Nina PoV
“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.
“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.
“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”
“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.
“Berarti benar, ‘kan?”
“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”
Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.
“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji, Mas!” ucapku kukuh. Mas Wahyu malah berdiri dan berjalan menuju pintu.
“Mau ke mana, Mas?”
Dia menoleh. “Ke luar, beli makanan. Benar apa kata orang, selama ini Ibuku sering kelaparan,” ucapnya dalam dengan tatapan tajam. Kemudian menekan knop pintu dan berlalu dari hadapanku.
***
Muhammad Wahyu.
Beberapa tahun lalu aku bertemu dia di tempat temanku. Saat itu, Mas Wahyu menginap di rumah temanku, kakaknya satu pekerjaan dengan lelaki yang kini menjadi suamiku.
Katanya, Mas Wahyu ingin tahu tempat tinggal teman kerjanya itu sambil menikmati pemandangan kampung. Ya, aku memang hidup di sebuah desa yang masih asri, berbeda dengan tempat tinggal Mas Wahyu yang sudah termasuk kota.
Tempat tinggalku masih dikelilingi sawah dan perkebunan. Betapa senangnya saat pertama kali bertemu dengan Mas Wahyu, jujur aku langsung terpesona. Wajahnya tampan, kulitnya putih tanpa cela, tubuhnya tinggi dan gagah, matanya sipit menggemaskan. Pokoknya, Mas Wahyu itu tipe idealku.
Karena terbayang-bayang selalu, akhirnya aku memberanikan diri berbicara pada Wina agar memintakan nomor ponsel Mas Wahyu pada kakaknya. Dan … berhasil!
Lagi, deg-degan bukan main saat menghubungi pria sipit itu pertama kali. Apa lagi responsnya yang sangat cuek. Mas Wahyu memang orangnya kalem dan pendiam.
Tapi aku tak menyerah sampai situ saja, siang malam aku selalu mengirimi Mas Wahyu pesan. Tak patah arang walau kadang dia tak membalas. Sampai akhirnya, satu waktu Mas Wahyu mengajakku bertemu. Tentu dengan sikapnya yang kalem dia meminta.
Mas Wahyu kembali datang ke kampung halaman bersama kakaknya Wina.
“Oh, ini toh. Yang kemarin main sama adiknya Dwi, ya?” kata Mas Wahyu saat pertama kali kami saling bertatap muka.
“Kan aku sudah bilang.”
“Ya Mas ndak ingat, tapi kalau lihat langsung jadi ingat,” katanya saat itu, membuat hatiku berbunga-bunga.
Setelah pertemua itu terjadi, komunikasi kami semakin intens, Mas Wahyu yang awalnya cuek mendadak jadi hangat. Dia sering bilang aku wanita yang manis dan lucu, sampai di mana dia benar-benar datang melamarku bersama keluarganya.
Sungguh seperti mimpi … tapi semua itu kenyataan yang membuat hatiku senang kepalang.
Setelah menikah dengannya, tiga hari kemudian aku langsung diboyong ke kota. Jarak kampungku dengan tempat tinggal Mas Wahyu kurang lebih lima puluh kilometer.
Mas Wahyu membawaku ke rumahnya, tinggal bersama orang tua dan kedua adik lelakinya. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik, apa lagi Ibu. Beliau bilang sangat sayang padaku karena selama ini tidak memiliki anak perempuan.
Setelah satu minggu berada di rumah Mas Wahyu, suamiku harus kembali berangkat ke Ibu Kota untuk bekerja. Mau tidak mau aku hanya bisa menurut.
Enam bulan pernikahan kami berjalan, bapak mertuaku meninggal. Otomatis Mas Wahyu menjadi lelaki tertua di rumah, semua anggota keluarga menjadi tanggung jawab suamiku. Apa lagi Ridho dan Farhan masih sekolah saat itu. Walau kini yang mengenyam Pendidikan hanya tinggal adik ipar bungsu.
Setiap pulang, Mas Wahyu selalu membawa makanan enak. Dari mulai buah-buahan sampai sayuran, bahkan bahan masakan. Mas Wahyu begitu royal pada keluarganya.
Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa kesal. Mas Wahyu terlalu dekat dengan Ibunya, kalau menghubungiku pun dia selalu menanyakan Ibu dan Ibu. Aku cemburu jika Mas Wahyu sering bercerita tentang pekerjaannya pada wanita paruh baya itu.
Aku hanya ingin Mas Wahyu tertawa dan bercerita denganku. Itu saja.
Mas Wahyu juga sering membelikan Ibu baju dan makanan enak, walau aku tak pernah dibeda-bedakan, namun entah mengapa hatiku tak senang melihat suamiku begitu melekat dengan Ibunya.
Sampai suatu hari aku memiliki ide. Aku tak ingin Mas Wahyu terlalu royal walau terhadap keluarga. Setiap suamiku mengirim uang gajinya, sengaja aku memotong nominal rupiah untuk Ibu dan adik iparku. Biar lah mereka terbiasa hidup hemat, agar tak selalu bergantung pada Mas Wahyu.
Aku juga selalu menyembunyikan makanan di kamar, tepatnya di kolong ranjang agar tak ditemukan Ibu dan adik-adik. Biar lah mereka berusaha sendiri jika ingin makan, dan sadar kalau Wahyu sudah memiliki tanggung jawab lain selain mereka. Apa lagi setelah kehadiran Adel, uang satu bulan gaji mana cukup untuk biaya hidup, terlebih anakku minumnya sufor karena aku malas memberi ASI. Ribet!
Akhirnya, aku pun terbiasa hidup seperti itu. Aku yang awalnya merasa senang memiliki Ibu mertua seperti Ibu Ami mendadak jadi kesal karena kedekatannya dengan Mas Wahyu.
Pasti lah semua istri akan bersikap sepertiku jika suaminya terlalu dekat dengan wanita lain walau hanya dengan ibu sendiri, apa lagi ibunya selalu diberi dan diberi.
Awalnya semua berjalan dengan lancar, tapi setelah kejadian waktu hendak syukuran, Mas Wahyu jadi bersikap tak seperti biasanya padaku. Bahkan, sekarang dia terang-terangan memberikan uang pada Ibu tanpa melaluiku.
Semakin meradang ini hati, Mas Wahyu seperti tak menghargaiku lagi.
“Kapan mau pindahan, Nin?” tanya Ibu. Bawel sekali memang dia.
“Ya nanti juga pindah, Bu!” ucapku ketus, lalu memindahkan channel televisi dengan cepat.
“Kapan, Nin? Syukurannya ‘kan sudah, lebih cepat lebih baik.” Seperti biasa, sambil nyapu nenek cerewet itu berbicara.
Aku hanya terdiam, sebenarnya malas pindah rumah. Repot! Kalau tinggal di rumah sendiri, otomatis aku harus masak sendiri, bersih-bersih sendiri, segalanya sendiri. Berbeda jika masih diam di sini, setidaknya aku merasa memiliki pembantu.
“Nanti, lah! Kalau punya mesin cuci, baru pindah.”
“Beli saja, Nin. Gaji Wahyu pasti cukup buat beli mesin cuci.”
“Bu … Bu. Segala-gala beli, hemat sedikit, lah! Kalau Ibu memang mau aku cepat pindah, terpaksa saja nanti aku bawa mesin cuci dari rumah ini. Aku ‘kan repot kalau harus nyuci pakai tangan.”
“Yo wes, terserah kamu saja.” Dih! Menyebalkan sekali dia, sudah pelit, suruh pindah pula. Kalau memang dia nggak medit, pasti sudah bermurah hati akan memberikan mesin cuci di rumah ini padaku.
Biar, lah. Yang penting aku masih bisa tinggal di sini dan berleha-leha.
“Ma … mau jajanan.” Adel meminta. Aku mengangguk dan segera pergi ke kamar, lalu membungkukkan tubuh di depan ranjang.
Betapa terkejutnya aku saat melihat semua makanan di kolong raib. Aku mengucek mata dengan segera, tapi pemandangan itu masih sama.
Dengan gemetaran aku memanggil Ibu. Tak lama wanita paruh baya itu sampai di kamarku.
“Kenapa, Nin? Ada apa?”
“I-Ibu tadi bersihin kamarku, ‘kan?”
“Iya, Nin. ‘Kan kamu yang suruh.”
“Ini, barang-barang di sini ke mana?” tanyaku sambil menunjuk kolong ranjang.
“Barang-barang? Maksudmu, kardus-kardus, Nin?”
“Iya, itu! Ibu pindahin ke mana?”
“Lha, Ibu buang, Nin. Kirain sampah, habisnya banyak dan berserakan banget. Bawah ranjangmu kotor, takutnya banyak tikus lagi kayak kemarin. Makanya Ibu bersihin.”
“D-dibuang? Aku ‘kan nggak nyuruh Ibu membuangnya! Aduh!” Aku menepuk jidat. Teringat makanan di dalam kardus-kardus itu, bahkan ada segepok uang dan beberapa emas di satu kardus kecil.
“Ke mana? Ke mana Ibu membuangnya?” tanyaku cepat.
“Em … ke tempat pembuangan sampah lah, Nin. Memangnya dalamnya ada apa, sih?” Aku terkesiap mendengar pertanyaannya, masa iya aku harus bilang itu makanan. Bisa-bisa Ibu mengadu ke Mas Wahyu nanti.
“Mau ke mana, Nin?” panggil Ibu saat aku melangkah tanpa menjawab pertanyaannya tadi.
“Kalau sampahnya nggak ada, berarti udah di bawa petugas kebersihan, Nin!” Aku berhenti mengayunkan kaki. Apa? Petugas kebersihan? Tidak … tidak mungkin! Hartaku ada di sana.
“Jangannnn!” ucapku sambil berlari, mencoba peruntungan semoga saja kardus-kardus itu belum dibawa pergi.
Bersambung.
Maaf kalau kependekan yaa.... Lagi-lagi debay saya keburu bangun. InsyaAllah bab 9 bakal lebih panjang.
Makasih udah yang mau baca cerita ini. Sehat selalu buat kalian. ☘
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
"Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar
“Pemberian menantuku loh, ini,” kata Bu Esih saat ditanya ibu-ibu soal perhiasannya yang baru.“Menantumu Indah, Bu Esih?” tanya lagi yang lain, aku hanya sibuk mendengarkan.“Iya, lah. Siapa lagi?” Bu Esih menampakkan senyuman bangga.“Baik sekali ya menantumu, Bu. Sudah cantik, pekerja keras, bisa ngurus anak dengan baik pula. Bersyukur Bu punya menantu seperti Indah.” Bu Esih mengangguk-angguk, dalam hati aku ikut bahagia melihat kesenangan orang lain. Diam-diam aku juga berdoa supaya Nina bisa merubah sikapnya yang ketus nan pelit.Sebagai seorang mertua, sejatinya aku bukan ingin diberi, melihat anak dan menantu sudah berkecukupan saja senang rasanya. Tapi beda lagi dengan sikap Nina yang selalu memperlakukanku layaknya musuh.“Bu Ami, Nina bagaimana sekarang?” tanya Bu Esih di sela suara mesin yang menderu. Kami me
Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad
"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s
"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
"Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,
“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen
"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s
Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad