Darius menatap wajah Maharani yang duduk di dekatnya dengan sorot mata lebih lembut dari biasanya. Di tengah hiruk-pikuk kantin rumah sakit yang mulai lengang, dia memberanikan diri meraih tangan wanita itu di atas meja.
"Aku siap menjadi ayah dan suami yang baik untuk kamu, Maharani Putri," ujar Darius pelan, suaranya benar-benar mengalun lembut.
Bahkan dia mengecup punggung tangan Maharani dengan penuh kasih. Tidak berhenti di situ, Darius menggeser duduknya mendekat, membuat jarak di antara mereka makin tipis.
Maharani terpaku. Tatapan mata mereka saling bertaut, menciptakan debar yang tak menentu di dalam dada.
Satu tangan Darius yang lainnya ingin sekali menyentuh pipi kemerahan wanita itu, rasanya pasti lembut sekali menyusuri rambut hitam itu dengan jemarinya, tetapi dia teringat nasihat Denver. Jangan terburu-buru.
Tunjukkan perhatian kecil terlebih dahulu.
Dia menarik napas perlahan, lalu mengurungkan niat itu, sekalipun menggebu da
Maharani berdiri kaku di tengah angin yang menerpa. Pertanyaan Darius barusan masih bergema di kepalanya. ‘Kamu cemburu sama bibimu sendiri?’ Kalimat itu sederhana, tetapi rasanya bagai petir yang menyambar siang bolong. Ya, meskpiyn sekarang malam. Bibir Maharani bergerak-gerak, tetapi tak satu pun kata keluar. Kelopak mata wanita itu berkedip pelan, menghindari tatapan Darius yang begitu intens. Mengoyak dinding yang dia bangun dengan kokoh. Perlahan, Maharani hanya menggeleng, sungguh dia tak sanggup memberikan jawaban. Darius terkekeh. Tanpa menunggu persetujuan, dia meraih pinggang Maharani dengan satu tangan dan mengajaknya berjalan pelan di trotoar. "Udara malam lumayan segar, ya?" gumam pria itu, tetapi suaranya terdengar bagai godaan. Maharani masih diam, tidak dipungkiri sekarang merasa nyaman dan hangat di dekat pria itu. Dia juga membiarkan langkahnya sejajar dengan Darius. Jalanan sepi di sekitaran, hanya lampu jalan yang temaram menemani mereka. Darius sesekali
“Bagaimana perkembangannya?! Aku tidak mau gagal! Dia harus dihukum seberat-beratnya,” geram Denver yang membayangkan ketika Dewi terbaring lemah di atas meja operasi.Saat ini Denver sedang duduk di depan meja pengacara sambil menyilangkan kaki. Wajah tampan pria itu terlihat serius, tetapi sorot mata karamelnya menyimpan dendam dan luka."Sidang perdana Dania akan dilaksanakan dua minggu lagi. Semua berkas dan bukti sudah siap," ujar sang pengacara sambil meletakkan beberapa map dokumen di atas meja.Denver mengangguk pelan. "Jadi, tidak ada celah baginya untuk mengelak lagi?"Dia meraih map dari atas meja lalu membacanya dengan seksama. Matanya pun sangat tajam meresapi kata demi kata."Tidak. Kami sudah mengunci dan memastikan semua sisi. Dengan bukti dan kesaksian yang kita miliki, Dania tidak akan bisa lolos. Dia akan mendapat hukuman yang setimpal."Denver menghela napas lega. Dia berdiri dan menjabat tangan pengacaranya. "Terima kasih. Kamu sudah bekerja sangat baik. Kirimkan s
Untuk sesaat, Maharani bergeming mendengar ucapan Darius. Dia benar-benar tidak mengerti maksud pria di hadapannya. Apa yang dimaksudnya dengan ‘membantu’? Sesaat kemudian, dia mulai sadar bahwa Darius pastinya sudah sering membantu dan mengedukasi ibu-ibu yang kesulitan menyusui setelah melahirkan.“Rani ... Sayang?” panggil Darius dengan suara lembut, yang membuat Maharani sedikit tersentak dari lamunan.Maharani menatap pria itu dengan pandangan penuh kebingungan, matanya masih tampak lelah. Dengan bibir gemetar, dia pun bertanya, “Caranya, Dok?”“Oke, sekarang kamu rileks, berbaliklah,” pinta Darius dengan penuh perhatian. Dia membantu Maharani memutar tubuhnya, hingga wanita itu akhirnya duduk membelakangi dirinya.Perlahan, Darius memijat bahu dan punggung Maharani dengan gerakan konstan, sangat lembut dan penuh perhatian. Rasanya nyaman, membuat tubuh wanita itu rileks, tetapi dada yang terasa penuh masih
“Tolong, Mas. Aku mohon sekali ini saja, bantu Ayah,” lirih seorang wanita sambil mengatupkan kedua tangan dan bersujud di depan pria bertubuh kurus.Sudah setengah jam perempuan cantik bermata sipit itu mengemis di hadapan sang suami. Namun, pria bertubuh tinggi di hadapannya tidak luluh walau secuil kapas.“Heh, Dewi, aku bukan lembaga sosial yang memberi uang Cuma-Cuma? Bodoh amat ayahmu itu mati dan kesakitan, aku tidak peduli!” sentak pria itu sambil mengempas kaki sehingga tubuh mungil di bawahnya tersungkur ke atas lantai.Netra hitam pekat Dewi bergetar dan kedua tangan terkepal kuat di samping tubuh, setelah mendengar kalimat kejam dari bibir suami. Perlahan dia mendongak, menatap dalam wajah pria itu.“Mas Bima … dokter bilang ayahku harus dioperasi segera, kalau tidak …,” kata Dewi dengan suara nyaris tenggelam.Dua jam lalu Dewi menerima kabar dari tetangga di kampung, bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit karena mendadak sesak napas. Saat itu, dia masih bisa berpikir ten
“Silakan duduk!” titah pria tampan yang mengenakan jas putih dalam ruangan. Selama empat bulan bekerja di rumah sakit, belum pernah satu kali pun Dewi masuk ruangan ini. Apalagi, langsung berhadapan dengan sosok paling penting di sini. Sekarang dia hanya menunduk dalam. Akan tetapi, sekujur tubuh Dewi mendadak membeku kala pria berbadan besar dengan kepala botak memutar kaki dan meninggalkan ruangan. Gadis ayu ini semakin tidak mengerti, bukankah orang itu memiliki kepentingan? Mengapa menyerahkannya begitu saja pada dokter? ‘Ini aneh,’ kata hati Dewi. “Dewi, kemarilah. Duduk di sini,” titah Dokter lagi, membuyarkan seluruh pikiran semu gadis itu. Perlahan Dewi mengangkat kepala hingga iris hitam pekatnya bersipandang dengan sepasang netra cokelat karamel. Seketika degup jantung Dewi bertambah cepat, bukan karena terpesona pada rupa menawan dokter, melainkan dia takut dipecat karena menyanggupi kesepakatan ini. “Dokter Denver, a--aku … maaf, tidak bermaksud … ini karena a-
“Karena aku calon ibu biologis bagi anak pasiennya. Ya, pasti itu alasannya,” gumam Dewi setelah turun dari mobil Denver. Namun, apa yang diucapkan bibirnya berbanding terbalik dengan isi hati. Entahlah gadis itu masih dihantui rasa penasaran, mengapa Dokter Denver memberi perhatian lebih padanya. Padahal pria itu tidak lebih dari seorang dokter yang menangani program bayi tabung bagi pasien. Akan tetapi, makin dipikirkan bukannya menemukan jawaban, justru kepala Dewi menjadi pusing. Gadis itu bergeming sambil memperhatikan kendaraan roda empat menjauh di telan pekatnya malam. Beberapa menit setelahnya, seperti biasa Dewi masuk rumah melalui pintu belakang sebab Bima tidak mengizinkan melewati bagian depan, kecuali untuk membersihkan ruang tamu dan keluarga. Setelah berhasil menginjakkan kakinya di dalam, sayup-sayup dia mendengar percakapan antar dua manusia. Mereka saling sahut tertawa bahagia. “Lumayan juga si Dewi bisa menghasilkan uang satu miliar. Kamu mau apa, Sayang? Jalan-
Melalui cara pandang Denver, Dewi mengetahui sebuah jawaban yang memecahkan teka-teki dalam pikirannya. Dia menurunkan pandangan dan perasaan ragu itu datang lagi memenuhi rongga dada. Bagaimana mungkin dia melewatkan satu hal?Selama ini Dewi melihat banyak perempuan datang untuk melakukan program bayi tabung, diantar oleh seorang pria yang memiliki ciri fisik persis seperti sosok tambun dan plontos malam itu, ternyata ….“Kamu adalah perempuan yang aku cari, Dewi,” kata Denver berusaha melenyapkan keraguan sang gadis. Pria itu berkata lagi, “Kelak anak itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Aku akan mengurusnya dengan baik.”Bibir tipis Dewi terkatup rapat, lidahnya bergitu kelu dan pita suaranya seolah tak bersuara. Dia tahu status Denver sebagai direktur sudah tentu mampu memberikan kehidupan di atas rata-rata pada anaknya. Hanya saja, dia tidak menyangka pria yang menyewa rahim dan membeli sel telurnya adalah sosok yang selama ini dikagumi oleh semua orang.Dia menggeleng lemah,
“Si--ap?” gugup bibir tipis gadis itu. Pikiran Dewi melayang ke satu hal, di mana dia harus menjalani kewajibannya.Meskipun bimbang, dia mengangguk sebagai jawaban. Dewi membuang jauh rasa takut yang menggerogoti jiwa. Hanya saja, suasana tegang tidak menghilang, sehingga dia bergeming dengan tatapan terkunci pada Denver.Pria itu mendekat sambil melepas sisa kancing yang tertaut sempurna pada kemeja putihnya. Dewi merinding dibuatnya, lalu menunduk dalam. Ini memang bukan pertama kali dia melihat lekuk tubuh seorang pria, tetapi sekarang berbeda. Pria di hadapannya bukanlah pasien berlumuran darah atau kejang-kejang kesakitan, melainkan orang sehat yang akan menjadi ayah biologis dari anaknya kelak.Tanpa Dewi tahu, Denver mengulum senyum melihat kegugupan sang gadis. Kini, pria bertubuh atletis dan jangkung sudah ada di depan tubuh mungil gadis itu. Satu tangan Denver terangkat dan mendarat tepat di bahu Dewi.“Memangnya tidak pegal berdiri terus seperti ini? Duduklah,” kata pria i
Untuk sesaat, Maharani bergeming mendengar ucapan Darius. Dia benar-benar tidak mengerti maksud pria di hadapannya. Apa yang dimaksudnya dengan ‘membantu’? Sesaat kemudian, dia mulai sadar bahwa Darius pastinya sudah sering membantu dan mengedukasi ibu-ibu yang kesulitan menyusui setelah melahirkan.“Rani ... Sayang?” panggil Darius dengan suara lembut, yang membuat Maharani sedikit tersentak dari lamunan.Maharani menatap pria itu dengan pandangan penuh kebingungan, matanya masih tampak lelah. Dengan bibir gemetar, dia pun bertanya, “Caranya, Dok?”“Oke, sekarang kamu rileks, berbaliklah,” pinta Darius dengan penuh perhatian. Dia membantu Maharani memutar tubuhnya, hingga wanita itu akhirnya duduk membelakangi dirinya.Perlahan, Darius memijat bahu dan punggung Maharani dengan gerakan konstan, sangat lembut dan penuh perhatian. Rasanya nyaman, membuat tubuh wanita itu rileks, tetapi dada yang terasa penuh masih
“Bagaimana perkembangannya?! Aku tidak mau gagal! Dia harus dihukum seberat-beratnya,” geram Denver yang membayangkan ketika Dewi terbaring lemah di atas meja operasi.Saat ini Denver sedang duduk di depan meja pengacara sambil menyilangkan kaki. Wajah tampan pria itu terlihat serius, tetapi sorot mata karamelnya menyimpan dendam dan luka."Sidang perdana Dania akan dilaksanakan dua minggu lagi. Semua berkas dan bukti sudah siap," ujar sang pengacara sambil meletakkan beberapa map dokumen di atas meja.Denver mengangguk pelan. "Jadi, tidak ada celah baginya untuk mengelak lagi?"Dia meraih map dari atas meja lalu membacanya dengan seksama. Matanya pun sangat tajam meresapi kata demi kata."Tidak. Kami sudah mengunci dan memastikan semua sisi. Dengan bukti dan kesaksian yang kita miliki, Dania tidak akan bisa lolos. Dia akan mendapat hukuman yang setimpal."Denver menghela napas lega. Dia berdiri dan menjabat tangan pengacaranya. "Terima kasih. Kamu sudah bekerja sangat baik. Kirimkan s
