Share

Tabung Gas

Author: Azu Ra
last update Last Updated: 2021-09-25 22:19:15

“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.

“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.

“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”

Panjang lebar Pak Ustaz menjelaskan, sedangkan Nina wajahnya tampak kemerahan. Entah karena menahan kesal pada Bu Esih atau yang lainnya, aku kurang tahu. 

“Sebenarnya, sering kali konflik menantu dan mertua itu terjadi karena kekurangan komunikasi. Atau mungkin ada menantu yang masih banyak tinggal di rumah mertuanya. Ya, yang namanya manusia sudah menikah pasti lah ingin segera memiliki tempat tinggal sendiri. Tapi jika Allah belum memberi rezeki lebih, otomatis orang tua akan memberi izin anak dan menantu tinggal di tempatnya sebelum nanti memiliki rumah sendiri.”

“Alasan satu atap itu lah terkadang membuat menantu dan mertua memiliki masalah. Namun perlu dicatat, sebaiknya jika tinggal satu rumah seperti itu, kedua belah pihak harus saling berkomunikasi, mencoba hidup berdampingan dan saling mengerti, bukan saling menghakimi atau ingin menang sendiri.”

“Dan yang lebih baik lagi, sebelum menikah seorang lelaki sudah harus mempersiapkan tempat tinggal untuk dihuni calon istri dan anak-anaknya nanti. Agar konflik mertua dan menantu tak terjadi seperti kebanyakan contoh selama ini.”

Panjang sekali Pak Ustaz memberi nasihat di pagi hari ini. Sambil membenarkan Adel yang duduk di pangkuan, sekilas mata ini melirik Nina. Biasanya, dia pasti sibuk menggunjing atau bermain ponsel jika sedang sesi ceramah, tapi sekarang menantuku itu terlihat berbeda. Hanya saja ekspresi wajahnya seperti menahan kesal, bukan menyesal.

Saat acara tolabul ‘ilmi selesai, Nina buru-buru ke luar sampai melupakan Adel yang masih berada di pangkuanku. Rupanya, dia menghampiri Bu Esih yang tengah memakai sandal di depan majelis.

“Ibu nyindir saya, ya?” Ya Allah, Nina …. Jangan sampai dia buat wajahku ini malu lagi.

“Ada apa, Nin? Nyindir apa?” tanya Bu Esih kalem.

“Saya tahu kok Bu Esih nyindir saya dengan pertanyaan tadi.”

“Nin, apa-apaan kamu? Ayo, pulang!” Sambil menggendong Adel aku menarik tangan Nina, sebelum mulutnya berkata terlalu jauh dan mengada-ngada.

“Lepas, Bu!” Nina melepas peganganku dengan kasar. Matanya nampak membulat, baru kali ini aku melihat Nina begitu menyeramkan.

“Saya punya salah apa ya sama Ibu? Kalau dipikir-pikir, Bu Esih sering sekali nyindir saya, enggak di dunia nyata, enggak di dunia maya. Bahkan sekarang, di tempat suci pun begitu. Kenapa, Bu? Apa karena saya sering main sama Indah, jadi Ibu gak suka sama saya?” Aku ingin menangis sejadi-jadinya melihat Nina mencari gara-gara pada Bu Esih. Apa lagi Nina melakukan semua ini di depan anaknya sendiri, Adel.

“Nin … sudah! Ibu bilang sudah-sudah!” ucapku setelah menitipkan Adel pada seorang Mbak Wati agar membawa cucuku itu ke warungnya.

“Nyindir? Nyindir apa, Nin?” tanya Bu Esih masih dengan nada bicara yang begitu tenang.

“Jangan sok nggak merasa, Bu. Saya sendiri tahu Ibu memang nyindir saya, pakai bilang azab apa yang pantas untuk menantu zalim pada mertuanya!” Nina semakin meninggikan intonasi bicaranya.

Jujur, aku sudah sangat malu. Satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini adalah dengan memberitahu Wahyu. Tapi, aku takut menambah beban pikirnya lalu dia kembali sakit.

“Saya nggak nyindir loh, Nin. Saya bertanya seperti itu pada Pak Ustaz karena memang zaman sekarang ini banyak model menantu macam itu. Memangnya, kamu termasuk menantu yang saya tanyakan tadi pada Pak Ustaz, ya?” ucap Bu Esih membuat air muka Nina berubah seketika.

“O-oh, jelas bukan! Saya bukan menantu seperti itu. Hanya saja, saya ‘kan masih satu rumah sama Ibunya Mas Wahyu, otomatis saya merasa, Bu. Walau beberapa hari lagi akan pindah ke tempat tinggal baru.”

“Nah … kalau gitu kenapa harus kesindir, Nina cantik? Kamu ‘kan menantu baik, Bu Ami bahkan sering memujimu di hadapan kami. Maaf, ya. Jika pertanyaan saya membuat kamu tersinggung.” Nina tak berujar lagi, dia menatapku walau membuangnya kembali dengan cepat.

“Maafkan Nina, Bu,” kataku tak enak.

“Nggak apa-apa, Bu Ami. Saya yang seharusnya minta maaf karena sudah menjadikan tema menantu sebagai pertanyaan. Pasti banyak menantu tersinggung di sini, hanya saja tak seberani Nina. Saya salut sama menantu Bu Ami. Dia pemberani, seperti apa yang Ibu katakan dulu.” Nina masih terdiam, walau samar kudengar napasnya memburu karena menahan kesal pastinya.

“Sekali lagi maaf ya, Nin. Saya nggak nyindir kamu kok, kalau di media sosial saya memang suka bikin status karena suka kesal menonton sinetron yang menantunya kurang ajar samar mertua.”

Lagi-lagi Nina hanya membisu, entah karena malu atau bagaimana.

“Pamit ya, Ibu-ibu. Oh ya, Nin. Jangan sampai karena kejadian ini kamu jadi nggak pernah main lagi ke rumah. Assalamualaikum.” Semua orang menjawab salam Bu Esih, sebelum mengekori mertuanya pergi, kulihat Indah mengelus bahu menantuku lembut.

“Dasar playing victim!” ucap Nina lalu pergi seraya mengentakkan kakinya. Duh, Gusti … aku hanya bisa menambah stok kesabaran, menimbun ketegaran di depan ibu-ibu yang ikut menonton.

Nina, sekali-kali aku memang harus memberimu pelajaran.

*** 

“Jadi, Ibu sering membicarakanku pada teman-teman Ibu, begitu?” Nina menginterogasiku setelah kami sampai rumah.

“Nggak, Nin. Buat apa Ibu bicarain kamu?” jawabku sambil menyapu lantai, sementara dia sibuk mengunyah sosis yang stoknya masih banyak di dalam stoples. 

“Terus, tadi Bu Esih bilang, katanya aku pemberani seperti yang Ibu katakan. Apa artinya itu kalau Ibu tidak pernah membicarakanku?” tanyanya lagi seraya memberikan sepotong sosis pada Adel yang tengah menonton video dalam ponsel.

“Ibu-ibu sering membicarakan menantunya, lalu mereka sering menanyakan kamu tipekal menantu yang bagaimana. Ya Ibu jawab pemberani saja, karena kenyataannya memang begitu.”

“Pemberani dalam hal apa?”

“Ya contohnya tadi, berani bertanya langsung pada Bu Esih saat hatimu merasa tersinggung.” Nina terdiam, lalu kembali mencomot sosis baru dari dalam stoples. Sepertinya enak sekali melihat dia mengunyah makanan berbahan dasar daging itu.

“Tapi, Nin. Saran Ibu, kamu jangan terlalu berani sama Bu Esih, jangan sampai kamu menggores hatinya karena prasangka buruk. Kamu ‘kan suka main ke rumahnya, nggak enak kalau dia sampai marah gara-gara ucapanmu.”

“Terserah deh, Bu. Ayo, Sayang. Kita makan dulu, Ibu mau masakin ikan sarden dan gorengin nugget buat kamu. Sama telur ceplok juga.” Nina berdiri dan meraih Adel ke pangkuan, tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Nin!” panggilku saat langkahnya sudah hampir masuk ke dalam kamar.

“Kenapa?”

“Maaf, Ibu boleh minta satu butir telur, tidak? Ibu belum beli lauk, besok atau lusa Ibu ganti telurnya.” ucapku jujur, mengingat uangku habis karena digunakan untuk membayar bulanan sekolah Farhan tadi pagi.

“Beli saja ke warung, Bu. Di warung telurnya lebih banyak, kalau dikasih Ibu takut Adel gak kenyang nanti.”

Nyeri ulu hatiku mendengar jawabannya yang tak masuk akal itu. Memangnya Adel akan makan berapa butir telur sih sampai takut tak kenyang? Ya Allah, Gusti.

Hatiku tambah nyeri saat Nina menutup kamarnya begitu saja.

“Wes, ndak apa kalau begitu,” ucapku sambil menahan kesal lalu pergi ke dapur.

Jujur, hatiku saat ini sudah telanjur dongkol. Sampai akhirnya aku melepas regulator tabung gas dengan segera, secara Nina tidak bisa memasang benda tersebut. 

Setelah selesai, aku kembali ke rumah. Kemudian menyalakan televisi. 

Tak lama, Nina keluar kamar lagi sambil membawa ikan kalengan, kemasan nugget dan telur dua butir. Sementara anaknya ditinggal di kamar, membiarkannya menonton video sendirian. Sebenarnya aku kurang setuju melihat cucuku selalu memainkan ponsel, Adelia terlalu dini untuk memegang benda seperti itu.

“Bu! Ibu!” Nah, dia mulai memanggil. Aku pura-pura tuli saja, lah.

“Bu, kok regulatornya lepas?” Nina menampakkan dirinya di pintu penghubung dapur dan ruang tengah.

“Ibu!” panggilnya lagi.

“Ya?”

“Pasangin regulator, Bu. Aku mau masak!”

“Pasangin saja sendiri! Ibu nggak berani, takut mbledug!” ucapku sambil berdiri, lalu tanpa izin masuk ke kamar Nina, memangku Adel dengan segera untuk di bawa ke warung Bu Wati.

Biar lah kali ini kasbon makan dulu, dari pada lihat cucu kelaparan. Nanti juga rezeki pasti datang.

“Ibu! Mau dibawa ke mana Adel? Buuu!” teriak Nina masih dari tempat yang sama, kemudian memekik lagi karena ingin aku memasang regulator tabung gas.

Maaf, Nina. Silakan berjuang sendiri, toh selama ini kamu selalu ingin makan tanpa berbagi.

Bersambung

Related chapters

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Uang Seratus Ribu

    “Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya

    Last Updated : 2021-09-25
  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Dibuang Mertua

    Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,

    Last Updated : 2021-09-25
  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Motor Siapa?

    Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h

    Last Updated : 2021-09-25
  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Pekerjaan Baru

    Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya

    Last Updated : 2021-09-25
  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Kamar Nina

    "Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar

    Last Updated : 2022-06-30
  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Rendang Telur

    “Pemberian menantuku loh, ini,” kata Bu Esih saat ditanya ibu-ibu soal perhiasannya yang baru.“Menantumu Indah, Bu Esih?” tanya lagi yang lain, aku hanya sibuk mendengarkan.“Iya, lah. Siapa lagi?” Bu Esih menampakkan senyuman bangga.“Baik sekali ya menantumu, Bu. Sudah cantik, pekerja keras, bisa ngurus anak dengan baik pula. Bersyukur Bu punya menantu seperti Indah.” Bu Esih mengangguk-angguk, dalam hati aku ikut bahagia melihat kesenangan orang lain. Diam-diam aku juga berdoa supaya Nina bisa merubah sikapnya yang ketus nan pelit.Sebagai seorang mertua, sejatinya aku bukan ingin diberi, melihat anak dan menantu sudah berkecukupan saja senang rasanya. Tapi beda lagi dengan sikap Nina yang selalu memperlakukanku layaknya musuh.“Bu Ami, Nina bagaimana sekarang?” tanya Bu Esih di sela suara mesin yang menderu. Kami me

    Last Updated : 2021-09-02
  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Siomay

    Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad

    Last Updated : 2021-09-02
  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Rumah Bu Esih

    "Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s

    Last Updated : 2021-09-02

Latest chapter

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Kamar Nina

    "Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Pekerjaan Baru

    Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Motor Siapa?

    Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Dibuang Mertua

    Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Uang Seratus Ribu

    “Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Tabung Gas

    “Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   PENGAJIAN

    "Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Rumah Bu Esih

    "Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s

  • Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya   Siomay

    Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad

DMCA.com Protection Status