Angin sepoi-sepoi membawa aroma harum damar dan tanah basah. Hutan Lambusango, yang konon menjadi saksi bisu kelahiran para raja di Pulau Buton, kini terasa lebih hidup dari biasanya. Sinar matahari pagi menembus dedaunan, menciptakan corak-corak indah di lantai hutan yang dipenuhi lumut hijau.
Di tengah hutan yang masih asri itu, berdiri seorang perempuan dengan kecantikan yang memukau. Rambut hitam panjangnya berkibar tertiup angin, matanya berkilau memancarkan cahaya biru lembut. Dialah Ratu Wakaaka, penguasa legendaris Pulau Buton yang kembali ke dunia fana.
Sejak kedatangannya, Wakaaka merasakan ada ikatan yang kuat menariknya ke Hutan Lambusango. Ia merasakan kehadiran sesuatu yang familiar, sebuah energi yang membuatnya tenang namun juga rasa penasaran. Dengan langkah ringan, ia berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah lama tidak terjamak.
Di tengah perjalanan, Wakaaka tiba-tiba terhenti. Di depannya, berdiri sebuah pohon bambu tua yang sangat besar. Pohonnya tampak berbeda dari pohon bambu lainnya, auranya begitu kuat dan magis. Tiba-tiba, kenangan masa lalunya berputar dengan cepat.
Ia melihat dirinya yang masih kecil, diusung dari rumpun bambu yang sama. Paman Dungku Chagia, seorang pendeta tinggi, sedang memimpin upacara pelantikan. Suara-suara lantunan mantra terdengar jelas di dengar, diikuti oleh tepuk tangan riang para tetua desa.
“Ini dia, tempat kelahiranku,” gumam Wakaaka, air matanya menetes perlahan.
Dengan lembut, ia menyentuh batang bambu itu. Seketika, ia merasakan aliran energi yang mengalir dari pohon ke dalam dirinya. Penglihatannya menjadi kabur, dan ia memasuki dunia batinnya, kesadarannya menyebrang ke dunia bawah sadaranya. Ia menemukan dirinya pada masa lalu yang jauh.
Dalam perjalanan jiwanya ke masa lalu, Wakaaka melihat kembali kehidupan masa lalunya sewaktu ia ditandu dari Bukit Lele Mangura. Ia melihat dirinya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, memimpin rakyat Buton menuju kemakmuran. Ia juga melihat perjuangannya kekuatan melawan kejahatan yang ingin menguasai pulau itu. Ia melihat dirinya yang sedang bertemu dengan beberapa kerabat kerajaan dan mendiskusikan aturan-aturan kerajaan, sehingga kerajaan ini bisa berkembang, terutama dalam melakukan ekspansi kepada kerajaan-kerajaan lain di timur Pulau Buton. "Mungkin Kamaru dan Lasalimu, harus kita ajak untuk bergabung dengan kerajaan kita, harus ada penyatuan keluarga agar kita tidak perlu berperang, tetapi kita harus membangun hubungan keluarga", ungkap Ratu Wakaaka dalam suatu pertemuan, ia hanya memandang laut lepas. Suara kuda kedengaran ketika mereka berdiri di pinggir sungai yang membelah daerah di kerajaan itu.
Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal di hatinya. Sebuah rahasia yang tersimpan jauh di dalam ingatannya. Sebuah rahasia tentang asal-usul kekuatan magisnya dan hukumnya dengan Hutan Lambusango. Ia terikat dengan hutan itu, ketika ia masih menjadi bagian dari hutan itu.Ketika ia semakin mendekati inti mimpinya, ia melihat sebuah cahaya terang. Cahaya itu semakin membesar hingga memenuhi seluruh cahaya. Lalu, dia mendengar suara lembut memanggil namanya.
"Wakaaka, sudah waktunya kau mengetahui kebenarannya. Rakyatmu memanggilmu sekarang,"
Suaranya begitu familiar, namun ia tidak dapat mengenali siapa pemiliknya. Dengan rasa penasaran yang membuncah, Wakaaka melangkah maju menuju cahaya itu. Ketika ia tersadar, ia mulai menyadari bahwa dirinya terlelap dalam memori lamanya, udara magis hutan Lambusango menyentuh bawah sadarnya berabad-abad silam. Perjalanan dirinya yang menjelma dalam diri seorang gadis cantik, telah menjadikan dirinya memahami masa lalunya, dan juga masa hari ini.
Keesokan harinya, cahaya matahari pagi menyinari wajah Wakaaka yang terpejam. Ia masih larut dalam perjalanan jiwanya, melewati lorong waktu untuk mencari jawaban atas misteri asal usulnya. Ketika mata membuka, ia mendapati dirinya masih berada di bawah pohon bambu tua. Bambu tua yang memiliki kekuatan magis, kekuatan yang pernah ia rasakan ratusan tahun silam.
"Aku harus mencari tahu lebih banyak," gumamnya. Ia merasakan suasana magis yang menghubungkan dirinya dengan alam di sekitarnya.
Dengan langkah mantap, ia mulai menjelajahi Hutan Lambusango. Semakin ia masuk, semakin terasa aura magis yang membuat hutan ini. Tumbuhan-tumbuhan langka bermekaran indah, dan suara-suara binatang terdengar begitu harmonis.
Tiba-tiba, ia mendengar suara-suara asing. Ternyata, ada sekelompok siswa asing yang sedang melakukan penelitian di hutan ini. Mereka berasal dari berbagai negara di Eropa, tertarik dengan keunikan flora dan fauna Hutan Lambusango.
Wakaaka memutuskan untuk mendekati mereka. Dengan menggunakan kekuatan magisnya, ia mengubah penampilan menjadi seorang gadis muda yang cantik dan ramah. Ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang pemandu wisata lokal yang mengenal betul setiap sudut hutan ini. Ia memperkenalkan dirinya, Sinta. Orang-orang memanggilnya, Wa Ode Sinta, karena ia memiliki wajah cantik dan kulit putih. Wajah perpaduan Melanesia dan Mongolia. Sinta juga memiliki ikatan darah dengan timur tengah. Jiwa Sang Ratu masuk menjelma dalam tubuh Sinta.
Para siswa menyambutnya dengan hangat. Mereka bercerita tentang tujuan penelitian mereka, mulai dari studi tentang tanaman obat tradisional hingga penelitian tentang sejarah Kerajaan Buton. Sinta yang merupakan reinkarnasi dari Ratu Wakaaka mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasa ada benang merah yang menghubungkan penelitian mereka dengan sejarahnya. Sinta sangat antusias menemani para peneliti itu, sebagai guide, ia sangat senang.
Ketika sedang berbincang dengan seorang mahasiswa yang ahli dalam bidang genetika, Siinta menceritakan tentang mimpinya dan pohon bambu tua. Mahasiswa itu tertarik dengan cerita Sinta dan menyarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pohon bambu tersebut. Pohon itulah yang selalu menarik Sinta untuk memasuki dunia bawah sadarnya dan jadilah ia sebagai seorang ratu. Fisiknya terpilih oleh leluhur, sehingga ia bisa berdiskusi dengan anak-anak Eropa tersebut.
“Mungkin ada sesuatu yang unik dalam DNA pohon bambu ini,” ujar mahasiswa itu. "Kita bisa mencoba mencari tahu apakah ada hubungan dengan kekuatan magis yang Anda miliki. Karena saya pikir kau memiliki kekuatan yang sangat dekat dengan lingkungan ini, sehingga kau dapat mengenal hutan Lambusango sendirian."
Sinta hanya terdiam, rasanya ia bukan lagi dirinya, dan ia kemudian bertindak seperti Sang Ratu. Sebagai Ratu Wakaaka, Sinta sangat antusias dengan ide tersebut. Ia merasa semakin dekat untuk mengungkap rahasia kekuatannya. Ia banyak bercerita tentang masa lalunya, termasuk soal pertemuannya dengan seekor anoa. Hewan khas Sulawesi Tenggara ini begitu tenang di hadapannya.
Dengan menggunakan kekuatan telepatinya, Sinta berhasil berkomunikasi dengan anoa tersebut. Anoa itu menceritakan banyak hal tentang Hutan Lambusango, termasuk cerita tentang Oputa Yi Koo, pahlawan nasional Buton yang legendaris. "Hutan ini sangat kaya akan flora dan fauna, hutan tropis yang luas, dengan banyak sungai-sungai yang mengalir di dalamnya.
Melalui anoa, Wakaaka yang menjelma dalam diri Sinta melihat kilasan sejarah perjuangan Oputa Yi Koo. Ia melihat bagaimana Oputa Yi Koo memimpin rakyat Buton melawan penjajah. Ia juga melihat kekuatan magis yang dimiliki oleh Oputa Yi Koo, yang sangat mirip dengan kekuatan yang dimilikinya. Dalam hari-harinya, Sinta sangat kuat dalam merasakan semua yang ada di sekitarnya, terlebih saat Jiwa Wakaaka menjelma dalam dirinya, ia hampir mengetahu semuanya, termasuk peristiwa ratusan tahun silam, dan juga ratusan tahun yang akan datang.
Dengan semangat baru, Jiwa Ratu Wakaaka yang mengendalikan Sinta, berpikir untuk lebih jauh menjelajahi kembali ke Hutan Lambusango. Para siswa itu membawa beberapa alat yang bisa mendeteksi karbon yang ada di hutan itu. Mereka membawa peralatan penelitian yang lengkap untuk mengungkap misteri pohon bambu tua. "Mungkin ada kekuatan magis pada bambu ini,"
"Jangan-jangan ada kekuatan ghaib pada bambu ini," pikir Sinta. Kondisi jiwanya begitu cepat untuk berada di alam lainnya.
Mahasiswa yang datang dari Eropa yang mengikuti program Wallacea itu, mencoba mendeteksi kekuatan aneh di sekitar pohon bambu, ia menggunakan alat pendeteksi karbon terbaru, sehingga tidak perlu lagi mengirim sampel ke perpusatakaan. Setelah melakukan berbagai pengujian melakukan scan terhadap karbon itu, mulai dari analisis DNA hingga pengukuran energi, mereka menemukan hasil yang mengejutkan.
Ternyata, berdasarkan data yang dihasilkan dari uji atas karbon, ternyata ada kekuatan yang dideteksi oleh alat itu. Di dalam data yang dilaporkan dari alat canggih tersebut, ada DNA pohon bambu yang memiliki energi yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Energi ini memiliki frekuensi yang sangat tinggi dan memancarkan aura magis yang kuat. Beberapa mahasiswa ikut merasakan perubahan energi itu. Coba lihat sepertinya ada pengrahuh energi elektromagnetik yang kuat di daerah ini.
"Sinta terdiam, namun tiba-tiba ia kemasukan lagi. Para siswa menyebutnya sebagai "Energi Wakaaka", karena mereka yakin energi ini berkaitan erat dengan kekuatan magis yang dimiliki oleh bambu tersebut, Sinta yang merupakan penjelmaan dari Ratu Wakaaka, mulai mengontrol pikirannya.
"Ini adalah penemuan yang luar biasa!" seru salah seorang pelajar. "Energi ini bisa menjadi kunci untuk memahami asal usul kekuatan magis dan bahkan mengembangkan teknologi baru. Mungkinkah ini adalah energi leluhur yang selama ini menjaga pulau Buton.
Namun, di tengah euforia penemuan mereka, sebuah ancaman mulai muncul. Kekuatan jahat yang selama ini mengintai Pulau Buton mulai bertindak. Gempa bumi kecil mengguncang pulau, dan muncul retakan-retakan misterius di beberapa tempat. Hewan-hewan pembohong menjadi dan sering menyerang pemukiman penduduk. Energi tersebut adalah energi yang selama ini mempengaruhi tubuh Sinta ketika ia sudah mulai merasakan, maka seketika itu juga ia tidak akan sadar lagi.
Sinta tidak sadarkan diri, saat-saat pertama Ratu Wakaaka menggunakan tubuhnya. Maka ketika Sinta pingsan, ia tersadar sebagai Ratu Wakaaka. Sinta sudah bergerak seperti Wakaaka dan ia mulai merasakan kehadiran kekuatan jahat itu. Ia tahu bahwa kekuatan ini ingin merebut energi magis yang terkandung dalam pohon bambu tua. Jika kekuatan jahat berhasil menguasai energi itu, maka Pulau Buton akan berada dalam bahaya.
“Kita harus melindungi pohon bambu ini,” kata Wakaaka dengan tegas. "Kekuatan jahat tidak boleh sampai."
Bersama-sama dengan para pelajar dan penduduk desa, Wakaaka membentuk pertahanan di sekitar pohon bambu. Mereka membangun pagar pelindung dari kayu dan batu, serta memasang jimat-jimat yang dipercaya dapat memenangkan kekuatan jahat.
Sementara itu, Wakaaka terus mempelajari sejarah perjuangan Oputa Yi Koo. Ia menemukan bahwa Oputa Yi Koo juga pernah menghadapi ancaman yang serupa. Dengan mempelajari taktik perang Oputa Yi Koo, Wakaaka yakin bahwa ia dapat mengalahkan kekuatan jahat.
Suatu malam, kekuatan jahat menyerang. Hutan Lambusango dipenuhi oleh makhluk-makhluk mengerikan yang mengeluarkan aura hitam pekat. Wakaaka dan para pembela pulau bersiap menghadapi serangan mereka.
Dengan kekuatan magisnya, Wakaaka menciptakan dinding api yang mengelilingi pohon bambu. Ia juga memanggil roh leluhur untuk membantu. Pertempuran sengit pun terjadi. Orang-orang lokal menyebut kekuatan jahat itu dengan nggoalu, yang menaiki kendaraan yang dikenal dengan winte.
Wakaaka duduk termenung di bawah pohon beringin tua di halaman istana. Cahaya rembulan memantulkan bayangannya yang memanjang di atas tanah. Pikirannya melayang jauh, mengingat kembali semua kejadian yang telah dialaminya. Ia merasa terjebak di antara dua dunia: dunia manusia yang penuh dengan tanggung jawab dan dunia magis yang penuh misteri. Dari atas bukit itu, ia memandang ke arah barat menjelang matahari terbenam.Sebagai ratu, ia harus menjaga keseimbangan dan keharmonisan di pulau Buton. Namun, sebagai seorang wanita biasa, ia juga memiliki keinginan untuk memahami dirinya sendiri dan kekuatan magis yang dimilikinya. Konflik batin ini membuatnya terasa terombang-ambing."Apa yang harus kulakukan?" gumamnya lirih.Tiba-tiba, ia mendengar suara lembut memanggil namanya. "Wakaaka, jangan terlalu bersantai."Wakaaka menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua dengan rambut putih panjang sedang berdiri di belakangnya. Wanita itu memiliki mata yang bersinar terang, seolah-olah meny
Wakaaka berdiri di puncak bukit, memandang keindahan Pulau Buton yang perlahan mulai pulih dari kehancuran. Namun, di balik wajahnya yang tenang, hatinya penuh dengan kegelisahan. Meskipun rakyatnya mulai menyambut upayanya dengan rasa syukur, ada bisik-bisik ketidakpuasan di antara beberapa golongan. Wakaaka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tetapi juga menyatukan hati yang terpecah.Dalam perjalanan tur ke desa-desa, ia menyadari perbedaan yang mencolok antara generasi tua dan muda. Generasi tua masih memegang teguh adat dan tradisi yang diwariskan selama berabad-abad, sementara generasi muda ingin membawa perubahan, memanfaatkan teknologi, dan mengadopsi cara hidup yang lebih modern.Di sebuah desa kecil di dekat pesisir, Wakaaka bertemu dengan Aji. Pemuda itu bukan hanya cerdas dan peduli, tetapi juga memiliki pandangan yang seimbang tentang bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Saat Wakaaka berbicara dengan Aji, ia merasa menemukan t
Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La
Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek
Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya
Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de
“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,
Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pem
Langit Seoul berwarna kelabu saat Lintang melangkah keluar dari stasiun. Hujan tipis mengguyur jalanan kota yang sibuk, namun suara langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak menanggung beban masa silam yang belum benar-benar selesai. Di tangannya, ia menggenggam sekuntum bunga camellia putih—simbol kerendahan hati dan penyesalan.Alamat rumah sang nenek tertera di selembar kertas yang kini telah lecek di sakunya. Meski sebelumnya begitu yakin akan percakapan ini, kini dadanya berdebar, dan pikirannya berliku: Akankah neneknya menerima? Ataukah ambisi masa lalu masih tertinggal dalam darah perempuan tua itu?Rumah kayu tua di pinggir kota itu tampak seperti lukisan dari masa lalu: beranda kecil dengan tanaman bonsai, dan pintu geser dari kayu pinus tua. Aroma kayu dan hujan membaur di udara, menciptakan suasana yang melankolis namun sakral.Lintang mengatur napas. Ia mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan.Lalu suara lembut, r
Dedaunan gingko menari perlahan di sepanjang lembah Gangwon-do, seolah menyambut tamu dari arah khatulistiwa yang datang membawa rencana besar dalam kepalanya dan doa lembut dalam dadanya. Lintang berjalan di jalur tanah yang mengarah ke ladang pertanian, tempat para petani Korea masih menggantungkan hidup mereka dari tanah, air, dan musim yang tak selalu bersahabat.Di antara ladang itu, berdiri seorang lelaki tua dengan topi bambu dan tangan penuh lumpur, namun senyum dan matanya jernih bak telaga.“Annyeong haseyo,” sapa Lintang, sedikit kaku tapi tulus.Petani itu mengangguk. “Kau dari Indonesia?” tanyanya, sambil meletakkan alat cangkul ke tanah. “Aku pernah bertemu peneliti dari Buton dulu, tentang metode tanam dengan bulan.”Lintang tersenyum, seakan semesta mempertemukannya tepat dengan orang yang tak asing dengan tanah airnya.“Aku datang membawa gagasan Madrasah Langit,” katanya pelan. &ldqu
