Nina adalah seorang menantu yang zalim pada Bu Ami, mertuanya sendiri. Dia amat kikir dan suka menikmati makanan di kamar tanpa berbagi pada mertua dan adik-adik iparnya. Sementara sang suami, Wahyu bekerja di luar Kota hingga tak tahu perbuatan istrinya yang buruk itu. Bahkan Nina berselingkuh dengan teman kerjanya sendiri, Joko. Sampai dia bercerai dengan Wahyu dan meninggalkan anaknya sendiri, Adel. Tapi sayang, Joko bukan orang baik dan Nina harus kembali bercerai setelah anaknya dari suami keduanya itu lahir. Nina pun pergi dari kampung tersebut, namun kembali setelah dua puluh lima tahun kemudian bersama anak dari Joko, yaitu Genta. Nina mencintai anak lelakinya dengan sangat, tapi tidak pada anak pertamanya, Adel. Bahkan dia tidak ingin mengakui darah dagingnya tersebut. Sampai di mana, Retno, menantunya sendiri yang tak lain istri Genta memiliki sikap buruk seperti dia di masa muda, dan membongkar kejahatan Nina selama ini hingga membuat Genta kecewa pada ibunya. Nina pun ditinggal oleh Genta dan Retno, pada akhirnya Nina menyesali segala perbuatannya pada Adel terlebih pada mantan mertuanya, mendiang Bu Ami. Nina benar-benar menuai apa yang dia tanam selama ini.
Lihat lebih banyak"Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,
“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen
"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s
Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad
“Pemberian menantuku loh, ini,” kata Bu Esih saat ditanya ibu-ibu soal perhiasannya yang baru.“Menantumu Indah, Bu Esih?” tanya lagi yang lain, aku hanya sibuk mendengarkan.“Iya, lah. Siapa lagi?” Bu Esih menampakkan senyuman bangga.“Baik sekali ya menantumu, Bu. Sudah cantik, pekerja keras, bisa ngurus anak dengan baik pula. Bersyukur Bu punya menantu seperti Indah.” Bu Esih mengangguk-angguk, dalam hati aku ikut bahagia melihat kesenangan orang lain. Diam-diam aku juga berdoa supaya Nina bisa merubah sikapnya yang ketus nan pelit.Sebagai seorang mertua, sejatinya aku bukan ingin diberi, melihat anak dan menantu sudah berkecukupan saja senang rasanya. Tapi beda lagi dengan sikap Nina yang selalu memperlakukanku layaknya musuh.“Bu Ami, Nina bagaimana sekarang?” tanya Bu Esih di sela suara mesin yang menderu. Kami me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen