Share

Uang Seratus Ribu

Penulis: Azu Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.

“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.

“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”

“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”

“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri yang meminta pada Tuhan.” Siang malam katanya? Siang malam nonton televisi, itu baru benar.

“Bukan begitu, Nin. Tapi ‘kan baju kamu banyak, masih pada baru. Pakai saja yang ada.”

“Masa syukuran rumah pakai baju lama sih, Mas? Rumahnya baru tapi bajunya enggak. Kan aneh.” Sekalian saja padahal Wahyu ganti istri baru, dasar wanita aneh!

“Nin, Nin … syukuran kok kayak mau lebaran saja. Maaf, ya. Gajiku kemarin kena potongan karena sering nggak masuk, jadi nanti Mas hanya akan kirim uang untuk bahan-bahan masakan saja.” Tut! Terdengar suara sambungan telepon yang terputus.

“Mas! Halo, Mas! Dasar laki nggak pengertian!” makinya seraya mengetuk-ngetuk layar ponsel, melihatnya seperti itu aku hanya menggidikkan bahu sambil melanjutkan nyapu.

*** 

“Ini uangnya, Bu. Pokoknya masakin makanan yang enak-enak.” Aku terdiam melihat uang serratus ribu pemberian Nina.

“Memangnya, mau masak makanan apa, Nin?”

“Lho, kayak acara syukuran biasa, lah, Bu. Masak nasi kuning sama daging, terus bikin kue-kue kayak arem-arem, klepon, gethuk sama kue mendut. Eh, tambahin jenang juga, kesukaanku ya, Bu.” Ya Allah, apa menantuku sudah benar-benar hilang akal? Dengan uang selembar ini, dia menyuruhku untuk membuat macam-macam makanan. Mana cukup ….

“Kalau Farhan sudah pulang, suruh dia beli air mineral lima dus ya, Bu.” Ini lagi, minta dijadikan getuk apa dia.

“Nggak cukup lah, Nin,” kataku jujur.

“Nggak cukup apanya, Bu? Uangnya?”

“Ya iya, Nduk. Uang segini hanya cukup beli satu ekor ayam.”

“Lah, dicukup-cukupin saja, Bu.”

“Haha, kalau begitu masak sendiri, yo.” Kuletakkan uang kembali ke atas meja dapur, terserah jika dia mau mengambilnya atau tidak.

“Kok gitu sih, Bu? Ibu gak perhatian banget anak mau pindah rumah.”

“Ya gimana gak perhatian, uang segitu mana cukup.”

“Pakai uang Ibu saja dulu, nanti setelah Mas Wahyu pulang aku ganti.” 

Ingin tertawa sekencang-kencangnya aku mendengar perkataan Nina, aku tahu Wahyu sudah mengirim uang bahkan nominalnya lebih dari itu.

“Ya sudah,” jawabku, lalu kembali mengambil uang di atas meja. Nina pun berlalu tanpa mengucap terima kasih atau kata-kata lain.

Selepas kepergiannya, aku hanya bisa menghela napas. Berpikir dari mana anakku mendapatkan istri macam dia? Apa yang dimilikinya sampai-sampai bisa membuat Wahyu begitu mencintainya. Entahlah.

***  

Bukannya ingin mempermalukan anak dan menantu di acara syukuran rumahnya. Namun bagaimana lagi? Nina sendiri yang tak mau keluar uang lebih banyak. 

“Apa-apaan ini?”

“Apanya yang apa-apaan?” tanyaku balik. Nina tampak kaget melihat makanan yang sudah selesai kumasak di atas meja dapur.

“Cuma segini kuenya, Bu?” Dia melirikku sekarang, aku mengangguk membenarkan.

“Tapi lengkap ‘kan, Nin? Ada klepon, kue mendut, arem-arem sama gethuk, kesukaanmu juga ada, kue jenang.”

“Ya tapi bukannya satu biji begini, Bu ….” Nina mengangkat kue jenang lalu menjatuhkannya kembali ke atas piring.

“Yang penting lengkap, Nin. Ibu juga sudah masak nasi kuning sama daging.”

“Mana?” tanyanya cepat, aku menunjuk bakul nasi. Dia langsung menuju ke sana.

“Ya ampun, ini hanya cukup untuk di makan orang satu rumah. Ini juga, daging ikan? Mana daging ayamnya?”

“Loh, kamu gak bilang mau pakai daging ayam, Nin.”

Nina mulai kesal sepertinya, wajahnya memerah dan sekarang kedua tangannya disimpan di samping pinggang.

“Jangan bercanda ya, Bu! Waktu tinggal nunggu sore, masa iya tamu mau disuguhin makanan begini?”

“Yang bercanda siapa, Nin? Ibu hanya menyesuaikan masakan dengan uang yang kamu kasih.”

“Kan aku bilang pinjam dulu uang Ibu, nanti setelah Mas Wahyu kirim aku ganti!”

“Aku ‘kan sudah kirim uang, Nin!” Suara seorang lelaki dari arah pintu membuat kami menoleh bersamaan. Ya ampun, betapa senangnya aku melihat penampakkan Wahyu saat keadaan seperti ini.

“M-Mas Wahyu?”

“Maksud kamu tadi apa, ya? Aku ‘kan sudah kirim uang,” ucap Wahyu sambil melepaskan ransel dan menyimpannya asal ke atas meja dapur.

“I-itu, Mas ….”

“Bagaimana kabarnya, Bu?” Wahyu langsung menghampiriku dan mencium tangan ini penuh hormat. Di sampingku, dia bertanya lagi pada Nina tentang kejelasan uang yang sudah dikirim satu minggu lalu katanya.

“Em, uangnya ada, Mas. Tapi setengahnya kepakai buat beli baju baru.”

“Ya ampun … jadi sekarang belum masak buat acara syukurannya, begitu?” Wahyu tampak kecewa.

“Sudah, Mas. Aku sudah suruh Ibu, tapi ya Ibu malah bercanda. Lihat! Itu katanya yang akan disuguhkan pada para tamu.” Wahyu menoleh ke meja.

“Memangnya kamu kasih uang sama Ibu berapa?” tanya Wahyu lagi. Nina terdiam agak lama.

“Berapa?” ulang Wahyu.

“Seratus ribu, Mas.”

“Ya Allah … yang betul saja, Nin? Aku kirim empat juta kamu cuma kasih Ibu seratus ribu? Cukup apa? Bersyukur Ibu masih mau membuat masakan, ada apa sih sama kamu, Nin? Sudah nyuruh, nggak bantuin, ngasih uang cuma-cuma. Kecewa aku!”

“Mas nyalahin aku?” Nina menatap anakku dalam.

“Ya nggak nyalahin gimana, uang satu bulan gaji kamu habisin hanya untuk pakaian. Itu keterlaluan!”

“Siapa suruh kamu nggak mau nurutin kemauanku, Mas? Dari jauh hari aku sudah meminta baju model tersebut, ‘kan? Tapi kamu malah kirim uang hanya untuk bahan masakan. Nggak pengertian!”

“Lagi pula untuk apa pakaian berjuta-juta itu, Nin? Kita bukan orang berada seperti keluarga Indah! Aku bukan seorang pegawai negeri seperti suaminya Indah! Gajiku pas-pasan, beruntung ada pekerjaan. Harusnya kamu bersyukur. Kerjaan di zaman sekarang susah! Tapi kamu malah mengeluarkannya dengan cuma-cuma!” Baru kali ini aku mendengar Wahyu marah. Bahkan sampai berani meninggikan suara pada istrinya itu.

“Mas jahat!”

“Terserah! Aku capek dengan sikap borosmu itu, Nin!”

“Oke, kalau begitu nggak usah ngadain syukuran!” ucap Nina sambil menyeka air mata lalu pergi dari hadapan kami.

Wahyu tak memanggilnya untuk kembali, dia malah duduk di kursi tunggal dekat meja. Menghela napasnya dalam sambil menunduk.

“Sabar ya, Le. Maafin Ibu, gara-gara Ibu kalian jadi bertengkar.”

Wahyu menggeleng. “Enggak, Bu. Seharusnya kami yang meminta maaf. Semoga, setelah pindah rumah nanti, Nina bisa bersikap lebih dewasa,” ucapnya. Aku hanya mengaminkan dalam doa.

Bersambung.

Bab terkait

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Dibuang Mertua

    Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Motor Siapa?

    Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Pekerjaan Baru

    Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Kamar Nina

    "Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Rendang Telur

    “Pemberian menantuku loh, ini,” kata Bu Esih saat ditanya ibu-ibu soal perhiasannya yang baru.“Menantumu Indah, Bu Esih?” tanya lagi yang lain, aku hanya sibuk mendengarkan.“Iya, lah. Siapa lagi?” Bu Esih menampakkan senyuman bangga.“Baik sekali ya menantumu, Bu. Sudah cantik, pekerja keras, bisa ngurus anak dengan baik pula. Bersyukur Bu punya menantu seperti Indah.” Bu Esih mengangguk-angguk, dalam hati aku ikut bahagia melihat kesenangan orang lain. Diam-diam aku juga berdoa supaya Nina bisa merubah sikapnya yang ketus nan pelit.Sebagai seorang mertua, sejatinya aku bukan ingin diberi, melihat anak dan menantu sudah berkecukupan saja senang rasanya. Tapi beda lagi dengan sikap Nina yang selalu memperlakukanku layaknya musuh.“Bu Ami, Nina bagaimana sekarang?” tanya Bu Esih di sela suara mesin yang menderu. Kami me

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Siomay

    Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Rumah Bu Esih

    "Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   PENGAJIAN

    "Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen

Bab terbaru

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Kamar Nina

    "Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Pekerjaan Baru

    Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Motor Siapa?

    Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Dibuang Mertua

    Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Uang Seratus Ribu

    “Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Tabung Gas

    “Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   PENGAJIAN

    "Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Rumah Bu Esih

    "Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Siomay

    Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad

DMCA.com Protection Status