"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.
Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku.
"Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina.
"Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah.
"Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku.
"Hahaha, sama saja."
"Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!"
"Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sendiri mendengar pertanyaan Nina.
Aku diam saja, dari pada menjawab pertanyaannya, mendingan kuhabiskan nasi yang tinggal sedikit ini.
"Makannya sudah, Bu? Gorengannya buatku saja." Tangan Nina menjulur ke piringku, namun dengan cepat aku menghindar.
Serakah sekali dia, sudah makan dengan kornet bahkan masakan yang lain tapi masih mau meminta gorengan dariku. Padahal aku hanya makan dengan bakwan buatan sendiri karena keuangan sudah mulai menipis.
"Ya ampun, pelit banget sih, Bu?" ketusnya saat aku berdiri.
"Buat Farhan. Dia belum makan. Takutnya kamu keracunan kalau makan ini, soalnya tadi Ibu goreng pakai minyak tanah," ucapku sekenanya. Sengaja, biar saja dia mikir sendiri. Secara minyak goreng kemasan yang dibawa Wahyu kemarin dia simpan di kamarnya saat aku lengah.
Nina hanya mendesis, sementara aku mencoba tak peduli dan berlalu begitu saja dari hadapannya.
***
"Bagaimana kabarnya, Dho? Ini nomor siapa? Kenapa gak pakai nomor Kakakmu?" tanyaku bertubi-tubi.
"Ini nomor Ridho, Bu. Alhamdulillah Ridho sudah kebeli hp, jadi bisa hubungin Ibu pakai hp sendiri." Aku mengucap syukur tiada tara mendengarnya. Memiliki ponsel termasuk keinginan besar anak keduaku itu, selama di rumah dia tak pernah memegang benda canggih tersebut.
Karena di rumah hanya ada ponsel jadul pemberian Wahyu saat pertama kali dia bekerja di sana. Benda tersebut kami gunakan untuk bertiga, terkadang Ridho menggunakannya untuk bermain ular atau bola orange yang memantul.
Pernah Ridho meminta ponsel pada Wahyu, namun saat pemberiannya itu mendarat ke rumah, Nina lah yang menerimanya. Alhasil ponsel tersebut dikuasainya, dengan dalih akan mengganti di lain waktu karena miliknya sudah rusak dan akan diberikan kepada Adel agar anaknya main dengan anteng.
"Maaf ya, Bu. Ridho belum bisa kirim uang karena Ridho gunakan buat beli hp. Nanti gajian kedua Ridho janji bakal kirim uang, kalau cukup mau beliin Ibu hp juga. Biar kita bisa video call."
"Nggak apa-apa, Le ... dengar kamu sudah kebeli hp saja Ibu sudah senang bukan main. Kamu sehat, 'kan? Sudah makan?"
"Sehat, Bu. Sehat. Kalau makan jangan khawatir, di sini makan nggak perlu beli. Banyak sekali makanan, Bu. Ridho jadi suka keinget Ibu sama Farhan."
"Nggak usah diinget-inget, Le. Ibu sama Farhan senang kok di sini."
"Ridho suka khawatir, Bu. Takut Mbak Nina makin menjadi-jadi sikapnya." Mendadak mataku basah, campuraduk perasaanku sekarang ini.
"Pokoknya kamu fokus kerja saja ya, Le. Kamu lagi di tempat orang, beda sama Ibu dan Farhan yang tinggal di tempat sendiri."
"Iya, Bu. Iya...." Suara Ridho terdengar berbeda, aku tahu dia menangis, aku pun jadi ikut meneteskan air mata.
"Kakakmu apa kabar, Dho?" tanyaku mencairkan suasana.
"Masih kurang sehat sebenarnya, Bu. Itu saja sudah tidur, sekarang Mas Wahyu masuk bagian siang karena gak kuat nahan angin malam."
"Ya Allah...." Ngelus dada aku mendengarnya.
"Suruh pulang saja dulu kakakmu, Dho. Ibu khawatir."
"Nggak bisa, Bu. Katanya takut nanti diberhentiin kalau cuti terlalu lama." Semakin deras air mataku berjatuhan.
"Sudah, Bu. Jangan jadi pikiran, Ridho akan selalu jaga Mas Wahyu. Doakan kami saja, Bu."
"Tentu, Nak. Tentu. Tanpa diminta pun Ibu akan selalu mendoakan kalian...." ucapku sembari menyeka air mata, tak lama percakapan kami harus berakhir. Entah karena signal atau pulsa Ridho yang habis.
Ya Allah, kutitipkan mereka padaMu, karena hanya Engkaulah sebaik-baik Penjaga.
***
Wangi bunga melati memenuhi ruangan saat Nina ke luar dari kamar sambil menggendong Adel. Dia memang suka memakai parfum aroma seperti itu.
"Ini, bawain jajanan Adel, Bu." Nina menyodorkan kantung kresek berisi makanan dan minuman ringan.
"Jangan keseringan dikasih jajanan begini, Nin. Seringin dikasih buah anakmu. Biar sehat, biar badannya berkembang pesat."
"Buah mahal." Aku hanya mengembuskan napas lalu terpaksa menerima kantung keresek tersebut, kemudian mengekori Nina yang sudah rapi dengan gamis dan kerudung hitamnya.
Setiap Jumat pagi aku memang selalu menghadiri pengajian di Madrasah, Nina juga sering ikut kajian tersebut kecuali jika sedang ada halangan.
Tapi aku suka heran, apa dia nggak pernah dengar Ustaz saat memberi nasihat? Ilmu-ilmu agama yang dia timba di pengajian sepertinya tak masuk ke dalam kepalanya itu.
Saat sudah sampai di Madrasah, aku bisa lihat kalau Nina sedang mengamati gamis yang dikenakan Indah. Kebetulan kami memang bertemu saat hendak masuk.
Pasti lah dia menginginkan model gamis seperti itu, dan nantinya akan merengek pada Wahyu untuk dibelikan. Padahal, baju-baju Non Indah bermerek semua, untuk orang seperti kami rasanya terlalu berlebihan jika menggunakan uang banyak hanya untuk sehelai pakaian.
"Adel... lucu banget, imut. Nggak gede-gede, ya?" komentar salah satu ibu yang hendak masuk ke dalam majelis juga, tangannya mencubit pipi cucuku.
"Nggak apa-apa nggak gede juga, yang penting gak nyusahin orang!" sahut Nina dengan ketus lalu segera masuk ke dalam.
Aku hanya bisa menarik napas melihat kelakuan Nina yang selalu judes hampir pada semua orang.
"Maafin mantu saya ya, Bu."
"Eh, ndak apa Bu Ami. Mungkin perkataan saya menyinggung hati Nina. Maafin saya juga." Aku hanya tersenyum, pantas saja orang bilang Adel gak gede-gede, lihat saja apa yang sering cucuku itu makan.
Bukan sesuatu yang sehat seperti serat dan buah, melainkan jajanan warung, sebenarnya kurang baik anak seusia Adel melahap makanan seperti itu.
Setelah masuk ke majelis, aku duduk di dekat Nina, selalu seperti itu karena Adel ingin berada di pangkuanku.
Setelah selesai membaca salawat dan tahlil, sekarang giliran ibu-ibu membaca Al-Qur'an. Saat bagian Indah melantunkan ayat suci, adem rasanya hatiku ini. Menantu Bu Esih itu memang pandai. Padahal dia tak mengaku lulusan pesantren.
Lalu kini giliran Nina, dia juga bisa membaca Al-Qur'an walau tak sepandai Indah. Sering sekali Ibu Ustazah menegur bacaannya, padahal saat pertama kenal dulu, Nina bilang dia lulusan pesantren dan sudah mondok lebih dari delapan tahun.
Awalnya aku percaya, walau sekarang jadi ragu.
Setelah pembacaan Al-Qur'an, para ibu melaksanakan salat duha, dan setelah itu baru datang penceramah ke dalam majelis.
Saat kajian berlangsung, Nina malah sibuk main ponsel, terkadang ngerumpi dengan wanita-wanita di sampingnya. Pantas saja ilmu yang disampaikan Pak Ustaz seperti tak pernah masuk ke dalam kepala menantuku itu.
"Silakan Ibu-ibu, ada yang mau bertanya?" ucap Pak Ustaz, Bu Esih tampak menarik mikrofon dari depan Bu Ustazah.
"Assalamu'alaikum, Pak Ustaz. Saya izin bertanya." Bu Esih memulai percakapan.
Pak Ustaz tampak mengangguk di hadapan.
"Bagaimana hukumnya jika seorang menantu selalu bersikap semena-mena pada mertuanya? Dan apa azab yang akan diterima si menantu jika selalu menzalimi si mertua? Mohon jawabannya. Terima kasih," ucap Bu Esih dengan suara yang begitu nyaring, sampai-sampai Nina ikut menatap. Padahal barusan dia tengah sibuk bersama ghibahannya.
Sepertinya susana akan memanas kembali, Ya Allah.
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya
Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
"Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar
“Pemberian menantuku loh, ini,” kata Bu Esih saat ditanya ibu-ibu soal perhiasannya yang baru.“Menantumu Indah, Bu Esih?” tanya lagi yang lain, aku hanya sibuk mendengarkan.“Iya, lah. Siapa lagi?” Bu Esih menampakkan senyuman bangga.“Baik sekali ya menantumu, Bu. Sudah cantik, pekerja keras, bisa ngurus anak dengan baik pula. Bersyukur Bu punya menantu seperti Indah.” Bu Esih mengangguk-angguk, dalam hati aku ikut bahagia melihat kesenangan orang lain. Diam-diam aku juga berdoa supaya Nina bisa merubah sikapnya yang ketus nan pelit.Sebagai seorang mertua, sejatinya aku bukan ingin diberi, melihat anak dan menantu sudah berkecukupan saja senang rasanya. Tapi beda lagi dengan sikap Nina yang selalu memperlakukanku layaknya musuh.“Bu Ami, Nina bagaimana sekarang?” tanya Bu Esih di sela suara mesin yang menderu. Kami me
Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad
"Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,
“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen
"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s
Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad