"Itu artinya … menjual sel telur milikku?” gumam Dewi, “bukankah seharusnya menggunakan sel telur dari istri pria itu? Kenapa harus aku?” Dewi Anggraeni tak pernah membayangkan hidupnya memiliki jalan berliku tajam. Dinikahi oleh Bima seorang pria mapan, tetapi tidak dianggap sebagai istri. Bahkan dia dijual oleh sang suami dengan perjanjian gila kepada seorang pria kaya raya. Perempuan itu harus melahirkan anak dari benih pria yang tidak lain adalah direktur rumah sakit tempatnya bekerja. Masalah semakin pelik, ketika hubungan ini melibatkan perasaan. Sikap hangat Denver membuat Dewi terbuai. Seiring berganti hari, keduanya terikat satu sama lain. Hingga hubungan itu terendus oleh pasangan masing-masing dan keduanya dipaksa berpisah oleh keadaan. Dewi tidak lagi memiliki pegangan hidup, dia sulit menentukan pilihan. Apakah bertahan menjalani kehidupan toxic rumah tangganya bersama Bima atau bersikeras menjadi wanita simpanan sang dokter?
View More“Ruslan, apa saja jadwal Carissa di Singapura?” tanya Denver melalui sambungan telepon.“Dua hari ini Nyonya sibuk syuting iklan produk kecantikan. Menurut sumber informasi, beliau tidak bertemu dengan siapa pun.”Denver manggut-manggut mendengar laporan dari Ruslan—asisten pribadi yang sangat dia percaya. Namun, dia tidak sepenuhnya memercayai informasi itu. Bukan berarti asistennya berbohong, tetapi ….“Terima kasih laporannya. Sampaikan kepada mereka awasi Carissa dari kejauhan, jangan sampai dia tahu aku memata-matainya!”“Dilaksanakan, Pak,” sahut Ruslan. Setelah itu panggilan suara berakhir.Bersamaan dengan ditaruhnya telepon genggam di atas meja, Denver mendengar suara ketukan pintu. Tanpa bertanya siapa yang ada di belakang sana, dia memerintah, “Silakan, masuk!”Pintu itu terbuka perlahan, tatapan Denver langsung teralih ke sana. Dia tahu seseorang itu adalah Dewi. Keduanya bertemu pandang. Ada makna tersirat dari masing-masing bola mata. “Selamat sore Dokter,” sapa Dewi d
‘Suara wanita? Jangan-jangan itu …,’ batin Dewi gelisah. Manik hitam legam gadis itu pun langsung tertuju ke arah pintu. Sama halnya dengan Denver yang memandangi ke pintu. Memanfaatkan kelengahan Denver, Dewi bergegas menjauh dari pria itu. Kemudian dia merapikan berkas di atas meja kerja. Debar jantung Dewi saat ini melebihi batas normal hingga kedua tangannya mendadak tremor dan menjatuhkan berkas. Sedangkan ekspresi Denver tampak tenang, dia begitu santai berjalan menuju pintu. Dewi tidak habis pikir, mengapa ada pria seperti itu di saat genting? Atau mungkin Denver bukanlah orang normal yang takut ketahuan selingkuh. Denver membuka pintu. Seorang wanita cantik berpampilan modis memasuki ruangan. Sebelum duduk di sofa, sosok itu menaruh tas tangan putih di meja kecil. Selanjutnya memperhatikan wajah pucat Dewi di samping meja kerja. Dewi hanya mampu mengatur napas dan menyembunyikan keresahan. “Kenapa buka pintunya lama? Karena berduaan sama perempuan!” sembur wanita itu, sa
Sementara itu di dalam rumah luas bergaya tropis modern, seorang pria sedang mengerang. “Akh … sakit, Pak!” teriak pria bertubuh kurus itu. “Heh Bima ingatlah perjanjian kita!” tegas pria itu sambil mengepalkan tangan. “Maaf Pak Rudi,” rintih pria itu sambil memegangi perutnya. “Aku terpaksa karena butuh uang, Dewi mengambil semua uang pemberian dari Bapak,” sambung Bima. Rudi terbahak kemudian geleng-geleng mendengar ucapan Bima. Pria itu tambun dan plontos itu berjongkok sambil menatap tajam kepada Bima. “Jangan ganggu Dewi! Karena stress menghambat kehamilan!” bentak Rudi, “sekali lagi kamu mengganggu Dewi, kupastikan kamu menerima akibatnya!” Bima mengangkat satu tangannya, dia berupaya mencegah jika saja Rudi kembali memukulnya. “I--iya siap, Pak. Aku tidak akan mengganggu Dewi sampai melahirkan.” Rudi mendengkus dan menjauh dari badan Bima yang bernoda keringat serta tetesan darah dari hidung. Setelahnya, Rudi meninggalkan rumah pria itu. Akan tetapi, Bima masih tersungku
“Milikku?” gumam Dewi di sela sensasi geli yang menjalar ke seluruh tubuhnya.Ucapan itu bagai guyuran air di tanah gersang. Hati yang selama ini selalu disakiti, penuh caci dan maki berubah berbunga-bunga. Ditambah betapa lembutnya Denver menyentuh Dewi. Pria itu tidaklah kasar, setiap sentuhan dan tatapannya seakan-akan memuja kepada Dewi.“Kamu benar-benar harum, Dewi,” bisik Denver, “tapi aku tidak bisa ….”Denver menghentikan cumbuannya dan memandang Dewi sambil membelai puncak kepala gadis itu. Manik cokelat karamel Denver menatap lapar setiap lekuk tubuh mungil yang terbalut piama. Naluri sebagai pria dewasa tidak dapat dijinakkan dengan mudah.Melihat susah payahnya Denver menahan diri, membuat Dewi mengambil inisiatif. Jemari gadis itu menyentuh otot-otot perut yang keras dari balik kaos.“Lakukan saja Dokter. Bukankah makin sering berhubungan dapat meningkatkan peluang kehamilan?” Wajah Dewi bersemu merah dan jemarinya berhenti bermain di atas perut kotak-kotak.Sudut bibir
Dua jam sebelumnya.[Dokter Denver, aku pulang duluan. Terima kasih.]Denver membaca kata-kata tertulis di sticky note hijau yang ditempel di atas meja kerja. Pria itu melirik jam, memang sudah waktunya para perawat shift satu pulang. Dia menghubungi Dewi, tetapi tidak aktif.Pria itu merasa ada yang janggal. Denver tidak diam saja, lalu menelepon pelayan di apartemen.“Apa dia sudah pulang?”Pelayan menyahut, “Belum, Pak.”Denver langsung memutus panggilan suara. Lagi, dia melihat jam, seharusnya Dewi sudah sampai di apartemen. Pria itu beranjak menuju ruang kendali di lantai satu. Denver memerintah satpam memutar rekaman CCTV di luar gedung, terutama yang mengarah ke jalan.Dapat!Manik cokelat karamel Denver menangkap tidak ada kejanggalan apa pun. Namun, beberapa detik kemudian satu unit hatchback merah menepi dan tubuh Dewi dipaksa masuk ke dalam jok tengah. Denver menggeram seketika. Dia mengenali plat mobil itu.Pria itu bergegas meninggalkan ruang kendali, sambil menghubungi a
‘Ini di mana?!’ jerit Dewi dalam hati. Mulut gadis itu masih tertutup lakban hitam.Kendaraan Bima memasuki basement gedung tingkat tiga. Pria itu mengeluarkan Dewi dan memaksanya turun.Dewi menggeleng, dan menahan tubuhnya dengan menekan kedua kaki ke permukaan. Dia benar-benar sulit melepaskan diri dari Bima. Tenaganya kalah jauh dari sang suami. Gadis itu menangis dalam diam.“Ini dia penjamin utangku.” Bima mendorong tubuh Dewi ke hadapan dua orang pria berbadan besar dan bertato.“Dia istriku, mulai hari ini dia yang membayar semua utangku sampai lunas,” ucap Bima penuh penekanan pada kata hutang.Bima mengacak-acak isi tas Dewi, pria itu mengambil telepon genggam sang istri dan memberikannya kepada dua pria di depan mereka. Dia juga mengambil card holder wallet milik gadis itu.“Ambilah, anggap itu sebagai keseriusanku membayar utang,” kata Bima dengan nada angkuh dan mengangkat dagu.Dua pria berbadan besar mengambil ponsel, lalu membentak, “Ini HP murah!”“Kalian tenang saja,
Dewi menunduk menyembunyikan pipi semerah tomat. Kedua tangannya saling meremas di atas paha dan embusan napasnya menjadi cepat. Sungguh dia tidak menyangka kalau pagi ini Dokter Denver ….Gawai di dalam saku baju berdenting. Dewi tersentak dan memeriksa isi pesan singkat itu. Dia membacanya dalam hati.[Jangan lupa dimakan bekal rotinya.]Dia mengetik pesan balasan, lalu mengirimnya. [Baik Dokter.]Haruskah dia senang dan bersyukur mendapat perhatian? Tidak! Justru Dewi merasa sikap Denver berlebihan, padahal dia hanyalah perempuan yang dibayar untuk mengandung dan melahirkan keturunan Dokter itu.Ketika Dewi sedang menyantap bekalnya, dia mendengar rekan sesama perawat berbisik-bisik.“Aku dan suami lagi program hamil, makanya berhubungan badan pagi. Supaya nambah peluang kehamilan, loh.” Temannya Dewi terkekeh geli kemudian berlalu menuju barisan perawat lainnya.Saran dari temannya itu membuat Dewi bertanya-bertanya dalam hati, ‘Apa aku dan Dokter Denver harus—’“Ayo, briefing!” ti
“I--tu …,” gumam Dewi setelah celana hitam pria itu terlepas sempurna.“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan. Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver ma
“Aku ….” Dewi kehabisan kata mendengar pertanyaan Denver.Seandainya dia menjawab ragu, apakah Denver sukarela melepaskannya? Lalu bagaimana dengan uang yang telah pria itu berikan? Dewi sudah menggunakannya untuk mencicil biaya pengobatan Danang. Sekarang … haruskah dia melarikan diri dari tugas?Gadis itu menggeleng lemah tanpa suara. Tidak bisa mundur lagi! Malam ini waktu yang tepat untuk berhubungan intim. Ini masa ovulasinya, dia enggan menunggu lebih lama lagi.“Aku tidak ragu, Dokter. Aku … menginginkannya,” jawab Dewi pada akhirnya.Denver menatap lekat paras gadis itu. Jemari pria itu bergerak perlahan membelai pipi kemerahan, menggelitik pemiliknya hingga menggeliat.Ini pertama kali gadis itu mendapat sentuhan lembut dari seorang pria.Dewi mulai berani menatap sepasang manik indah milik pria di hadapannya. Sorot mata Denver memancarkan kehangatan serta kekaguman yang belum pernah dia dapatkan. Namun, gadis itu mati-matian menahan diri agar tidak terjerumus ke dalam lubang
“Tolong, Mas. Aku mohon sekali ini saja, bantu Ayah,” lirih seorang wanita sambil mengatupkan kedua tangan dan bersujud di depan pria bertubuh kurus.Sudah setengah jam perempuan cantik bermata sipit itu mengemis di hadapan sang suami. Namun, pria bertubuh tinggi di hadapannya tidak luluh walau secuil kapas.“Heh, Dewi, aku bukan lembaga sosial yang memberi uang Cuma-Cuma? Bodoh amat ayahmu itu mati dan kesakitan, aku tidak peduli!” sentak pria itu sambil mengempas kaki sehingga tubuh mungil di bawahnya tersungkur ke atas lantai.Netra hitam pekat Dewi bergetar dan kedua tangan terkepal kuat di samping tubuh, setelah mendengar kalimat kejam dari bibir suami. Perlahan dia mendongak, menatap dalam wajah pria itu.“Mas Bima … dokter bilang ayahku harus dioperasi segera, kalau tidak …,” kata Dewi dengan suara nyaris tenggelam.Dua jam lalu Dewi menerima kabar dari tetangga di kampung, bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit karena mendadak sesak napas. Saat itu, dia masih bisa berpikir ten
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments