“Silakan duduk!” titah pria tampan yang mengenakan jas putih dalam ruangan.
Selama empat bulan bekerja di rumah sakit, belum pernah satu kali pun Dewi masuk ruangan ini. Apalagi, langsung berhadapan dengan sosok paling penting di sini. Sekarang dia hanya menunduk dalam. Akan tetapi, sekujur tubuh Dewi mendadak membeku kala pria berbadan besar dengan kepala botak memutar kaki dan meninggalkan ruangan. Gadis ayu ini semakin tidak mengerti, bukankah orang itu memiliki kepentingan? Mengapa menyerahkannya begitu saja pada dokter? ‘Ini aneh,’ kata hati Dewi. “Dewi, kemarilah. Duduk di sini,” titah Dokter lagi, membuyarkan seluruh pikiran semu gadis itu. Perlahan Dewi mengangkat kepala hingga iris hitam pekatnya bersipandang dengan sepasang netra cokelat karamel. Seketika degup jantung Dewi bertambah cepat, bukan karena terpesona pada rupa menawan dokter, melainkan dia takut dipecat karena menyanggupi kesepakatan ini. “Dokter Denver, a--aku … maaf, tidak bermaksud … ini karena a--ku membutuhkan uang,” cicit pemilik bibir tipis merah muda sambil meremas jemari tangan nan ramping. Tubuh mungil wanita itu semakin gemetaran kala Dokter Denver hanya diam saja, tak menanggapi alasannya. Dewi meraba tengkuk, karena merinding suhu di ruangan spesialis kandungan sangatlah dingin. Lubuk hati sang gadis mengutuk keputusan gila ini, tetapi …. Dia menggeleng tegas, mengenyahkan kebimbangan yang menggerogoti diri. Dia berani melangkah maju menghampiri dokter. “Kamu mengenal aku bukan?” tanya Denver. Dia menumpu siku pada meja dan mengamati paras ayu yang dimiliki oleh Dewi. Gadis itu mengangguk dan berkata, “Dokter adalah direktur di rumah sakit ini, atasanku. Tolong jangan pecat aku.” Siapa juga yang tidak mengenal sosok Arkatama Denver Bradley, seorang dokter spesialis kandungan serta Direktur Rumah Sakit JB terkenal akan ketampanan dan keramahannya. Sebanyak 95% ibu hamil yang memeriksakan diri ke sini pasti mengidolakan Dokter Denver. Ya, termasuk Dewi mengagumi pria rupawan berhidung mancung di hadapannya. Denver tersenyum hangat lalu bangkit dari kursinya dan menghampiri Dewi, membuat tubuh mungil itu makin menegang. Bahkan iris hitamnya mengamati sepatu derby hitam yang digunakan dokter itu. “Ayo, kita mulai pemeriksaannya,” kata Denver, lalu merentangkan tangan supaya Dewi duduk dengan tenang. Sikap dokter ini sangatlah ramah, dan Dewi membenarkan apa yang diucapkan semua orang bahwa Denver memang santun. Bahkan pria itu meminta izin mengambil beberapa mili sampel darah, lalu memeriksa kebenaran bahwa dia masih perawan. Setelahnya, Denver mengunci pintu menjadikan Dewi memelotot. “Ada satu hal yang harus kita bahas,” kata Denver serius. “Apa itu, Dokter?” Dewi menajamkan telinga dan mata. “Pria yang menyewa rahimmu, menginginkan kamu menjadi ibu biologis dari anaknya,” ujar Denver menatap lekat raut wajah Dewi yang berubah pucat pasi. Selama beberapa detik Dewi mencerna penuturan dokter. Dia tersenyum ironi sambil menggeleng lemah, karena pada mulanya dia berpikir hanya menyewakan rahim saja. Kenapa sekarang jadi begini? “Itu artinya … menjual sel telur milikku?” gumam gadis itu tertangkap oleh indera pendengaran Dokter Denver. “Bukankah seharusnya menggunakan sel telur dari istri pria itu? Kenapa harus aku?” tanya Dewi dengan tatapan penuh selidik juga kecewa. “Ada banyak alasan pribadi yang tidak bisa dikemukakan, aku harap kamu mengerti dan tidak mundur dari kesepakatan ini,” kata Denver lemah lembut. Kedua tangan Dewi meremas kain seragam yang digunakan tubuhnya. Pipi putih wanita itu berubah merah karena menahan laju bulir hangat dari pelupuk mata. “Maaf … sepertinya aku tidak bisa,” kata Dewi sambil memejamkan kelopak mata. Dada wanita itu berkecamuk, dia membayangkan sembilan bulan yang akan datang menyerahkan darah dagingnya pada orang lain. Seketika ulu hati gadis itu menjadi nyeri. “Aku … permisi, Dokter,” pamit Dewi bergegas pergi meninggalkan ruang poli obgyn. Tiba-tiba saja Denver mencekal pergelangan tangan gadis itu. Meskipun tidak kasar, tetap saja menahan langkah sepasang tungkai ramping. “Bukankah kamu membutuhkan uang? Pria itu bersedia membayar berapa pun asalkan kamu setuju menjadi ibu biologisnya,” tutur Denver. Alih-alih langsung menolak tawaran menggiurkan itu, justru Dewi menjawab, “Tolong sampaikan pada pasien Dokter kalau aku … akan mempertimbangkannya.” Denver menganggkuk lantas melepas pergelangan tangan Dewi. Akan tetapi, sebelum Dewi berhasil keluar dari ruangan dingin ini, dia mendapat pesan teks dari kakaknya di kampung. Mata indah gadis itu memicing kala mengintip isi pesan. [Wi, Kakak pinjam uang 50 juta. Hari ini debt collector datang dan mengacak-acak rumah.] [Sekarang Kakak tuh babak belur, ada d rumah sakit.] Detik itu juga tubuh Dewi melemas dan matanya memanas hingga lelehan bening nan hangat mengalir tanpa permisi membasahi pipi. Berikutnya, dia menyeka jejak basah pada wajah, lalu memutar tubuh dan menatap dalam kepada Denver. “Dokter … aku bersedia menjadi ibu biologis dari anak pria itu,” lirih Dewi. Dari tempatnya berdiri, Dewi dapat melihat ada binar bahagia terpancar dari wajah Dokter Denver. Keesokan harinya setelah hasil tes kesehatan Dewi keluar, Dokter Denver mengajak gadis itu bertemu sepulang jam kerja. Pertemuan hari ini tidak semenegangkan kemarin, Dewi sudah pasrah dan rela berkorban demi keluarga tercinta. “Hasil pemeriksaan kamu bagus, sesuai dengan kriteria yang diinginkan,” tutur Denver sambil menatap dalam paras ayu yang tampak kuyu. “Kapan proses bayi tabung dilaksanakan? Apa aku bisa minta pembayaran di muka?” tanya Dewi dengan suara dan ekspresi datar. “Secepatnya. Mengenai uang, aku telah memberikan pembayaran di awal pada suamimu itu, dan sisanya menyusul setelah kamu hamil,” tutur Denver memperhatikan perubahan wajah lemas Dewi. “Ada apa?” tanya pria itu. Dewi mencelos mendengar informasi itu. Dia tidak menyangka sang suami telah menerima imbalan atas kesepakatan ini. ‘Keterlaluan kamu, Mas!’ batin gadis itu. Sebenarnya Dewi ingin meminta tambahan uang, tetapi urung karena jasanya saja belum digunakan. Sehingga dia memilih merahasiakan kecurangan Bima dari Denver. “Lakukan secepatnya, Dokter!” pinta Dewi. Dokter Denver mengangguk paham. Sesuai prosedur bayi tabung, tahap awal adalah stimulasi ovarium untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas sel telur yang diinginkan. Sepasang kelopak mata sipit memejam ketika jarum suntik menembus kulit. Bahkan Dewi berpegangan tangan pada lengan kekar dokter. Entah mengapa perasaan sakit yang mendera sedikit berkurang karena menghirup aroma parfum maskulin menguar dari tubuh pria itu. Setelahnya, Denver memberi banyak catatan bahwa gadis itu harus mengkonsumsi makanan sehat, serta menghindari stress. “Baik Dokter. Terima kasih banyak,” kata Dewi sebelum pamit pulang. Hanya saja Dewi terkejut ketika Denver menahannya. “Tunggu!” Pemilik mata sipit dengan iris hitam pekat bergeming di ambang pintu ruangan, sambil menatap penuh tanya pada dokter. Detik berikutnya Dewi berhasil mendapat jawaban. “Ini sudah malam. Aku antar kamu pulang,” ajak Denver. Sedangkan Dewi tidak mengerti mengapa sekelas direktur mau mengantarnya pulang. Padahal dia bukanlah pejabat penting di rumah sakit ini. Perempuan itu membatin, ‘Jangan-jangan Dokter Denver ….”“Karena aku calon ibu biologis bagi anak pasiennya. Ya, pasti itu alasannya,” gumam Dewi setelah turun dari mobil Denver. Namun, apa yang diucapkan bibirnya berbanding terbalik dengan isi hati. Entahlah gadis itu masih dihantui rasa penasaran, mengapa Dokter Denver memberi perhatian lebih padanya. Padahal pria itu tidak lebih dari seorang dokter yang menangani program bayi tabung bagi pasien. Akan tetapi, makin dipikirkan bukannya menemukan jawaban, justru kepala Dewi menjadi pusing. Gadis itu bergeming sambil memperhatikan kendaraan roda empat menjauh di telan pekatnya malam. Beberapa menit setelahnya, seperti biasa Dewi masuk rumah melalui pintu belakang sebab Bima tidak mengizinkan melewati bagian depan, kecuali untuk membersihkan ruang tamu dan keluarga. Setelah berhasil menginjakkan kakinya di dalam, sayup-sayup dia mendengar percakapan antar dua manusia. Mereka saling sahut tertawa bahagia. “Lumayan juga si Dewi bisa menghasilkan uang satu miliar. Kamu mau apa, Sayang? Jalan-
Melalui cara pandang Denver, Dewi mengetahui sebuah jawaban yang memecahkan teka-teki dalam pikirannya. Dia menurunkan pandangan dan perasaan ragu itu datang lagi memenuhi rongga dada. Bagaimana mungkin dia melewatkan satu hal?Selama ini Dewi melihat banyak perempuan datang untuk melakukan program bayi tabung, diantar oleh seorang pria yang memiliki ciri fisik persis seperti sosok tambun dan plontos malam itu, ternyata ….“Kamu adalah perempuan yang aku cari, Dewi,” kata Denver berusaha melenyapkan keraguan sang gadis. Pria itu berkata lagi, “Kelak anak itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Aku akan mengurusnya dengan baik.”Bibir tipis Dewi terkatup rapat, lidahnya bergitu kelu dan pita suaranya seolah tak bersuara. Dia tahu status Denver sebagai direktur sudah tentu mampu memberikan kehidupan di atas rata-rata pada anaknya. Hanya saja, dia tidak menyangka pria yang menyewa rahim dan membeli sel telurnya adalah sosok yang selama ini dikagumi oleh semua orang.Dia menggeleng lemah,
“Si--ap?” gugup bibir tipis gadis itu. Pikiran Dewi melayang ke satu hal, di mana dia harus menjalani kewajibannya.Meskipun bimbang, dia mengangguk sebagai jawaban. Dewi membuang jauh rasa takut yang menggerogoti jiwa. Hanya saja, suasana tegang tidak menghilang, sehingga dia bergeming dengan tatapan terkunci pada Denver.Pria itu mendekat sambil melepas sisa kancing yang tertaut sempurna pada kemeja putihnya. Dewi merinding dibuatnya, lalu menunduk dalam. Ini memang bukan pertama kali dia melihat lekuk tubuh seorang pria, tetapi sekarang berbeda. Pria di hadapannya bukanlah pasien berlumuran darah atau kejang-kejang kesakitan, melainkan orang sehat yang akan menjadi ayah biologis dari anaknya kelak.Tanpa Dewi tahu, Denver mengulum senyum melihat kegugupan sang gadis. Kini, pria bertubuh atletis dan jangkung sudah ada di depan tubuh mungil gadis itu. Satu tangan Denver terangkat dan mendarat tepat di bahu Dewi.“Memangnya tidak pegal berdiri terus seperti ini? Duduklah,” kata pria i
“Te--ntu saja aku tahu,” gugup Bima, tetapi pria itu masih berani menantang. Dia mengangkat dagu dan bertolak pinggang di depan Denver. Sebelah sudut bibir Denver berkedut dan mata cokelat karamelnya mengintimidasi pria itu. Dia melepaskan Dewi dari pelukan, lalu melindungi gadis bertubuh mungil itu di balik punggung lebarnya. “Pergilah!” usir Denver. Sedangkan Dewi menegang di balik punggung Denver. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan gemetaran. Bukan karena dia takut bertemu dengan Bima, melainkan mendengar jawaban sang suami. Batin gadis itu bertanya, ‘Jadi … Mas Bima sudah tahu kalau Dokter Denver adalah ….’ Ya, cepat atau lambat Bima pasti mengetahuinya, tetapi kenapa secepat ini? “Perempuan kampung ini istriku, sebaiknya Dokter saja yang pergi bukan aku!” sentak Bima membuyarkan lamunan Dewi. Sekarang tatapan Bima tertuju kepada Dewi yang berlindung di balik punggung lebar Dokter Denver. Melalui gerakan bola mata, pria itu memerintah Dewi memihak kepadanya. “Jangan lup
“Siapa dia? Kenapa ngikutin kamu, Sayang?” tanya wanita itu. Denver melirik sejenak ke belakang. Tentunya tatapan serta ekspresi pria itu berubah dingin, membuat Dewi merinding di sekujur tubuhnya. Dokter Denver berbeda! “Dia perawat di sini,” jawab Denver. Pria itu kemudian maju mendekati sang istri. Dia meninggalkan Dewi berdiri sendirian di tengah lobi. “Oh, aku pikir wanita sekali pakai yang kamu bayar,” ejek Carissa dengan tatapan sengit tertuju kepada Dewi. “Bukan masalah, sih. Aku ngerti, kok, kebutuhan pria. Apalagi aku sibuk, pasti kamu butuh pelampiasan,” katanya seakan memaklumi, tetapi intonasi itu sarat akan peringatan keras. Seketika degup jantung Dewi menjadi lebih cepat. Dadanya juga sakit mendengar kalimat hinaan itu. Namun … bukannya benar begitu? Jika dia langsung hamil setelah disentuh satu kali oleh Denver, bukankah perjanjian mereka akan berakhir pascamelahirkan? “Jaga mulutmu, Carissa!” tegas Denver, sebab mereka menjadi pusat perhatian beberapa pasien
“Aku ….” Dewi kehabisan kata mendengar pertanyaan Denver.Seandainya dia menjawab ragu, apakah Denver sukarela melepaskannya? Lalu bagaimana dengan uang yang telah pria itu berikan? Dewi sudah menggunakannya untuk mencicil biaya pengobatan Danang. Sekarang … haruskah dia melarikan diri dari tugas?Gadis itu menggeleng lemah tanpa suara. Tidak bisa mundur lagi! Malam ini waktu yang tepat untuk berhubungan intim. Ini masa ovulasinya, dia enggan menunggu lebih lama lagi.“Aku tidak ragu, Dokter. Aku … menginginkannya,” jawab Dewi pada akhirnya.Denver menatap lekat paras gadis itu. Jemari pria itu bergerak perlahan membelai pipi kemerahan, menggelitik pemiliknya hingga menggeliat.Ini pertama kali gadis itu mendapat sentuhan lembut dari seorang pria.Dewi mulai berani menatap sepasang manik indah milik pria di hadapannya. Sorot mata Denver memancarkan kehangatan serta kekaguman yang belum pernah dia dapatkan. Namun, gadis itu mati-matian menahan diri agar tidak terjerumus ke dalam lubang
“I--tu …,” gumam Dewi setelah celana hitam pria itu terlepas sempurna.“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan. Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver ma
Dewi menunduk menyembunyikan pipi semerah tomat. Kedua tangannya saling meremas di atas paha dan embusan napasnya menjadi cepat. Sungguh dia tidak menyangka kalau pagi ini Dokter Denver ….Gawai di dalam saku baju berdenting. Dewi tersentak dan memeriksa isi pesan singkat itu. Dia membacanya dalam hati.[Jangan lupa dimakan bekal rotinya.]Dia mengetik pesan balasan, lalu mengirimnya. [Baik Dokter.]Haruskah dia senang dan bersyukur mendapat perhatian? Tidak! Justru Dewi merasa sikap Denver berlebihan, padahal dia hanyalah perempuan yang dibayar untuk mengandung dan melahirkan keturunan Dokter itu.Ketika Dewi sedang menyantap bekalnya, dia mendengar rekan sesama perawat berbisik-bisik.“Aku dan suami lagi program hamil, makanya berhubungan badan pagi. Supaya nambah peluang kehamilan, loh.” Temannya Dewi terkekeh geli kemudian berlalu menuju barisan perawat lainnya.Saran dari temannya itu membuat Dewi bertanya-bertanya dalam hati, ‘Apa aku dan Dokter Denver harus—’“Ayo, briefing!” ti
“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Dewi. Wajah gadis itu berinar-binar, lalu melangkah masuk ke apartemen.Tadi, terpaksa dia pulang menggunakan jasa sopir yang telah disediakan oleh Denver. Semua itu dilakukan dibawah tatapan penuh tuntutan seorang Arkatama Denver.Sekarang dia sudah ada di dalam apartemen. Gadis itu melepaskan seragam perawatnya, menyisakan kaos tanpa lengan dan celana pendek. Dewi bergegas ke dapur.“Masak apa, Bik?” Dewi mengendus aroma harum yang menguar dari panci.“Ayam goreng lengkuas dan sup ayam. Tunggu sebentar, ya, Non.”Gadis itu menatap cabai rawit merah yang menyegarkan. “Dewi mau bantu, Bik. Bikin sambal.”“Non, jangan.” Asisten rumah tangga itu hendak menarik wadah cabai dari Dewi.“Please, Bik. Dewi kangen makan sambal.” Bibir tipis gadis itu merengut, lalu tangannya mencolek bahu asisten rumah tangga.Ya, Dewi memang akr
“Ruslan, apa saja jadwal Carissa di Singapura?” tanya Denver melalui sambungan telepon.“Dua hari ini Nyonya sibuk syuting iklan produk kecantikan. Menurut sumber informasi, beliau tidak bertemu dengan siapa pun.”Denver manggut-manggut mendengar laporan dari Ruslan—asisten pribadi yang sangat dia percaya. Namun, dia tidak sepenuhnya memercayai informasi itu. Bukan berarti asistennya berbohong, tetapi ….“Terima kasih laporannya. Sampaikan kepada mereka awasi Carissa dari kejauhan, jangan sampai dia tahu aku memata-matainya!”“Dilaksanakan, Pak,” sahut Ruslan. Setelah itu panggilan suara berakhir.Bersamaan dengan ditaruhnya telepon genggam di atas meja, Denver mendengar suara ketukan pintu. Tanpa bertanya siapa yang ada di belakang sana, dia memerintah, “Silakan, masuk!”Pintu itu terbuka perlahan, tatapan Denver langsung teralih ke sana. Dia tahu seseorang itu adalah Dewi. Keduanya bertemu pandang. Ada makna tersirat dari masing-masing bola mata. “Selamat sore Dokter,” sapa Dewi d
‘Suara wanita? Jangan-jangan itu …,’ batin Dewi gelisah. Manik hitam legam gadis itu pun langsung tertuju ke arah pintu. Sama halnya dengan Denver yang memandangi ke pintu. Memanfaatkan kelengahan Denver, Dewi bergegas menjauh dari pria itu. Kemudian dia merapikan berkas di atas meja kerja. Debar jantung Dewi saat ini melebihi batas normal hingga kedua tangannya mendadak tremor dan menjatuhkan berkas. Sedangkan ekspresi Denver tampak tenang, dia begitu santai berjalan menuju pintu. Dewi tidak habis pikir, mengapa ada pria seperti itu di saat genting? Atau mungkin Denver bukanlah orang normal yang takut ketahuan selingkuh. Denver membuka pintu. Seorang wanita cantik berpampilan modis memasuki ruangan. Sebelum duduk di sofa, sosok itu menaruh tas tangan putih di meja kecil. Selanjutnya memperhatikan wajah pucat Dewi di samping meja kerja. Dewi hanya mampu mengatur napas dan menyembunyikan keresahan. “Kenapa buka pintunya lama? Karena berduaan sama perempuan!” sembur wanita itu, sa
Sementara itu di dalam rumah luas bergaya tropis modern, seorang pria sedang mengerang. “Akh … sakit, Pak!” teriak pria bertubuh kurus itu. “Heh Bima ingatlah perjanjian kita!” tegas pria itu sambil mengepalkan tangan. “Maaf Pak Rudi,” rintih pria itu sambil memegangi perutnya. “Aku terpaksa karena butuh uang, Dewi mengambil semua uang pemberian dari Bapak,” sambung Bima. Rudi terbahak kemudian geleng-geleng mendengar ucapan Bima. Pria itu tambun dan plontos itu berjongkok sambil menatap tajam kepada Bima. “Jangan ganggu Dewi! Karena stress menghambat kehamilan!” bentak Rudi, “sekali lagi kamu mengganggu Dewi, kupastikan kamu menerima akibatnya!” Bima mengangkat satu tangannya, dia berupaya mencegah jika saja Rudi kembali memukulnya. “I--iya siap, Pak. Aku tidak akan mengganggu Dewi sampai melahirkan.” Rudi mendengkus dan menjauh dari badan Bima yang bernoda keringat serta tetesan darah dari hidung. Setelahnya, Rudi meninggalkan rumah pria itu. Akan tetapi, Bima masih tersungku
“Milikku?” gumam Dewi di sela sensasi geli yang menjalar ke seluruh tubuhnya.Ucapan itu bagai guyuran air di tanah gersang. Hati yang selama ini selalu disakiti, penuh caci dan maki berubah berbunga-bunga. Ditambah betapa lembutnya Denver menyentuh Dewi. Pria itu tidaklah kasar, setiap sentuhan dan tatapannya seakan-akan memuja kepada Dewi.“Kamu benar-benar harum, Dewi,” bisik Denver, “tapi aku tidak bisa ….”Denver menghentikan cumbuannya dan memandang Dewi sambil membelai puncak kepala gadis itu. Manik cokelat karamel Denver menatap lapar setiap lekuk tubuh mungil yang terbalut piama. Naluri sebagai pria dewasa tidak dapat dijinakkan dengan mudah.Melihat susah payahnya Denver menahan diri, membuat Dewi mengambil inisiatif. Jemari gadis itu menyentuh otot-otot perut yang keras dari balik kaos.“Lakukan saja Dokter. Bukankah makin sering berhubungan dapat meningkatkan peluang kehamilan?” Wajah Dewi bersemu merah dan jemarinya berhenti bermain di atas perut kotak-kotak.Sudut bibir
Dua jam sebelumnya.[Dokter Denver, aku pulang duluan. Terima kasih.]Denver membaca kata-kata tertulis di sticky note hijau yang ditempel di atas meja kerja. Pria itu melirik jam, memang sudah waktunya para perawat shift satu pulang. Dia menghubungi Dewi, tetapi tidak aktif.Pria itu merasa ada yang janggal. Denver tidak diam saja, lalu menelepon pelayan di apartemen.“Apa dia sudah pulang?”Pelayan menyahut, “Belum, Pak.”Denver langsung memutus panggilan suara. Lagi, dia melihat jam, seharusnya Dewi sudah sampai di apartemen. Pria itu beranjak menuju ruang kendali di lantai satu. Denver memerintah satpam memutar rekaman CCTV di luar gedung, terutama yang mengarah ke jalan.Dapat!Manik cokelat karamel Denver menangkap tidak ada kejanggalan apa pun. Namun, beberapa detik kemudian satu unit hatchback merah menepi dan tubuh Dewi dipaksa masuk ke dalam jok tengah. Denver menggeram seketika. Dia mengenali plat mobil itu.Pria itu bergegas meninggalkan ruang kendali, sambil menghubungi a
‘Ini di mana?!’ jerit Dewi dalam hati. Mulut gadis itu masih tertutup lakban hitam.Kendaraan Bima memasuki basement gedung tingkat tiga. Pria itu mengeluarkan Dewi dan memaksanya turun.Dewi menggeleng, dan menahan tubuhnya dengan menekan kedua kaki ke permukaan. Dia benar-benar sulit melepaskan diri dari Bima. Tenaganya kalah jauh dari sang suami. Gadis itu menangis dalam diam.“Ini dia penjamin utangku.” Bima mendorong tubuh Dewi ke hadapan dua orang pria berbadan besar dan bertato.“Dia istriku, mulai hari ini dia yang membayar semua utangku sampai lunas,” ucap Bima penuh penekanan pada kata hutang.Bima mengacak-acak isi tas Dewi, pria itu mengambil telepon genggam sang istri dan memberikannya kepada dua pria di depan mereka. Dia juga mengambil card holder wallet milik gadis itu.“Ambilah, anggap itu sebagai keseriusanku membayar utang,” kata Bima dengan nada angkuh dan mengangkat dagu.Dua pria berbadan besar mengambil ponsel, lalu membentak, “Ini HP murah!”“Kalian tenang saja,
Dewi menunduk menyembunyikan pipi semerah tomat. Kedua tangannya saling meremas di atas paha dan embusan napasnya menjadi cepat. Sungguh dia tidak menyangka kalau pagi ini Dokter Denver ….Gawai di dalam saku baju berdenting. Dewi tersentak dan memeriksa isi pesan singkat itu. Dia membacanya dalam hati.[Jangan lupa dimakan bekal rotinya.]Dia mengetik pesan balasan, lalu mengirimnya. [Baik Dokter.]Haruskah dia senang dan bersyukur mendapat perhatian? Tidak! Justru Dewi merasa sikap Denver berlebihan, padahal dia hanyalah perempuan yang dibayar untuk mengandung dan melahirkan keturunan Dokter itu.Ketika Dewi sedang menyantap bekalnya, dia mendengar rekan sesama perawat berbisik-bisik.“Aku dan suami lagi program hamil, makanya berhubungan badan pagi. Supaya nambah peluang kehamilan, loh.” Temannya Dewi terkekeh geli kemudian berlalu menuju barisan perawat lainnya.Saran dari temannya itu membuat Dewi bertanya-bertanya dalam hati, ‘Apa aku dan Dokter Denver harus—’“Ayo, briefing!” ti
“I--tu …,” gumam Dewi setelah celana hitam pria itu terlepas sempurna.“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan. Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver ma