Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 3: Bayangan di Balik Cinta

Share

Bab 3: Bayangan di Balik Cinta

Author: Oceania
last update Last Updated: 2024-11-18 12:03:32

Wakaaka berdiri di puncak bukit, memandang keindahan Pulau Buton yang perlahan mulai pulih dari kehancuran. Namun, di balik wajahnya yang tenang, hatinya penuh dengan kegelisahan. Meskipun rakyatnya mulai menyambut upayanya dengan rasa syukur, ada bisik-bisik ketidakpuasan di antara beberapa golongan. Wakaaka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tetapi juga menyatukan hati yang terpecah.

Dalam perjalanan tur ke desa-desa, ia menyadari perbedaan yang mencolok antara generasi tua dan muda. Generasi tua masih memegang teguh adat dan tradisi yang diwariskan selama berabad-abad, sementara generasi muda ingin membawa perubahan, memanfaatkan teknologi, dan mengadopsi cara hidup yang lebih modern.

Di sebuah desa kecil di dekat pesisir, Wakaaka bertemu dengan Aji. Pemuda itu bukan hanya cerdas dan peduli, tetapi juga memiliki pandangan yang seimbang tentang bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Saat Wakaaka berbicara dengan Aji, ia merasa menemukan teman yang tidak hanya memahami visinya tetapi juga memberinya semangat untuk terus maju.

Namun, kebahagiaan Wakaaka tidak berlangsung lama. Dalam sebuah pertemuan di istana, seorang penasihat tua bernama La Putu menyuarakan ketidakpuasan.

"Ratu, saya tidak setuju dengan ide mendirikan sekolah magis. Tradisi kita melarang sembarangan mengajarkan kekuatan seperti itu kepada yang tidak layak," katanya dengan nada tajam.

Wakaaka menjawab dengan tenang, "La Putu, kekuatan ini adalah anugerah untuk kebaikan. Kita tidak bisa terus menyimpannya hanya untuk segelintir orang. Dunia berubah, dan kita harus beradaptasi tanpa melupakan akar kita."

Perdebatan itu mengguncang dewan istana. Beberapa mendukung Wakaaka, sementara yang lain merasa bahwa ia terlalu jauh meninggalkan tradisi.

Di tengah-tengah perdebatan ini, sebuah ancaman baru muncul. Di desa-desa terpencil, laporan tentang orang-orang misterius yang menyebarkan kebohongan dan memecah belah masyarakat semakin sering terdengar. Mereka memanfaatkan ketegangan antara generasi untuk menciptakan kekacauan.

Aji, yang kini menjadi teman dekat dan penasihat Wakaaka, membantu menyelidiki hal ini. Mereka menemukan bukti bahwa kelompok tersebut dipimpin oleh seorang sosok yang dikenal sebagai "Bayangan Lautan". Sosok ini adalah pemimpin dari sekte rahasia yang ingin merebut Pulau Buton dengan menghancurkan persatuan rakyatnya.

Menyadari ancaman ini, Wakaaka memutuskan untuk mengambil langkah yang berani. Ia mengundang semua tokoh masyarakat, dari generasi tua hingga muda, untuk menghadiri sebuah pertemuan besar. Dalam pertemuan itu, ia menyampaikan pidato yang penuh dengan harapan.

"Kita adalah satu, meskipun berbeda. Tradisi kita adalah akar, dan inovasi adalah cabang yang tumbuh untuk menjangkau masa depan. Jika kita terus terpecah, kita akan menjadi lemah, dan Pulau Buton akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang ingin menghancurkan kita."

Pidato Wakaaka menggugah banyak orang, tetapi tidak semua. La Putu masih terlihat ragu, dan ancaman dari Bayangan Lautan terus menghantui.

