Selamat datang di buku baruku Kakak-kakak. Jangan lupa tinggalkan jejak ^^ Berikan komentar dan dukungannya untuk author. Terima kasih Peluk jauh ^^
“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan.Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti, sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver mampu mengalihkan perhatian Dewi. Gadis itu melenguh dan menggelinjang k
"A--pa? Bukan begitu Dokter," gugup Dewi. Dia menelan air liur dan mendadak tidak bisa berpikir. Apalagi saat ini posisi Denver terlalu dekat dengannya.Wajah Denver makin dekat, sampai aroma mint memenuhi rongga hidung Dewi. "Benarkah? Tapi reaksi tubuhmu berbeda," kata pria itu."Aku ... harus kerja pagi ini, Dokter. Tidak boleh bolos," jawab sang gadis dengan gaya kaku.Seketika Denver terkekeh kecil mendengar ucapan Dewi. Pria itu menjaga jarak dengan gadisnya, lalu mengalihkan tatapan pada piring kosong."Tidak perlu malu kalau mau lagi. Aku buatkan roti isi yang baru." Denver berdiri dan berjalan ke dapur. Dengan gesit pria itu menyiapkan bekal makanan sehat untuk Dewi. Setelahnya, Denver memberikan kotak bekal merah jambu berisi roti isi kepada Dewi. Pria itu merunduk dan berbisik, "Tenang saja, aku tidak segila itu menyentuhmu. Tujuan utamaku untuk punya anak, bukan berbagi hasrat setiap saat."Denver membelai puncak kepala Dewi yang mengangguk pelan.Kemudian, Dewi berpamit
‘Ini di mana?!’ jerit Dewi dalam hati. Mulut gadis itu masih tertutup lakban hitam.Kendaraan Bima memasuki basement gedung tingkat tiga. Pria itu mengeluarkan Dewi dan memaksanya turun.Dewi menggeleng, dan menahan tubuhnya dengan menekan kedua kaki ke permukaan. Dia benar-benar sulit melepaskan diri dari Bima. Tenaganya kalah jauh dari sang suami. Gadis itu menangis dalam diam.“Ini dia penjamin utangku.” Bima mendorong tubuh Dewi ke hadapan dua orang pria berbadan besar dan bertato.“Dia istriku, mulai hari ini dia yang membayar semua utangku sampai lunas,” ucap Bima penuh penekanan pada kata hutang.Bima mengacak-acak isi tas Dewi, pria itu mengambil telepon genggam sang istri dan memberikannya kepada dua pria di depan mereka. Dia juga mengambil card holder wallet milik gadis itu.“Ambilah, anggap itu sebagai keseriusanku membayar utang,” kata Bima dengan nada angkuh dan mengangkat dagu.Dua pria berbadan besar mengambil ponsel, lalu membentak, “Ini HP murah!”“Kalian tenang saja,
Dua jam sebelumnya.[Dokter Denver, aku pulang duluan. Terima kasih.]Denver membaca kata-kata tertulis di sticky note hijau yang ditempel di atas meja kerja. Pria itu melirik jam, memang sudah waktunya para perawat shift satu pulang. Dia menghubungi Dewi, tetapi tidak aktif.Pria itu merasa ada yang janggal. Denver tidak diam saja, lalu menelepon pelayan di apartemen.“Apa dia sudah pulang?”Pelayan menyahut, “Belum, Pak.”Denver langsung memutus panggilan suara. Lagi, dia melihat jam, seharusnya Dewi sudah sampai di apartemen. Pria itu beranjak menuju ruang kendali di lantai satu. Denver memerintah satpam memutar rekaman CCTV di luar gedung, terutama yang mengarah ke jalan.Dapat!Manik cokelat karamel Denver menangkap tidak ada kejanggalan apa pun. Namun, beberapa detik kemudian satu unit hatchback merah menepi dan tubuh Dewi dipaksa masuk ke dalam jok tengah. Denver menggeram seketika. Dia mengenali plat mobil itu.Pria itu bergegas meninggalkan ruang kendali, sambil menghubungi a
"Aku akan melindungimu, Dewi. Mulai sekarang jangan takut lagi," kata Denver. Suara pria itu terdengar hangat dan dalam.Dewi terpaku menatap Denver di sela sensasi geli yang menjalar ke seluruh tubuhnya.Jujur, ucapan itu bagai guyuran air di tanah gersang. Hati yang selama ini selalu disakiti, penuh caci dan maki, berubah berbunga-bunga. Dewi merasa dilindungi, dihargai dan disayangi. Ditambah betapa lembutnya Denver menyentuh Dewi. Pria itu tidaklah kasar."Terima kasih, Dokter," balas Dewi. Suaranya mengalun lirih."Tidak perlu berterima kasih. Itu sudah tugasku." Denver memandang Dewi sambil membelai lengan putih gadis itu. Manik cokelat karamel Denver memindai secara mendalam setiap lekuk tubuh mungil yang terbalut piama. Naluri sebagai pria dewasa tidak dapat dijinakkan dengan mudah."Tidurlah," titah Denver pada akhirnya.Sedangkan Dewi tercenung dan sambil memperhatikan sikap Denver, dia menggigit bibir bawahnya. Dia pikir akan mengulang malam panas lagi, ternyata Dokter itu m
Sementara itu di dalam rumah luas bergaya tropis modern, seorang pria sedang mengerang. “Akh … sakit, Pak!” teriak pria bertubuh kurus itu. “Heh Bima ingatlah perjanjian kita!” tegas pria itu sambil mengepalkan tangan. “Maaf Pak Rudi,” rintih pria itu sambil memegangi perutnya. “Aku terpaksa karena butuh uang, Dewi mengambil semua uang pemberian dari Bapak,” sambung Bima. Rudi terbahak kemudian geleng-geleng mendengar ucapan Bima. Pria itu tambun dan plontos itu berjongkok sambil menatap tajam kepada Bima. “Jangan ganggu Dewi! Karena stress menghambat kehamilan!” bentak Rudi, “sekali lagi kamu mengganggu Dewi, kupastikan kamu menerima akibatnya!” Bima mengangkat satu tangannya, dia berupaya mencegah jika saja Rudi kembali memukulnya. “I--iya siap, Pak. Aku tidak akan mengganggu Dewi sampai melahirkan.” Rudi mendengkus dan menjauh dari badan Bima yang bernoda keringat serta tetesan darah dari hidung. Setelahnya, Rudi meninggalkan rumah pria itu. Akan tetapi, Bima masih tersungk
‘Suara wanita? Jangan-jangan itu …,’ batin Dewi gelisah. Manik hitam legam gadis itu pun langsung tertuju ke arah pintu. Sama halnya dengan Denver yang memandangi ke pintu. Memanfaatkan kelengahan Denver, Dewi bergegas menjauh dari pria itu. Kemudian dia merapikan berkas di atas meja kerja. Debar jantung Dewi saat ini melebihi batas normal hingga kedua tangannya mendadak tremor dan menjatuhkan berkas. Sedangkan ekspresi Denver tampak tenang, dia begitu santai berjalan menuju pintu. Dewi tidak habis pikir, mengapa ada pria setenang itu di saat genting? Atau mungkin Denver bukanlah orang normal yang takut ketahuan selingkuh?? Denver membuka pintu. Seorang wanita cantik berpampilan modis memasuki ruangan. Sebelum duduk di sofa, sosok itu menaruh tas tangan putih di meja kecil. Selanjutnya memperhatikan wajah pucat Dewi di samping meja kerja. Dewi hanya mampu mengatur napas dan menyembunyikan keresahan. “Kenapa buka pintunya lama? Karena berduaan sama perempuan?!” sembur wanita itu
Sementara itu, Denver sedang berbincang bersama seseorang melalui sambungan telepon.“Ruslan, apa saja jadwal Carissa di Singapura?” tanya Denver. “Dua hari ini Nyonya sibuk syuting iklan produk kecantikan. Menurut sumber informasi, beliau tidak bertemu dengan siapa pun.” Denver manggut-manggut mendengar laporan dari Ruslan—asisten pribadi yang sangat dia percaya. Namun, dia tidak sepenuhnya memercayai informasi itu. Bukan berarti asistennya berbohong, tetapi …. “Terima kasih laporannya. Sampaikan kepada mereka awasi Carissa dari kejauhan, jangan sampai dia tahu aku memata-matainya!” “Dilaksanakan, Pak,” sahut Ruslan. Setelah itu panggilan suara berakhir. Bersamaan dengan ditaruhnya telepon genggam di atas meja, Denver mendengar suara ketukan pintu. Tanpa bertanya siapa yang ada di belakang sana, dia memerintah, “Silakan, masuk!” Pintu itu terbuka perlahan, tatapan Denver langsung teralih ke sana. Dia tahu seseorang itu adalah Dewi. Keduanya bertemu pandang. Ada makna tersirat
Langkah Denver menghentak keras menyusuri koridor rumah. Napasnya memburu dan rahangnya mengeras. Tanpa ragu, dia mengempaskan pintu kamar Carissa hingga terbuka lebar.Carissa yang sedang duduk di depan meja rias, tersentak kaget. Lipstik di tangan wanita itu jatuh ke lantai."Denver?! Apa-apaan sih?" seru Carissa, berusaha bangkit.Akan tetapi, tatapan Denver yang membara membuat langkah Carissa tertahan. Mata cokelat karamel pria itu menatap tajam seolah ingin membakar habis wanita di depannya."Apa yang kamu lakukan pada Dewi?!" Suara Denver menggelegar, dan agak bergetar karena amarah yang ditahan.Carissa berusaha tersenyum, meski wajahnya kini memucat. "Aku … enggak tahu apa yang kamu bilang. Dewi? Aku enggak ketemu sama dia. Kamu tahu sendiri kemarin aku seharian di rumah Oma."Habis sudah kesabaran Denver. Dia menghantam meja rias di depannya, membuat botol parfum dan kosmetik berjatuhan. Bahkan beberapa pecah."Jangan bohong! Aku tahu kamu yang mendorong Dewi di tangga darur
Suara napas Dewi memburu di lorong dingin itu. Tangannya bergetar memegangi perut yang terasa nyeri hebat. Pandangan Ibu hamil itu kabur, dan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan dia mencoba merangkak, mencari pegangan di sekitar tangga."Tidak ... aku harus melindungi kamu," gumamnya pelan sambil menahan rasa sakit di perut.Sayang, langkahnya goyah. Cairan merah mulai mengalir di antara kedua kakinya. Sebelum tubuh mungil itu sempat menghantam lantai lebih keras, sepasang tangan langsung menangkapnya.“Astaga, Dewi!” pekik Valerie, lalu berteriak meminta tolong ke arah tangga.Tidak lama kemudian Mama Dwyne yang baru datang dari lantai atas segera berlari menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak melihat darah di lantai."Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" seru Mama Dwyne panik dan tanpa pikir panjang langsung membantu Valerie mengangkat tubuh Dewi.Mama Dwyne berkali-kali melirik ke arah Dewi yang setengah sadar di dalam mobil. Jantungnya berdegup kencang."Apa
Denver melangkah cepat menuju lobi apartemen, rahangnya mengeras, matanya menajam saat melihat seorang pria berdiri santai di depan pintu masuk. Kecurigaan langsung mengendap di benak Denver.Pria paruh baya dengan setelan rapi tampak sedang bertanya banyak hal pada resepsionis."Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Denver terdengar dingin dan penuh kewaspadaan.Pria itu menunduk hormat. "Maaf, Tuan. Saya hanya mengantarkan dokumen penting dari Nyonya Dwyne untuk rekan bisnisnya di sini."Denver mengepalkan tangan dan napasnya berat. Tentu saja dia tidak memercayai ucapan asisten mamanya."Sebaiknya kamu pergi sekarang! Sampaikan pada Mama jangan campuri urusanku," gertak pria itu dengan tatapan intimidasi.Akan tetapi, sebelum Denver sempat bertindak lebih jauh, ponselnya berdering keras. Itu panggilan dari rumah sakit."Dokter, pasien melahirkan dalam kondisi darurat. Anda harus segera ke sini!"Denver berdecak pelan dan menggertakkan giginya. Dengan terpaksa, dia melangkah mundur
Dewi sadar, dia seharusnya tidak perlu merasa terkhianati melihat foto tadi. Denver dan Carissa adalah suami istri yang sah. Sudah sepatutnya mereka berbagi peluh, menyalurkan hasrat berdua. Akan tetapi, tanpa bisa dicegah, rasa nyeri terasa di dada Dewi. Dia bahkan tidak sadar telah menghentikan taksi, sebelum kemudian sang sopir menegurnya karena kesal. “Mbak, jadi naik enggak?” Dewi langsung gelagapan. Pikirannya langsung teralihkan saat itu juga. “Oh, iya. Maaf,” balas Dewi sambil tersenyum tipis. Baru dia memasuki mobil dan bersiap menutup pintu, suara seseorang menghentikan gerakannya. “Dewi,” panggil sosok itu dengan intonasi rendah dan tegas. Detik itu, jantung Dewi semakin berpacu. Nyeri di hatinya makin terasa hingga dia tidak berani menatap mata teduh itu lama-lama. “Dokter Denver? Kenapa … ada di sini?” Dokter tampan itu melangkah makin dekat, berhenti tepat di samping Dewi. Tatapan Denver intens, seolah tengah mencari sesuatu di wajah gadis itu. Pria
Denver terduduk di sofa kamarnya. Dia mengepalkan tangan. Ingatannya tentang bagaimana dia tertidur karena lelah tidak seharusnya berakhir seperti ini. Mata cokelat karamel melirik ke arah Carissa yang masih tertidur dengan wajah tenang. Ketidakadilan situasi ini membuat dada pria itu sesak. Dengan cepat, dia berdiri dan berjalan ke sisi tempat tidur. "Bangun!" seru Denver dengan nada keras, membuat Carissa terlonjak kaget. Carissa membuka matanya perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya. "Selamat pagi, Baby," sapa wanita itu lembut, seolah-olah tidak ada yang salah. "Apa yang kamu campur di minumanku semalam, Carissa?" Suara Denver naik satu oktaf. "Apa yang sedang kamu rencanakan?" Carissa menghela napas panjang, lalu matanya menatap Denver dengan tatapan dingin. "Aku enggak melakukan apa-apa, Denver. Kamu sendiri yang capek dan tertidur. Jangan berlebihan." "Jangan berlebihan?!" teriak Denver, emosinya memuncak. "Kamu memanfaatkan aku! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang ka
Pagi ini langit tampak kelabu dan hujan gerimis mulai turun, membuat Dewi enggan beranjak dari ranjang. Dia meringkuk lebih dalam di bawah selimut, tetapi matanya terpaku pada jendela yang dihiasi tetesan air. Hati Ibu hamil itu bergejolak. Perasaan rindu, khawatir, dan bimbang bercampur aduk. “Apa kamu merindukan papamu?” bisiknya sambil membelai lembut perut yang masih rata. “Kita akan bertemu dengannya nanti di rumah sakit, ya.” Setelah menarik napas panjang, Dewi memutuskan untuk bangkit. Pada pukul enam pagi, dia sudah bersiap-siap untuk bekerja. Tidak ada Denver atau Pak Agus yang menjemputnya pagi ini. Dewi memesan taksi online seperti biasa. Saat menunggu di lobi apartemen, seorang resepsionis menyapanya dan menyerahkan sebuah amplop cokelat. Hanya ada namanya sebagai penerima. “Ini untuk Anda, Nona Dewi. Baru saja dikirim.” Dewi menerima amplop itu dengan rasa penasaran. Begitu membukanya, sepasang netra sipit langsung tertumbuk pada selembar surat perjanjian. Itu adalah
