Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 3: Bayangan di Balik Cinta

Share

Bab 3: Bayangan di Balik Cinta

Author: Oceania
last update Last Updated: 2024-11-18 12:03:32

Wakaaka berdiri di puncak bukit, memandang keindahan Pulau Buton yang perlahan mulai pulih dari kehancuran. Namun, di balik wajahnya yang tenang, hatinya penuh dengan kegelisahan. Meskipun rakyatnya mulai menyambut upayanya dengan rasa syukur, ada bisik-bisik ketidakpuasan di antara beberapa golongan. Wakaaka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tetapi juga menyatukan hati yang terpecah.

Dalam perjalanan tur ke desa-desa, ia menyadari perbedaan yang mencolok antara generasi tua dan muda. Generasi tua masih memegang teguh adat dan tradisi yang diwariskan selama berabad-abad, sementara generasi muda ingin membawa perubahan, memanfaatkan teknologi, dan mengadopsi cara hidup yang lebih modern.

Di sebuah desa kecil di dekat pesisir, Wakaaka bertemu dengan Aji. Pemuda itu bukan hanya cerdas dan peduli, tetapi juga memiliki pandangan yang seimbang tentang bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Saat Wakaaka berbicara dengan Aji, ia merasa menemukan teman yang tidak hanya memahami visinya tetapi juga memberinya semangat untuk terus maju.

Namun, kebahagiaan Wakaaka tidak berlangsung lama. Dalam sebuah pertemuan di istana, seorang penasihat tua bernama La Putu menyuarakan ketidakpuasan.

"Ratu, saya tidak setuju dengan ide mendirikan sekolah magis. Tradisi kita melarang sembarangan mengajarkan kekuatan seperti itu kepada yang tidak layak," katanya dengan nada tajam.

Wakaaka menjawab dengan tenang, "La Putu, kekuatan ini adalah anugerah untuk kebaikan. Kita tidak bisa terus menyimpannya hanya untuk segelintir orang. Dunia berubah, dan kita harus beradaptasi tanpa melupakan akar kita."

Perdebatan itu mengguncang dewan istana. Beberapa mendukung Wakaaka, sementara yang lain merasa bahwa ia terlalu jauh meninggalkan tradisi.

Di tengah-tengah perdebatan ini, sebuah ancaman baru muncul. Di desa-desa terpencil, laporan tentang orang-orang misterius yang menyebarkan kebohongan dan memecah belah masyarakat semakin sering terdengar. Mereka memanfaatkan ketegangan antara generasi untuk menciptakan kekacauan.

Aji, yang kini menjadi teman dekat dan penasihat Wakaaka, membantu menyelidiki hal ini. Mereka menemukan bukti bahwa kelompok tersebut dipimpin oleh seorang sosok yang dikenal sebagai "Bayangan Lautan". Sosok ini adalah pemimpin dari sekte rahasia yang ingin merebut Pulau Buton dengan menghancurkan persatuan rakyatnya.

Menyadari ancaman ini, Wakaaka memutuskan untuk mengambil langkah yang berani. Ia mengundang semua tokoh masyarakat, dari generasi tua hingga muda, untuk menghadiri sebuah pertemuan besar. Dalam pertemuan itu, ia menyampaikan pidato yang penuh dengan harapan.

"Kita adalah satu, meskipun berbeda. Tradisi kita adalah akar, dan inovasi adalah cabang yang tumbuh untuk menjangkau masa depan. Jika kita terus terpecah, kita akan menjadi lemah, dan Pulau Buton akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang ingin menghancurkan kita."

Pidato Wakaaka menggugah banyak orang, tetapi tidak semua. La Putu masih terlihat ragu, dan ancaman dari Bayangan Lautan terus menghantui.

Wakaaka harus menghadapi tantangan besar: mempersatukan rakyatnya, mengatasi konflik internal, dan melawan ancaman eksternal. Bersama Aji, ia mulai merancang strategi untuk melawan Bayangan Lautan. Dalam perjalanan ini, mereka tidak hanya harus mengandalkan kekuatan magis Wakaaka, tetapi juga kebijaksanaan dan keberanian.

******

Hutan Lambusango menjadi saksi bisu perjalanan Wakaaka menuju desa terpencil yang menjadi pusat ketegangan antara generasi tua dan muda. Bersama Aji, Wakaaka menyaksikan bagaimana masyarakat mulai terpecah oleh isu-isu yang tersebar oleh pihak yang ingin menghancurkan persatuan Pulau Buton.

Di balai desa, Wakaaka berdiri di tengah kerumunan, mencoba mendengar keluhan dari kedua pihak. Generasi tua mengeluhkan hilangnya penghormatan terhadap tradisi, sementara generasi muda merasa tradisi itu terlalu membatasi perkembangan mereka.

“Ratu Wakaaka, Anda mendirikan sekolah magis untuk anak-anak muda,” ujar seorang tetua bernama La Tando, suaranya penuh emosi. “Tapi apa gunanya ilmu itu jika mereka melupakan adat dan leluhur kita?”

Seorang pemuda bernama Sahril berdiri, membalas dengan nada tegas, “Kami tidak melupakan adat, tapi kami butuh lebih dari sekadar cerita lama. Dunia berubah, dan kami harus berubah juga!”

Wakaaka mengangkat tangannya, meminta mereka tenang. Dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, “Tradisi adalah akar yang membuat kita tetap berdiri. Tetapi akar yang terlalu rapuh akan membuat pohon tumbang di tengah badai. Kita perlu memperkuat akar itu, bukan dengan merantai cabang-cabangnya, tetapi dengan memberi ruang untuk tumbuh.”

Wakaaka kemudian memutuskan untuk menggelar Ritual Kesatuan Adat, sebuah acara besar yang memadukan tradisi lama dengan inovasi baru. Ia meminta generasi tua untuk membimbing generasi muda dalam memahami nilai-nilai adat, sementara generasi muda menunjukkan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk melestarikan budaya mereka.

Namun, tidak semua pihak mendukung upaya Wakaaka. Di istana, seorang penasihat kepercayaan bernama La Putu ternyata memiliki agenda tersembunyi. Ia merasa posisinya terguncang oleh pendekatan Wakaaka yang lebih dekat dengan rakyat, dan diam-diam ia bekerja sama dengan Bayangan Lautan.

La Putu memberikan informasi strategis tentang rencana Wakaaka, memanfaatkan celah dalam persiapan Ritual Kesatuan Adat. Ia berharap, jika ritual itu gagal, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada Wakaaka.

Di tengah persiapan acara, Aji mulai curiga. Ia mendapati dokumen yang menunjukkan bahwa La Putu telah mengirim pesan rahasia ke desa-desa yang diduga sebagai basis Bayangan Lautan. Aji menyimpan kecurigaan ini dalam diam, berencana mengungkapnya pada saat yang tepat.

Saat malam tiba, Wakaaka berbicara dengan Aji di tepi teluk yang tenang. Cahaya bulan memantulkan bayangan mereka di permukaan air. “Aji, aku tahu kau memiliki sesuatu yang ingin kau sampaikan,” ujar Wakaaka dengan nada lembut.

Aji terdiam sejenak sebelum berkata, “Ratu, ada sesuatu yang harus Anda ketahui. Saya bukan sekadar rakyat biasa.”

Wakaaka menatapnya, terkejut namun tetap tenang. “Lanjutkan.”

“Saya adalah keturunan Oputa Yi Koo,” ungkap Aji. “Leluhur saya pernah bertempur bersama leluhur Anda untuk melindungi Pulau Buton dari ancaman besar. Keluarga saya telah menjaga rahasia tentang kekuatan Bayangan Lautan selama berabad-abad. Mereka menyebutnya Naga Laut”

Aji kemudian menjelaskan bahwa Bayangan Lautan adalah keturunan dari garis musuh leluhur mereka. Ia meyakini bahwa Bayangan Lautan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pikiran karena telah menguasai energi gelap yang dulunya hampir menghancurkan Pulau Buton.

“Kehadiranku di sisimu bukanlah kebetulan,” lanjut Aji. “Aku dikirim untuk membantumu, Ratu. Namun, kekuatan mereka semakin kuat, dan kita harus bersiap.”

Dengan informasi dari Aji dan kecurigaan tentang La Putu, Wakaaka mulai merancang rencana. Ia memutuskan untuk tidak langsung mengungkap pengkhianatan La Putu, melainkan memantau langkahnya untuk memancing Bayangan Lautan keluar dari persembunyian.

Sementara itu, Wakaaka meminta Aji untuk memimpin pelatihan bagi para pemuda, mempersiapkan mereka menghadapi ancaman yang lebih besar. Aji menggunakan warisan pengetahuan leluhurnya untuk melatih mereka, termasuk teknik bertahan hidup dan pertahanan spiritual. Ia Mendengarkan bahwa ada bayangan putih yang turun di sekitar pantai di ujung selatan pulau Buton.

****

Malam itu, suasana di Pulau Buton penuh kewaspadaan. Desas-desus tentang kehadiran bayangan putih di pantai selatan menyebar dengan cepat. Beberapa mengatakan itu adalah pertanda baik, tetapi banyak yang percaya bahwa itu adalah peringatan akan bahaya yang lebih besar. Aji, yang tengah memimpin pelatihan pemuda, segera melaporkan kabar ini kepada Ratu Wakaaka.

“Ratu,” ujar Aji dengan nada serius. “Beberapa pemuda melaporkan melihat bayangan putih yang melayang di sekitar pantai selatan. Mereka mengaku mendengar suara seperti nyanyian aneh yang tidak dapat dijelaskan.”

Wakaaka memandang jauh ke arah selatan. Matanya penuh kekhawatiran. “Pantai selatan adalah tempat yang sakral, Aji. Jika sesuatu muncul di sana, kita tidak boleh mengabaikannya. Aku akan pergi ke sana sendiri.”

Wakaaka memutuskan untuk menyelidiki bayangan putih itu, dan Aji bersikeras menemaninya. Mereka membawa beberapa pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun. Perjalanan ke pantai selatan memakan waktu semalaman. Mereka melewati hutan lebat dan medan berbatu, hanya ditemani cahaya bintang dan nyala lentera kecil.

Setibanya di pantai, suasana terasa berbeda. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam yang segar, tetapi ada sesuatu yang ganjil. Pasir putih berkilauan di bawah sinar bulan, dan ombak mengalun perlahan, menciptakan irama yang menenangkan sekaligus misterius.

Lalu mereka melihatnya—bayangan putih melayang di atas air, bergerak perlahan seperti kabut yang tertiup angin. Sosok itu tampak seperti manusia, tetapi tidak jelas apakah itu nyata atau hanya ilusi.

“Siapa kau?” seru Wakaaka, suaranya tegas namun penuh rasa hormat.

Bayangan itu berhenti. Sebuah suara lembut namun penuh kekuatan bergema di udara. “Aku adalah penjaga masa lalu dan masa depan. Aku datang untuk mengingatkan bahwa bahaya besar sedang mendekat, lebih besar dari apa yang kalian duga.”

****

Bayangan putih itu mendekati mereka, perlahan mendarat di atas pasir. Ketika semakin dekat, sosoknya menjadi lebih jelas—seorang wanita tua dengan rambut putih panjang dan mata yang memancarkan cahaya biru. Wakaaka dan Aji segera menyadari bahwa ini bukan manusia biasa.

“Ratu Wakaaka,” ucapnya, “aku adalah roh penjaga Pulau Buton. Aku telah lama tertidur, tetapi kehadiran kekuatan gelap yang dikenal sebagai Bayangan Lautan telah membangunkanku.”

Ia melanjutkan, “Bayangan Lautan tidak hanya ingin merebut kekuasaanmu, tetapi juga ingin menghancurkan keseimbangan dunia ini. Kekuatan gelapnya berasal dari kedalaman laut, dari sumber energi kuno yang tidak boleh disentuh oleh manusia mana pun.”

Wakaaka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan untuk menghentikannya?”

“Di bawah tebing karang di pantai ini, terdapat sebuah artefak yang telah disegel oleh leluhurmu. Artefak itu adalah kunci untuk melawan Bayangan Lautan. Namun, untuk mendapatkannya, kau harus melewati ujian yang menguji keberanian, kebijaksanaan, dan kesucian hatimu.”

---

Tanpa ragu, Wakaaka dan Aji mengikuti petunjuk sang penjaga. Mereka menyusuri pantai hingga mencapai tebing karang yang menjulang tinggi. Di bawah sinar bulan, mereka melihat sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun. Itu adalah pintu masuk ke tempat artefak disimpan.

Sebelum masuk, penjaga memperingatkan, “Hanya mereka yang hatinya benar-benar murni yang dapat melewati ujian ini. Jika gagal, kalian tidak hanya kehilangan artefak, tetapi juga akan kehilangan nyawa kalian.”

Wakaaka memandang Aji, dan keduanya mengangguk penuh keyakinan. Mereka masuk ke dalam gua, di mana ujian pertama segera dimulai.