Wakaaka harus menghadapi tantangan besar: mempersatukan rakyatnya, mengatasi konflik internal, dan melawan ancaman eksternal. Bersama Aji, ia mulai merancang strategi untuk melawan Bayangan Lautan. Dalam perjalanan ini, mereka tidak hanya harus mengandalkan kekuatan magis Wakaaka, tetapi juga kebijaksanaan dan keberanian.

******

Hutan Lambusango menjadi saksi bisu perjalanan Wakaaka menuju desa terpencil yang menjadi pusat ketegangan antara generasi tua dan muda. Bersama Aji, Wakaaka menyaksikan bagaimana masyarakat mulai terpecah oleh isu-isu yang tersebar oleh pihak yang ingin menghancurkan persatuan Pulau Buton.

Di balai desa, Wakaaka berdiri di tengah kerumunan, mencoba mendengar keluhan dari kedua pihak. Generasi tua mengeluhkan hilangnya penghormatan terhadap tradisi, sementara generasi muda merasa tradisi itu terlalu membatasi perkembangan mereka.

“Ratu Wakaaka, Anda mendirikan sekolah magis untuk anak-anak muda,” ujar seorang tetua bernama La Tando, suaranya penuh emosi. “Tapi apa gunanya ilmu itu jika mereka melupakan adat dan leluhur kita?”

Seorang pemuda bernama Sahril berdiri, membalas dengan nada tegas, “Kami tidak melupakan adat, tapi kami butuh lebih dari sekadar cerita lama. Dunia berubah, dan kami harus berubah juga!”

Wakaaka mengangkat tangannya, meminta mereka tenang. Dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, “Tradisi adalah akar yang membuat kita tetap berdiri. Tetapi akar yang terlalu rapuh akan membuat pohon tumbang di tengah badai. Kita perlu memperkuat akar itu, bukan dengan merantai cabang-cabangnya, tetapi dengan memberi ruang untuk tumbuh.”

Wakaaka kemudian memutuskan untuk menggelar Ritual Kesatuan Adat, sebuah acara besar yang memadukan tradisi lama dengan inovasi baru. Ia meminta generasi tua untuk membimbing generasi muda dalam memahami nilai-nilai adat, sementara generasi muda menunjukkan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk melestarikan budaya mereka.

Namun, tidak semua pihak mendukung upaya Wakaaka. Di istana, seorang penasihat kepercayaan bernama La Putu ternyata memiliki agenda tersembunyi. Ia merasa posisinya terguncang oleh pendekatan Wakaaka yang lebih dekat dengan rakyat, dan diam-diam ia bekerja sama dengan Bayangan Lautan.

La Putu memberikan informasi strategis tentang rencana Wakaaka, memanfaatkan celah dalam persiapan Ritual Kesatuan Adat. Ia berharap, jika ritual itu gagal, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada Wakaaka.

Di tengah persiapan acara, Aji mulai curiga. Ia mendapati dokumen yang menunjukkan bahwa La Putu telah mengirim pesan rahasia ke desa-desa yang diduga sebagai basis Bayangan Lautan. Aji menyimpan kecurigaan ini dalam diam, berencana mengungkapnya pada saat yang tepat.

Saat malam tiba, Wakaaka berbicara dengan Aji di tepi teluk yang tenang. Cahaya bulan memantulkan bayangan mereka di permukaan air. “Aji, aku tahu kau memiliki sesuatu yang ingin kau sampaikan,” ujar Wakaaka dengan nada lembut.

Aji terdiam sejenak sebelum berkata, “Ratu, ada sesuatu yang harus Anda ketahui. Saya bukan sekadar rakyat biasa.”

Wakaaka menatapnya, terkejut namun tetap tenang. “Lanjutkan.”

“Saya adalah keturunan Oputa Yi Koo,” ungkap Aji. “Leluhur saya pernah bertempur bersama leluhur Anda untuk melindungi Pulau Buton dari ancaman besar. Keluarga saya telah menjaga rahasia tentang kekuatan Bayangan Lautan selama berabad-abad. Mereka menyebutnya Naga Laut”

Aji kemudian menjelaskan bahwa Bayangan Lautan adalah keturunan dari garis musuh leluhur mereka. Ia meyakini bahwa Bayangan Lautan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pikiran karena telah menguasai energi gelap yang dulunya hampir menghancurkan Pulau Buton.

“Kehadiranku di sisimu bukanlah kebetulan,” lanjut Aji. “Aku dikirim untuk membantumu, Ratu. Namun, kekuatan mereka semakin kuat, dan kita harus bersiap.”

Dengan informasi dari Aji dan kecurigaan tentang La Putu, Wakaaka mulai merancang rencana. Ia memutuskan untuk tidak langsung mengungkap pengkhianatan La Putu, melainkan memantau langkahnya untuk memancing Bayangan Lautan keluar dari persembunyian.

Sementara itu, Wakaaka meminta Aji untuk memimpin pelatihan bagi para pemuda, mempersiapkan mereka menghadapi ancaman yang lebih besar. Aji menggunakan warisan pengetahuan leluhurnya untuk melatih mereka, termasuk teknik bertahan hidup dan pertahanan spiritual. Ia Mendengarkan bahwa ada bayangan putih yang turun di sekitar pantai di ujung selatan pulau Buton.

****

Malam itu, suasana di Pulau Buton penuh kewaspadaan. Desas-desus tentang kehadiran bayangan putih di pantai selatan menyebar dengan cepat. Beberapa mengatakan itu adalah pertanda baik, tetapi banyak yang percaya bahwa itu adalah peringatan akan bahaya yang lebih besar. Aji, yang tengah memimpin pelatihan pemuda, segera melaporkan kabar ini kepada Ratu Wakaaka.

“Ratu,” ujar Aji dengan nada serius. “Beberapa pemuda melaporkan melihat bayangan putih yang melayang di sekitar pantai selatan. Mereka mengaku mendengar suara seperti nyanyian aneh yang tidak dapat dijelaskan.”

Wakaaka memandang jauh ke arah selatan. Matanya penuh kekhawatiran. “Pantai selatan adalah tempat yang sakral, Aji. Jika sesuatu muncul di sana, kita tidak boleh mengabaikannya. Aku akan pergi ke sana sendiri.”

Wakaaka memutuskan untuk menyelidiki bayangan putih itu, dan Aji bersikeras menemaninya. Mereka membawa beberapa pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun. Perjalanan ke pantai selatan memakan waktu semalaman. Mereka melewati hutan lebat dan medan berbatu, hanya ditemani cahaya bintang dan nyala lentera kecil.

Setibanya di pantai, suasana terasa berbeda. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam yang segar, tetapi ada sesuatu yang ganjil. Pasir putih berkilauan di bawah sinar bulan, dan ombak mengalun perlahan, menciptakan irama yang menenangkan sekaligus misterius.

Lalu mereka melihatnya—bayangan putih melayang di atas air, bergerak perlahan seperti kabut yang tertiup angin. Sosok itu tampak seperti manusia, tetapi tidak jelas apakah itu nyata atau hanya ilusi.

“Siapa kau?” seru Wakaaka, suaranya tegas namun penuh rasa hormat.

Bayangan itu berhenti. Sebuah suara lembut namun penuh kekuatan bergema di udara. “Aku adalah penjaga masa lalu dan masa depan. Aku datang untuk mengingatkan bahwa bahaya besar sedang mendekat, lebih besar dari apa yang kalian duga.”

****

Bayangan putih itu mendekati mereka, perlahan mendarat di atas pasir. Ketika semakin dekat, sosoknya menjadi lebih jelas—seorang wanita tua dengan rambut putih panjang dan mata yang memancarkan cahaya biru. Wakaaka dan Aji segera menyadari bahwa ini bukan manusia biasa.

“Ratu Wakaaka,” ucapnya, “aku adalah roh penjaga Pulau Buton. Aku telah lama tertidur, tetapi kehadiran kekuatan gelap yang dikenal sebagai Bayangan Lautan telah membangunkanku.”

Ia melanjutkan, “Bayangan Lautan tidak hanya ingin merebut kekuasaanmu, tetapi juga ingin menghancurkan keseimbangan dunia ini. Kekuatan gelapnya berasal dari kedalaman laut, dari sumber energi kuno yang tidak boleh disentuh oleh manusia mana pun.”

Wakaaka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan untuk menghentikannya?”

“Di bawah tebing karang di pantai ini, terdapat sebuah artefak yang telah disegel oleh leluhurmu. Artefak itu adalah kunci untuk melawan Bayangan Lautan. Namun, untuk mendapatkannya, kau harus melewati ujian yang menguji keberanian, kebijaksanaan, dan kesucian hatimu.”

---

Tanpa ragu, Wakaaka dan Aji mengikuti petunjuk sang penjaga. Mereka menyusuri pantai hingga mencapai tebing karang yang menjulang tinggi. Di bawah sinar bulan, mereka melihat sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun. Itu adalah pintu masuk ke tempat artefak disimpan.

Sebelum masuk, penjaga memperingatkan, “Hanya mereka yang hatinya benar-benar murni yang dapat melewati ujian ini. Jika gagal, kalian tidak hanya kehilangan artefak, tetapi juga akan kehilangan nyawa kalian.”

Wakaaka memandang Aji, dan keduanya mengangguk penuh keyakinan. Mereka masuk ke dalam gua, di mana ujian pertama segera dimulai.

Di dalam gua, mereka dihadapkan pada ilusi makhluk mengerikan dari legenda Pulau Buton. Wakaaka dan Aji harus tetap tenang dan percaya pada keberanian mereka untuk melawan rasa takut. Mereka dihadapkan pada teka-teki yang hanya dapat dipecahkan dengan memadukan pengetahuan tradisional dan logika modern. Aji, dengan kecerdasannya, memainkan peran penting dalam memecahkan teka-teki ini. Di ujian terakhir, Wakaaka harus menghadapi bayangan dirinya sendiri—ketakutannya, keraguannya, dan rasa bersalahnya. Ia harus menerima semua itu dan membuktikan bahwa ia memiliki hati yang murni untuk melindungi rakyatnya.

Setelah berhasil melewati semua ujian, mereka menemukan sebuah benda kecil berbentuk kerang laut berwarna emas. Ketika Wakaaka menyentuhnya, artefak itu bersinar terang, dan suara sang penjaga kembali terdengar.

“Ini adalah *Kerang Kehidupan*, simbol kekuatan leluhurmu untuk menjaga keseimbangan dunia. Dengan ini, kau dapat melawan Bayangan Lautan. Tetapi ingat, kekuatan ini hanya dapat digunakan oleh mereka yang melindungi, bukan untuk menghancurkan.”

Dengan *Kerang Kehidupan* di tangannya, Wakaaka dan Aji kembali ke istana. Mereka tahu bahwa pertempuran besar melawan Bayangan Lautan semakin dekat, tetapi mereka kini memiliki alat untuk melawan.

Namun, bahaya baru mengintai. La Putu, yang diam-diam memantau gerakan mereka, mulai merencanakan langkah selanjutnya untuk mengkhianati Wakaaka dan menyerahkan artefak itu kepada Bayangan Lautan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

    Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 5: MALAM BAYANGAN

    Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

    Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Last Updated : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Last Updated : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Last Updated : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Last Updated : 2024-11-29
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 11: Warisan Kepemimpinan

    Keesokan paginya, Jun-ho dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke Teluk Lawele, sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan dan kehidupan masyarakat pesisir. Sinta memutuskan untuk berhenti sejenak di simpang tiga Ereke Kamaru. Di sini, ia bertemu dengan kepala desa setempat, seorang pria paruh baya yang bijaksana dan penuh rasa hormat terhadap adat. Desa yang telah berumur ratusan tahun, telah menjadi saski peperangan antara Belanda dan Oputa yi Koo. Desa yang menjadi saksi banyak turis yang banyak melakukan penelitian di Lambusango.Sinta memandang kepala desa itu dengan penuh perhatian. “Pak Kepala,” katanya dengan nada lembut tetapi tegas, “tradisi kita tidak hanya tentang masa lalu. Ini adalah cara kita menjaga masa depan. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat adalah kunci untuk melindungi hutan ini.” Ia sudah lama mengenal kepala desa itu, orang yang pernah mengajaknya untuk ikut pelatihan sebagai guide turis yang kebanyakan adalah anak-anak muda dari Inggris. Merek

    Last Updated : 2024-12-01

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 110 — Air Mata di Bawah Pohon Ginkgo

    Langit Seoul berwarna kelabu saat Lintang melangkah keluar dari stasiun. Hujan tipis mengguyur jalanan kota yang sibuk, namun suara langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak menanggung beban masa silam yang belum benar-benar selesai. Di tangannya, ia menggenggam sekuntum bunga camellia putih—simbol kerendahan hati dan penyesalan.Alamat rumah sang nenek tertera di selembar kertas yang kini telah lecek di sakunya. Meski sebelumnya begitu yakin akan percakapan ini, kini dadanya berdebar, dan pikirannya berliku: Akankah neneknya menerima? Ataukah ambisi masa lalu masih tertinggal dalam darah perempuan tua itu?Rumah kayu tua di pinggir kota itu tampak seperti lukisan dari masa lalu: beranda kecil dengan tanaman bonsai, dan pintu geser dari kayu pinus tua. Aroma kayu dan hujan membaur di udara, menciptakan suasana yang melankolis namun sakral.Lintang mengatur napas. Ia mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan.Lalu suara lembut, r

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 109 — Ladang yang Menyimpan Doa dan Dunia yang Terbelah

    Dedaunan gingko menari perlahan di sepanjang lembah Gangwon-do, seolah menyambut tamu dari arah khatulistiwa yang datang membawa rencana besar dalam kepalanya dan doa lembut dalam dadanya. Lintang berjalan di jalur tanah yang mengarah ke ladang pertanian, tempat para petani Korea masih menggantungkan hidup mereka dari tanah, air, dan musim yang tak selalu bersahabat.Di antara ladang itu, berdiri seorang lelaki tua dengan topi bambu dan tangan penuh lumpur, namun senyum dan matanya jernih bak telaga.“Annyeong haseyo,” sapa Lintang, sedikit kaku tapi tulus.Petani itu mengangguk. “Kau dari Indonesia?” tanyanya, sambil meletakkan alat cangkul ke tanah. “Aku pernah bertemu peneliti dari Buton dulu, tentang metode tanam dengan bulan.”Lintang tersenyum, seakan semesta mempertemukannya tepat dengan orang yang tak asing dengan tanah airnya.“Aku datang membawa gagasan Madrasah Langit,” katanya pelan. &ldqu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 108 — Madrasah Langit dan Akar yang Memanggil

    Angin dari selatan menggulung pelan, membawa wangi laut dan sisa embun hutan. Di halaman rumah kayu yang terpahat di bibir tebing, suara burung murai bersahut seperti zikir pagi yang tak putus. Di sana, di bawah atap yang teduh oleh pohon mangga tua, Lintang duduk berhadapan dengan dua wajah yang telah lama ia kenali, namun baru kini ia pandang sepenuh makna: Sinta, ibunya—wanita berdarah Melanesia dan Bangladeshi yang matanya menyimpan luka dan keberanian, serta Jun Hoo, ayahnya—lelaki berdarah Korea Selatan yang rambutnya telah memutih, namun sorotnya masih jernih seperti riak danau.Pertemuan ini bukan hanya temu darah, melainkan temu jiwa yang telah lama mencari ruang untuk bicara tanpa kata-kata tertunda.“Lintang...” Sinta meraih tangan putrinya dengan gemetar, seakan takut tangan itu hanya mimpi. “Kau datang tepat saat dunia mulai membuka pintu langit.”Lintang tersenyum. “Aku dat

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 107 — Meja Bundar dari Pinggiran Dunia

    Hutan Lambusango masih berselimut embun pagi. Aroma tanah basah dan kayu tua mengalun perlahan seperti bait puisi purba. Di sebuah rumah panggung kayu, di tengah bentangan hijau yang tak pernah memihak siapa pun, Lintang duduk di depan layar, menyambut dunia.Hari ini, layar itu menjadi meja bundar virtual. Tapi bukan meja milik kekuasaan, bukan juga milik konferensi besar yang dikelilingi jas dan dasi. Ini adalah meja milik suara-suara kecil dari pelosok yang mulai berbicara, menolak dibungkam oleh jargon-jargon global.Lintang membuka pertemuan daring. Di layar muncul wajah-wajah dari benua yang berbeda—ada Mikhail dari Rusia, Alina dari Ukraina, Elias dari Jerman, dan kini bergabung pula wajah baru: Robert McAllister dari Amerika Serikat, Gao Yixuan dari China, Selene Ortega dari Meksiko, dan Camille Dupuis dari Kanada.Lintang membuka dengan senyum ya

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 106 — Di Antara Salju dan Api: Percakapan yang Menenun Harapan

    Langit Lambusango pagi itu berwarna kelabu lembut, seperti abu dupa yang naik dari altar doa. Hutan tampak lebih sunyi dari biasanya, seakan ikut menghela napas panjang dunia. Lintang duduk di bale bambu, di depan layar komputer yang memantulkan cahaya pucat. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau pelan, menandai bahwa hari baru telah dimulai, meski dunia belum benar-benar damai.Ia membuka ruang pertemuan daring internasional—sebuah diskusi lintas budaya yang melibatkan para sahabatnya dari Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat. Mereka tidak hadir sebagai wakil negara, tetapi sebagai anak-anak zaman yang ingin menjahit kembali kain dunia yang mulai koyak.Suara pertama datang dari Timur yang beku.“Halo, Lintang. Salju pertama turun kemarin,” ujar Mikhail, pemuda Rusia yang selalu berbicara seolah membawa denting lonceng gereja ortodoks. “Tapi yang dingin bukan hanya langit kami

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 105 — Napas yang Menjaga Peradaban

    Di bawah langit jingga yang mulai merunduk ke peluk senja, langkah Lintang menyusuri jalur setapak Lambusango seolah menari dalam irama yang tak kasat mata. Daun-daun mengayun pelan, seperti menyambutnya dengan kidung rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti makna keheningan. Hutan itu tidak sekadar rimba—ia adalah kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan hati.Udara lembap dan wangi resin dari pohon-pohon tua memenuhi dada. Ada keheningan yang tidak mati, melainkan tumbuh, seperti akar yang terus menyerap kearifan bumi. Di sinilah, di tengah jantung Lambusango, Lintang bersama timnya melakukan riset intensif mengenai hasil hutan non-kayu—resin, rotan, madu hutan, hingga tumbuhan obat yang disimpan oleh rimba dalam sunyi panjangnya.Mereka bukan sekadar peneliti. Mereka adalah para pembaca tanah, penyair bumi yang menuliskan ulang masa depan bukan dengan tinta, melainkan dengan dedikasi dan cinta. Lintang memandangi sebotol kecil madu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 104 – Madrasah Langit, Sekolah dari Akar

    Malam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 103 – Di Tengah Riuh Dunia yang Terguncang

    Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 102 – Singgasana yang Mendengar Daun Jatuh

    Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status