Maharani berdiri kaku di tengah angin yang menerpa. Pertanyaan Darius barusan masih bergema di kepalanya. ‘Kamu cemburu sama bibimu sendiri?’ Kalimat itu sederhana, tetapi rasanya bagai petir yang menyambar siang bolong. Ya, meskpiyn sekarang malam. Bibir Maharani bergerak-gerak, tetapi tak satu pun kata keluar. Kelopak mata wanita itu berkedip pelan, menghindari tatapan Darius yang begitu intens. Mengoyak dinding yang dia bangun dengan kokoh. Perlahan, Maharani hanya menggeleng, sungguh dia tak sanggup memberikan jawaban. Darius terkekeh. Tanpa menunggu persetujuan, dia meraih pinggang Maharani dengan satu tangan dan mengajaknya berjalan pelan di trotoar. "Udara malam lumayan segar, ya?" gumam pria itu, tetapi suaranya terdengar bagai godaan. Maharani masih diam, tidak dipungkiri sekarang merasa nyaman dan hangat di dekat pria itu. Dia juga membiarkan langkahnya sejajar dengan Darius. Jalanan sepi di sekitaran, hanya lampu jalan yang temaram menemani mereka. Darius sesekali
Darius menatap wajah Maharani yang duduk di dekatnya dengan sorot mata lebih lembut dari biasanya. Di tengah hiruk-pikuk kantin rumah sakit yang mulai lengang, dia memberanikan diri meraih tangan wanita itu di atas meja."Aku siap menjadi ayah dan suami yang baik untuk kamu, Maharani Putri," ujar Darius pelan, suaranya benar-benar mengalun lembut.Bahkan dia mengecup punggung tangan Maharani dengan penuh kasih. Tidak berhenti di situ, Darius menggeser duduknya mendekat, membuat jarak di antara mereka makin tipis.Maharani terpaku. Tatapan mata mereka saling bertaut, menciptakan debar yang tak menentu di dalam dada.Satu tangan Darius yang lainnya ingin sekali menyentuh pipi kemerahan wanita itu, rasanya pasti lembut sekali menyusuri rambut hitam itu dengan jemarinya, tetapi dia teringat nasihat Denver. Jangan terburu-buru.Tunjukkan perhatian kecil terlebih dahulu.Dia menarik napas perlahan, lalu mengurungkan niat itu, sekalipun menggebu da
Sudah satu minggu berlalu sejak Darius terakhir kali mempunyai waktu luang untuk sekadar menatap langit pagi. Kesibukan pria itu di rumah sakit benar-benar menyita segalanya—waktu, energi, dan bahkan peluang untuk mengirimi Maharani pesan singkat.Saran-saran dari Denver terasa mustahil dilakukan, apalagi dengan kondisi rumah sakit yang sedang menangani beberapa kasus darurat. Bahkan, beberapa malam dia memilih tidur di rumah sakit daripada pulang ke apartemen kosongnya.Meskipun begitu, tidak peduli sesibuk apa pun, Darius selalu menyempatkan diri menjenguk bayi mereka di NICU. Setiap malam dia datang, meski hanya sepuluh menit, untuk melihat putranya yang makin hari tambah kuat.“Ayah menyayangimu, Nak. Doakan Ayah dan ibumu cepat menikah,” bisik Darius dengan senyum mengembang sembari membayangkan wajah Maharani.Pagi ini, langkah Darius terhenti di depan kaca NICU. Pupil matanya yang lelah sontak melebar saat melihat sosok wanita yang dirindukannya berdiri.Maharani ada di dalam s
Napas Dewi tertahan, sebab entah mengapa dia menjadi waspada. Penyerangan minggu lalu di rumah sakit masih terbayang dalam benaknya.Akan tetapi, begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, Dewi langsung merasa lega. Namun, tidak pada Denver yang nyaris mengumpat.“Darius?!”Pria itu berdiri dengan tubuh yang tampak rapuh, mata cekung, kantung matanya gelap, rambutnya kusut, dan kemeja biru muda tak rapi seperti biasanya.Darius menatap mereka, lebih tepatnya—tertuju pada Dewi.Refleks, Denver langsung bergerak, maju satu langkah untuk menutupi sebagian tubuh istrinya.“Sayang, kamu sarapan saja. Ajak Dirga. Jangan ke ruang tamu,” bisik Denver lembut dan tegas.Dewi langsung paham. Dia mengangguk dan membungkuk singkat ke arah Darius sebelum mengajak Dirga kembali ke meja makan.Denver menatap Darius dengan alis naik. “Kamu kenapa? Penampilanmu seperti zombie.”Darius mendesah panjang. Dia menghela napas, duduk dengan punggun bersandar lesu pada sofa.“Aku … patah hati. Lagi. P
“Ah … Sayang, pelan-pelan,” lenguh Dewi dengan mata yang terpejam.“Tentu, Sayang,” sahut Denver, tidak lepas dari mencumbu setiap jengkal kulit sang istri.Malam itu, selepas pulang dari Ta&Ma dan menemani Dirga tidur, Denver menggandeng tangan Dewi masuk ke kamar mereka.Lampu temaram menyala lembut, aromaterapi lavender menyebar ke seluruh ruangan. Dewi tertawa pelan saat Denver mengunci pintu dan menariknya ke pelukan, lalu membarinkannya perlahan di atas ranjang besar mereka."Kamu tahu, Dirga serius soal minta adik," racau Dewi sambil meremas rambut Denver.Pria itu tertawa kecil. "Anak kita pintar memilih waktu."“Uh … Sayang,” lenguh Dewi, “aku … mau hamil anakmu lagi. Denver.”“Dan aku akan membuat itu jadi nyata.” Denver menyeringai dengan mata dipenuhi kabut gairah.Tanpa banyak bicara, Denver mengangkat tubuh Dewi pelan, mendudukkan wanita itu di atas pahanya yang berotot. Dia mendongak, mengecup dan menghisap ceruk leher mulus yang harum itu, lalu turun ke tulang dada dan
“Apa … menikah se—sekarang?” Suara Maharani tercekat. Ibu muda itu menatap Darius dengan sorot mata yang masih menyimpan kebingungan. Embusan napasnya terasa berat, apalagi saat dia menoleh dan melihat sosok penghulu yang berdiri tak jauh dari mereka. Jujur, hatinya masih belum kembali normal dan pikirannya pun masih kalut setelah apa yang terjadi seminggu lalu. "Aku … tidak bisa," ucap Maharani pelan. Darius bisa menangkap jelas kata-kata itu, dan lagi-lagi meremukkan tulang dadanya. "Maksud kamu?" tanya Darius agak menekan. "Aku belum siap menikah, Dokter Darius. Bahkan sekarang aku masih syok. Seminggu lalu aku melahirkan karena …. Sekarang kamu datang ... bawa penghulu segala," ujar wanita itu dengan suara sedikit bergetar. Penghulu di samping mereka menghela napas panjang. Darius yang sejak tadi memegang kotak perhiasan sebagai maskawin, perlahan melepas genggamannya. Sorot matanya meredup. "Jadi kamu belum percaya padaku?" tanya Darius lirih. Maharani menunduk, lalu men
“Bagaimana kondisi Dania sekarang?” tanya Denver pada Dokter Ket.Saat ini di ruang observasi bedah, Denver berdiri tegak di depan kaca satu arah. Dari balik sana, terlihat Dania terbujur lemah di atas ranjang.Tubuh yang biasanya mengenakan pakaian seksi kini ditutupi baju rumah sakit, kakinya digips dan wajahnya pucat tanpa ekspresi."Trauma tulang belakang. Tapi ini kelumpuhan sementara. Kalau dia mau terapi rutin, kemungkinan bisa pulih. Tapi butuh waktu, sekitar enam sampai satu tahun," jelas Dokter Ket dengan nada hati-hati.Denver mengangguk pelan. "Oke, aku paham, Dok. Terima kasih."Setelah Dokter Ket pergi, Denver berjalan menuju ruang observasi, memeriksa wanita itu. Dia memberi isyarat pada petugas keamanan di depan pintu."Saya Direktur RS JB. Izinkan saya bicara sebentar."Petugas memberi hormat dan membuka pintu. Denver melangkah masuk.Dania yang sedang memandangi langit-langit menoleh, matanya masih menyala penuh benci, meskipun tubuhnya tak berdaya."Seharusnya kamu