Share

Bab 2 : Ikhlas

Penulis: NACL
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-29 14:23:10

“Silakan duduk!” titah pria tampan yang mengenakan jas putih dalam ruangan.

Selama empat bulan bekerja di rumah sakit, belum pernah satu kali pun Dewi masuk ruangan ini. Apalagi, langsung berhadapan dengan sosok paling penting di sini. Sekarang dia hanya menunduk dalam.

Akan tetapi, sekujur tubuh Dewi mendadak membeku kala pria berbadan besar dengan kepala botak memutar kaki dan meninggalkan ruangan. Gadis ayu ini semakin tidak mengerti, bukankah orang itu memiliki kepentingan? Mengapa menyerahkannya begitu saja pada dokter?

‘Ini aneh,’ kata hati Dewi.

“Dewi, kemarilah. Duduk di sini,” titah Dokter lagi, membuyarkan seluruh pikiran semu gadis itu.

Perlahan Dewi mengangkat kepala hingga iris hitam pekatnya bersipandang dengan sepasang netra cokelat karamel. Seketika degup jantung Dewi bertambah cepat, bukan karena terpesona pada rupa menawan dokter, melainkan dia takut dipecat karena menyanggupi kesepakatan ini.

“Dokter Denver, a--aku … maaf, tidak bermaksud … ini karena a--ku membutuhkan uang,” cicit pemilik bibir tipis merah muda sambil meremas jemari tangan nan ramping.

Tubuh mungil wanita itu semakin gemetaran kala Dokter Denver hanya diam saja, tak menanggapi alasannya. Dewi meraba tengkuk, karena merinding suhu di ruangan spesialis kandungan sangatlah dingin. Lubuk hati sang gadis mengutuk keputusan gila ini, tetapi …. Dia menggeleng tegas, mengenyahkan kebimbangan yang menggerogoti diri. Dia berani melangkah maju menghampiri dokter.

“Kamu mengenal aku bukan?” tanya Denver. Dia menumpu siku pada meja dan mengamati paras ayu yang dimiliki oleh Dewi.

Gadis itu mengangguk dan berkata, “Dokter adalah direktur di rumah sakit ini, atasanku. Tolong jangan pecat aku.”

Siapa juga yang tidak mengenal sosok Arkatama Denver Bradley, seorang dokter spesialis kandungan serta Direktur Rumah Sakit JB terkenal akan ketampanan dan keramahannya. Sebanyak 95% ibu hamil yang memeriksakan diri ke sini pasti mengidolakan Dokter Denver. Ya, termasuk Dewi mengagumi pria rupawan berhidung mancung di hadapannya.

Denver tersenyum hangat lalu bangkit dari kursinya dan menghampiri Dewi, membuat tubuh mungil itu makin menegang. Bahkan iris hitamnya mengamati sepatu derby hitam yang digunakan dokter itu.

“Ayo, kita mulai pemeriksaannya,” kata Denver, lalu merentangkan tangan supaya Dewi duduk dengan tenang.

Sikap dokter ini sangatlah ramah, dan Dewi membenarkan apa yang diucapkan semua orang bahwa Denver memang santun. Bahkan pria itu meminta izin mengambil beberapa mili sampel darah, lalu memeriksa kebenaran bahwa dia masih perawan. Setelahnya, Denver mengunci pintu menjadikan Dewi memelotot.

“Ada satu hal yang harus kita bahas,” kata Denver serius.

“Apa itu, Dokter?” Dewi menajamkan telinga dan mata.

“Pria yang menyewa rahimmu, menginginkan kamu menjadi ibu biologis dari anaknya,” ujar Denver menatap lekat raut wajah Dewi yang berubah pucat pasi.

Selama beberapa detik Dewi mencerna penuturan dokter. Dia tersenyum ironi sambil menggeleng lemah, karena pada mulanya dia berpikir hanya menyewakan rahim saja. Kenapa sekarang jadi begini?

“Itu artinya … menjual sel telur milikku?” gumam gadis itu tertangkap oleh indera pendengaran Dokter Denver. “Bukankah seharusnya menggunakan sel telur dari istri pria itu? Kenapa harus aku?” tanya Dewi dengan tatapan penuh selidik juga kecewa.

“Ada banyak alasan pribadi yang tidak bisa dikemukakan, aku harap kamu mengerti dan tidak mundur dari kesepakatan ini,” kata Denver lemah lembut.

Kedua tangan Dewi meremas kain seragam yang digunakan tubuhnya. Pipi putih wanita itu berubah merah karena menahan laju bulir hangat dari pelupuk mata.

“Maaf … sepertinya aku tidak bisa,” kata Dewi sambil memejamkan kelopak mata. Dada wanita itu berkecamuk, dia membayangkan sembilan bulan yang akan datang menyerahkan darah dagingnya pada orang lain. Seketika ulu hati gadis itu menjadi nyeri.

“Aku … permisi, Dokter,” pamit Dewi bergegas pergi meninggalkan ruang poli obgyn.

Tiba-tiba saja Denver mencekal pergelangan tangan gadis itu. Meskipun tidak kasar, tetap saja menahan langkah sepasang tungkai ramping.

“Bukankah kamu membutuhkan uang? Pria itu bersedia membayar berapa pun asalkan kamu setuju menjadi ibu biologisnya,” tutur Denver.

Alih-alih langsung menolak tawaran menggiurkan itu, justru Dewi menjawab, “Tolong sampaikan pada pasien Dokter kalau aku … akan mempertimbangkannya.”

Denver menganggkuk lantas melepas pergelangan tangan Dewi.

Akan tetapi, sebelum Dewi berhasil keluar dari ruangan dingin ini, dia mendapat pesan teks dari kakaknya di kampung. Mata indah gadis itu memicing kala mengintip isi pesan.

[Wi, Kakak pinjam uang 50 juta. Hari ini debt collector datang dan mengacak-acak rumah.]

[Sekarang Kakak tuh babak belur, ada d rumah sakit.]

Detik itu juga tubuh Dewi melemas dan matanya memanas hingga lelehan bening nan hangat mengalir tanpa permisi membasahi pipi. Berikutnya, dia menyeka jejak basah pada wajah, lalu memutar tubuh dan menatap dalam kepada Denver.

“Dokter … aku bersedia menjadi ibu biologis dari anak pria itu,” lirih Dewi.

Dari tempatnya berdiri, Dewi dapat melihat ada binar bahagia terpancar dari wajah Dokter Denver.

Keesokan harinya setelah hasil tes kesehatan Dewi keluar, Dokter Denver mengajak gadis itu bertemu sepulang jam kerja. Pertemuan hari ini tidak semenegangkan kemarin, Dewi sudah pasrah dan rela berkorban demi keluarga tercinta.

“Hasil pemeriksaan kamu bagus, sesuai dengan kriteria yang diinginkan,” tutur Denver sambil menatap dalam paras ayu yang tampak kuyu.

“Kapan proses bayi tabung dilaksanakan? Apa aku bisa minta pembayaran di muka?” tanya Dewi dengan suara dan ekspresi datar.

“Secepatnya. Mengenai uang, aku telah memberikan pembayaran di awal pada suamimu itu, dan sisanya menyusul setelah kamu hamil,” tutur Denver memperhatikan perubahan wajah lemas Dewi. “Ada apa?” tanya pria itu.

Dewi mencelos mendengar informasi itu. Dia tidak menyangka sang suami telah menerima imbalan atas kesepakatan ini.

‘Keterlaluan kamu, Mas!’ batin gadis itu.

Sebenarnya Dewi ingin meminta tambahan uang, tetapi urung karena jasanya saja belum digunakan. Sehingga dia memilih merahasiakan kecurangan Bima dari Denver.

“Lakukan secepatnya, Dokter!” pinta Dewi.

Dokter Denver mengangguk paham. Sesuai prosedur bayi tabung, tahap awal adalah stimulasi ovarium untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas sel telur yang diinginkan.

Sepasang kelopak mata sipit memejam ketika jarum suntik menembus kulit. Bahkan Dewi berpegangan tangan pada lengan kekar dokter. Entah mengapa perasaan sakit yang mendera sedikit berkurang karena menghirup aroma parfum maskulin menguar dari tubuh pria itu. Setelahnya, Denver memberi banyak catatan bahwa gadis itu harus mengkonsumsi makanan sehat, serta menghindari stress.

“Baik Dokter. Terima kasih banyak,” kata Dewi sebelum pamit pulang.

Hanya saja Dewi terkejut ketika Denver menahannya. “Tunggu!”

Pemilik mata sipit dengan iris hitam pekat bergeming di ambang pintu ruangan, sambil menatap penuh tanya pada dokter. Detik berikutnya Dewi berhasil mendapat jawaban.

“Ini sudah malam. Aku antar kamu pulang,” ajak Denver.

Sedangkan Dewi tidak mengerti mengapa sekelas direktur mau mengantarnya pulang. Padahal dia bukanlah pejabat penting di rumah sakit ini. Perempuan itu membatin, ‘Jangan-jangan Dokter Denver ….”

Bab terkait

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 3 : Sebuah Keputusan

    “Karena aku calon ibu biologis bagi anak pasiennya. Ya, pasti itu alasannya,” gumam Dewi setelah turun dari mobil Denver. Namun, apa yang diucapkan bibirnya berbanding terbalik dengan isi hati. Entahlah gadis itu masih dihantui rasa penasaran, mengapa Dokter Denver memberi perhatian lebih padanya. Padahal pria itu tidak lebih dari seorang dokter yang menangani program bayi tabung bagi pasien. Akan tetapi, makin dipikirkan bukannya menemukan jawaban, justru kepala Dewi menjadi pusing. Gadis itu bergeming sambil memperhatikan kendaraan roda empat menjauh di telan pekatnya malam. Beberapa menit setelahnya, seperti biasa Dewi masuk rumah melalui pintu belakang sebab Bima tidak mengizinkan melewati bagian depan, kecuali untuk membersihkan ruang tamu dan keluarga. Setelah berhasil menginjakkan kakinya di dalam, sayup-sayup dia mendengar percakapan antar dua manusia. Mereka saling sahut tertawa bahagia. “Lumayan juga si Dewi bisa menghasilkan uang satu miliar. Kamu mau apa, Sayang? Jalan-

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 4 : Sebuah Petaka atau Keberuntungan

    Melalui cara pandang Denver, Dewi mengetahui sebuah jawaban yang memecahkan teka-teki dalam pikirannya. Dia menurunkan pandangan dan perasaan ragu itu datang lagi memenuhi rongga dada. Bagaimana mungkin dia melewatkan satu hal?Selama ini Dewi melihat banyak perempuan datang untuk melakukan program bayi tabung, diantar oleh seorang pria yang memiliki ciri fisik persis seperti sosok tambun dan plontos malam itu, ternyata ….“Kamu adalah perempuan yang aku cari, Dewi,” kata Denver berusaha melenyapkan keraguan sang gadis. Pria itu berkata lagi, “Kelak anak itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Aku akan mengurusnya dengan baik.”Bibir tipis Dewi terkatup rapat, lidahnya bergitu kelu dan pita suaranya seolah tak bersuara. Dia tahu status Denver sebagai direktur sudah tentu mampu memberikan kehidupan di atas rata-rata pada anaknya. Hanya saja, dia tidak menyangka pria yang menyewa rahim dan membeli sel telurnya adalah sosok yang selama ini dikagumi oleh semua orang.Dia menggeleng lemah,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 5 : Sebuah Pertolongan

    “Si--ap?” gugup bibir tipis gadis itu. Pikiran Dewi melayang ke satu hal, di mana dia harus menjalani kewajibannya.Meskipun bimbang, dia mengangguk sebagai jawaban. Dewi membuang jauh rasa takut yang menggerogoti jiwa. Hanya saja, suasana tegang tidak menghilang, sehingga dia bergeming dengan tatapan terkunci pada Denver.Pria itu mendekat sambil melepas sisa kancing yang tertaut sempurna pada kemeja putihnya. Dewi merinding dibuatnya, lalu menunduk dalam. Ini memang bukan pertama kali dia melihat lekuk tubuh seorang pria, tetapi sekarang berbeda. Pria di hadapannya bukanlah pasien berlumuran darah atau kejang-kejang kesakitan, melainkan orang sehat yang akan menjadi ayah biologis dari anaknya kelak.Tanpa Dewi tahu, Denver mengulum senyum melihat kegugupan sang gadis. Kini, pria bertubuh atletis dan jangkung sudah ada di depan tubuh mungil gadis itu. Satu tangan Denver terangkat dan mendarat tepat di bahu Dewi.“Memangnya tidak pegal berdiri terus seperti ini? Duduklah,” kata pria i

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 6 : Berubah Pikiran?

    “Te--ntu saja aku tahu,” gugup Bima, tetapi pria itu masih berani menantang. Dia mengangkat dagu dan bertolak pinggang di depan Denver. Sebelah sudut bibir Denver berkedut dan mata cokelat karamelnya mengintimidasi pria itu. Dia melepaskan Dewi dari pelukan, lalu melindungi gadis bertubuh mungil itu di balik punggung lebarnya. “Pergilah!” usir Denver. Sedangkan Dewi menegang di balik punggung Denver. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan gemetaran. Bukan karena dia takut bertemu dengan Bima, melainkan mendengar jawaban sang suami. Batin gadis itu bertanya, ‘Jadi … Mas Bima sudah tahu kalau Dokter Denver adalah ….’ Ya, cepat atau lambat Bima pasti mengetahuinya, tetapi kenapa secepat ini? “Perempuan kampung ini istriku, sebaiknya Dokter saja yang pergi bukan aku!” sentak Bima membuyarkan lamunan Dewi. Sekarang tatapan Bima tertuju kepada Dewi yang berlindung di balik punggung lebar Dokter Denver. Melalui gerakan bola mata, pria itu memerintah Dewi memihak kepadanya. “Jangan lup

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 7 : Jangan Ragu!

    “Siapa dia? Kenapa ngikutin kamu, Sayang?” tanya wanita itu. Denver melirik sejenak ke belakang. Tentunya tatapan serta ekspresi pria itu berubah dingin, membuat Dewi merinding di sekujur tubuhnya. Dokter Denver berbeda! “Dia perawat di sini,” jawab Denver. Pria itu kemudian maju mendekati sang istri. Dia meninggalkan Dewi berdiri sendirian di tengah lobi. “Oh, aku pikir wanita sekali pakai yang kamu bayar,” ejek Carissa dengan tatapan sengit tertuju kepada Dewi. “Bukan masalah, sih. Aku ngerti, kok, kebutuhan pria. Apalagi aku sibuk, pasti kamu butuh pelampiasan,” katanya seakan memaklumi, tetapi intonasi itu sarat akan peringatan keras. Seketika degup jantung Dewi menjadi lebih cepat. Dadanya juga sakit mendengar kalimat hinaan itu. Namun … bukannya benar begitu? Jika dia langsung hamil setelah disentuh satu kali oleh Denver, bukankah perjanjian mereka akan berakhir pascamelahirkan? “Jaga mulutmu, Carissa!” tegas Denver, sebab mereka menjadi pusat perhatian beberapa pasien ser

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 8 : Kenapa Harus Dinikmati?

    “Aku siap,” ucap Dewi penuh keyakinan.Jakun Denver turun naik dan embusan napasnya mulai cepat. Dia mengurungkan niat meninggalkan Dewi. Pria itu kembali ke kamar. Sepasang iris cokelat karamelnya menikmati keranuman gadis itu.“Sikapmu ini sangat berani, Dewi,” desah pria itu.Dewi mengangkat satu tangan dan menyelipkan rambut di balik telinga. Gerakan ini tampak menggoda di mata pria.Baru melihat tubuh polos dengan kulit mulus saja membuat hasrat Denver terbakar. Jemari pria itu kembali menyentuh setiap jengkal kulit mulus yang tidak tertutup kain handuk. Sekarang, Denver membelai leher jenjang dan tulang selangka gadis itu. Membuat Dewi makin sulit menahan diri, hingga dia menggigit bibir bawahnya.Denver mendekatkan kepalanya dan berbisik, “Jangan menahannya, Dewi. Kamu harus rileks.”Bisikan itu, embusan napas hangat itu, serta aroma parfum maskulin yang menenangkan pikiran, saat ini sukses memorakporandakan benteng pertahanan Dewi. Gadis itu mengkerling mata dan mengangguk pela

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 9 : Mau Lagi?

    “Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan.Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti, sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver mampu mengalihkan perhatian Dewi. Gadis itu melenguh dan menggelinjang k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 10 : Kejadian Tak Terduga

    "A--pa? Bukan begitu Dokter," gugup Dewi. Dia menelan air liur dan mendadak tidak bisa berpikir. Apalagi saat ini posisi Denver terlalu dekat dengannya.Wajah Denver makin dekat, sampai aroma mint memenuhi rongga hidung Dewi. "Benarkah? Tapi reaksi tubuhmu berbeda," kata pria itu."Aku ... harus kerja pagi ini, Dokter. Tidak boleh bolos," jawab sang gadis dengan gaya kaku.Seketika Denver terkekeh kecil mendengar ucapan Dewi. Pria itu menjaga jarak dengan gadisnya, lalu mengalihkan tatapan pada piring kosong."Tidak perlu malu kalau mau lagi. Aku buatkan roti isi yang baru." Denver berdiri dan berjalan ke dapur. Dengan gesit pria itu menyiapkan bekal makanan sehat untuk Dewi. Setelahnya, Denver memberikan kotak bekal merah jambu berisi roti isi kepada Dewi. Pria itu merunduk dan berbisik, "Tenang saja, aku tidak segila itu menyentuhmu. Tujuan utamaku untuk punya anak, bukan berbagi hasrat setiap saat."Denver membelai puncak kepala Dewi yang mengangguk pelan.Kemudian, Dewi berpamit

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08

Bab terbaru

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 162: Perjuangan Dokter Tampan

    Setibanya di Kota Malang, Denver langsung menggunakan taksi menuju kediaman Danis. Sepanjang jalan, jari-jarinya pria itu terus mengetuk layar ponsel.Dia mencoba menghubungi Dewi dan Astuti. Namun, hasilnya tetap sama—panggilan tak terjawab."Sial!" gumam Denver, rahangnya mengeras. “Ke mana mereka semua?”Pikiran pria itu seketika dipenuhi bayangan buruk. Bagaimana jika Dewi sudah dipaksa menikah? Bagaimana jika Darius sedang menggenggam tangannya di altar? Bagaimana jika Dirgantra menangis tanpa ada yang bisa menenangkannya?Bahkan parahnya lagi, jika Dewi benar-benar dibawa menjauh, entah ke mana. Bukankah itu sulit bagi Denver untuk merebutnya lagi?Jantung Denver berdetak lebih cepat dari biasanya dan denyut nadinya terasa hingga di pelipis. Dia tidak bisa tinggal diam!“Permisi, Pak. Sudah sampai tujuan,” ujar sopir taksi dengan suara pelan. “Pak?”Seketika Denver tersentak dari lamunan mengerikan itu. Dia mengembuskan napas kasar, untuk menepis kekhawatiran yang terus menghantu

