangi laut dan sisa embun hutan. Di halaman rumah kayu yang terpahat di bibir tebing, suara burung murai bersahut seperti zikir pagi yang tak putus. Di sana, di bawah atap yang teduh oleh pohon mangga tua, Lintang duduk berhadapan dengan dua wajah yang telah lama ia kenali, namun baru kini ia pandang sepenuh makna: Sinta, ibunya—wanita berdarah Melanesia dan Bangladeshi yang matanya menyimpan luka dan keberanian, serta Jun Hoo, ayahnya—lelaki berdarah Korea Selatan yang rambutnya telah memutih, namun sorotnya masih jernih seperti riak danau.Pertemuan ini bukan hanya temu darah, melainkan temu jiwa yang telah lama mencari ruang untuk bicara tanpa kata-kata tertunda.“Lintang...” Sinta meraih tangan putrinya dengan gemetar, seakan takut tangan itu hanya mimpi. “Kau datang tepat saat dunia mulai membuka pintu langit.”Lintang tersenyum. “Aku dat

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 107 — Meja Bundar dari Pinggiran Dunia

    Hutan Lambusango masih berselimut embun pagi. Aroma tanah basah dan kayu tua mengalun perlahan seperti bait puisi purba. Di sebuah rumah panggung kayu, di tengah bentangan hijau yang tak pernah memihak siapa pun, Lintang duduk di depan layar, menyambut dunia.Hari ini, layar itu menjadi meja bundar virtual. Tapi bukan meja milik kekuasaan, bukan juga milik konferensi besar yang dikelilingi jas dan dasi. Ini adalah meja milik suara-suara kecil dari pelosok yang mulai berbicara, menolak dibungkam oleh jargon-jargon global.Lintang membuka pertemuan daring. Di layar muncul wajah-wajah dari benua yang berbeda—ada Mikhail dari Rusia, Alina dari Ukraina, Elias dari Jerman, dan kini bergabung pula wajah baru: Robert McAllister dari Amerika Serikat, Gao Yixuan dari China, Selene Ortega dari Meksiko, dan Camille Dupuis dari Kanada.Lintang membuka dengan senyum ya

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 106 — Di Antara Salju dan Api: Percakapan yang Menenun Harapan

    Langit Lambusango pagi itu berwarna kelabu lembut, seperti abu dupa yang naik dari altar doa. Hutan tampak lebih sunyi dari biasanya, seakan ikut menghela napas panjang dunia. Lintang duduk di bale bambu, di depan layar komputer yang memantulkan cahaya pucat. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau pelan, menandai bahwa hari baru telah dimulai, meski dunia belum benar-benar damai.Ia membuka ruang pertemuan daring internasional—sebuah diskusi lintas budaya yang melibatkan para sahabatnya dari Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat. Mereka tidak hadir sebagai wakil negara, tetapi sebagai anak-anak zaman yang ingin menjahit kembali kain dunia yang mulai koyak.Suara pertama datang dari Timur yang beku.“Halo, Lintang. Salju pertama turun kemarin,” ujar Mikhail, pemuda Rusia yang selalu berbicara seolah membawa denting lonceng gereja ortodoks. “Tapi yang dingin bukan hanya langit kami

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 105 — Napas yang Menjaga Peradaban

    Di bawah langit jingga yang mulai merunduk ke peluk senja, langkah Lintang menyusuri jalur setapak Lambusango seolah menari dalam irama yang tak kasat mata. Daun-daun mengayun pelan, seperti menyambutnya dengan kidung rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti makna keheningan. Hutan itu tidak sekadar rimba—ia adalah kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan hati.Udara lembap dan wangi resin dari pohon-pohon tua memenuhi dada. Ada keheningan yang tidak mati, melainkan tumbuh, seperti akar yang terus menyerap kearifan bumi. Di sinilah, di tengah jantung Lambusango, Lintang bersama timnya melakukan riset intensif mengenai hasil hutan non-kayu—resin, rotan, madu hutan, hingga tumbuhan obat yang disimpan oleh rimba dalam sunyi panjangnya.Mereka bukan sekadar peneliti. Mereka adalah para pembaca tanah, penyair bumi yang menuliskan ulang masa depan bukan dengan tinta, melainkan dengan dedikasi dan cinta. Lintang memandangi sebotol kecil madu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 104 – Madrasah Langit, Sekolah dari Akar

    Malam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 103 – Di Tengah Riuh Dunia yang Terguncang

    Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 102 – Singgasana yang Mendengar Daun Jatuh

    Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status