Pukul lima sore, Dewi berdiri di depan pintu rumah ayahnya. Udara dingin menyapa, tetapi pikirannya lebih dingin lagi. Dalam perutnya, terdapat gerakan samar seperti kedutan. Ini mengingatkan Dewi akan kenyataan yang tidak bisa dia abaikan. Dalam perjalanan ke rumah Danang, dia sempat mengirim pesan kepada Denver. Namun, tidak ada balasan,.dia yakin Dokter tampan itu sedang bersama istrinya. Pintu rumah terbuka, menampilkan wajah Danang yang mulai dipenuhi kerutan usia. Mata pria paruh baya itu menyipit, menelisik penampilan putrinya dengan perhatian seorang Ayah. “Kamu datang lagi, Nak?” tanya Danang sambil menarik pelan tangan Dewi ke dalam. “Ayo masuk. Ayah masak ayam goreng d. sambal kesukaanmu. Pasti kamu lapar, ya?” Dewi tersenyum kecil, senyuman yang terasa bagai sebuah tameng. “Iya, Ayah. Dewi lapar banget.” Tangan Ibu hamil itu refleks mengusap perut, mencoba menyalurkan kasih sayang yang tidak berani dia ungkapkan. Keduanya berjalan ke ruang makan. Aroma rempah
Dewi berdiri terpaku di depan pintu ruang praktik Denver. Tangannya yang menggenggam gagang pintu gemetar, berusaha menahan diri agar tidak membuka pintu itu lagi. Dari dalam, suara tawa renyah Carissa terdengar jelas, mengiris perasaan Dewi seperti sembilu.“Ada perlu apa, Carissa?” Suara Denver terdengar tegas, membuat dada Dewi sesak.“Mengunjungi suami sendiri dan menjaganya dari pelakor, apa itu salah?” Carissa sengaja mengeraskan suaranya, memastikan setiap kata yang dia ucapkan dapat menembus telinga Dewi di balik pintu.Dewi meremas gagang pintu lebih erat, buku jarinyanya memutih. Dia menundukkan kepala, air mata menggenang di pelupuk matanya. Namun, kakinya seakan terpaku di lantai, tak mampu melangkah pergi.“Dewi bukan pelakor! Jangan mengganggunya lagi, Carissa! Dia sedang hamil anakku.” Suara Denver meluncur penuh peringatan. “Apalagi sampai melibatkan orang lain!”Dewi tersentak mendengar ucapan itu. ‘Melibatkan orang lain? Apa maksudnya?’ pikirnya bingung. Jantungnya b
Bisikan Denver menghipnotis Dewi, membuatnya patuh tanpa ragu. Dengan tangan sedikit gemetar, dia melepas celana pendek Denver dan menaruhnya di ujung sofa.Pandangannya jatuh pada bukti gairah pria itu yang begitu nyata. Saliva tertelan perlahan, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.“Bukankah hubungan intim disarankan pada usia kehamilan trimester kedua?” Dewi bertanya dengan nada ragu.Denver tersenyum lembut dan memperbaiki posisi duduknya.“Benar, terutama jika Ibu memiliki keluhan atau gangguan. Tapi, Dewi ....” Jemari pria itu mulai menari di sepanjang kulit Dewi yang masih tertutupi gaun. “Kamu tidak mengalami keluhan apa pun, ‘kan?”Dewi mengangguk pelan, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ketika bibir Denver mengecup perutnya, dia menggeliat kecil. Gelak tawa menggantung di udara.Akan tetapi, saat tubuhnya bersentuhan langsung dengan milik Denver, dia membelalak.“Kamu sengaja, ya?” goda Denver dengan intonasi agak manja.Dewi mendesah pelan. “Bukan aku yang senga