Angin dari selatan menggulung pelan, membawa wangi laut dan sisa embun hutan. Di halaman rumah kayu yang terpahat di bibir tebing, suara burung murai bersahut seperti zikir pagi yang tak putus. Di sana, di bawah atap yang teduh oleh pohon mangga tua, Lintang duduk berhadapan dengan dua wajah yang telah lama ia kenali, namun baru kini ia pandang sepenuh makna: Sinta, ibunya—wanita berdarah Melanesia dan Bangladeshi yang matanya menyimpan luka dan keberanian, serta Jun Hoo, ayahnya—lelaki berdarah Korea Selatan yang rambutnya telah memutih, namun sorotnya masih jernih seperti riak danau.Pertemuan ini bukan hanya temu darah, melainkan temu jiwa yang telah lama mencari ruang untuk bicara tanpa kata-kata tertunda.“Lintang...” Sinta meraih tangan putrinya dengan gemetar, seakan takut tangan itu hanya mimpi. “Kau datang tepat saat dunia mulai membuka pintu langit.”Lintang tersenyum. “Aku dat
Hutan Lambusango masih berselimut embun pagi. Aroma tanah basah dan kayu tua mengalun perlahan seperti bait puisi purba. Di sebuah rumah panggung kayu, di tengah bentangan hijau yang tak pernah memihak siapa pun, Lintang duduk di depan layar, menyambut dunia.Hari ini, layar itu menjadi meja bundar virtual. Tapi bukan meja milik kekuasaan, bukan juga milik konferensi besar yang dikelilingi jas dan dasi. Ini adalah meja milik suara-suara kecil dari pelosok yang mulai berbicara, menolak dibungkam oleh jargon-jargon global.Lintang membuka pertemuan daring. Di layar muncul wajah-wajah dari benua yang berbeda—ada Mikhail dari Rusia, Alina dari Ukraina, Elias dari Jerman, dan kini bergabung pula wajah baru: Robert McAllister dari Amerika Serikat, Gao Yixuan dari China, Selene Ortega dari Meksiko, dan Camille Dupuis dari Kanada.Lintang membuka dengan senyum ya
Langit Lambusango pagi itu berwarna kelabu lembut, seperti abu dupa yang naik dari altar doa. Hutan tampak lebih sunyi dari biasanya, seakan ikut menghela napas panjang dunia. Lintang duduk di bale bambu, di depan layar komputer yang memantulkan cahaya pucat. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau pelan, menandai bahwa hari baru telah dimulai, meski dunia belum benar-benar damai.Ia membuka ruang pertemuan daring internasional—sebuah diskusi lintas budaya yang melibatkan para sahabatnya dari Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat. Mereka tidak hadir sebagai wakil negara, tetapi sebagai anak-anak zaman yang ingin menjahit kembali kain dunia yang mulai koyak.Suara pertama datang dari Timur yang beku.“Halo, Lintang. Salju pertama turun kemarin,” ujar Mikhail, pemuda Rusia yang selalu berbicara seolah membawa denting lonceng gereja ortodoks. “Tapi yang dingin bukan hanya langit kami
Di bawah langit jingga yang mulai merunduk ke peluk senja, langkah Lintang menyusuri jalur setapak Lambusango seolah menari dalam irama yang tak kasat mata. Daun-daun mengayun pelan, seperti menyambutnya dengan kidung rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti makna keheningan. Hutan itu tidak sekadar rimba—ia adalah kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan hati.Udara lembap dan wangi resin dari pohon-pohon tua memenuhi dada. Ada keheningan yang tidak mati, melainkan tumbuh, seperti akar yang terus menyerap kearifan bumi. Di sinilah, di tengah jantung Lambusango, Lintang bersama timnya melakukan riset intensif mengenai hasil hutan non-kayu—resin, rotan, madu hutan, hingga tumbuhan obat yang disimpan oleh rimba dalam sunyi panjangnya.Mereka bukan sekadar peneliti. Mereka adalah para pembaca tanah, penyair bumi yang menuliskan ulang masa depan bukan dengan tinta, melainkan dengan dedikasi dan cinta. Lintang memandangi sebotol kecil madu
Malam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah
Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k
Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan