“Pemberian menantuku loh, ini,” kata Bu Esih saat ditanya ibu-ibu soal perhiasannya yang baru.
“Menantumu Indah, Bu Esih?” tanya lagi yang lain, aku hanya sibuk mendengarkan.
“Iya, lah. Siapa lagi?” Bu Esih menampakkan senyuman bangga.
“Baik sekali ya menantumu, Bu. Sudah cantik, pekerja keras, bisa ngurus anak dengan baik pula. Bersyukur Bu punya menantu seperti Indah.” Bu Esih mengangguk-angguk, dalam hati aku ikut bahagia melihat kesenangan orang lain. Diam-diam aku juga berdoa supaya Nina bisa merubah sikapnya yang ketus nan pelit.
Sebagai seorang mertua, sejatinya aku bukan ingin diberi, melihat anak dan menantu sudah berkecukupan saja senang rasanya. Tapi beda lagi dengan sikap Nina yang selalu memperlakukanku layaknya musuh.
“Bu Ami, Nina bagaimana sekarang?” tanya Bu Esih di sela suara mesin yang menderu. Kami memang habis pulang ziarah, rombongan ceritanya.
“Bagaimana apanya, Bu?” sahutku sambil mengulas senyum, walau tahu makna dari pertanyaan Bu Esih yang sebenarnya.
“Masih ketus nan pelit, nggak?” Aku menelan ludah. Selama ini aku selalu berusaha menutupi sesuatu yang terjadi di rumah, termasuk sikap Nina. Namun, entah dari mana orang-orang tahu kalau menantuku memang memiliki watak demikian.
“Nggak, Bu.”
“Ditutup-tutupi pun tetap kentara kok, Bu Ami. Semua warga di gang Tumaritis sudah tahu kalau mantu Ibu memang nyebelin!” sahutnya lagi. Dadaku kian sesak.
“Betul, Bu Esih. Nina itu selain ketus, dia sombong banget,” sahut yang lain.
“Ih, bener banget! Dia ‘kan suka main tuh ke rumahku, nyamperin Indah gitu. Terus kemarin anaknya ngedeketin kulkas di rumah, ya namanya anak biasalah pengen itu benda dibuka. Tapi dia malah bilang apa coba?” ujar Bu Esih membuat semua orang bertanya penasaran.
“Dia bilang … jangan dibuka, Adel! Di dalamnya gak ada apa-apa, ini cuma pajangan doang. Nyebelin gak, tuh?” Dadaku tambah sesak saja mendengar penuturan Bu Esih, kalau iya Nina sudah benar-benar keterlaluan. Padahal jelas sekali Bu Esih dan Indah itu kalangan orang berada, hanya saja mereka tinggal bersama karena Bu Esih sangat mencintai menantunya itu.
“Ya Allah, terus Bu Esih diam saja, gitu?”
“Tadinya mau aku sahutin sambil bukain tuh kulkas. Tapi Indah ngelarang, tahu sendiri Indah orangnya gak suka ribut. Kalau pun dibuka itu kulkas, pasti ngejengkang dia lihat isinya!” Ya Allah Tuhanku … tak kuasa aku menahan genangan air di pelupuk untuk tidak meluncur. Sedih, malu, semuanya bebaur jadi satu.
“Bu? Bu Ami?” tanya Bu Esih, tapi dadaku kian sesak sampai akhirnya kutundukkan kepala sambil memeluk lutut. Di atas mobil bak aku tersedu-sedu, Bu Esih dan yang lainnya pun mendekat seraya mengelus-elus punggung ini.
“Maaf, Bu Ami. Maaf … banget. Aku gak bermaksud menjelekkan menantu Ibu Ami, tapi memang kenyataannya begitu, Bu.” Aku masih terisak sembari memeluk lutut. Wajah Wahyu langsung terbayang, bagaimana kalau dia tahu istrinya banyak yang menggunjing, pasti lah sakit dan malu perasaannya.
“Betul, Bu Ami. Kami sebenarnya salut sama Ibu, punya menantu kikir nan ketus tapi selalu menutupi sikap buruknya itu. Bu Ami mertua yang baik dan kuat.” Aku bisa tahu kalau yang bicara barusan adalah Bu RT.
“Iya, Bu Ami. Betul apa kata Bu RT, Ibu Ami sangat kuat dan tahan banting. Kalau aku punya menantu kayak dia, sudah kutendang sampai Merauke kayaknya.” Ibu-ibu tertawa kecil, aku mencoba mengangkat kepala lalu menghapus air mata.
“Tapi aku malu, Bu-Ibu ….” ucapku jujur.
“Kenapa harus malu? Toh bukan Ibu Ami yang punya sikap begitu. Sebenarnya, Wahyu tahu nggak sih kalau istrinya punya sikap seperti itu, Bu Ami?” tanya lagi Bu Esih.
Aku menggeleng, “Aku gak mau banyak omong, Bu. Takut salah ucap. Biarlah segala keburukan terungkap dengan sendirinya.” Ibu-ibu mengangguk, termasuk Bu Esih.
“Oke kalau begitu. Tapi, kalau Bu Ami butuh bantuan, jangan sungkan minta sama kami, ya?” ucap Bu Esih, aku hanya bisa tersenyum haru.
***
Sepulang dari ziarah, kulihat Nina tengah menonton televisi bersama Adel. Aku hanya bisa membuang napas, cucuku tampak menikmati minuman kemasan yang kutahu kurang baik untuk pertumbuhan anak. Pantas jika pertumbuhan Adel kurang pesat, Nina selalu memberikan jajanan seperti itu padanya.
“Dari mana sih, Bu? Kok lama banget?” Seperti biasa, wajahnya tak enak dipandang.
“Lho, ‘kan tadi Subuh Ibu udah pamit, mau ikut ziarah sama Ibu-ibu.”
“Subuh ya aku belum bangun, mana kedengeran, Bu. Jadinya aku susah makan ini, belum bisa masak karena Adel nggak ada yang pegang!” ucapnya membuatku mengambil napas dalam.
“Ya sudah, kalau begitu cepat masak. Biar Adel Ibu yang jagain!” Dia tak menyahut, melainkan langsung berdiri dan berjalan ke arah kamar. Tanpa mengganti baju terlebih dulu, aku langsung duduk menemani Adel, anak kecil ini tampak semringah didampingiku.
Adel memang sering sekali ingin diasuh atau ikut jika aku hendak bepergian. Namun Nina selalu melarang kami dekat-dekat kecuali jika dia sedang mengerjakan sesuatu.
Dari sudut mata aku bisa melihat Nina keluar kamar membawa satu papan tempe, dibawanya makanan itu ke dapur. Tak lama setelah itu, aroma orek tempe menguar dari dapur, perutku mendadak keroncongan.
“Assalamu’alaikum!” Kujawab salam tersebut sambil menoleh ke arah pintu, rupanya Farhan baru pulang.
“Ibu masak orek, ya? Kebetulan Farhan lapar,” ucapnya langsung duduk di sampingku.
“Kakakmu yang masak.” Farhan terdiam seketika, mengerti jika kakak iparnya itu tak mungkin mau berbagi.
“Tadi Subuh ‘kan Ibu masak rendang telur, kayaknya masih ada, Han. Ambil saja ke dapur kalau kakakmu sudah selesai masak.”
“Iya kah, Bu? Siap kalau begitu.” tanyanya dengan mata berbinar, kemudian meraih Adel agar duduk ke pangkuannya. Melihat paman dan keponakannya akur, aku hanya bisa tersenyum. Andai saja keadaan di rumah sedamai ini, mungkin hatiku tak terlalu bersedih.
“Eh-eh! Jangan dipangku!” pekik Nina yang baru saja nongol dari dari dapur seraya membawa sebuah piring. Nasi di atas benda itu nampak menggunung dihiasi orek tempe yang amat harum, juga dua buah rendang telur masakanku tadi Subuh. Di bawah piring tersebut juga ada tempe mentah miliknya itu, ternyata dia tidak memasaknya sampai habis, pasti lah Nina akan kembali membawa bahan masakan itu ke dalam kamarnya lagi.
“Kamu belum mandi, baru pulang sudah pegang Adel. Sini, Sayang!” Dengan satu tangannya Nina merebut anaknya dari pangkuan Agung. Nyelekit lagi perasaanku mendengar penuturan juga melihat sikapnya yang kian berani.
“Makan dulu, Nak.” Aku berbisik, Farhan mengangguk dan bangkit. Aku pun ikut beranjak karena merasa sudah selesai menjaga Adel.
“Bu, rendang telurnya di mana?” tanya Farhan setelah kami berada di dapur.
“Di rak makan lah, Han.” Aku menyahut saat mengambil piring.
“Nggak ada, Bu. Tinggal bumbunya.” Cepat aku melangkah ke arah Farhan, melihat mangkuk yang dipegang anak bungsuku itu.
“Ini ‘kan mangkuknya, Bu?”
“I-iya, ini. Memangnya Farhan nggak tahu mangkuknya yang mana?” Anakku menggeleng.
“Tadi Farhan nggak makan dulu, Kak Nina bilang Ibu belum masak jadi Farhan langsung berangkat saja.” Mendidih rasanya darahku mendengar penuturan Farhan. Benar-benar zalim kelakuan Nina ini. Sudah pelit, serakah pula.
Jangan-jangan, Ridho juga belum makan? Apa lagi dia tengah membantu Pak Haji membangun warung. Ya Allah ….
“Bu?” tanya Farhan membuyarkan lamunan, aku hanya terdiam dan kembali melihat mangkuk yang hanya berlumur bumbu sisa itu.
Tanpa menjawab Farhan, aku langsung berbalik, berjalan cepat tepat ke arah Nina yang masih menikmati makan siangnya di depan televisi.
“Kembalikan rendang telurku!” ucapku sambil menekan nada bicara. Nina menoleh, tenggorokannya tampak tengah menelan kunyahan.
Mata kami saling beradu di dalam kesunyian.
“Kembal—” Kalimatku tak selesai, sebuah ucapan salam dengan suara tak asing membuat kami menoleh bersamaan.
Wahyu?
BERSAMBUNG.
Jangan lupa follow akun aazuuraa dan ikuti ceritanya di KBM App 😘
Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad
"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s
"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya
Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
"Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu. Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina. “Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina. “Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum. Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri. Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik ipar
Mas Wahyu benar-benar pulang. Aku tak menyangka suamiku menjadi pengangguran walau katanya hanya cuti dua bulan. “Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin atasanmu masih mau menerima kamu kerja di sana! Kamu mikir dulu harusnya sebelum berhenti kerja!” kataku dengan suara nyaring saking kesalnya. “Rezeki nggak akan ke mana, Nin.” Suara Mas Wahyu terdengar lemah, tapi aku tak peduli, kesejahteraan hidupku lebih penting dibanding dengan kesehatannya. “Rezeki nggak akan ke mana kalau dicari. Beda kalau kamunya rebaha seperti ini!” Mas Wahyu tak menanggapi perkataanku, sedari pagi ia memang terlihat lesu. Tapi entah kenapa tak ada rasa iba hinggap di hati ini. Aku benar-benar kesal. Takut kelaparan dan tak bisa membeli barang-barang yang kuinginkan jika Mas Wahyu berada di rumah. Apa lagi mengingat semua stok makanan dan hartaku dibuang Ibu. Mengenaskannya hidupku. “Pokoknya
Sial, sial, siaaal!Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun &h
Nina PoV“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.“Berarti benar, ‘kan?”“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!”Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji,
“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri ya
“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”Panjang lebar Pak Ustaz menjelask
"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku."Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina."Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah."Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku."Hahaha, sama saja.""Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!""Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sen
"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan.“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan s
Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.“Dingin, lho.”“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jad