"Itu artinya … menjual sel telur milikku? Kenapa harus aku?” Dewi Anggraeni tak pernah membayangkan hidupnya memiliki jalan berliku tajam. Dinikahi oleh Bima seorang pria mapan, tetapi tidak dianggap sebagai istri. Bahkan dia dijual oleh sang suami dengan perjanjian gila kepada pria kaya raya. Dewi harus melahirkan anak dari benih pria asing. Masalah semakin pelik, ketika hubungan itu melibatkan perasaan dan menimbulkan masalah baru bagi mereka.
Lihat lebih banyak“Bagaimana perkembangannya?! Aku tidak mau gagal! Dia harus dihukum seberat-beratnya,” geram Denver yang membayangkan ketika Dewi terbaring lemah di atas meja operasi.Saat ini Denver sedang duduk di depan meja pengacara sambil menyilangkan kaki. Wajah tampan pria itu terlihat serius, tetapi sorot mata karamelnya menyimpan dendam dan luka."Sidang perdana Dania akan dilaksanakan dua minggu lagi. Semua berkas dan bukti sudah siap," ujar sang pengacara sambil meletakkan beberapa map dokumen di atas meja.Denver mengangguk pelan. "Jadi, tidak ada celah baginya untuk mengelak lagi?"Dia meraih map dari atas meja lalu membacanya dengan seksama. Matanya pun sangat tajam meresapi kata demi kata."Tidak. Kami sudah mengunci dan memastikan semua sisi. Dengan bukti dan kesaksian yang kita miliki, Dania tidak akan bisa lolos. Dia akan mendapat hukuman yang setimpal."Denver menghela napas lega. Dia berdiri dan menjabat tangan pengacaranya. "Terima kasih. Kamu sudah bekerja sangat baik. Kirimkan
Maharani berdiri kaku di tengah angin yang menerpa. Pertanyaan Darius barusan masih bergema di kepalanya.‘Kamu cemburu sama bibimu sendiri?’Kalimat itu sederhana, tetapi rasanya bagai petir yang menyambar siang bolong. Ya, meskpiyn sekarang malam.Bibir Maharani bergerak-gerak, tetapi tak satu pun kata keluar. Kelopak mata wanita itu berkedip pelan, menghindari tatapan Darius yang begitu intens. Mengoyak dinding yang dia bangun dengan kokoh.Perlahan, Maharani hanya menggeleng, sungguh dia tak sanggup memberikan jawaban.Darius terkekeh. Tanpa menunggu persetujuan, dia meraih pinggang Maharani dengan satu tangan dan mengajaknya berjalan pelan di trotoar."Udara malam lumayan segar, ya?" gumam pria itu, tetapi suaranya terdengar bagai godaan.Maharani masih diam, tidak dipungkiri sekarang merasa nyaman dan hangat di dekat pria itu. Dia juga membiarkan langkahnya sejajar dengan Darius. Jalanan sepi di sekitaran, hany
Darius menatap wajah Maharani yang duduk di dekatnya dengan sorot mata lebih lembut dari biasanya. Di tengah hiruk-pikuk kantin rumah sakit yang mulai lengang, dia memberanikan diri meraih tangan wanita itu di atas meja."Aku siap menjadi ayah dan suami yang baik untuk kamu, Maharani Putri," ujar Darius pelan, suaranya benar-benar mengalun lembut.Bahkan dia mengecup punggung tangan Maharani dengan penuh kasih. Tidak berhenti di situ, Darius menggeser duduknya mendekat, membuat jarak di antara mereka makin tipis.Maharani terpaku. Tatapan mata mereka saling bertaut, menciptakan debar yang tak menentu di dalam dada.Satu tangan Darius yang lainnya ingin sekali menyentuh pipi kemerahan wanita itu, rasanya pasti lembut sekali menyusuri rambut hitam itu dengan jemarinya, tetapi dia teringat nasihat Denver. Jangan terburu-buru.Tunjukkan perhatian kecil terlebih dahulu.Dia menarik napas perlahan, lalu mengurungkan niat itu, sekalipun menggebu da
Sudah satu minggu berlalu sejak Darius terakhir kali mempunyai waktu luang untuk sekadar menatap langit pagi. Kesibukan pria itu di rumah sakit benar-benar menyita segalanya—waktu, energi, dan bahkan peluang untuk mengirimi Maharani pesan singkat.Saran-saran dari Denver terasa mustahil dilakukan, apalagi dengan kondisi rumah sakit yang sedang menangani beberapa kasus darurat. Bahkan, beberapa malam dia memilih tidur di rumah sakit daripada pulang ke apartemen kosongnya.Meskipun begitu, tidak peduli sesibuk apa pun, Darius selalu menyempatkan diri menjenguk bayi mereka di NICU. Setiap malam dia datang, meski hanya sepuluh menit, untuk melihat putranya yang makin hari tambah kuat.“Ayah menyayangimu, Nak. Doakan Ayah dan ibumu cepat menikah,” bisik Darius dengan senyum mengembang sembari membayangkan wajah Maharani.Pagi ini, langkah Darius terhenti di depan kaca NICU. Pupil matanya yang lelah sontak melebar saat melihat sosok wanita yang dirindukannya berdiri.Maharani ada di dalam
Napas Dewi tertahan, sebab entah mengapa dia menjadi waspada. Penyerangan minggu lalu di rumah sakit masih terbayang dalam benaknya.Akan tetapi, begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, Dewi langsung merasa lega. Namun, tidak pada Denver yang nyaris mengumpat.“Darius?!”Pria itu berdiri dengan tubuh yang tampak rapuh, mata cekung, kantung matanya gelap, rambutnya kusut, dan kemeja biru muda tak rapi seperti biasanya.Darius menatap mereka, lebih tepatnya—tertuju pada Dewi.Refleks, Denver langsung bergerak, maju satu langkah untuk menutupi sebagian tubuh istrinya.“Sayang, kamu sarapan saja. Ajak Dirga. Jangan ke ruang tamu,” bisik Denver lembut dan tegas.Dewi langsung paham. Dia mengangguk dan membungkuk singkat ke arah Darius sebelum mengajak Dirga kembali ke meja makan.Denver menatap Darius dengan alis naik. “Kamu kenapa? Penampilanmu seperti zombie.”Darius mendesah panjang. Dia menghela napas, duduk dengan punggun bersandar lesu pada sofa.“Aku … patah hati. Lagi. P
“Ah … Sayang, pelan-pelan,” lenguh Dewi dengan mata yang terpejam.“Tentu, Sayang,” sahut Denver, tidak lepas dari mencumbu setiap jengkal kulit sang istri.Malam itu, selepas pulang dari Ta&Ma dan menemani Dirga tidur, Denver menggandeng tangan Dewi masuk ke kamar mereka.Lampu temaram menyala lembut, aromaterapi lavender menyebar ke seluruh ruangan. Dewi tertawa pelan saat Denver mengunci pintu dan menariknya ke pelukan, lalu membarinkannya perlahan di atas ranjang besar mereka."Kamu tahu, Dirga serius soal minta adik," racau Dewi sambil meremas rambut Denver.Pria itu tertawa kecil. "Anak kita pintar memilih waktu."“Uh … Sayang,” lenguh Dewi, “aku … mau hamil anakmu lagi. Denver.”“Dan aku akan membuat itu jadi nyata.” Denver menyeringai dengan mata dipenuhi kabut gairah.Tanpa banyak bicara, Denver mengangkat tubuh Dewi pelan, mendudukkan wanita itu di atas pahanya yang berotot. Dia mendongak, mengecup dan menghisap ceruk leher mulus yang harum itu, lalu turun ke tulang dada dan
“Apa … menikah se—sekarang?” Suara Maharani tercekat. Ibu muda itu menatap Darius dengan sorot mata yang masih menyimpan kebingungan. Embusan napasnya terasa berat, apalagi saat dia menoleh dan melihat sosok penghulu yang berdiri tak jauh dari mereka. Jujur, hatinya masih belum kembali normal dan pikirannya pun masih kalut setelah apa yang terjadi seminggu lalu. "Aku … tidak bisa," ucap Maharani pelan. Darius bisa menangkap jelas kata-kata itu, dan lagi-lagi meremukkan tulang dadanya. "Maksud kamu?" tanya Darius agak menekan. "Aku belum siap menikah, Dokter Darius. Bahkan sekarang aku masih syok. Seminggu lalu aku melahirkan karena …. Sekarang kamu datang ... bawa penghulu segala," ujar wanita itu dengan suara sedikit bergetar. Penghulu di samping mereka menghela napas panjang. Darius yang sejak tadi memegang kotak perhiasan sebagai maskawin, perlahan melepas genggamannya. Sorot matanya meredup. "Jadi kamu belum percaya padaku?" tanya Darius lirih. Maharani menunduk, lalu men
“Bagaimana kondisi Dania sekarang?” tanya Denver pada Dokter Ket.Saat ini di ruang observasi bedah, Denver berdiri tegak di depan kaca satu arah. Dari balik sana, terlihat Dania terbujur lemah di atas ranjang.Tubuh yang biasanya mengenakan pakaian seksi kini ditutupi baju rumah sakit, kakinya digips dan wajahnya pucat tanpa ekspresi."Trauma tulang belakang. Tapi ini kelumpuhan sementara. Kalau dia mau terapi rutin, kemungkinan bisa pulih. Tapi butuh waktu, sekitar enam sampai satu tahun," jelas Dokter Ket dengan nada hati-hati.Denver mengangguk pelan. "Oke, aku paham, Dok. Terima kasih."Setelah Dokter Ket pergi, Denver berjalan menuju ruang observasi, memeriksa wanita itu. Dia memberi isyarat pada petugas keamanan di depan pintu."Saya Direktur RS JB. Izinkan saya bicara sebentar."Petugas memberi hormat dan membuka pintu. Denver melangkah masuk.Dania yang sedang memandangi langit-langit menoleh, matanya masih menyala penuh benci, meskipun tubuhnya tak berdaya."Seharusnya kamu
Suasana kamar rawat Maharani yang tadi hangat berubah tegang seketika. Tatapan Dewi membeku, luka tusuk benda tajam di perut sampingnya saja belum mengering dan terasa berdenyut lagi.Sedangkan tangan Maharani refleks meremas selimut saat Darius meletakkan ponselnya dan berkata, "Dania kabur dari kantor polisi. Mereka bilang dia dalam perjalanan ke sini.""Apa?" Maharani langsung menoleh ke arah Darius. Napasnya tersengal, wajahnya pucat pasi. "Dia... ke sini?"Siapa sangka Maharani menyingkap selimut lalu hendak turun dari ranjang.“Kamu mau ke mana?” tanya Darius yang berusaha mencegah sang pujaan hati turun dari ranjang.“Anakku … dia dalam bahaya, Darius!” Maharani terisak. Namun, Darius segera merangkul dan mendekap dengan erat menenangkan wanita itu.Dewi berdiri dari kursinya. "Apa kamu yakin, Dok?""Polisi yang bilang begitu. Tapi dia terluka karena—” Ucapan Darius tertahan dengan rahang mengeras.Ponsel Denver tiba-tiba berbunyi. Pria itu menjawab cepat, mendengarkan penjelasa
“Tolong, Mas. Aku mohon sekali ini saja, bantu Ayah,” lirih seorang wanita sambil mengatupkan kedua tangan dan bersujud di depan pria bertubuh kurus.Sudah setengah jam perempuan cantik bermata sipit itu mengemis di hadapan sang suami. Namun, pria bertubuh tinggi di hadapannya tidak luluh walau secuil kapas.“Heh, Dewi, aku bukan lembaga sosial yang memberi uang Cuma-Cuma? Bodoh amat ayahmu itu mati dan kesakitan, aku tidak peduli!” sentak pria itu sambil mengempas kaki sehingga tubuh mungil di bawahnya tersungkur ke atas lantai.Netra hitam pekat Dewi bergetar dan kedua tangan terkepal kuat di samping tubuh, setelah mendengar kalimat kejam dari bibir suami. Perlahan dia mendongak, menatap dalam wajah pria itu.“Mas Bima … dokter bilang ayahku harus dioperasi segera, kalau tidak …,” kata Dewi dengan suara nyaris tenggelam.Dua jam lalu Dewi menerima kabar dari tetangga di kampung, bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit karena mendadak sesak napas. Saat itu, dia masih bisa berpikir ten...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen