Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 2: Di Antara Dua Dunia

Share

Bab 2: Di Antara Dua Dunia

Author: Oceania
last update Last Updated: 2024-11-18 11:26:59

Wakaaka duduk termenung di bawah pohon beringin tua di halaman istana. Cahaya rembulan memantulkan bayangannya yang memanjang di atas tanah. Pikirannya melayang jauh, mengingat kembali semua kejadian yang telah dialaminya. Ia merasa terjebak di antara dua dunia: dunia manusia yang penuh dengan tanggung jawab dan dunia magis yang penuh misteri. Dari atas bukit itu, ia memandang ke arah barat menjelang matahari terbenam.

Sebagai ratu, ia harus menjaga keseimbangan dan keharmonisan di pulau Buton. Namun, sebagai seorang wanita biasa, ia juga memiliki keinginan untuk memahami dirinya sendiri dan kekuatan magis yang dimilikinya. Konflik batin ini membuatnya terasa terombang-ambing.

"Apa yang harus kulakukan?" gumamnya lirih.

Tiba-tiba, ia mendengar suara lembut memanggil namanya. "Wakaaka, jangan terlalu bersantai."

Wakaaka menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua dengan rambut putih panjang sedang berdiri di belakangnya. Wanita itu memiliki mata yang bersinar terang, seolah-olah menyimpan ribuan rahasia.

"Siapa Anda?" tanya Wakaaka penasaran.

"Aku adalah penjaga pengetahuan kuno," jawab wanita tua itu. "Aku telah mengamati dirimu sejak lama."

Wanita tua itu mengajak Wakaaka untuk melakukan perjalanan spiritual ke dalam dirinya sendiri. Dengan bantuan kekuatan magisnya, Wakaaka memasuki sebuah dunia yang sangat berbeda. Di dunia itu, ia melihat kembali kehidupan masa lalunya, dari saat ia dilahirkan hingga saat ia menjadi ratu. Ia juga melihat masa depan Pulau Buton, yang penuh dengan tantangan dan peluang.

Dalam perjalanan spiritualnya, Wakaaka bertemu dengan berbagai sosok, mulai dari leluhurnya hingga makhluk mistis. Mereka memberikan petunjuk dan nasehat kepadanya. Salah satu pesan yang paling berkesan adalah, "Kekuatanmu adalah anugerah, bukan beban. Gunakanlah untuk kebaikan, tapi jangan biarkan kekuatan itu mengendalikanmu."

Setelah perjalanan spiritual yang panjang dan melelahkan, Wakaaka akhirnya menemukan jawaban yang ia cari. Ia menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara tanggung jawabnya sebagai ratu dan keinginannya untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya. Keduanya dapat berjalan beriringan.

Kembali ke dunia nyata, Wakaaka merasa lebih tenang dan damai. Ia telah menemukan kekuatan dalam dirinya untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depannya. Dengan penuh keyakinan, ia berdiri di hadapan rakyatnya dan mengumumkan bahwa ia akan memimpin Pulau Buton menuju masa depan yang lebih cerah.

Gempa bumi yang dahsyat telah mengguncang Pulau Buton, retakan-retakan besar menganga di tanah, dan ombak besar menerjang pantai. Wakaaka berdiri di puncak bukit, mengamati kerusakan yang terjadi dengan hati yang hancur. Ia tahu bahwa ini permulaan baru. Ia kembali terbayang pada peristiwa

Menurut para dukun tua, bencana ini merupakan tanda kebangkitan Naga Laut, makhluk mitos yang konon menghuni kedalaman laut dan memiliki kekuatan untuk menghancurkan dunia. Legenda mengatakan bahwa Naga Laut akan bangkit ketika keseimbangan alam terganggu dan kejahatan merajalela.

"Kita harus menghentikan Naga Laut sebelum terlambat," kata Wakaaka pada para penasihatnya. “Kumpulkan semua prajurit terbaik dan persiapkan diri untuk pertempuran.”

Dengan tekad yang bulat, Wakaaka memimpin pasukannya menuju laut dalam. Mereka membawa senjata tradisional dan jimat-jimat sakti. Perjalanan mereka penuh dengan bahaya, mulai dari badai dahsyat hingga serangan makhluk laut yang ganas.

Akhirnya, mereka sampai di sarang Naga Laut. Sebuah gua bawah laut yang gelap dan menyeramkan. Di dalam gua, mereka melihat Naga Laut sedang tertidur di atas tumpukan harta karun. Tubuhnya sebesar gunung, sisiknya berkilau seperti emas, dan matanya memancarkan cahaya merah menyala.

"Ini saatnya!" seru Wakaaka.

Dengan kekuatan konfrontasi, Wakaaka dan pasukannya menyerang Naga Laut. Mereka menembakkan panah beracun, melemparkan tombak sakti, dan membacakan mantra-mantra sihir. Namun, Naga Laut terlalu kuat. Setiap serangan yang mereka lancarkan dengan mudah dipatahkan.

Saat keadaan mulai putus asa, Wakaaka teringat akan kata-kata bijak dari penjaga pengetahuan kuno. “Kekuatan sejati bukanlah berasal dari senjata atau sihir, tetapi dari hati yang murni dan tekad yang kuat.”

Dengan tekad yang membara, Wakaaka mengarahkan seluruh kekuatan magisnya ke dalam sebuah serangan terakhir. Cahaya terang menyilaukan keluar dari tubuhnya, menghantam Naga Laut dengan dahsyat. Naga Laut meraung kesakitan dan tubuhnya mulai hancur berkeping-keping.

Dengan runtuhnya Naga Laut, bencana alam yang melanda Pulau Buton perlahan-lahan mereda. Laut kembali tenang, dan langit cerah kembali bersinar. Rakyat Buton bersorak menyambut kemenangan Ratu Wakaaka. Wakaaka kembali berpikir untuk mengurung anak keturunan Naga Laut di pulau Ular dekat pulau Siampu. Ia membayangkan bahwa itu akan menjadi legenda peperangannya melawan Naga laut kepada generasi berikutnya.

Setelah kemenangan gemilang melawan Naga Laut, Ratu Wakaaka menyadari bahwa dia tidak hanya sekedar melindungi pulau, tetapi juga menyatukan hati rakyatnya. Bencana yang baru saja terjadi telah meninggalkan luka yang mendalam di hati mereka. Wakaaka bertekad untuk menyembuhkan luka itu dan membangun kembali kepercayaan mereka.

Wakaaka memulai tur ke seluruh desa di Pulau Buton. Ia mendengarkan keluhan dan aspirasi rakyatnya secara langsung. Ia juga membantu mereka dalam membangun kembali rumah dan fasilitas umum yang rusak akibat bencana. Masyarakat menyambut kedatangannya dengan hangat. Mereka merasa diperhatikan dan dihargai oleh ratu mereka.

Selain itu, Wakaaka juga menyelenggarakan festival budaya besar-besaran untuk merayakan kemenangan mereka dan mempersatukan kembali masyarakat. Festival ini menampilkan berbagai macam tarian, musik, dan makanan khas Pulau Buton. Seluruh lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dalam acara ini, menciptakan suasana yang meriah dan penuh kegembiraan.

Tidak hanya itu, Wakaaka juga mendirikan sekolah magis untuk mengajarkan ilmu sihir kepada generasi muda. Ia berharap dengan cara ini, kekuatan magis dapat digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Sekolah ini menjadi pusat pembelajaran dan pengembangan potensi bagi para pemuda Pulau Buton. Ia kemudian bertemu dengan seorang guru, berasal dari negeri jauh, yang mengajarkan ilmu suci, Wakaaka kemudian mempelajari kangkilo atau kitab kangkilo pataanguna, kitab yang akan mengubah jalan hidupnya.

Namun, dalam menjalankannya, Wakaaka juga menghadapi berbagai tantangan. Tidak semua orang setuju dengan kebijakan-kebijakan yang diterapkannya. Beberapa orang masih ragu dan tidak percaya pada kekuatan magis. Selain itu, ancaman dari kekuatan jahat lainnya juga masih mengintai.

Di tengah kesibukannya, Wakaaka juga mulai merasakan kesepian. Ia membutuhkan seseorang yang dapat memahami dirinya sendiri dan berbagi suka duka. Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di hutan, Wakaaka bertemu dengan seorang pemuda bernama Barata. Batara adalah seorang pemuda yang cerdas dan baik hati. Ia sangat mengagumi keberanian dan kepedulian Wakaaka. Konon kabarnya si Batara adalah anak penguasa dari negeri jauh, tanah Majapahit.

Perlahan-lahan, benih-benih cinta tumbuh di antara mereka. Batara memberikan dukungan dan semangat kepada Wakaaka, sementara Wakaaka memberikan kasih sayang dan perhatian kepada Batara. Hubungan mereka semakin erat dan membuat Wakaaka merasa lebih bahagia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 3: Bayangan di Balik Cinta

    Wakaaka berdiri di puncak bukit, memandang keindahan Pulau Buton yang perlahan mulai pulih dari kehancuran. Namun, di balik wajahnya yang tenang, hatinya penuh dengan kegelisahan. Meskipun rakyatnya mulai menyambut upayanya dengan rasa syukur, ada bisik-bisik ketidakpuasan di antara beberapa golongan. Wakaaka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tetapi juga menyatukan hati yang terpecah.Dalam perjalanan tur ke desa-desa, ia menyadari perbedaan yang mencolok antara generasi tua dan muda. Generasi tua masih memegang teguh adat dan tradisi yang diwariskan selama berabad-abad, sementara generasi muda ingin membawa perubahan, memanfaatkan teknologi, dan mengadopsi cara hidup yang lebih modern.Di sebuah desa kecil di dekat pesisir, Wakaaka bertemu dengan Aji. Pemuda itu bukan hanya cerdas dan peduli, tetapi juga memiliki pandangan yang seimbang tentang bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Saat Wakaaka berbicara dengan Aji, ia merasa menemukan t

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

    Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 5: MALAM BAYANGAN

    Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

    Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Last Updated : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Last Updated : 2024-11-27
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 9: JALAN YANG BUNTU

    Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem

    Last Updated : 2024-11-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIA

    BAB 10: CINTA, HARAPAN, DAN RAHASIAMalam di Hutan Lambusango terasa lebih sunyi dari biasanya. Bulan bersinar terang, memantulkan cahaya ke rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat. Sinta duduk di tepi Sungai Wakarumba, jiwanya terasa berat. Di sampingnya, Jun-ho duduk diam, menatap pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tetapi keheningan itu penuh arti. Malam itu, sesuatu yang lebih besar dari kata-kata sedang terjadi. “Sinta,” akhirnya Jun-ho memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak pernah berpikir bahwa proyek ini akan membawa kita ke titik seperti ini. Bukan hanya tentang hutan atau teknologi, tetapi tentang… kita.”Sinta menoleh, menatapnya. Mata Jun-ho memancarkan sesuatu yang berbeda malam itu—kejujuran yang tak tertutup oleh topeng profesionalisme. Sinta terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan yang mendesak dalam dirinya sendir

    Last Updated : 2024-11-29

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 110 — Air Mata di Bawah Pohon Ginkgo

    Langit Seoul berwarna kelabu saat Lintang melangkah keluar dari stasiun. Hujan tipis mengguyur jalanan kota yang sibuk, namun suara langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak menanggung beban masa silam yang belum benar-benar selesai. Di tangannya, ia menggenggam sekuntum bunga camellia putih—simbol kerendahan hati dan penyesalan.Alamat rumah sang nenek tertera di selembar kertas yang kini telah lecek di sakunya. Meski sebelumnya begitu yakin akan percakapan ini, kini dadanya berdebar, dan pikirannya berliku: Akankah neneknya menerima? Ataukah ambisi masa lalu masih tertinggal dalam darah perempuan tua itu?Rumah kayu tua di pinggir kota itu tampak seperti lukisan dari masa lalu: beranda kecil dengan tanaman bonsai, dan pintu geser dari kayu pinus tua. Aroma kayu dan hujan membaur di udara, menciptakan suasana yang melankolis namun sakral.Lintang mengatur napas. Ia mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan.Lalu suara lembut, r

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 109 — Ladang yang Menyimpan Doa dan Dunia yang Terbelah

    Dedaunan gingko menari perlahan di sepanjang lembah Gangwon-do, seolah menyambut tamu dari arah khatulistiwa yang datang membawa rencana besar dalam kepalanya dan doa lembut dalam dadanya. Lintang berjalan di jalur tanah yang mengarah ke ladang pertanian, tempat para petani Korea masih menggantungkan hidup mereka dari tanah, air, dan musim yang tak selalu bersahabat.Di antara ladang itu, berdiri seorang lelaki tua dengan topi bambu dan tangan penuh lumpur, namun senyum dan matanya jernih bak telaga.“Annyeong haseyo,” sapa Lintang, sedikit kaku tapi tulus.Petani itu mengangguk. “Kau dari Indonesia?” tanyanya, sambil meletakkan alat cangkul ke tanah. “Aku pernah bertemu peneliti dari Buton dulu, tentang metode tanam dengan bulan.”Lintang tersenyum, seakan semesta mempertemukannya tepat dengan orang yang tak asing dengan tanah airnya.“Aku datang membawa gagasan Madrasah Langit,” katanya pelan. &ldqu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 108 — Madrasah Langit dan Akar yang Memanggil

    Angin dari selatan menggulung pelan, membawa wangi laut dan sisa embun hutan. Di halaman rumah kayu yang terpahat di bibir tebing, suara burung murai bersahut seperti zikir pagi yang tak putus. Di sana, di bawah atap yang teduh oleh pohon mangga tua, Lintang duduk berhadapan dengan dua wajah yang telah lama ia kenali, namun baru kini ia pandang sepenuh makna: Sinta, ibunya—wanita berdarah Melanesia dan Bangladeshi yang matanya menyimpan luka dan keberanian, serta Jun Hoo, ayahnya—lelaki berdarah Korea Selatan yang rambutnya telah memutih, namun sorotnya masih jernih seperti riak danau.Pertemuan ini bukan hanya temu darah, melainkan temu jiwa yang telah lama mencari ruang untuk bicara tanpa kata-kata tertunda.“Lintang...” Sinta meraih tangan putrinya dengan gemetar, seakan takut tangan itu hanya mimpi. “Kau datang tepat saat dunia mulai membuka pintu langit.”Lintang tersenyum. “Aku dat

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 107 — Meja Bundar dari Pinggiran Dunia

    Hutan Lambusango masih berselimut embun pagi. Aroma tanah basah dan kayu tua mengalun perlahan seperti bait puisi purba. Di sebuah rumah panggung kayu, di tengah bentangan hijau yang tak pernah memihak siapa pun, Lintang duduk di depan layar, menyambut dunia.Hari ini, layar itu menjadi meja bundar virtual. Tapi bukan meja milik kekuasaan, bukan juga milik konferensi besar yang dikelilingi jas dan dasi. Ini adalah meja milik suara-suara kecil dari pelosok yang mulai berbicara, menolak dibungkam oleh jargon-jargon global.Lintang membuka pertemuan daring. Di layar muncul wajah-wajah dari benua yang berbeda—ada Mikhail dari Rusia, Alina dari Ukraina, Elias dari Jerman, dan kini bergabung pula wajah baru: Robert McAllister dari Amerika Serikat, Gao Yixuan dari China, Selene Ortega dari Meksiko, dan Camille Dupuis dari Kanada.Lintang membuka dengan senyum ya

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 106 — Di Antara Salju dan Api: Percakapan yang Menenun Harapan

    Langit Lambusango pagi itu berwarna kelabu lembut, seperti abu dupa yang naik dari altar doa. Hutan tampak lebih sunyi dari biasanya, seakan ikut menghela napas panjang dunia. Lintang duduk di bale bambu, di depan layar komputer yang memantulkan cahaya pucat. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau pelan, menandai bahwa hari baru telah dimulai, meski dunia belum benar-benar damai.Ia membuka ruang pertemuan daring internasional—sebuah diskusi lintas budaya yang melibatkan para sahabatnya dari Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat. Mereka tidak hadir sebagai wakil negara, tetapi sebagai anak-anak zaman yang ingin menjahit kembali kain dunia yang mulai koyak.Suara pertama datang dari Timur yang beku.“Halo, Lintang. Salju pertama turun kemarin,” ujar Mikhail, pemuda Rusia yang selalu berbicara seolah membawa denting lonceng gereja ortodoks. “Tapi yang dingin bukan hanya langit kami

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 105 — Napas yang Menjaga Peradaban

    Di bawah langit jingga yang mulai merunduk ke peluk senja, langkah Lintang menyusuri jalur setapak Lambusango seolah menari dalam irama yang tak kasat mata. Daun-daun mengayun pelan, seperti menyambutnya dengan kidung rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti makna keheningan. Hutan itu tidak sekadar rimba—ia adalah kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan hati.Udara lembap dan wangi resin dari pohon-pohon tua memenuhi dada. Ada keheningan yang tidak mati, melainkan tumbuh, seperti akar yang terus menyerap kearifan bumi. Di sinilah, di tengah jantung Lambusango, Lintang bersama timnya melakukan riset intensif mengenai hasil hutan non-kayu—resin, rotan, madu hutan, hingga tumbuhan obat yang disimpan oleh rimba dalam sunyi panjangnya.Mereka bukan sekadar peneliti. Mereka adalah para pembaca tanah, penyair bumi yang menuliskan ulang masa depan bukan dengan tinta, melainkan dengan dedikasi dan cinta. Lintang memandangi sebotol kecil madu

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 104 – Madrasah Langit, Sekolah dari Akar

    Malam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 103 – Di Tengah Riuh Dunia yang Terguncang

    Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 102 – Singgasana yang Mendengar Daun Jatuh

    Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status