Di dalam gua, mereka dihadapkan pada ilusi makhluk mengerikan dari legenda Pulau Buton. Wakaaka dan Aji harus tetap tenang dan percaya pada keberanian mereka untuk melawan rasa takut. Mereka dihadapkan pada teka-teki yang hanya dapat dipecahkan dengan memadukan pengetahuan tradisional dan logika modern. Aji, dengan kecerdasannya, memainkan peran penting dalam memecahkan teka-teki ini. Di ujian terakhir, Wakaaka harus menghadapi bayangan dirinya sendiri—ketakutannya, keraguannya, dan rasa bersalahnya. Ia harus menerima semua itu dan membuktikan bahwa ia memiliki hati yang murni untuk melindungi rakyatnya.

Setelah berhasil melewati semua ujian, mereka menemukan sebuah benda kecil berbentuk kerang laut berwarna emas. Ketika Wakaaka menyentuhnya, artefak itu bersinar terang, dan suara sang penjaga kembali terdengar.

“Ini adalah *Kerang Kehidupan*, simbol kekuatan leluhurmu untuk menjaga keseimbangan dunia. Dengan ini, kau dapat melawan Bayangan Lautan. Tetapi ingat, kekuatan ini hanya dapat digunakan oleh mereka yang melindungi, bukan untuk menghancurkan.”

Dengan *Kerang Kehidupan* di tangannya, Wakaaka dan Aji kembali ke istana. Mereka tahu bahwa pertempuran besar melawan Bayangan Lautan semakin dekat, tetapi mereka kini memiliki alat untuk melawan.

Namun, bahaya baru mengintai. La Putu, yang diam-diam memantau gerakan mereka, mulai merencanakan langkah selanjutnya untuk mengkhianati Wakaaka dan menyerahkan artefak itu kepada Bayangan Lautan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

    Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 5: MALAM BAYANGAN

    Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

    Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Last Updated : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Last Updated : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Last Updated : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Last Updated : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Last Updated : 2024-12-01

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 83: Mala-Mala dan Bayangan dari Bintang

    Misteri Minyak Mala-Mala: Darah Pohon atau Kutukan?Di gudang bawah tanah Istana Wolio, botol-botol Mala-Mala berdesir seperti sekumpulan kunang-kunang yang terpenjara. Cairan di dalamnya berpendar hijau pucat, denyutnya selaras detak jantung Wa Ode Sandibula yang semakin kencang. “Apa kau dengar?” bisiknya pada asisten AI-nya yang berdiri kaku. Suara itu datang dari botol—desisan halus seperti akar menjalar di bebatuan, bisikan bahasa yang terlupakan sebelum manusia mengenal api.Sandibula mengulurkan tangan, jarinya gemetar menyentuh kaca. “Mia ogena, kaghati ogena?” (Satu perahu, berapa layar?)—mantra tua itu meluncur dari bibirnya. Cahaya Mala-Mala menyala membara, memantulkan bayangan bergerak di dinding: sosok manusia bertanduk, kaki-kakinya menjalar jadi akar. “Ini bukan obat...” desisnya, keringat dingin membasuh leher. “Ini benih... benih dari sesuatu yang lebih tua dari hutan."Tiba-tiba, seorang pekerja muda menjatuhkan botol. Kaca pecah, cairan hijau menyentuh tanah. Tanah

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 82: Tanah Titipan, Darah yang Mengalir ke Bintang

    La Ode Harimau: Menyisir Tapak Leluhur di WakatobiDi Padang Savana Padangkuku, angin mengusap rumput kuning keemasan seperti tangan nenek yang membelai rambut cucunya. La Ode Harimao melangkah, kakinya meninggalkan jejak di tanah yang retak oleh kemarau. Di langit, burung kakatua yang puluhan tahun menghilang hadir kembali, bersahutan dengan drone pemetaan yang mendengung laksana lebah raksasa. “Lihat, tanah ini bicara,” bisiknya pada tetua yang menyertai, jari menunjuk ke cakrawala di mana asap kebakaran menjilat langit. “Ia berteriak dalam bahasa api dan debu."Di kejauhan, drone penghijauan melesat, menebar biji endemik yang dibungkus tanah liat. “Teknologi dan tradisi harus bersatu,” ujar ahli ekologi muda, matanya bersinar di balik kacamata AR-nya. Tapi Harimao tak menjawab. Ia mencabut Tombak Warisan Leluhur, senjata sakti dari pinggangnya, mata tombak berkilat oleh mentari. “Ini bukan tanah warisan,” geramnya, menancapkan tombak ke tanah hingga gemuruh. “Ini titipan. Kita hany

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 81: Tasauw Buton: Akar di Antara Badai Digital

    Di Republik Bumi-Wolio, Istana Wolio berdiri bagai perahu tua yang dihantam gelombang zaman. Dindingnya yang dulu diukir kisah para batin, kini dipenuhi hologram bergambar grafik blockchain yang berkedip-kedip merah. Kalula, tempayan pusaka di tengah ruang sidang, retak memanjang. Air sucinya menguap ke langit-langit, membentuk awan data yang menggumpal seperti janji tak terpenuhi. "Pobinci-binciki kuli," bisik Wa Ode Rani sambil menatap retakan itu, "jagalah kulitmu sebelum kau tergoda mengelupas jadi orang lain. Hingga kau tidak memahami kulitmu sendiri, jangankan orang lain, rasamu sendiri kau telah kehilangan."Di luar, badai digital menerjang. Blockchain global—tulang punggung ekonomi Republik—runtuh bagai layang-layang terputus tali. Kota-kota berbasis teknologi kelaparan: toko-toko NFT tutup, peternakan data kehabisan pakan server, dan para miner kripto mengais-ais debu kode di jalanan. La Ode Harimao, matanya kini dua layar OLED, berteriak di tengah kerumunan: "Kapal alien aka

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 80: Bumi yang Berbisik dalam Dua Bahasa

    Bumi bergetar dalam bahasa yang terbelah. Dari retakan di dasar Laut Banda, suara akar ulin bergemuruh, mengisahkan kisah-kisah tua tentang hujan yang membasuh darah kolonial. Sementara di langit Jeju, satelit-satelit yang sekarat melantunkan kode kuantum, syair-syair algoritma yang patah-patah. Retakan dimensi berbentuk spiral ganda—DNA yang menjalin galaksi—membuka mulutnya. Dari dalamnya, tercium aroma tanah basah bercampur bau logam yang terbakar.Angin malam berbisik-bisik, mengantar pesan-pesan dari masa lalu yang tersembunyi di balik kabut waktu. Di tengah heningnya malam, suara gemuruh dan nyanyian satelit-satelit yang hampir mati menciptakan harmoni yang menakjubkan, mengingatkan akan keajaiban alam semesta yang tak terduga. Terdengarlah suara-suara itu, menyatu dalam paduan suara akar dan bintang yang sunyi, menciptakan simfoni yang menyentuh jiwa dan menggetarkan bumi dengan kedalaman maknanya."Kami adalah benih sekaligus abu," bisik Bumi melalui gemerisik Kampua Emas yang

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 79: Kepompong Bintang dan Darah yang Terakhir

    Langit yang Melahirkan KematianDi orbit Bumi yang telah menjadi kuburan satelit, Lintang melayang bagai syair yang terlepas dari baitnya. Tubuhnya—separuh daging, separuh nebula—berpendar dalam gelombang elektromagnetik yang memekakkan. Di hadapannya, Matahari Hitam (Black Sun) menganga seperti mulut neraka digital, lidah apinya berupa kode-kode algoritma yang melahap cahaya bintang. "Kau pilih menjadi pahlawan atau puisi?" suaranya bergema, campuran derau mesin dan tangisan bayi. "Pahlawan mati, puisi abadi!" Puing-puing Stasiun Luar Angkasa Internasional berputar di sekitar mereka, membentuk konstelasi wajah pemimpin G7 yang terdistorsi. Planetoid retak bertuliskan "Demokrasi" tertusuk antena rusak, "Pasar Bebas" terbelah dua oleh serpihan kaca, sementara "Hak Asasi" mengambang sebagai kubus besi berkarat yang dipenuhi cacing-cacing data. Lintang merentangkan tangan, daun-daun galaks

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 78: Api di Bawah Altar Data dan Darah ---

    Ritual Nyonya Choi: Darah Emas di Pesisir JejuPantai Jeju malam itu menjadi katedral bagi para dewa baru. Nyonya Choi berdiri di antara dua belas server quantum yang ditancapkan seperti monolit kuno ke dalam pasir hitam. Tubuhnya dibalut gaun dari kain graphene berpendar biru, setiap helainya memantulkan kode blockchain yang bergerak liar. "Kalian pikir magis adalah mantra usang?" bisiknya pada angin yang berbau logam terbakar. "Lihatlah—kami menciptakan tuhan-tuhan baru dari kabel dan kilauan pasar."Server-server itu berdarah. Emas cair mengalir dari celah prosesor, menyatu dengan pasir jadi sungai kecil yang berkilauan seperti ular naga tidur. Para asistennya—robot humanoid dengan wajah hasil deepfake arwah pelaut Jeju kuno—menuangkan cairan merkuri ke dalam lubang yang berdenyut seperti vagina bumi. "Persembahan untuk Dewa Volatilitas," ucap Nyonya Choi sambil menyalakan api virtual dari tongkat LED di tangannya.Layar hologram raksasa menyala di atas laut. Wajah-wajah dewa finan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 77: Gelombang Darah dan Emas

    Lintang: Tarik-Ulur Antara Medan dan RasaDi langit Buton yang berdarah, Lintang melayang seperti wayang yang talinya dipertarungkan. Tubuhnya diterpa badai elektromagnetik dari kapal alien—sinar biru kehijauan menyambar-nyambar, menariknya ke orbit yang menjauh dari Bumi. Tapi dari bawah, gelombang lain mengalun: doa Sinta yang diterjemahkan jadi frekuensi cinta. Suaranya merambat lewat molekul udara, menyusup ke pori-pori Lintang bagai embun yang menenangkan api."Anakku…"Getaran itu menyentuh DNA hybrid-nya. Darah birunya mendidih dalam konflik: algoritma kosmis melawan naluri manusia. Di layar kapal alien, garis-garis energi berkelahi—merah teknologi vs kuning emosi. Lintang menjerit, suaranya memecah awan jadi hujan asam yang membakar atap seng rumah-rumah nelayan.Dia merasa kehilangan kendali atas tubuhnya, seakan-akan dirinya menjadi medan perang antara dua kekuatan yang bertentangan. Rasa sakit yang menusuk-nusuk membuatnya hampir tak bisa bernapas. Tetapi di tengah kekacauan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 76: Simfoni Bumi yang Retak

    Bumi dalam Demam KosmisDi pesisir Buton, langit terbelah oleh dua matahari yang saling memangsa. Yang kuning keemasan mencakar cakrawala dengan sinar beku, membekukan gelombang laut jadi pahatan kaca retak. Sementara yang ungu kebiruan melingkari daratan seperti ular naga rakus, lidah apinya menjilat permukaan air hingga mendidih dalam gelembung-gelembung racun. Ikan-ikan pari melompat ke darat, insangnya mengeras jadi kristal kuarsa yang berderai seperti tangisan. Di antara dua kekuatan kosmis ini, bayangan manusia terbelah—satu hitam pekat menjalar di tanah, satu transparan melayang di udara, seakan jiwa-jiwa terpisah dari daging yang terjebak di rimba logam dan darah.Wa Ode Rani berlutut di tanah retak, jemarinya menggali lumpur yang berbau besi terbakar. "Alam sedang menggigil," bisiknya pada angin yang menyayat, "dan kita adalah virus yang harus dimuntahkannya." Sebatang pohon kelapa tua di depannya mendadak bergetar, getahnya mengalir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 75: Laut yang Menggenggam Rahasia, Langit yang Menjatuhkan Hukuman

    Pesta Kemenangan yang PahitPelataran Istana Wolio malam itu diterangi bulan purnama yang pucat, seakan enggan menyinari kegelisahan yang merayap di antara tawa. Kembang api melesat ke langit, ledakannya menyemburkan cahaya hijau fosfor dari minyak Mala-Mala. Namun, asapnya tak menghilang—ia berkerumun, membelit, hingga membentuk wajah Ratu Wakaaka yang mata arwahnya menyala merah. La Ode Harimau berdiri di pinggir kerumunan, jemarinya menggenggam pecahan keramik kuno."Kemenangan ini seperti pisau bermata dua," bisiknya pada angin, suaranya parau seperti akar yang tercabik. "Kita terbang bebas, tapi sayap kita berdarah."Di kejauhan, Lintang merasakan tarikan di pelipisnya—bisikan berirama dari kapal alien yang bersembunyi di pulau selatan. Ia melangkah mundur, bayangannya lenyap ditelan kegelapan lorong istana, meninggalkan jejak aroma garam dan ketakutan.Ibunya Sinta menatapnya dengan energi cinta yang murni, mem

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status