“Siapa dia? Kenapa ngikutin kamu, Sayang?” tanya wanita itu.
Denver melirik sejenak ke belakang. Tentunya tatapan serta ekspresi pria itu berubah dingin, membuat Dewi merinding di sekujur tubuhnya. Dokter Denver berbeda! “Dia perawat di sini,” jawab Denver. Pria itu kemudian maju mendekati sang istri. Dia meninggalkan Dewi berdiri sendirian di tengah lobi. “Oh, aku pikir wanita sekali pakai yang kamu bayar,” ejek Carissa dengan tatapan sengit tertuju kepada Dewi. “Bukan masalah, sih. Aku ngerti, kok, kebutuhan pria. Apalagi aku sibuk, pasti kamu butuh pelampiasan,” katanya seakan memaklumi, tetapi intonasi itu sarat akan peringatan keras. Seketika degup jantung Dewi menjadi lebih cepat. Dadanya juga sakit mendengar kalimat hinaan itu. Namun … bukannya benar begitu? Jika dia langsung hamil setelah disentuh satu kali oleh Denver, bukankah perjanjian mereka akan berakhir pascamelahirkan? “Jaga mulutmu, Carissa!” tegas Denver, sebab mereka menjadi pusat perhatian beberapa pasien serta staf rumah sakit lainnya. “Umm … baiklah, tapi kenapa dia masih diem di situ?” tanya Carissa. Kemudian wanita menggerakkan kepala dan memerintah, “Heh, kamu cepat pergi!” Dewi tahu diri, lagi pula dia enggan berdebat dengan istri sah Dokter itu. Kemudian dia melanjutkan langkah, dan tidak lupa tersenyum kepada Denver serta Carissa. “Permisi, Dokter, Bu,” pamit Dewi. Dia bergegas ke luar gedung. Sepasang iris cokelat karamel memandang ke arah mana kaki Dewi melangkah. Dokter tampan itu mengeratkan rahang ketika melihat sanggadis berboncengan dengan tukang ojek. “Segitunya banget kamu perhatiin dia,” cibir bibir yang tersembunyi di balik masker. Seketika perhatian Denver tertuju kepada Carissa. “Kita ngobrol di mobil saja!” titah pria itu, lalu menggenggam tangan istrinya menuju basement. Keduanya duduk berdampingan di dalam mobil. Denver kembali bertanya, “Ada perlu apa? Kamu mau minta uang lagi?” “Oh, aku Cuma mau kasih tahu, nanti malam ke Singapura. Ada syuting iklan,” jawab Carissa sambil memperhatikan kuku cantiknya. Denver mendengkus. “Pergi lagi? Kamu baru pulang minggu lalu, Carissa!” “Terlanjur kontrak.” Carissa menoleh dan tersenyum manis kepada Denver. Dengan suara mendayu manja, wanita itu berujar, “Sayang kalau batal, penalty-nya besar. Sudah, ya, aku berangkat lagi ke agensi. Bye Baby.” Sebagai salam perpisahan, wanita itu mencondongkan tubuh dan mengecup pipi Denver. Sementara itu di sisi lain, pikiran Dewi menerawang jauh sepanjang perjalanan menuju apartemen. Pertama kalinya ia berinteraksi dengan … wanita yang kelak dipanggil ‘Ibu’ oleh bayinya. Tiba-tiba Dewi tidak rela jika satu tahun ke depan, bayinya dibesarkan oleh wanita itu. Gadis itu mendekap erat tasnya, dia meragu. Hanya saja sekelebat ingatan tentang sang ayah serta adik-adiknya melawan kebimbangan dalam dada. “Jangan ragu, Dewi. Anakmu pasti bahagia, dia tidak mungkin kekurangan apa pun di masa depan,” gumam gadis itu di balik punggung tukang ojek. Ojek yang ditumpangi Dewi memasuki kawasan apartemen mewah. Dia langsung membayar ongkos dan bergegas masuk. Ketika sedang menunggu pintu lift terbuka, gawai gadis itu berdenting. Dia memeriksanya dan mendapati satu pesan masuk. [Sudah sampai apartemen?] Awalnya Dewi enggan membalas pesan itu karena tidak mau menjadi pengganggu. Hanya saja, dia teringat akan ucapan Denver sore tadi. Tidak apa bukan kalau dia bertanya kepada Dokter tampan? [Sudah. Dokter mau datang ke apartemen?] Pesan singkat terkirim, tidak lama kemudian balasan diterima oleh Dewi. [Istirahatlah, jangan lupa minum vitaminnya.] Dewi bergeming menatap pesan terakhir. Tampaknya dia harus bersabar, karena semesta seakan tidak merestui perjanjian mereka. Beberapa saat berlalu dia telah masuk ke dalam unit apartemen. Seperti biasa kedatangannya disambut bak seorang Nyonya. Dewi pun mengganti baju, lalu mengistirahatkan badan di dalam kamar. Malam harinya, dia makan ditemani dua pelayan. Namun pikirannya selalu tertuju kepada Denver. Pria itu benar-benar tidak datang. Dewi mengembus napas dengan pasrah, lantas merapikan peralatan makan kotor bekasnya. Tiba-tiba saja pintu utama terbuka. Gadis itu menoleh dan tersentak. Hampir saja dia menjatuhkan mangkok sup. “S--selamat malam Dokter,” sambut Dewi gugup. “Hu’um malam. Kamu sudah makan?” tanya pria itu lemah lembut, lalu mengikis jarak mendekati Dewi. “Su--dah. Kalau Dokter?” tanya Dewi tergagap. Bukannya menjawab, justru Denver memperhatikan penampilan Dewi dari atas ke bawah. Gadis itu menggunakan celana pendek di atas lutut serta kaos putih ketat tanpa lengan yang mencetak lekuk tubuhnya dengan sempurna. Dengan suara menggoda Denver bertanya, “Kamu ingat rencana kita malam ini?” “I--ya ingat. Kalau begitu aku mandi dulu.” Dewi tersenyum sungkan lantas berlari menuju kamarnya. Gadis itu menggosok tubuh berulang kali menggunakan busa sabun. Setelahnya ke luar dari kamar mandi hanya beralaskan handuk merah muda. Tiba-tiba saja Dewi tersentak melihat pemandangan di depan mata. Dia mereguk saliva, ini kali kedua melihat pahatan sempurna otot perut dan dada bidang pria itu. Siapa juga yang menduga Denver masuk kamarnya. “Do--kter a--da di sini?” tanya Dewi berubah kikuk. Dia langsung menutup mulutnya menggunakan tangan. Denver mengulum senyum memperhatikan gadis di depannya. Pria itu menghampiri Dewi yang berdiri sambil mengeratkan handuk merah muda. Dia menunduk dan mencubit lembut dagu gadis itu, lalu bertanya, “Apa kamu sudah yakin? Jika ragu, bisa mundur sekarang.”“Aku ….” Dewi kehabisan kata mendengar pertanyaan Denver.
Seandainya dia menjawab ragu, apakah Denver sukarela melepaskannya? Lalu bagaimana dengan uang yang telah pria itu berikan? Dewi sudah menggunakannya untuk mencicil biaya pengobatan Danang. Sekarang … haruskah dia melarikan diri dari tugas?
Gadis itu menggeleng lemah tanpa suara. Tidak bisa mundur lagi! Malam ini waktu yang tepat untuk berhubungan intim. Ini masa ovulasinya, dia enggan menunggu lebih lama lagi.
“Aku tidak ragu, Dokter. Aku … menginginkannya,” jawab Dewi pada akhirnya.
Denver menatap lekat paras gadis itu. Jemari pria itu bergerak perlahan membelai pipi kemerahan, menggelitik pemiliknya hingga menggeliat.
Ini pertama kali gadis itu mendapat sentuhan lembut dari seorang pria.
Dewi mulai berani menatap sepasang manik indah milik pria di hadapannya. Sorot mata Denver memancarkan kehangatan serta kekaguman yang belum pernah dia dapatkan. Namun, gadis itu mati-matian menahan diri agar tidak terjerumus ke dalam lubang perasaan.
Merasakan tidak ada reaksi apa pun membuat Denver melepaskan sang gadis. Pria itu berjalan menuju pintu dan berkata, “Kamu masih ragu, Dewi.”
Gadis itu menggeleng dan menyahut, “Aku menginginkannya, Dokter. Lakukan saja.”
“Aku tidak memaksa, katakan saja kapan kamu siap,” tutur Denver terdengar lemah lembut di telinga.
Bertepatan dengan pintu hampir tertutup, Dewi melepas handuknya hingga terjatuh menunjukkan kemolekan yang menggoda. Dia berdiri menghadap Denver yang terkejut melihat sikap sang gadis.
"Aku siap!"
“Aku siap,” ucap Dewi penuh keyakinan.Jakun Denver turun naik dan embusan napasnya mulai cepat. Dia mengurungkan niat meninggalkan Dewi. Pria itu kembali ke kamar. Sepasang iris cokelat karamelnya menikmati keranuman gadis itu.“Sikapmu ini sangat berani, Dewi,” desah pria itu.Dewi mengangkat satu tangan dan menyelipkan rambut di balik telinga. Gerakan ini tampak menggoda di mata pria.Baru melihat tubuh polos dengan kulit mulus saja membuat hasrat Denver terbakar. Jemari pria itu kembali menyentuh setiap jengkal kulit mulus yang tidak tertutup kain handuk. Sekarang, Denver membelai leher jenjang dan tulang selangka gadis itu. Membuat Dewi makin sulit menahan diri, hingga dia menggigit bibir bawahnya.Denver mendekatkan kepalanya dan berbisik, “Jangan menahannya, Dewi. Kamu harus rileks.”Bisikan itu, embusan napas hangat itu, serta aroma parfum maskulin yang menenangkan pikiran, saat ini sukses memorakporandakan benteng pertahanan Dewi. Gadis itu mengkerling mata dan mengangguk pela
“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan.Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti, sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver mampu mengalihkan perhatian Dewi. Gadis itu melenguh dan menggelinjang k
"A--pa? Bukan begitu Dokter," gugup Dewi. Dia menelan air liur dan mendadak tidak bisa berpikir. Apalagi saat ini posisi Denver terlalu dekat dengannya.Wajah Denver makin dekat, sampai aroma mint memenuhi rongga hidung Dewi. "Benarkah? Tapi reaksi tubuhmu berbeda," kata pria itu."Aku ... harus kerja pagi ini, Dokter. Tidak boleh bolos," jawab sang gadis dengan gaya kaku.Seketika Denver terkekeh kecil mendengar ucapan Dewi. Pria itu menjaga jarak dengan gadisnya, lalu mengalihkan tatapan pada piring kosong."Tidak perlu malu kalau mau lagi. Aku buatkan roti isi yang baru." Denver berdiri dan berjalan ke dapur. Dengan gesit pria itu menyiapkan bekal makanan sehat untuk Dewi. Setelahnya, Denver memberikan kotak bekal merah jambu berisi roti isi kepada Dewi. Pria itu merunduk dan berbisik, "Tenang saja, aku tidak segila itu menyentuhmu. Tujuan utamaku untuk punya anak, bukan berbagi hasrat setiap saat."Denver membelai puncak kepala Dewi yang mengangguk pelan.Kemudian, Dewi berpamit
‘Ini di mana?!’ jerit Dewi dalam hati. Mulut gadis itu masih tertutup lakban hitam.Kendaraan Bima memasuki basement gedung tingkat tiga. Pria itu mengeluarkan Dewi dan memaksanya turun.Dewi menggeleng, dan menahan tubuhnya dengan menekan kedua kaki ke permukaan. Dia benar-benar sulit melepaskan diri dari Bima. Tenaganya kalah jauh dari sang suami. Gadis itu menangis dalam diam.“Ini dia penjamin utangku.” Bima mendorong tubuh Dewi ke hadapan dua orang pria berbadan besar dan bertato.“Dia istriku, mulai hari ini dia yang membayar semua utangku sampai lunas,” ucap Bima penuh penekanan pada kata hutang.Bima mengacak-acak isi tas Dewi, pria itu mengambil telepon genggam sang istri dan memberikannya kepada dua pria di depan mereka. Dia juga mengambil card holder wallet milik gadis itu.“Ambilah, anggap itu sebagai keseriusanku membayar utang,” kata Bima dengan nada angkuh dan mengangkat dagu.Dua pria berbadan besar mengambil ponsel, lalu membentak, “Ini HP murah!”“Kalian tenang saja,
Dua jam sebelumnya.[Dokter Denver, aku pulang duluan. Terima kasih.]Denver membaca kata-kata tertulis di sticky note hijau yang ditempel di atas meja kerja. Pria itu melirik jam, memang sudah waktunya para perawat shift satu pulang. Dia menghubungi Dewi, tetapi tidak aktif.Pria itu merasa ada yang janggal. Denver tidak diam saja, lalu menelepon pelayan di apartemen.“Apa dia sudah pulang?”Pelayan menyahut, “Belum, Pak.”Denver langsung memutus panggilan suara. Lagi, dia melihat jam, seharusnya Dewi sudah sampai di apartemen. Pria itu beranjak menuju ruang kendali di lantai satu. Denver memerintah satpam memutar rekaman CCTV di luar gedung, terutama yang mengarah ke jalan.Dapat!Manik cokelat karamel Denver menangkap tidak ada kejanggalan apa pun. Namun, beberapa detik kemudian satu unit hatchback merah menepi dan tubuh Dewi dipaksa masuk ke dalam jok tengah. Denver menggeram seketika. Dia mengenali plat mobil itu.Pria itu bergegas meninggalkan ruang kendali, sambil menghubungi a
"Aku akan melindungimu, Dewi. Mulai sekarang jangan takut lagi," kata Denver. Suara pria itu terdengar hangat dan dalam.Dewi terpaku menatap Denver di sela sensasi geli yang menjalar ke seluruh tubuhnya.Jujur, ucapan itu bagai guyuran air di tanah gersang. Hati yang selama ini selalu disakiti, penuh caci dan maki, berubah berbunga-bunga. Dewi merasa dilindungi, dihargai dan disayangi. Ditambah betapa lembutnya Denver menyentuh Dewi. Pria itu tidaklah kasar."Terima kasih, Dokter," balas Dewi. Suaranya mengalun lirih."Tidak perlu berterima kasih. Itu sudah tugasku." Denver memandang Dewi sambil membelai lengan putih gadis itu. Manik cokelat karamel Denver memindai secara mendalam setiap lekuk tubuh mungil yang terbalut piama. Naluri sebagai pria dewasa tidak dapat dijinakkan dengan mudah."Tidurlah," titah Denver pada akhirnya.Sedangkan Dewi tercenung dan sambil memperhatikan sikap Denver, dia menggigit bibir bawahnya. Dia pikir akan mengulang malam panas lagi, ternyata Dokter itu m
Sementara itu di dalam rumah luas bergaya tropis modern, seorang pria sedang mengerang. “Akh … sakit, Pak!” teriak pria bertubuh kurus itu. “Heh Bima ingatlah perjanjian kita!” tegas pria itu sambil mengepalkan tangan. “Maaf Pak Rudi,” rintih pria itu sambil memegangi perutnya. “Aku terpaksa karena butuh uang, Dewi mengambil semua uang pemberian dari Bapak,” sambung Bima. Rudi terbahak kemudian geleng-geleng mendengar ucapan Bima. Pria itu tambun dan plontos itu berjongkok sambil menatap tajam kepada Bima. “Jangan ganggu Dewi! Karena stress menghambat kehamilan!” bentak Rudi, “sekali lagi kamu mengganggu Dewi, kupastikan kamu menerima akibatnya!” Bima mengangkat satu tangannya, dia berupaya mencegah jika saja Rudi kembali memukulnya. “I--iya siap, Pak. Aku tidak akan mengganggu Dewi sampai melahirkan.” Rudi mendengkus dan menjauh dari badan Bima yang bernoda keringat serta tetesan darah dari hidung. Setelahnya, Rudi meninggalkan rumah pria itu. Akan tetapi, Bima masih tersungk
‘Suara wanita? Jangan-jangan itu …,’ batin Dewi gelisah. Manik hitam legam gadis itu pun langsung tertuju ke arah pintu. Sama halnya dengan Denver yang memandangi ke pintu. Memanfaatkan kelengahan Denver, Dewi bergegas menjauh dari pria itu. Kemudian dia merapikan berkas di atas meja kerja. Debar jantung Dewi saat ini melebihi batas normal hingga kedua tangannya mendadak tremor dan menjatuhkan berkas. Sedangkan ekspresi Denver tampak tenang, dia begitu santai berjalan menuju pintu. Dewi tidak habis pikir, mengapa ada pria setenang itu di saat genting? Atau mungkin Denver bukanlah orang normal yang takut ketahuan selingkuh?? Denver membuka pintu. Seorang wanita cantik berpampilan modis memasuki ruangan. Sebelum duduk di sofa, sosok itu menaruh tas tangan putih di meja kecil. Selanjutnya memperhatikan wajah pucat Dewi di samping meja kerja. Dewi hanya mampu mengatur napas dan menyembunyikan keresahan. “Kenapa buka pintunya lama? Karena berduaan sama perempuan?!” sembur wanita itu
Pagi-pagi sekali, Dania sudah tiba di Rumah Sakit JB. Dia melirik ke kanan dan kiri, lalu melangkah masuk ke dalam area klinik poli estetika.Wanita itu mengendap-endap layaknya penyusup, senyum tipis terpatri di wajahnya. Setelah berhasil mendapatkan sedikit informasi dari para perawat kemarin, hari ini dia berniat menggali lebih dalam.“Aku yakin Maharani itu kompeten,” gumamnya, dengan mata waspada, khawatir Darius mengikutinya.Dari balik meja resepsionis, seorang wanita berkulit sawo matang menyambut dengan senyum ramah. “Selamat siang, Dokter Dania, ada yang bisa saya bantu?”Dania menyeringai dan mengangguk kecil, lalu berdeham. “Aku mau bicara sama salah satu perawat di sini.”Wanita itu meneliti Dania sesaat, lantas mengangguk. “Sebentar, saya panggilkan.”Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berkacamata dengan seragam perawat rapi datang menghampiri. “Ada yang bisa saya bantu, Dokter Dania?”Dania tersenyum r
Dania memandang kertas kecil di tangannya. Sebuah rincian medis atas nama seseorang."Maharani Putri, rincian biaya bedah plastik," ucapnya. Mata wanita itu menyipit, meneliti nama itu dengan saksama. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seakan-akan dia pernah mendengar dan bahkan mengenal orang ini.Awalnya, dia hendak meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, telinganya menangkap bisikan dua orang perawat yang baru saja keluar dari poli estetika, tengah berbincang di dekatnya."Kasihan, ya? Maharani apes banget.""Benar. Begitulah orang kaya, kalau tidak butuh, ya, ditendang.""Padahal dia bisa saja minta tolong sama Pak Rudi. Dia 'kan pernah jadi ibu pengganti."Langkah Dania seketika terhenti. Jari-jarinya yang tadi hendak membuang kertas itu kini mengurungkan niatnya dam menjauh dari tempat sampa. Mata wanita itu kembali tertuju pada tulisan pada kertas medis di tangannya. Maharani Putri. Ibu pengganti?Tiba-tiba sja senyuman miring terukir di bibirnya. Kerta
Dewi menatap wajah kecil dalam dekapannya. Tubuh mungil itu terasa menghangatkan hati, tetapi pikirannya merambat begitu dingin. Kata-kata Dania tadi masih menusuk-nusuk benaknya, berputar tanpa henti seakan menjadi mantra kutukan. "Mama, aku mau bobo dipeluk Mama, ya?" Dirga menggumam pelan, matanya yang indah mulai meredup dalam kantuk. Dewi tersentak dari lamunannya. Dia menelan ludah, berusaha mengembalikan fokus ke putranya. Bibir merah muda wanita itu melengkung samar, meskipun hatinya masih penuh gundah. "Iya, Sayang. Mama bakal peluk Dirga semalaman." "Janji. Mama nggak hilang, ya?" Bocah itu menatap sang mama dengan mata ngantuknya. "Janji, Bos Kecil." Dirga tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya, lalu menyusup lebih dalam ke pelukan Dewi. Napas anak itu mulai teratur, tangannya masih menggenggam baju ibunya erat. Seakan takut jika melepaskan, Dewi akan kembali hilang. Denver melirik ke kaca spion, melihat istrinya yang masih menunduk, membelai rambut putranya de
Hening menyelimuti ruangan ketika Denver menekan tombol merah di ponsel. Wajah tampan Dokter itu masih serius, tatapannya dalam, tetapi terdapat sedikit kelegaan yang tersirat. Dia berbalik menatap Dewi yang masih terduduk di sofa dengan wajah cemas. Bahkan paras ayunya berubah jadi pucat karena tragedi ini. "Ayo, kita jemput Dirga," kata Denver, sambil berjalan mendekati Dewi. Dewi menatap sang suami dengan mata yang masih basah. Dia mengangguk lemah. Ketika dia hendak berkata untuk menjawab, Denver telah berjongkok di hadapannya. Pria itu menghapus sisa air mata di pipi istrinya dengan jemarinya yang hangat. "Jangan menangis lagi," ujar Denver lembut dan penuh ketenangan.. "Nanti Dirga bisa sedih melihatmu seperti ini." Dewi menunduk, menarik napas dalam, lalu berdiri. Dia menggenggam tangan Denver dengan erat, seakan dia takut terjatuh, karena satu-satunya yang bisa membuatnya tetap berdiri tegak adalah sang suami. Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju mobil
Dewi nyaris menjatuhkan ponselnya ketika suara panik dari seberang terdengar lagi. "Dirga ... Dirga menghilang, Bu! Saya sudah mencarinya ke seluruh rumah, tapi tidak ada!" Suara pengasuh terdengar putus asa. Ada isak tangis dan keriuhan di sana. Dewi langsung terduduk. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak, setelah kesadarannya kembali dia melompat panik dari atas ranjang. Tanpa pikir panjang, dia bangkit, menarik pakaiannya yang berserakan di atas karpet dan meraih tasnya dengan tangan gemetar. Denver yang belum memahami situasi, mengernyit melihat istrinya yang tampak panik. "Dewi, ada apa?" "Sayang ... Dirga hilang! Anak kita," histeris Dewi dengan suara pecah saat mengucapkan itu. Tanpa menunggu jawaban, Dewi langsung berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa. Denver bergegas menyusul, meraih kunci helikopter dan mengikuti langkah istrinya yang sudah setengah berlari keluar. Wanita itu tidak peduli meskipun kakinya masih lemas, dan jalannya hampir tersandun
** Baca setelah berbuka puasa**Dewi berdiri dengan bangga di atas panggung, mengenakan toga kebanggaan universitasnya. Sorak-sorai memenuhi auditorium saat namanya dipanggil sebagai lulusan terbaik. Tangannya sedikit gemetar saat menerima ijazah dari rektor, tetapi senyum di wajahnya tak dapat disembunyikan."Selamat, Dewi. Ini adalah hasil dari kerja keras dan ketekunanmu," ujar rektor dengan bangga."Terima kasih, Pak," jawab Dewi dengan suara bergetar, merasakan momen ini sebagai titik puncak dari perjuangannya selama bertahun-tahun.Dari tempat duduk tamu undangan, Denver menatapnya dengan penuh kebanggaan. Di sisinya, Danis dan Oma Nayla juga bertepuk tangan meriah. Namun, perhatian Dewi sempat tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh dari sana—Darius.Senyum pria itu ramah, tetapi tatapan itu membuat Dewi merasa bersalah mengingat perjuangan Darius. Itu akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan baginya.Saat Dewi turun dari panggung, Darius menghampirinya lebih dulu, sedangk
** Baca setelah berbuka puasa** ^^Satu tahun berlalu.“Sayang, aku belum pakai kemeja!” teriak Denver dari dalam kamar, matanya tetap terpaku pada layar ponsel, sibuk mengetik sesuatu.Dewi, yang baru saja selesai merias wajahnya, mendengkus pelan. Dia masih mengenakan jubah mandi merah muda dan belum sempat berganti pakaian. Dengan langkah cepat, dia menghampiri sang suami yang duduk di tepi ranjang.“Kenapa tidak pakai sendiri?” tanyanya dengan nada sedikit kesal. Belakangan ini, Denver makin manja, membuatnya sering meminta bantuan untuk hal-hal kecil.“Tolong, Sayang. Tanganku sibuk,” jawab Denver, mengedipkan sebelah mata dengan ekspresi menggoda.“Kalau begitu, taruh dulu ponselnya dan pakai sendiri!” gerutu Dewi, meskipun akhirnya tetap berbalik untuk mengambil kemeja yang sudah dia siapkan di gantungan.Akan tetapi, sebelum sempat menjauh, tangan Denver sudah melin
** Baca setelah buka puasa**Seluruh persendian Dewi melemas. Dia bahkan harus berpegangan pada lengan Valerie agar tetap berdiri. Matanya berkaca-kaca, napasnya tersendat-sendat."Wi, jangan nangis, nanti luntur," bisik Valerie sambil menopangnya.Dewi terisak. "Ternyata kamu membawaku ke sini."Valerie mengangguk dengan senyum kecil.Bahkan Dewi tidak pernah menyangka pria yang sejak siang diharapkan membalas pesan, kini berjalan mendekat dengan senyum mengembang yang membuatnya terlihat makin tampan."Mon ange," panggil Denver, mengulurkan tangan. Dia mengenakan setelan jas formal yang sesuai dengan postur tubuh atletisnya.Tanpa ragu, Dewi menyambut uluran itu. "Maaf, aku merahasiakan ini darimu," lanjut Denver dengan nada lembut.Dewi tersenyum, meskipun air mata masih luruh di pipinya. Namun, kali ini bukan kesedihan seperti dahulu. Ini adalah kebahagiaan baru yang akan dia jalani.Mereka berjalan mendekati anggota keluarga lain yang telah berkumpul tanpa sepengetahuannya."Home
Pagi ini, Dewi sengaja berangkat kuliah lebih awal. Semua karena dia ingin menemani Maharani interview. Meredakan ketegangan yang melanda sahabatnya sejak pagi.“Wi, bagaimana kalau gagal? Aku tidak tahu harus cari uang di mana lagi,” lirih Maharani, meremas tangan Dewi erat-erat.“Semoga kamu berhasil, Rani.” Dewi mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udara. Namun dalam hati, dia bergumam lirih, ‘Maaf, aku hanya bisa bantu seadanya.’Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian formal keluar dan memanggil Maharani untuk wawancara. Sedangkan Dewi menunggu di kursi dengan tenang, bagaimanapun dia sudah mengetahui jawabannya.Sembari menunggu, dia mengirimkan pesan teks pada suaminya.[Dokterku Sayang, makasih. Kamu memang suami sempurna.]Namun, pesan itu tidak kunjung mendapat balasan, bahkan dibaca saja belum. Dewi mendengkus kesal, kakinya bergerak-gerak tak sabar, mencoba mengusir rasa gelisah.Setelah hampir setengah jam, Maharani keluar dari ruangan kepala SDM. Wajahnya datar, d