"Itu artinya … menjual sel telur milikku? Kenapa harus aku?” Dewi Anggraeni tak pernah membayangkan hidupnya memiliki jalan berliku tajam. Dinikahi oleh Bima seorang pria mapan, tetapi tidak dianggap sebagai istri. Bahkan dia dijual oleh sang suami dengan perjanjian gila kepada pria kaya raya. Dewi harus melahirkan anak dari benih pria asing. Masalah semakin pelik, ketika hubungan itu melibatkan perasaan dan menimbulkan masalah baru bagi mereka.
View MoreDewi menatap wajah kecil dalam dekapannya. Tubuh mungil itu terasa menghangatkan hati, tetapi pikirannya merambat begitu dingin. Kata-kata Dania tadi masih menusuk-nusuk benaknya, berputar tanpa henti seakan menjadi mantra kutukan. "Mama, aku mau bobo dipeluk Mama, ya?" Dirga menggumam pelan, matanya yang indah mulai meredup dalam kantuk. Dewi tersentak dari lamunannya. Dia menelan ludah, berusaha mengembalikan fokus ke putranya. Bibir merah muda wanita itu melengkung samar, meskipun hatinya masih penuh gundah. "Iya, Sayang. Mama bakal peluk Dirga semalaman." "Janji. Mama nggak hilang, ya?" Bocah itu menatap sang mama dengan mata ngantuknya. "Janji, Bos Kecil." Dirga tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya, lalu menyusup lebih dalam ke pelukan Dewi. Napas anak itu mulai teratur, tangannya masih menggenggam baju ibunya erat. Seakan takut jika melepaskan, Dewi akan kembali hilang. Denver melirik ke kaca spion, melihat istrinya yang masih menunduk, membelai rambut putranya de
Hening menyelimuti ruangan ketika Denver menekan tombol merah di ponsel. Wajah tampan Dokter itu masih serius, tatapannya dalam, tetapi terdapat sedikit kelegaan yang tersirat. Dia berbalik menatap Dewi yang masih terduduk di sofa dengan wajah cemas. Bahkan paras ayunya berubah jadi pucat karena tragedi ini. "Ayo, kita jemput Dirga," kata Denver, sambil berjalan mendekati Dewi. Dewi menatap sang suami dengan mata yang masih basah. Dia mengangguk lemah. Ketika dia hendak berkata untuk menjawab, Denver telah berjongkok di hadapannya. Pria itu menghapus sisa air mata di pipi istrinya dengan jemarinya yang hangat. "Jangan menangis lagi," ujar Denver lembut dan penuh ketenangan.. "Nanti Dirga bisa sedih melihatmu seperti ini." Dewi menunduk, menarik napas dalam, lalu berdiri. Dia menggenggam tangan Denver dengan erat, seakan dia takut terjatuh, karena satu-satunya yang bisa membuatnya tetap berdiri tegak adalah sang suami. Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju mobil
Dewi nyaris menjatuhkan ponselnya ketika suara panik dari seberang terdengar lagi. "Dirga ... Dirga menghilang, Bu! Saya sudah mencarinya ke seluruh rumah, tapi tidak ada!" Suara pengasuh terdengar putus asa. Ada isak tangis dan keriuhan di sana. Dewi langsung terduduk. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak, setelah kesadarannya kembali dia melompat panik dari atas ranjang. Tanpa pikir panjang, dia bangkit, menarik pakaiannya yang berserakan di atas karpet dan meraih tasnya dengan tangan gemetar. Denver yang belum memahami situasi, mengernyit melihat istrinya yang tampak panik. "Dewi, ada apa?" "Sayang ... Dirga hilang! Anak kita," histeris Dewi dengan suara pecah saat mengucapkan itu. Tanpa menunggu jawaban, Dewi langsung berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa. Denver bergegas menyusul, meraih kunci helikopter dan mengikuti langkah istrinya yang sudah setengah berlari keluar. Wanita itu tidak peduli meskipun kakinya masih lemas, dan jalannya hampir tersandun
** Baca setelah berbuka puasa**Dewi berdiri dengan bangga di atas panggung, mengenakan toga kebanggaan universitasnya. Sorak-sorai memenuhi auditorium saat namanya dipanggil sebagai lulusan terbaik. Tangannya sedikit gemetar saat menerima ijazah dari rektor, tetapi senyum di wajahnya tak dapat disembunyikan."Selamat, Dewi. Ini adalah hasil dari kerja keras dan ketekunanmu," ujar rektor dengan bangga."Terima kasih, Pak," jawab Dewi dengan suara bergetar, merasakan momen ini sebagai titik puncak dari perjuangannya selama bertahun-tahun.Dari tempat duduk tamu undangan, Denver menatapnya dengan penuh kebanggaan. Di sisinya, Danis dan Oma Nayla juga bertepuk tangan meriah. Namun, perhatian Dewi sempat tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh dari sana—Darius.Senyum pria itu ramah, tetapi tatapan itu membuat Dewi merasa bersalah mengingat perjuangan Darius. Itu akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan baginya.Saat Dewi turun dari panggung, Darius menghampirinya lebih dulu, sedangk
** Baca setelah berbuka puasa** ^^Satu tahun berlalu.“Sayang, aku belum pakai kemeja!” teriak Denver dari dalam kamar, matanya tetap terpaku pada layar ponsel, sibuk mengetik sesuatu.Dewi, yang baru saja selesai merias wajahnya, mendengkus pelan. Dia masih mengenakan jubah mandi merah muda dan belum sempat berganti pakaian. Dengan langkah cepat, dia menghampiri sang suami yang duduk di tepi ranjang.“Kenapa tidak pakai sendiri?” tanyanya dengan nada sedikit kesal. Belakangan ini, Denver makin manja, membuatnya sering meminta bantuan untuk hal-hal kecil.“Tolong, Sayang. Tanganku sibuk,” jawab Denver, mengedipkan sebelah mata dengan ekspresi menggoda.“Kalau begitu, taruh dulu ponselnya dan pakai sendiri!” gerutu Dewi, meskipun akhirnya tetap berbalik untuk mengambil kemeja yang sudah dia siapkan di gantungan.Akan tetapi, sebelum sempat menjauh, tangan Denver sudah melin
** Baca setelah buka puasa**Seluruh persendian Dewi melemas. Dia bahkan harus berpegangan pada lengan Valerie agar tetap berdiri. Matanya berkaca-kaca, napasnya tersendat-sendat."Wi, jangan nangis, nanti luntur," bisik Valerie sambil menopangnya.Dewi terisak. "Ternyata kamu membawaku ke sini."Valerie mengangguk dengan senyum kecil.Bahkan Dewi tidak pernah menyangka pria yang sejak siang diharapkan membalas pesan, kini berjalan mendekat dengan senyum mengembang yang membuatnya terlihat makin tampan."Mon ange," panggil Denver, mengulurkan tangan. Dia mengenakan setelan jas formal yang sesuai dengan postur tubuh atletisnya.Tanpa ragu, Dewi menyambut uluran itu. "Maaf, aku merahasiakan ini darimu," lanjut Denver dengan nada lembut.Dewi tersenyum, meskipun air mata masih luruh di pipinya. Namun, kali ini bukan kesedihan seperti dahulu. Ini adalah kebahagiaan baru yang akan dia jalani.Mereka berjalan mendekati anggota keluarga lain yang telah berkumpul tanpa sepengetahuannya."Home
Pagi ini, Dewi sengaja berangkat kuliah lebih awal. Semua karena dia ingin menemani Maharani interview. Meredakan ketegangan yang melanda sahabatnya sejak pagi.“Wi, bagaimana kalau gagal? Aku tidak tahu harus cari uang di mana lagi,” lirih Maharani, meremas tangan Dewi erat-erat.“Semoga kamu berhasil, Rani.” Dewi mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udara. Namun dalam hati, dia bergumam lirih, ‘Maaf, aku hanya bisa bantu seadanya.’Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian formal keluar dan memanggil Maharani untuk wawancara. Sedangkan Dewi menunggu di kursi dengan tenang, bagaimanapun dia sudah mengetahui jawabannya.Sembari menunggu, dia mengirimkan pesan teks pada suaminya.[Dokterku Sayang, makasih. Kamu memang suami sempurna.]Namun, pesan itu tidak kunjung mendapat balasan, bahkan dibaca saja belum. Dewi mendengkus kesal, kakinya bergerak-gerak tak sabar, mencoba mengusir rasa gelisah.Setelah hampir setengah jam, Maharani keluar dari ruangan kepala SDM. Wajahnya datar, d
"Bu, di mana Rani?" tanya Dewi pada Astuti. Dia baru saja datang ke kontrakan Maharani."Ada, Wi. Baru pulang wawancara kerja." Mata Astuti melirik ke pintu kamar yang tertutup rapat. Dia menghela napas panjang. "Kasihan Rani. Lamarannya ditolak lagi, hanya karena luka bakarnya itu."Dewi menggigit bibir. Setelah melihat saldo rekeningnya dan menatap wajah Denver beberapa waktu lalu, dia sadar dirinya tidak bisa bertindak terlalu jauh.Akan tetapi, setelah dua bulan ini terus-menerus menanyakan kabar Maharani tanpa ada perkembangan, akhirnya dia memberanikan diri untuk datang. Beruntungnya, Denver sudah mengizinkannya bepergian, meskipun masih dalam pengawasan ketat.Saat memasuki kontrakan, Dewi menatap sekeliling dengan miris. Maharani yang dulu tinggal di kompleks elit, kini harus menetap di gang sempit dengan rumah kecil yang sederhana. Ruang tamunya menyatu dengan dapur, tanpa sekat yang jelas.Dewi duduk di karpet bulu yang agak usang.Astuti menuangkan teh ke dalam cangkir dan
“Kamu kenapa?” tanya Denver setelah membeli rujak buah untuk sang istri.Tatapan Dewi masih tertuju ke satu titik yang sama. Kali ini, telunjuknya terangkat, menunjuk seorang wanita yang sedang duduk melamun di kejauhan.Denver mengikuti arah pandang Dewi, mengernyit menatap sosok yang dikenalnya. Lantas, dia bertanya, “Ya, terus?”Dewi menggeser pandangan ke arah sang suami, bibirnya mengerut. Seperti biasa, entah Denver memang kurang peka atau sedang mengujinya.“Aku mau ketemu Rani, boleh?” tanya Dewi pelan, suaranya hati-hati. Bagaimanapun, dia tidak mau mengambil langkah yang salah.“Tentu boleh, aku antar kamu ke sana. Tolong jangan lama, karena Dirga menunggu kita di rumah,” tutur Denver datar, lalu membantu Dewi berjalan mendekati temannya.Suara isak tangis pelan terdengar. Maharani belum menyadari kedatangan mereka. Denver berdeham, menegaskan kehadiran mereka agar wanita itu tidak canggung.“Dokter Denver? Dewi?” Maharani tersentak, buru-buru menghapus air matanya dengan pun
“Tolong, Mas. Aku mohon sekali ini saja, bantu Ayah,” lirih seorang wanita sambil mengatupkan kedua tangan dan bersujud di depan pria bertubuh kurus.Sudah setengah jam perempuan cantik bermata sipit itu mengemis di hadapan sang suami. Namun, pria bertubuh tinggi di hadapannya tidak luluh walau secuil kapas.“Heh, Dewi, aku bukan lembaga sosial yang memberi uang Cuma-Cuma? Bodoh amat ayahmu itu mati dan kesakitan, aku tidak peduli!” sentak pria itu sambil mengempas kaki sehingga tubuh mungil di bawahnya tersungkur ke atas lantai.Netra hitam pekat Dewi bergetar dan kedua tangan terkepal kuat di samping tubuh, setelah mendengar kalimat kejam dari bibir suami. Perlahan dia mendongak, menatap dalam wajah pria itu.“Mas Bima … dokter bilang ayahku harus dioperasi segera, kalau tidak …,” kata Dewi dengan suara nyaris tenggelam.Dua jam lalu Dewi menerima kabar dari tetangga di kampung, bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit karena mendadak sesak napas. Saat itu, dia masih bisa berpikir ten...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments