Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.
“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.
“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.
“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.
“Dingin, lho.”
“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.
Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jadi aku bisa memasak menu lebih banyak, semoga saja sedih di hati si bungsu hilang dengan adanya hidangan ini.
“Ridho ke mana, Bu?”
“Bantuin Pak Haji Dono, Yu. Lagi ngebangun warung besar. Hitung-hitung latihan kerja.”
“Capek dong, Bu? Kebetulan, Wahyu pulang ke sini mau kasih kabar juga, kalau di tempat kerja Wahyu lagi ngebutuhin orang. Mungkin Ridho bisa masuk ke sana.”
“Yang benar, Yu?” Mendadak hatiku berbunga-bunga. Kalau benar, ini adalah kesempatan besar, supaya Ridho bisa mencari uang dan tak mengandalkan Wahyu lagi. Biar dia tak selalu makan hati karena sikap kakak iparnya sendiri.
“Iya, Bu. Tapi ya namanya pemula gajinya masih sedikit, kerjanya juga di warung makan yang ada di jalan. Enggak di kedai seperti Wahyu. Tapi kalau Ridho jujur dan tekun, insyaallah nanti bisa naik jabatannya,” jelas Wahyu.
“Nggak apa-apa, Yu. Namanya kerja gak mungkin langsung enak. Ridho pasti mau, pasti!” ucapku yakin.
“Nanti Wahyu kasih tahu kalau dia sudah pulang.” Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu menambahkan sup pada piring Wahyu. Dia harus banyak makan sehat biar bisa pulih kembali.
“Terus, kerjaan buat adikku mana, Mas?” tanya Nina tiba-tiba, mendadak suasana jadi tak enak.
“Loh … Wisnu ‘kan masih PKL, Nin. Nanti juga kalau sudah lulus pasti dapat kerjaan, apa lagi kalau tamatan SMK, lebih gampang ketimbang Ridho yang hanya lulusan SMP.”
“Nggak gitu juga, Mas. Kamu ‘kan sudah janji bakalan kasih kerjaan sama Wisnu. Masa sekarang kamu malah kasih Ridho? Bohong kamu, Mas.” Ya Allah, di depan mertua dan adik iparnya sendiri, Nina berani berbicara demikian.
“Ya nanti kalau ada lowongan lagi Mas kasih sama Wisnu, Nin. Bos Mas butuhnya sekarang-sekarang karena kekurangan satu karyawan. Kalau harus nunggu Wisnu lulus dulu ya gak bisa.”
“Ah … Mas pilih kasih.”
“Bukan gitu, Nin ….”
“Kalau nggak sakit nggak usah pulang, Mas. Jangan banyak alasan! Nanti gajimu dipotong, bagaimana? Mau makan apa aku? Lihat, itu! Rumah kita belum dipasang keramik tapi kamu sudah malas-malasan kerja!” ucap Nina dengan nada kesal, lalu bangkit dari sesi makan bersama seraya membawa Adel pergi ke kamar.
Sedangkan kami hanya bisa melongo bersamaan. Sikap Nina semakin hari semakin menjadi-jadi.
***
Setelah satu hari berada di rumah, Wahyu akhirnya pergi berobat bersama Ridho. Saat pulang ada beberapa motor yang mengekori mereka seraya membawa beberapa dus keramik.
“Disimpan di sini saja, Pak. Terima kasih,” kata Wahyu seraya memberikan upah.
“Kamu ini, bukannya fokus sama kesehatan dulu malah belanja keramik, Yu.”
“Nggak apa-apa, sekalian saja, Bu. Biar gak bolak-balik.”
“Memangnya mau dipasang kapan keramiknya?” tanyaku.
“Besok saja panggil Bah Sabun sama Bah Oyim, Bu. Biar mereka lanjutin kerjanya lagi.” Aku mengangguk-angguk saja.
Benar, aku belum sempat bercerita. Kalau sebenarnya Wahyu ini sudah membangun rumah tepat di samping rumahku.
Saking tidak kuatnya dengan sikap Nina, beberapa bulan lalu aku pernah memberi saran pada Wahyu untuk membangun atau membeli rumah, tak ap ajika kecil asal terpisah dari orang tua. Bukannya mengusir, bukannya tak sudi ditinggali anak sendiri, tapi ya itu … keburukan akan selalu hinggap jika menantu dan mertua tinggal satu atap.
Beruntung Wahyu orangnya tenang, selalu menerima masukan dengan kepala dingin. Tapi, aku sempat mengira Wahyu akan membangun rumah di kampung Nina, secara wanita itu selalu saja memuji tempat tinggalnya.
Nyatanya? Rumah mereka berdiri lima langkah dari rumahku.
Aku pernah bertanya waktu itu, kenapa tak membangun rumah di tempat tinggal Nina, rupanya besanku tak memiliki tanah selain tanah yang ditempati rumah mereka. Padahal Nina sempat sombong, jika di sana orang tuanya memiliki lahan luas.
Akhirnya, mau tidak mau aku menyerahkan tanah di samping rumah untuk persinggahan mereka.
“Kalau begitu Wahyu izin istirahat ya, Bu.” Aku mengiyakan, lalu kembali menyapu rumah saat Wahyu sudah masuk kamar.
“Nin, tolong kirim pesan sama atasan Mas, ya? Bilangin Mas belum bisa masuk kerja, pengen diganti shift siang juga. Soalnya kalau malam Mas gak kuat, AC-nya dingin banget. Suka masuk angina terus.”
“Banyak alasan banget sih, Mas!” Aku yang tadinya tak ingin mendengar percakapan mereka terpaksa mematung dekat pintu kamar. Kenapa lagi dengan Nina, Ya Allah?
“Alasan apa sih, Nin? Apa kamu nggak lihat suami beneran sakit?”
“Panas sedikit jangan manja lah, Mas! Pakai suruh kirim pesan ke atasan. Aku nggak bisa!” ucapnya setengah berteriak.
“Nggak bisa apanya, Nin?”
“Ya nggak bisa ngomongnya. Aneh kamu nyuruh-nyuruh istri! Masih punya jari ini!”
“Gitu aja nggak bisa, Nin? Tinggal ngetik apa susahnya, sih?”
Kuucap istighfar dengan segera saat mendengar sesuatu yang jatuh di kamar tersebut. Sepertinya Nina membanting sesuatu. Ya Allah, sakit hati anak sulungku diperlakukan demikian.
“Nin, mau ke mana?” Tiba-tiba Nina keluar membawa Adel yang setengah terlelap.
“Yu, sudah!” Aku menahan si sulung.
“Paling ke rumah Indah.” Kebiasaan, jika ada sesuatu yang membuat pusing, Nina akan pergi ke rumah Bu Esih dan curhat pada menantunya. Padahal di belakang mereka, Nina sering sekali menjelekkan Indah, padahal aku tahu dia hanya iri dengan kesuksesan wanita itu.
“Maafin Nina, Bu.”
“Ibu juga minta maaf. Sekarang kamu istirahat saja, biar nanti Nina Ibu yang jemput.”
***
Karena didesak Nina, akhirnya Wahyu kembali ke Jakarta walau masih dengan keadaan sakit. Aku tak sampai hati, tapi Wahyu memaksa untuk pergi.
Seperginya anak sulungku, Nina tak lagi bersuara, dia hanya menampakkan wajah judesnya sepanjang hari. Mungkin dia kesal karena Wahyu memberikan pekerjaan pada Ridho.
Ya … Ridho sudah berangkat bersama Wahyu, walau sedih, aku harus ikhlas melepas agar nantinya Ridho bisa mandiri dan tak menyusahkan kakaknya lagi. Sekarang, hanya Farhan lah tempatku berbagi.
“Siomay, tunggu!” Suara Nina membuatku melongok dari belakang. Kebetulan, aku punya uang pemberian Wahyu, sudah lama juga tak memakan jajanan seperti itu.
Akhirnya aku ikut nimrung, antre dengan Nina yang tengah menunggu.
“Mau berapa ribu, Bu?”
“Sepuluh ribu saja,” ujarku. Lalu kembali menunggu seraya berdiri di depan tukang siomay tersebut.
“Ini. Terima kasih, Pak.” Aku pun berbalik, hendak masuk dan berbagi dengan Farhan juga.
“Bu, Bu!”
“Iya, Pak?” sahutku kembali menoleh. Perasaan uang yang kuberikan pas nominalnya, tak harus ada kembalian, lalu kenapa tukang siomay itu memanggilku?
“Maaf, yang perempuan tadi apa anak Ibu?” tanyanya, aku mengernyitkan dahi.
“Yang rambutnya ikal?” kataku balik bertanya.
“Betul, yang tadi masuk ke rumah Ibu.”
“Iya, itu menantu saya. Kenapa, Pak? Bapak kenal.”
“Hehe, maaf, Bu. Si Mbaknya belum bayar.” Astaghfirullah … Nina memang kebiasaan, tak jarang dia melakukan hal seperti ini, mengambil sesuatu tapi bayarnya sekalian dengan punyaku.
“Berapa, Pak?”
“Dua puluh ribu.” Aku menelan ludah, bisa-bisanya dia menghabiskan porsi siomay sebanyak itu seorang diri.
“Silakan masuk saja ke dalam ya, Pak. Tagih saja sama orangnya, mari, Pak!”
“Eh, nggak apa-apa, Bu.”
“Enggak apa, Pak. Dari pada nggak dibayar, mau? Saya cuma punya uang sepuluh ribu, lho.” Setelah garuk-garuk kepala karena ragu, si tukang siomay pun akhirnya menurut.
Saat masuk ke dalam, kulihat Nina sedang duduk santai di depan televisi. Tanpa Adel. Pasti lah anaknya tengah tertidur.
“Maaf, Mbak … siomaynya dibayar dulu,” ucap si pedagang saat kakinya sudah sampai di pertengahan pintu.
Wajah Nina nampak memerah, dengan ketus dia berjalan ke arah sini.
“Nih!” ujarnya lalu membuang napas kasar.
“Maafin ya, Pak. Siomay Bapak memang enak, sampai anak saya lupa bayar. Jangan kapok jualan ke mari, ya?” ucapku.
“Nggih, Bu. Terima kasih.” Aku pun mengangguk, mengantar pedagang itu pergi melalui tatapan.
Saat hendak masuk kembali, kulihat Nina tengah memandangku dalam. Sedalam kesedihanku selama ini menjadi mertuanya.
Bersambung🧦
Kbm App sudah sampai part 4, judulnya sama kok. Follow juga saya di sana.
Username : aazuuraa"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s
"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya
Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
"Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar
"Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,
“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen
"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s
Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad