Wakaaka berdiri di puncak bukit, memandang keindahan Pulau Buton yang perlahan mulai pulih dari kehancuran. Namun, di balik wajahnya yang tenang, hatinya penuh dengan kegelisahan. Meskipun rakyatnya mulai menyambut upayanya dengan rasa syukur, ada bisik-bisik ketidakpuasan di antara beberapa golongan. Wakaaka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tetapi juga menyatukan hati yang terpecah.
Dalam perjalanan tur ke desa-desa, ia menyadari perbedaan yang mencolok antara generasi tua dan muda. Generasi tua masih memegang teguh adat dan tradisi yang diwariskan selama berabad-abad, sementara generasi muda ingin membawa perubahan, memanfaatkan teknologi, dan mengadopsi cara hidup yang lebih modern.
Di sebuah desa kecil di dekat pesisir, Wakaaka bertemu dengan Aji. Pemuda itu bukan hanya cerdas dan peduli, tetapi juga memiliki pandangan yang seimbang tentang bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Saat Wakaaka berbicara dengan Aji, ia merasa menemukan teman yang tidak hanya memahami visinya tetapi juga memberinya semangat untuk terus maju.
Namun, kebahagiaan Wakaaka tidak berlangsung lama. Dalam sebuah pertemuan di istana, seorang penasihat tua bernama La Putu menyuarakan ketidakpuasan.
"Ratu, saya tidak setuju dengan ide mendirikan sekolah magis. Tradisi kita melarang sembarangan mengajarkan kekuatan seperti itu kepada yang tidak layak," katanya dengan nada tajam.
Wakaaka menjawab dengan tenang, "La Putu, kekuatan ini adalah anugerah untuk kebaikan. Kita tidak bisa terus menyimpannya hanya untuk segelintir orang. Dunia berubah, dan kita harus beradaptasi tanpa melupakan akar kita."
Perdebatan itu mengguncang dewan istana. Beberapa mendukung Wakaaka, sementara yang lain merasa bahwa ia terlalu jauh meninggalkan tradisi.
Di tengah-tengah perdebatan ini, sebuah ancaman baru muncul. Di desa-desa terpencil, laporan tentang orang-orang misterius yang menyebarkan kebohongan dan memecah belah masyarakat semakin sering terdengar. Mereka memanfaatkan ketegangan antara generasi untuk menciptakan kekacauan.
Aji, yang kini menjadi teman dekat dan penasihat Wakaaka, membantu menyelidiki hal ini. Mereka menemukan bukti bahwa kelompok tersebut dipimpin oleh seorang sosok yang dikenal sebagai "Bayangan Lautan". Sosok ini adalah pemimpin dari sekte rahasia yang ingin merebut Pulau Buton dengan menghancurkan persatuan rakyatnya.
Menyadari ancaman ini, Wakaaka memutuskan untuk mengambil langkah yang berani. Ia mengundang semua tokoh masyarakat, dari generasi tua hingga muda, untuk menghadiri sebuah pertemuan besar. Dalam pertemuan itu, ia menyampaikan pidato yang penuh dengan harapan.
"Kita adalah satu, meskipun berbeda. Tradisi kita adalah akar, dan inovasi adalah cabang yang tumbuh untuk menjangkau masa depan. Jika kita terus terpecah, kita akan menjadi lemah, dan Pulau Buton akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang ingin menghancurkan kita."
Pidato Wakaaka menggugah banyak orang, tetapi tidak semua. La Putu masih terlihat ragu, dan ancaman dari Bayangan Lautan terus menghantui.
Wakaaka harus menghadapi tantangan besar: mempersatukan rakyatnya, mengatasi konflik internal, dan melawan ancaman eksternal. Bersama Aji, ia mulai merancang strategi untuk melawan Bayangan Lautan. Dalam perjalanan ini, mereka tidak hanya harus mengandalkan kekuatan magis Wakaaka, tetapi juga kebijaksanaan dan keberanian.
******
Hutan Lambusango menjadi saksi bisu perjalanan Wakaaka menuju desa terpencil yang menjadi pusat ketegangan antara generasi tua dan muda. Bersama Aji, Wakaaka menyaksikan bagaimana masyarakat mulai terpecah oleh isu-isu yang tersebar oleh pihak yang ingin menghancurkan persatuan Pulau Buton.
Di balai desa, Wakaaka berdiri di tengah kerumunan, mencoba mendengar keluhan dari kedua pihak. Generasi tua mengeluhkan hilangnya penghormatan terhadap tradisi, sementara generasi muda merasa tradisi itu terlalu membatasi perkembangan mereka.
“Ratu Wakaaka, Anda mendirikan sekolah magis untuk anak-anak muda,” ujar seorang tetua bernama La Tando, suaranya penuh emosi. “Tapi apa gunanya ilmu itu jika mereka melupakan adat dan leluhur kita?”
Seorang pemuda bernama Sahril berdiri, membalas dengan nada tegas, “Kami tidak melupakan adat, tapi kami butuh lebih dari sekadar cerita lama. Dunia berubah, dan kami harus berubah juga!”
Wakaaka mengangkat tangannya, meminta mereka tenang. Dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, “Tradisi adalah akar yang membuat kita tetap berdiri. Tetapi akar yang terlalu rapuh akan membuat pohon tumbang di tengah badai. Kita perlu memperkuat akar itu, bukan dengan merantai cabang-cabangnya, tetapi dengan memberi ruang untuk tumbuh.”
Wakaaka kemudian memutuskan untuk menggelar Ritual Kesatuan Adat, sebuah acara besar yang memadukan tradisi lama dengan inovasi baru. Ia meminta generasi tua untuk membimbing generasi muda dalam memahami nilai-nilai adat, sementara generasi muda menunjukkan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk melestarikan budaya mereka.
Namun, tidak semua pihak mendukung upaya Wakaaka. Di istana, seorang penasihat kepercayaan bernama La Putu ternyata memiliki agenda tersembunyi. Ia merasa posisinya terguncang oleh pendekatan Wakaaka yang lebih dekat dengan rakyat, dan diam-diam ia bekerja sama dengan Bayangan Lautan.
La Putu memberikan informasi strategis tentang rencana Wakaaka, memanfaatkan celah dalam persiapan Ritual Kesatuan Adat. Ia berharap, jika ritual itu gagal, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada Wakaaka.
Di tengah persiapan acara, Aji mulai curiga. Ia mendapati dokumen yang menunjukkan bahwa La Putu telah mengirim pesan rahasia ke desa-desa yang diduga sebagai basis Bayangan Lautan. Aji menyimpan kecurigaan ini dalam diam, berencana mengungkapnya pada saat yang tepat.
Saat malam tiba, Wakaaka berbicara dengan Aji di tepi teluk yang tenang. Cahaya bulan memantulkan bayangan mereka di permukaan air. “Aji, aku tahu kau memiliki sesuatu yang ingin kau sampaikan,” ujar Wakaaka dengan nada lembut.
Aji terdiam sejenak sebelum berkata, “Ratu, ada sesuatu yang harus Anda ketahui. Saya bukan sekadar rakyat biasa.”
Wakaaka menatapnya, terkejut namun tetap tenang. “Lanjutkan.”
“Saya adalah keturunan Oputa Yi Koo,” ungkap Aji. “Leluhur saya pernah bertempur bersama leluhur Anda untuk melindungi Pulau Buton dari ancaman besar. Keluarga saya telah menjaga rahasia tentang kekuatan Bayangan Lautan selama berabad-abad. Mereka menyebutnya Naga Laut”
Aji kemudian menjelaskan bahwa Bayangan Lautan adalah keturunan dari garis musuh leluhur mereka. Ia meyakini bahwa Bayangan Lautan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pikiran karena telah menguasai energi gelap yang dulunya hampir menghancurkan Pulau Buton.
“Kehadiranku di sisimu bukanlah kebetulan,” lanjut Aji. “Aku dikirim untuk membantumu, Ratu. Namun, kekuatan mereka semakin kuat, dan kita harus bersiap.”
Dengan informasi dari Aji dan kecurigaan tentang La Putu, Wakaaka mulai merancang rencana. Ia memutuskan untuk tidak langsung mengungkap pengkhianatan La Putu, melainkan memantau langkahnya untuk memancing Bayangan Lautan keluar dari persembunyian.
Sementara itu, Wakaaka meminta Aji untuk memimpin pelatihan bagi para pemuda, mempersiapkan mereka menghadapi ancaman yang lebih besar. Aji menggunakan warisan pengetahuan leluhurnya untuk melatih mereka, termasuk teknik bertahan hidup dan pertahanan spiritual. Ia Mendengarkan bahwa ada bayangan putih yang turun di sekitar pantai di ujung selatan pulau Buton.
****
Malam itu, suasana di Pulau Buton penuh kewaspadaan. Desas-desus tentang kehadiran bayangan putih di pantai selatan menyebar dengan cepat. Beberapa mengatakan itu adalah pertanda baik, tetapi banyak yang percaya bahwa itu adalah peringatan akan bahaya yang lebih besar. Aji, yang tengah memimpin pelatihan pemuda, segera melaporkan kabar ini kepada Ratu Wakaaka.
“Ratu,” ujar Aji dengan nada serius. “Beberapa pemuda melaporkan melihat bayangan putih yang melayang di sekitar pantai selatan. Mereka mengaku mendengar suara seperti nyanyian aneh yang tidak dapat dijelaskan.”
Wakaaka memandang jauh ke arah selatan. Matanya penuh kekhawatiran. “Pantai selatan adalah tempat yang sakral, Aji. Jika sesuatu muncul di sana, kita tidak boleh mengabaikannya. Aku akan pergi ke sana sendiri.”
Wakaaka memutuskan untuk menyelidiki bayangan putih itu, dan Aji bersikeras menemaninya. Mereka membawa beberapa pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun. Perjalanan ke pantai selatan memakan waktu semalaman. Mereka melewati hutan lebat dan medan berbatu, hanya ditemani cahaya bintang dan nyala lentera kecil.
Setibanya di pantai, suasana terasa berbeda. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam yang segar, tetapi ada sesuatu yang ganjil. Pasir putih berkilauan di bawah sinar bulan, dan ombak mengalun perlahan, menciptakan irama yang menenangkan sekaligus misterius.
Lalu mereka melihatnya—bayangan putih melayang di atas air, bergerak perlahan seperti kabut yang tertiup angin. Sosok itu tampak seperti manusia, tetapi tidak jelas apakah itu nyata atau hanya ilusi.
“Siapa kau?” seru Wakaaka, suaranya tegas namun penuh rasa hormat.
Bayangan itu berhenti. Sebuah suara lembut namun penuh kekuatan bergema di udara. “Aku adalah penjaga masa lalu dan masa depan. Aku datang untuk mengingatkan bahwa bahaya besar sedang mendekat, lebih besar dari apa yang kalian duga.”
****
Bayangan putih itu mendekati mereka, perlahan mendarat di atas pasir. Ketika semakin dekat, sosoknya menjadi lebih jelas—seorang wanita tua dengan rambut putih panjang dan mata yang memancarkan cahaya biru. Wakaaka dan Aji segera menyadari bahwa ini bukan manusia biasa.
“Ratu Wakaaka,” ucapnya, “aku adalah roh penjaga Pulau Buton. Aku telah lama tertidur, tetapi kehadiran kekuatan gelap yang dikenal sebagai Bayangan Lautan telah membangunkanku.”
Ia melanjutkan, “Bayangan Lautan tidak hanya ingin merebut kekuasaanmu, tetapi juga ingin menghancurkan keseimbangan dunia ini. Kekuatan gelapnya berasal dari kedalaman laut, dari sumber energi kuno yang tidak boleh disentuh oleh manusia mana pun.”
Wakaaka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan untuk menghentikannya?”
“Di bawah tebing karang di pantai ini, terdapat sebuah artefak yang telah disegel oleh leluhurmu. Artefak itu adalah kunci untuk melawan Bayangan Lautan. Namun, untuk mendapatkannya, kau harus melewati ujian yang menguji keberanian, kebijaksanaan, dan kesucian hatimu.”
---
Tanpa ragu, Wakaaka dan Aji mengikuti petunjuk sang penjaga. Mereka menyusuri pantai hingga mencapai tebing karang yang menjulang tinggi. Di bawah sinar bulan, mereka melihat sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun. Itu adalah pintu masuk ke tempat artefak disimpan.
Sebelum masuk, penjaga memperingatkan, “Hanya mereka yang hatinya benar-benar murni yang dapat melewati ujian ini. Jika gagal, kalian tidak hanya kehilangan artefak, tetapi juga akan kehilangan nyawa kalian.”
Wakaaka memandang Aji, dan keduanya mengangguk penuh keyakinan. Mereka masuk ke dalam gua, di mana ujian pertama segera dimulai.
Di dalam gua, mereka dihadapkan pada ilusi makhluk mengerikan dari legenda Pulau Buton. Wakaaka dan Aji harus tetap tenang dan percaya pada keberanian mereka untuk melawan rasa takut. Mereka dihadapkan pada teka-teki yang hanya dapat dipecahkan dengan memadukan pengetahuan tradisional dan logika modern. Aji, dengan kecerdasannya, memainkan peran penting dalam memecahkan teka-teki ini. Di ujian terakhir, Wakaaka harus menghadapi bayangan dirinya sendiri—ketakutannya, keraguannya, dan rasa bersalahnya. Ia harus menerima semua itu dan membuktikan bahwa ia memiliki hati yang murni untuk melindungi rakyatnya.
Setelah berhasil melewati semua ujian, mereka menemukan sebuah benda kecil berbentuk kerang laut berwarna emas. Ketika Wakaaka menyentuhnya, artefak itu bersinar terang, dan suara sang penjaga kembali terdengar.
“Ini adalah *Kerang Kehidupan*, simbol kekuatan leluhurmu untuk menjaga keseimbangan dunia. Dengan ini, kau dapat melawan Bayangan Lautan. Tetapi ingat, kekuatan ini hanya dapat digunakan oleh mereka yang melindungi, bukan untuk menghancurkan.”
Dengan *Kerang Kehidupan* di tangannya, Wakaaka dan Aji kembali ke istana. Mereka tahu bahwa pertempuran besar melawan Bayangan Lautan semakin dekat, tetapi mereka kini memiliki alat untuk melawan.
Namun, bahaya baru mengintai. La Putu, yang diam-diam memantau gerakan mereka, mulai merencanakan langkah selanjutnya untuk mengkhianati Wakaaka dan menyerahkan artefak itu kepada Bayangan Lautan.
Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La
Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek
Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya
Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de
“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,
Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem
BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir
Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Buton, 03.00 WITASinta terbangun dengan keringat dingin, darah di lengannya masih berpendar biru pucat. Dalam mimpinya, Ratu Wakaaka berdiri di antara ribuan bintang, dikelilingi makhluk perak yang berkata: "Darahmu adalah benih terakhir. Pilih: tumbuh di sini, atau berkecambah di galaksi lain." Di luar jendela, langit memerah—gunung api di Chile dan Jepang mulai erupsi bersamaan. Sinta merasa takut dan bingung dengan arti dari mimpi yang terasa begitu nyata tersebut. Apakah benar darahnya memiliki kekuatan khusus yang dapat mempengaruhi nasib bumi dan galaksi lain? Langit yang memerah di luar jendela membuatnya semakin gelisah, seakan menandakan bahwa keputusan yang harus diambil oleh Sinta akan memiliki dampak yang besar bagi seluruh alam semesta. Dengan gemetar, Sinta akhirnya mengambil keputusan untuk... menjalani meditasi mendalam untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Ia memutuskan untuk memperkuat hubungan spiritualnya dengan alam semesta dan mema
Kuil Bawah Laut Ratu Wakaaka, 04.00 WITATrisula Kapten Pierre menyala biru saat tertancap di celah batu karang berbentuk mahkota. Gemuruh menggelegar, dinding kuil retak, memperlihatkan lorong menuju ruang dalam yang dipenuhi prasasti bercahaya. Sinta, Jun Ho, dan Dr. Lee menyelam masuk, lampu sorot mereka berkedip-kedip."Ini bukan cuma kuil," bisik Jun Ho, kamera drone merekam simbol aneh di langit-langit. "Ini... peta bintang?"Mereka melanjutkan perjalanan ke dalam kuil, melewati prasasti-prasasti kuno yang bercahaya di dalam ruangan gelap. Suasana di dalam kuil terasa semakin mencekam, namun ketiganya tetap berani melanjutkan eksplorasi. Sinta memperhatikan dengan seksama setiap detail yang ada di sekitar mereka, sementara Jun Ho terus mengoperasikan kamera drone untuk merekam setiap temuan yang mereka temui. Dr. Lee, yang merupakan ahli sejarah, mulai mengidentifikasi simbol-simbol yang ada di dinding dan langit-langit kuil. Tiba-tiba, sebuah gemuruh yang lebih keras terdengar,
Perairan Buton, 05.00 WITACahaya hijau menyala dari dasar laut, memancar melalui air seperti sinar beracun. Klon kristal Tiongkok bocor, menyebarkan radiasi aneh yang mengubah karang menjadi batu hitam berlubang. Ikan-ikan berenang dalam spiral gila, insang mereka mengeluarkan lendir keemasan. Di atas kapal kecil, Sinta memandang horor itu sambil menggenggam tombak kristal Ratu Wakaaka. "Ini lebih buruk dari yang kita kira," bisiknya pada Jun Ho yang sedang memantau data GPS."Kita harus segera keluar dari sini sebelum semuanya terlambat," desis Jun Ho sambil menatap layar monitor dengan ekspresi cemas. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus segera meninggalkan tempat tersebut sebelum radiasi yang mengerikan tersebut merusak seluruh ekosistem laut. Sinta mengangguk setuju, lalu dengan hati-hati mengarahkan kapal kecil mereka menuju arah yang aman, meninggalkan kehancuran di belakang mereka.Mereka merasa lega ketika berhasil meloloskan diri dari bahaya yang mengancam, namun ketegangan
Perairan Buton, 03.00 WITADr. Ethan menjatuhkan kristal merah ke dasar laut, tangannya yang terbakar menyala seperti besi membara. "Ini untuk kalian yang mengusikku!" raungnya. Kristal itu menusuk tanah vulkanik, memicu retakan mengerikan. Gemuruh terdengar, gelembung raksasa naik ke permukaan—lalugunung api bawah laut meletus, menyemburkan lava dan abu hitam. Kapal nelayan terdekat terlempar, ikan-ikan mati mengapung di air mendidih.Lautan menjadi merah menyala, mengeluarkan suara gemuruh yang mencekam. Dr. Ethan menatap kejauhan, senyum jahat terukir di wajahnya saat ia menyaksikan kehancuran yang ia ciptakan. Pulau kecil di dekatnya mulai terangkat dari dasar laut, seakan-akan sedang bangkit dari tidurnya yang panjang. Para penduduk di sekitar pulau itu berteriak ketakutan, menyadari bahwa bencana besar telah menimpa mereka."Togo Motondu, hati-hati te ludu," kampung akan tenggelam, hati-hati ada gempa. Teriak, masyarakat. Mereka berusaha melarikan diri, namun tak ada tempat yang
Perairan Buton, 04.30 WITAKapal militer AS USS Guardian mengarahkan sonar ke gua bawah air, menangkap gambar kristal biru berpendar. "Target terkunci. Siapkan tim pengekstrakan," perintah Kapten Reed. Di permukaan, Sinta dan Jun Ho, yang menyamar sebagai nelayan, mengirim pesan darurat ke Wa Ode Sandibula: "Mereka akan merusak segalanya!"Saat Wa Ode menerima pesan mendesak dari Sinta dan Jun Ho, jantungnya berdebar dengan campuran ketakutan dan tekad. Dia tahu bahwa penemuan kristal biru yang bersinar bisa mengubah segalanya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun membahayakan temuan mereka. Dengan tekad yang kuat, dia mengumpulkan timnya dan bersiap untuk menghadapi USS Guardian dan krunya. Nasib dunia bawah laut tergantung pada keseimbangan, dan Wa Ode siap melakukan apa pun untuk melindunginya.Dengan peralatan menyelam yang telah disiapkan dengan teliti, Wa Ode dan timnya menyusup ke dalam perairan yang gelap dan berbahay
Perairan Buton, 02.00 WITATelur baru kura-kura albino mengapung di laut, memancarkan cahaya kebiruan yang menuntun Sinta dan Jun Ho ke kapal kargo ilegal yang membuang limbah hitam pekat. Di dek kapal, logo samar perusahaan farmasi global terlihat—Pharmara Inc.—sama dengan yang mengincar enzim Wa Ode. “Mereka meracuni laut untuk tutupi jejak,” geram Jun Ho, kamera drone di tangannya merekam bukti. Sinta dan Jun Ho mencoba menyusup ke dalam kapal untuk mengumpulkan lebih banyak bukti tentang kegiatan ilegal yang dilakukan oleh Pharmara Inc. Mereka melihat para pekerja kapal dengan sibuknya membuang limbah ke laut tanpa ampun, tanpa peduli dengan dampak yang akan ditimbulkan bagi lingkungan dan hewan-hewan laut. Sinta merasa semakin bertekad untuk membongkar kejahatan perusahaan farmasi tersebut dan menyelamatkan kura-kura albino serta habitatnya.Sementara tetua adat di Kulati Wakatobi, sibuk membersihkan pantai Kulati, pasir putih yang panjang itu dipenuhi sampah plastik. Tetapi pagi
Teluk Lawele, 04.30 Kura-kura albino itu muncul di kamar hotel Sinta, cangkang retaknya mengeluarkan cahaya biru pucat. Di kakinya, telur berlumur darah berisi peta bertuliskan aksara Wolio: “Harta bukan emas, tapi nafas tanah.” Sinta segera paham—ini petunjuk ke gua Wakaaka, tempat Ratu menyimpan tombak penjaga keseimbangan. Jun Ho memeluknya: “Kita harus pulang. Hutan Lambusangodalam bahaya.”Mereka segera bergegas mengumpulkan semua barang bawaan mereka dan bersiap-siap untuk meninggalkan hotel. Sinta merasa tegang namun juga bersemangat dengan petualangan yang akan mereka hadapi. Mereka tahu bahwa misi mereka untuk menemukan tombak penjaga keseimbangan sangat penting, dan mereka siap untuk menghadapi segala rintangan yang ada di depan mereka. Dengan tekad yang kuat, mereka meninggalkan kamar hotel dan melangkah menuju gua Wakaaka dengan penuh keyakinan.Mereka berjalan dengan cepat melewati hamparan padang rumput dan melewati sungai-sungai kecil yang mengalir jernih. Sinta merasa
Pukul 15.00 CET, Danau Zurich berkilau di bawah matahari musim semi. Sinta terduduk di tepi danau, matanya menatap kura-kura albino yang muncul tiba-tiba. Di cangkangnya, hieroglif Wolio kuno berpendar: “Darahmu adalah jembatan, jiwamu adalah medan perang.” Jun Ho, yang sedang berbicara dengan investor, terpaku saat melihat Sinta mengusap cangkang itu. “Ini peringatan dari Ratu Wakaaka,” bisiknya, “tapi tentang apa?”Sinta mengangkat kepalanya dan menatap Jun Ho dengan tatapan penuh pertanyaan. Mereka berdua sama-sama merasa kebingungan dengan makna dari hieroglif tersebut. Namun, mereka yakin bahwa pesan dari Ratu Wakaaka pasti memiliki hubungan dengan pengkhianatan yang terjadi belakangan ini di antara mereka. Dengan hati-hati, mereka mulai merencanakan strategi untuk mengungkap misteri di balik hieroglif tersebut, sambil tetap waspada terhadap kemungkinan adanya sindikat penjahat yang akan menghalangi usaha mereka.Mereka memutuskan untuk melakukan riset lebih lanjut tentang sejara
Pukul 03.00 WITA, telur kura-kura albino menetas di kolam villa. Bayi kura-kura itu bersisik seperti mutiara, matanya merah delima. Tanpa ragu, ia berenang ke arah Sinta yang sedang video call dengan Jun Ho dari bandara. “Ini pertanda, Jun. Dia memilih kita,” bisik Sinta, air mata menetes. Tapi sebelum ia bisa menyentuhnya, kura-kura kecil itu menyelam ke dasar kolam dan menghilang, meninggalkan jejak cahaya keperakan.Sinta dan Jun Ho terpesona oleh kehadiran kura-kura putih yang misterius itu. Mereka merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa dari makhluk itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mereka pun merasa bahwa kura-kura tersebut membawa sebuah pesan atau pertanda yang penting bagi mereka berdua. Dengan hati penuh haru, Sinta dan Jun Ho memutuskan untuk mengikuti jejak cahaya keperakan yang ditinggalkan oleh kura-kura kecil tersebut, tanpa tahu apa yang akan menunggu mereka di ujung perjalanan tersebut."Dia kemana?" tanya Sinta penasaran, sebab matanya tinggal