Wakaaka berdiri di puncak bukit, memandang keindahan Pulau Buton yang perlahan mulai pulih dari kehancuran. Namun, di balik wajahnya yang tenang, hatinya penuh dengan kegelisahan. Meskipun rakyatnya mulai menyambut upayanya dengan rasa syukur, ada bisik-bisik ketidakpuasan di antara beberapa golongan. Wakaaka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tetapi juga menyatukan hati yang terpecah.
Dalam perjalanan tur ke desa-desa, ia menyadari perbedaan yang mencolok antara generasi tua dan muda. Generasi tua masih memegang teguh adat dan tradisi yang diwariskan selama berabad-abad, sementara generasi muda ingin membawa perubahan, memanfaatkan teknologi, dan mengadopsi cara hidup yang lebih modern.
Di sebuah desa kecil di dekat pesisir, Wakaaka bertemu dengan Aji. Pemuda itu bukan hanya cerdas dan peduli, tetapi juga memiliki pandangan yang seimbang tentang bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Saat Wakaaka berbicara dengan Aji, ia merasa menemukan teman yang tidak hanya memahami visinya tetapi juga memberinya semangat untuk terus maju.
Namun, kebahagiaan Wakaaka tidak berlangsung lama. Dalam sebuah pertemuan di istana, seorang penasihat tua bernama La Putu menyuarakan ketidakpuasan.
"Ratu, saya tidak setuju dengan ide mendirikan sekolah magis. Tradisi kita melarang sembarangan mengajarkan kekuatan seperti itu kepada yang tidak layak," katanya dengan nada tajam.
Wakaaka menjawab dengan tenang, "La Putu, kekuatan ini adalah anugerah untuk kebaikan. Kita tidak bisa terus menyimpannya hanya untuk segelintir orang. Dunia berubah, dan kita harus beradaptasi tanpa melupakan akar kita."
Perdebatan itu mengguncang dewan istana. Beberapa mendukung Wakaaka, sementara yang lain merasa bahwa ia terlalu jauh meninggalkan tradisi.
Di tengah-tengah perdebatan ini, sebuah ancaman baru muncul. Di desa-desa terpencil, laporan tentang orang-orang misterius yang menyebarkan kebohongan dan memecah belah masyarakat semakin sering terdengar. Mereka memanfaatkan ketegangan antara generasi untuk menciptakan kekacauan.
Aji, yang kini menjadi teman dekat dan penasihat Wakaaka, membantu menyelidiki hal ini. Mereka menemukan bukti bahwa kelompok tersebut dipimpin oleh seorang sosok yang dikenal sebagai "Bayangan Lautan". Sosok ini adalah pemimpin dari sekte rahasia yang ingin merebut Pulau Buton dengan menghancurkan persatuan rakyatnya.
Menyadari ancaman ini, Wakaaka memutuskan untuk mengambil langkah yang berani. Ia mengundang semua tokoh masyarakat, dari generasi tua hingga muda, untuk menghadiri sebuah pertemuan besar. Dalam pertemuan itu, ia menyampaikan pidato yang penuh dengan harapan.
"Kita adalah satu, meskipun berbeda. Tradisi kita adalah akar, dan inovasi adalah cabang yang tumbuh untuk menjangkau masa depan. Jika kita terus terpecah, kita akan menjadi lemah, dan Pulau Buton akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang ingin menghancurkan kita."
Pidato Wakaaka menggugah banyak orang, tetapi tidak semua. La Putu masih terlihat ragu, dan ancaman dari Bayangan Lautan terus menghantui.
Wakaaka harus menghadapi tantangan besar: mempersatukan rakyatnya, mengatasi konflik internal, dan melawan ancaman eksternal. Bersama Aji, ia mulai merancang strategi untuk melawan Bayangan Lautan. Dalam perjalanan ini, mereka tidak hanya harus mengandalkan kekuatan magis Wakaaka, tetapi juga kebijaksanaan dan keberanian.
******
Hutan Lambusango menjadi saksi bisu perjalanan Wakaaka menuju desa terpencil yang menjadi pusat ketegangan antara generasi tua dan muda. Bersama Aji, Wakaaka menyaksikan bagaimana masyarakat mulai terpecah oleh isu-isu yang tersebar oleh pihak yang ingin menghancurkan persatuan Pulau Buton.
Di balai desa, Wakaaka berdiri di tengah kerumunan, mencoba mendengar keluhan dari kedua pihak. Generasi tua mengeluhkan hilangnya penghormatan terhadap tradisi, sementara generasi muda merasa tradisi itu terlalu membatasi perkembangan mereka.
“Ratu Wakaaka, Anda mendirikan sekolah magis untuk anak-anak muda,” ujar seorang tetua bernama La Tando, suaranya penuh emosi. “Tapi apa gunanya ilmu itu jika mereka melupakan adat dan leluhur kita?”
Seorang pemuda bernama Sahril berdiri, membalas dengan nada tegas, “Kami tidak melupakan adat, tapi kami butuh lebih dari sekadar cerita lama. Dunia berubah, dan kami harus berubah juga!”
Wakaaka mengangkat tangannya, meminta mereka tenang. Dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, “Tradisi adalah akar yang membuat kita tetap berdiri. Tetapi akar yang terlalu rapuh akan membuat pohon tumbang di tengah badai. Kita perlu memperkuat akar itu, bukan dengan merantai cabang-cabangnya, tetapi dengan memberi ruang untuk tumbuh.”
Wakaaka kemudian memutuskan untuk menggelar Ritual Kesatuan Adat, sebuah acara besar yang memadukan tradisi lama dengan inovasi baru. Ia meminta generasi tua untuk membimbing generasi muda dalam memahami nilai-nilai adat, sementara generasi muda menunjukkan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk melestarikan budaya mereka.
Namun, tidak semua pihak mendukung upaya Wakaaka. Di istana, seorang penasihat kepercayaan bernama La Putu ternyata memiliki agenda tersembunyi. Ia merasa posisinya terguncang oleh pendekatan Wakaaka yang lebih dekat dengan rakyat, dan diam-diam ia bekerja sama dengan Bayangan Lautan.
La Putu memberikan informasi strategis tentang rencana Wakaaka, memanfaatkan celah dalam persiapan Ritual Kesatuan Adat. Ia berharap, jika ritual itu gagal, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada Wakaaka.
Di tengah persiapan acara, Aji mulai curiga. Ia mendapati dokumen yang menunjukkan bahwa La Putu telah mengirim pesan rahasia ke desa-desa yang diduga sebagai basis Bayangan Lautan. Aji menyimpan kecurigaan ini dalam diam, berencana mengungkapnya pada saat yang tepat.
Saat malam tiba, Wakaaka berbicara dengan Aji di tepi teluk yang tenang. Cahaya bulan memantulkan bayangan mereka di permukaan air. “Aji, aku tahu kau memiliki sesuatu yang ingin kau sampaikan,” ujar Wakaaka dengan nada lembut.
Aji terdiam sejenak sebelum berkata, “Ratu, ada sesuatu yang harus Anda ketahui. Saya bukan sekadar rakyat biasa.”
Wakaaka menatapnya, terkejut namun tetap tenang. “Lanjutkan.”
“Saya adalah keturunan Oputa Yi Koo,” ungkap Aji. “Leluhur saya pernah bertempur bersama leluhur Anda untuk melindungi Pulau Buton dari ancaman besar. Keluarga saya telah menjaga rahasia tentang kekuatan Bayangan Lautan selama berabad-abad. Mereka menyebutnya Naga Laut”
Aji kemudian menjelaskan bahwa Bayangan Lautan adalah keturunan dari garis musuh leluhur mereka. Ia meyakini bahwa Bayangan Lautan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pikiran karena telah menguasai energi gelap yang dulunya hampir menghancurkan Pulau Buton.
“Kehadiranku di sisimu bukanlah kebetulan,” lanjut Aji. “Aku dikirim untuk membantumu, Ratu. Namun, kekuatan mereka semakin kuat, dan kita harus bersiap.”
Dengan informasi dari Aji dan kecurigaan tentang La Putu, Wakaaka mulai merancang rencana. Ia memutuskan untuk tidak langsung mengungkap pengkhianatan La Putu, melainkan memantau langkahnya untuk memancing Bayangan Lautan keluar dari persembunyian.
Sementara itu, Wakaaka meminta Aji untuk memimpin pelatihan bagi para pemuda, mempersiapkan mereka menghadapi ancaman yang lebih besar. Aji menggunakan warisan pengetahuan leluhurnya untuk melatih mereka, termasuk teknik bertahan hidup dan pertahanan spiritual. Ia Mendengarkan bahwa ada bayangan putih yang turun di sekitar pantai di ujung selatan pulau Buton.
****
Malam itu, suasana di Pulau Buton penuh kewaspadaan. Desas-desus tentang kehadiran bayangan putih di pantai selatan menyebar dengan cepat. Beberapa mengatakan itu adalah pertanda baik, tetapi banyak yang percaya bahwa itu adalah peringatan akan bahaya yang lebih besar. Aji, yang tengah memimpin pelatihan pemuda, segera melaporkan kabar ini kepada Ratu Wakaaka.
“Ratu,” ujar Aji dengan nada serius. “Beberapa pemuda melaporkan melihat bayangan putih yang melayang di sekitar pantai selatan. Mereka mengaku mendengar suara seperti nyanyian aneh yang tidak dapat dijelaskan.”
Wakaaka memandang jauh ke arah selatan. Matanya penuh kekhawatiran. “Pantai selatan adalah tempat yang sakral, Aji. Jika sesuatu muncul di sana, kita tidak boleh mengabaikannya. Aku akan pergi ke sana sendiri.”
Wakaaka memutuskan untuk menyelidiki bayangan putih itu, dan Aji bersikeras menemaninya. Mereka membawa beberapa pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun. Perjalanan ke pantai selatan memakan waktu semalaman. Mereka melewati hutan lebat dan medan berbatu, hanya ditemani cahaya bintang dan nyala lentera kecil.
Setibanya di pantai, suasana terasa berbeda. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam yang segar, tetapi ada sesuatu yang ganjil. Pasir putih berkilauan di bawah sinar bulan, dan ombak mengalun perlahan, menciptakan irama yang menenangkan sekaligus misterius.
Lalu mereka melihatnya—bayangan putih melayang di atas air, bergerak perlahan seperti kabut yang tertiup angin. Sosok itu tampak seperti manusia, tetapi tidak jelas apakah itu nyata atau hanya ilusi.
“Siapa kau?” seru Wakaaka, suaranya tegas namun penuh rasa hormat.
Bayangan itu berhenti. Sebuah suara lembut namun penuh kekuatan bergema di udara. “Aku adalah penjaga masa lalu dan masa depan. Aku datang untuk mengingatkan bahwa bahaya besar sedang mendekat, lebih besar dari apa yang kalian duga.”
****
Bayangan putih itu mendekati mereka, perlahan mendarat di atas pasir. Ketika semakin dekat, sosoknya menjadi lebih jelas—seorang wanita tua dengan rambut putih panjang dan mata yang memancarkan cahaya biru. Wakaaka dan Aji segera menyadari bahwa ini bukan manusia biasa.
“Ratu Wakaaka,” ucapnya, “aku adalah roh penjaga Pulau Buton. Aku telah lama tertidur, tetapi kehadiran kekuatan gelap yang dikenal sebagai Bayangan Lautan telah membangunkanku.”
Ia melanjutkan, “Bayangan Lautan tidak hanya ingin merebut kekuasaanmu, tetapi juga ingin menghancurkan keseimbangan dunia ini. Kekuatan gelapnya berasal dari kedalaman laut, dari sumber energi kuno yang tidak boleh disentuh oleh manusia mana pun.”
Wakaaka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan untuk menghentikannya?”
“Di bawah tebing karang di pantai ini, terdapat sebuah artefak yang telah disegel oleh leluhurmu. Artefak itu adalah kunci untuk melawan Bayangan Lautan. Namun, untuk mendapatkannya, kau harus melewati ujian yang menguji keberanian, kebijaksanaan, dan kesucian hatimu.”
---
Tanpa ragu, Wakaaka dan Aji mengikuti petunjuk sang penjaga. Mereka menyusuri pantai hingga mencapai tebing karang yang menjulang tinggi. Di bawah sinar bulan, mereka melihat sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun. Itu adalah pintu masuk ke tempat artefak disimpan.
Sebelum masuk, penjaga memperingatkan, “Hanya mereka yang hatinya benar-benar murni yang dapat melewati ujian ini. Jika gagal, kalian tidak hanya kehilangan artefak, tetapi juga akan kehilangan nyawa kalian.”
Wakaaka memandang Aji, dan keduanya mengangguk penuh keyakinan. Mereka masuk ke dalam gua, di mana ujian pertama segera dimulai.
Di dalam gua, mereka dihadapkan pada ilusi makhluk mengerikan dari legenda Pulau Buton. Wakaaka dan Aji harus tetap tenang dan percaya pada keberanian mereka untuk melawan rasa takut. Mereka dihadapkan pada teka-teki yang hanya dapat dipecahkan dengan memadukan pengetahuan tradisional dan logika modern. Aji, dengan kecerdasannya, memainkan peran penting dalam memecahkan teka-teki ini. Di ujian terakhir, Wakaaka harus menghadapi bayangan dirinya sendiri—ketakutannya, keraguannya, dan rasa bersalahnya. Ia harus menerima semua itu dan membuktikan bahwa ia memiliki hati yang murni untuk melindungi rakyatnya.
Setelah berhasil melewati semua ujian, mereka menemukan sebuah benda kecil berbentuk kerang laut berwarna emas. Ketika Wakaaka menyentuhnya, artefak itu bersinar terang, dan suara sang penjaga kembali terdengar.
“Ini adalah *Kerang Kehidupan*, simbol kekuatan leluhurmu untuk menjaga keseimbangan dunia. Dengan ini, kau dapat melawan Bayangan Lautan. Tetapi ingat, kekuatan ini hanya dapat digunakan oleh mereka yang melindungi, bukan untuk menghancurkan.”
Dengan *Kerang Kehidupan* di tangannya, Wakaaka dan Aji kembali ke istana. Mereka tahu bahwa pertempuran besar melawan Bayangan Lautan semakin dekat, tetapi mereka kini memiliki alat untuk melawan.
Namun, bahaya baru mengintai. La Putu, yang diam-diam memantau gerakan mereka, mulai merencanakan langkah selanjutnya untuk mengkhianati Wakaaka dan menyerahkan artefak itu kepada Bayangan Lautan.
Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La
Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek
Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya
Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de
“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,
Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem
BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir
Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek
Pagi itu, Jun memulai harinya dengan membuka platform cryptocurrency tempat Lambusango Koin—proyek ambisiusnya—baru saja diluncurkan. Dengan fondasi ekonomi yang kuat, koin ini didukung oleh valuasi ekosistem Hutan Lambusango yang kaya akan keanekaragaman hayati dan nilai budaya. Awalnya, pasar menerima koin tersebut dengan antusias, namun pagi ini segalanya berubah.Investor mulai menjual Lambusango Koin secara massal, menyebabkan harga turun drastis dalam waktu singkat. Jun merasa cemas dan bingung, tidak mengerti apa yang menyebabkan perubahan mendadak ini. Dia segera menuju ke perpustakaan di Teluk Lawele, tempat dia biasa mencari inspirasi dan solusi dalam menghadapi masalah. Saat dia tiba di sana, dia melihat sekelompok orang sedang berdiskusi dengan serius di sudut ruangan. Jun mendekati mereka dan akhirnya menemukan jawaban atas kejadian yang sedang terjadi.Jun kembali melihat layar handphonenya, "Semua merah," gumam Jun, menatap grafik yang menunjukkan penurunan drastis. Lam
Pagi itu, mentari bersinar lembut menyentuh dedaunan Hutan Lambusango. Sinta dan Jun-ho melangkah mantap memasuki desa-desa di sekitar hutan, menyapa warga dan mendengarkan suara mereka. Hari ini, mereka memiliki agenda penting: bertemu dengan tokoh-tokoh adat untuk mendiskusikan ancaman peta izin tambang yang mengintai kelestarian hutan.Sinta dan Jun-ho merasa tegang namun juga penuh semangat untuk melindungi hutan Lambusango. Mereka sadar betapa pentingnya menjaga ekosistem hutan tersebut agar tidak terancam oleh aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Dengan hati yang penuh tekad, mereka berharap pertemuan dengan tokoh-tokoh adat dapat membawa solusi yang terbaik untuk menjaga kelestarian hutan yang mereka cintai.Sinta berbicara dengan penuh semangat, "Jun, hari ini kita harus fokus pada pemberdayaan masyarakat. Kita harus memperkenalkan kembali nilai-nilai kangkilo sebagai materi utama dalam pelatihan yang akan datang."Jun menatap Sinta, wajah
Sinta berdiri memandangi hamparan persawahan di bawah Bukit Kapuntori. Terasa begitu tenang, seolah waktu melambat untuk memberikan ruang bagi pikirannya yang berkelana. Bentangan hijau sawah yang berkilau diterpa matahari sore mengingatkannya pada permadani alam yang penuh keindahan dan rahasia. Kilauan sawah yang menguning memberikan suasana yang nyaman dan tentunya membawa seseorang untuk menikmati senjanya, terlebih dengan seorang kekasih. Matahari perlahan tenggelam di balik bukit, mewarnai langit dengan gradasi warna yang memukau. Sinta merasa beruntung bisa menikmati momen indah ini bersama kekasihnya di bawah langit Kapuntori.Jun-ho berdiri di sampingnya, matanya mengikuti arah pandang Sinta. Ia hanya tersenyum, meskipun di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia ungkapkan. Sinta terlihat begitu tenggelam dalam pikirannya, hingga Jun tak bisa menahan diri untuk berkata, "Sinta, ini seperti bentangan permadani. Di sinilah banyak kisah cinta tumbuh dan pergi. Mungkinkah
Perjalanan dari Pulau Talaga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Sinta dan Jun. Jun-ho memperhatikan keindahan pulau Talaga dan melihat dari jauh pulau Kabaena. Kali ini mereka naik kapal penumpang. Kapal agak besar dibandingkan dengan perahu nelayan. Jun-ho membayangkan tentang tujuh bidadari yang turun di puncak gunung Sambampolulu. “Suatu saat saya akan ke sana, negeri di atas awan,” pikirnya sementara matanya di arahkan ke wajah cantic di depannya, wajah Sinta yang luar biasa. Kulitnya tetap putih dan halus, tanpa terpengaruh oleh terik matahari di sekitar hutan tropis.Wawasan yang mereka peroleh tentang kangkilo—nilai tradisional yang menekankan kejujuran, keseimbangan, dan hubungan yang harmonis dengan alam—telah mengubah cara pandang mereka terhadap perjuangan mereka selama ini. Mereka merasa terinspirasi untuk kembali ke desa mereka dan menerapkan nilai-nilai kangkilo dalam upaya membangun harapan baru bagi masyarakat setempat.
Rasa penasaran yang membara membawa Jun-ho dan Sinta ke Pulau Talaga, tempat asal mula tradisi Pengka Loe-Loe, ritual adat yang telah mengubah persepsi mereka tentang hubungan antara dunia nyata dan spiritual. Mereka ingin memahami lebih dalam tentang kangkilo, filosofi yang menjadi inti dari kepercayaan masyarakat Buton. Jun-ho dan Sinta sangat penasaran, terutama Jun-ho yang menyaksikan kejadian beberapa hari yang lalu dengan mata bahkan dengan direkam dengan kamera. Jun sangat kaget, karena sebuah fenomena yang unik terjadi di depan mata, tepat dizaman seperti ini. “Ini adalah representasi ruang-ruang kesadaran budaya yang tidak mungkin dapat dijelaskan oleh prspektif ilmiah. Datang ke Pulau Talaga adalah sesuatu yang penting, untuk menyaksikan secara langsung, bagaimana masyarakat setempat mendapatkan pemahaman mengenai dunia bawah laut.” Jun-ho dan Sinta mengharapkan ada penjelasan yang mendalam mengenai masalah ini. Mereka akhirnya menuju Kota Baubau untuk menumpang kapal-kapa
Kisah sumpah adat Pengka Loe-Loe yang menewaskan La Ode Musrama dan perempuan-perempuan penyebar fitnah menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di Buton tetapi juga di berbagai media sosial. Banyak yang terpukau dan takjub, tetapi ada pula yang mempertanyakan kebenaran ritual tersebut. Beberapa pihak bahkan meminta investigasi atas insiden ini. Bahkan ada berita di media yang menjelaskan bahwa ritual itu adalah ritual pembunuhan. Bahkan ada media yang menjelaskan bahwa mantra itu adalah mantra pembunuhan dalam versi yang lainnya.“Kita harus melakukan investigasi atas apa yang terjadi di pantai kemarin. Itu murni kriminalitas yang berbasis di mantra”. Bahkan media nasional dan internasional menomentari peistiwa itu setelah videonya tersebar luas di masyarakat.“Ini adalah pembunuhan,” kata salah seorang anak muda yang memiliki hubungan dengan pihak tambang yang selama ini dihalangi oleh tetua adat yang didukung oleh Sinta dan J
Kedatangan Sinta dari Korea yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan dan kebanggaan justru berubah menjadi polemik besar di Buton. Desas-desus yang disebarkan oleh kaki tangan pengelola tambang dan La Ode Musrama yang merasa iri, telah merusak reputasi Sinta. Isu bahwa Sinta tidak lagi suci sebagai calon pemimpin adat beredar luas, membuat masyarakat dan Parabela (tetua adat) ragu akan kelayakannya. Isu itu bahkan dibuatkan dalam bentuk musik. La Ode Musrama selalu menyanyikan lagu Sepuli na Jandi yang dipopulerkan La Ode Karimuddin. Ia menyebarkan desas desus bahwa Sinta yang merupakan tokoh muda yang dapat mewarisi peradaban Buton kini tidak layak lagi."Sinta sudah melanggar nilai-nilai sakral budaya kita," bisik beberapa orang. Ia bergerilya dan melibatkan banyak ibu-ibu yang senang bergosip. Ia sudah berjalan terlampau jauh, ia sampai di pulau Jeju, tidak mungkin kita percaya lagi”. Rasa cemburu menyelimuti hatinya. Ia begitu benci ketika ia tahu bahwa Sinta pergi
Pesawat dari Seoul menuju Jakarta meluncur mulus di langit malam. Di kursi sebelah, Sinta terlelap, wajahnya yang khas—perpaduan antara warisan Buton, Melanesia, dan sentuhan keturunan Asia lainnya—bersinar tenang di bawah cahaya lampu kabin. Bagi Jun, Sinta adalah sosok yang tidak hanya menginspirasi cinta, tetapi juga harapan bagi masyarakat yang ingin mereka bangun bersama. Sebelum tidur, Sinta memutar music pop Korea Touch Love yang dipopulerkan Yoon Mi-rae, Sinta terlelap dalam imajinya, berharap bersandar pada Jun-ho dalam perjalanan panjang hidupnya nanti. Pelan-pelan teks-teks lagu itu menjelma dalam mimpinya, ia sudah menemukan dirinya bersandar pada Jun-ho di pantai yang ada di pulau Jeju. Ia menyandarikan dirinya. Jun-ho melihat Sinta tersenyum dan matanya tetap tertuju. Jun-ho membirkan ia Sinta tertidur, ia hanya mengagumi kencatikan itu, mengalahkan Yoon Mi-rae artis Korea yang terkenal di negaranya.Di benak Jun, rencana-rencana besar berkecamuk. Kembali ke Buton bukan
Jun membawa Sinta mengunjungi berbagai institusi budaya dan pendidikan di Korea, memperlihatkan bagaimana sistem pengelolaan budaya diajarkan kepada generasi muda. Mereka mengunjungi sebuah sekolah dasar di Seoul, di mana anak-anak diajarkan menghormati warisan budaya mereka melalui pelajaran sejarah, seni, dan praktik-praktik tradisional.“Lihat ini, Sinta,” kata Jun sambil menunjukkan salah satu mural di aula sekolah yang menggambarkan tradisi rakyat Korea. “Setiap generasi diajarkan untuk memahami akar budaya mereka sejak dini. Jika kita bisa menerapkan hal yang serupa di Buton, terutama untuk konservasi Hutan Lambusango, aku yakin hasilnya akan luar biasa.”Sinta mengangguk, terinspirasi. “Mendidik anak-anak di sekitar Lambusango untuk mencintai budaya dan lingkungan mereka sejak dini adalah langkah yang sangat penting. Itu akan menjadi bagian dari jati diri mereka.”Mereka juga mengunjungi sebuah museum budaya yang memamerkan cara hidup tradisional Korea. Di sana, Jun menunjukkan