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 161: Penyesalan Sang Mama

    "Pak, Anda yakin mau ke Malang hari ini?" tanya Ruslan yang melangkah cepat mengikuti ritme Denver."Siapkan saja semuanya, Ruslan! Aku tidak bisa membiarkan Darius menikahi Dewi! Apalagi Pak Danis pasti memaksa Dewi," geram Denver, matanya menyala penuh amarah."Tapi … bagaimana dengan Nyonya Dwyne, Pak? Kondisinya tidak memungkinkan ditinggal," tukas Ruslan, suaranya terdengar ragu.Langkah Denver terhenti. Pikiran Dokter tampan itu berkecamuk. Jika saja tubuhnya bisa terbagi dua, dia pasti akan melakukan itu. Dwyne, Dewi, dan Dirgantara adalah tanggung jawabnya.Dia tidak ingin kehilangan mereka!"Tangan Anda, Pak," tunjuk Ruslan.Denver menatap pergelangan tangannya. Darah segar menetes dari luka bekas infus yang terbuka, tetapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya mendengkus ketika melihat Darius sedang berjalan bersama pasien lain."Kamu benar, Ruslan. Untuk saat ini, Mama tidak bisa ditinggal. Pastikan Darius tetap di sini! Katakan pada direktur, jangan memberinya izin!"

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 160: Persaingan Dokter Tampan

    Dewi mengepalkan tangan, suaranya tercekat. "Pak Danis …"Di belakang pria itu, dua orang pengurus rumah tangga berdiri, salah satunya membawa nampan berisi makanan."Papa mau makan siang bareng kamu, Wi," ujar Danis, suaranya lembut.Astuti memberi isyarat agar Dewi menurut. Dengan langkah ragu, Dewi turun dari ranjang dan duduk bersama Danis di meja bundar. Beragam hidangan khas Malang tersaji di hadapannya.Danis menyendokkan lauk ke piring kosong Dewi dan tersenyum hangat. "Makan yang banyak, Wi. Seorang ibu harus kuat. Setelah kamu terbiasa di sini, Papa akan mengenalkan kamu ke semua orang. Termasuk adikmu yang sekarang kuliah di luar negeri."Senyuman hangat Danis seharusnya membuat tenang. Seharusnya, pelukan keluarga yang telah lama hilang ini terasa nyaman. Tapi kenapa justru ada ketakutan yang menggelayut di dadanya? Kenapa setiap sendok makanan yang diberikan Danis terasa seperti belenggu yang makin mengikatnya?"Ayo, makan," Danis menepuk punggung Dewi dengan lembut.Setel

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 159: Sakitnya Tuh Di Sini

    "Ini semua demi kebaikanmu, Dewi," tutur Danis yang duduk di depan Dewi. Pria paruh baya itu berusaha meraih tangan putrinya, tetapi Dewi menariknya. Ada keengganan dalam diri, sebuah dorongan kuat untuk menolak sentuhan itu. Dewi menggeleng, entah mengapa dia merasa pertemuan ini tidak seharusnya terjadi. Dalam hatinya, dia berharap biarlah segalanya tetap seperti dulu—biarlah dia tetap menjadi putri Danang dan Tari, bukan seperti ini. "Pak Danis, tolong … a–aku mau pulang," lirihnya sambil mendekap erat tubuh Dirga yang terbangun beberapa saat lalu. Danis berdeham. "Pulang? Rumahmu di Malang, bukan di Jakarta," ucapnya tenang, "pesawat lepas landas. Tidak ada jalan untuk turun." Tangan Dewi mencengkeram lengan kursi dengan erat, kukunya hampir menekan kulit sendiri. Detak jantung gadis itu berdetak begitu cepat, sedangkan pikirannya kacau. Dia ingin berteriak, meminta seseorang menghentikan pesawat ini. Namun, dia hanya bisa duduk di sana, menatap kosong ke luar jendela, melihat

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 158: Kukabulkan Keinginanmu!

    "Apa peringatanku kurang, Denver?" Suara tegas itu kembali memenuhi ruangan.Dewi yang bersembunyi di balik punggung kekar Denver mendongak menatap kepala Dokter tampan itu dari belakang. Mata sipitnya makin menyipit, menciptakan garis tanya di sana. Ada ketegangan yang memenuhi udara, membuat gadis itu menggigit bibir dengan gelisah.Sungguh, dia tidak tahu ada kesepakatan apa antara Danis dan Denver.Sebelum sempat bertanya, suara Oma Nayla menggema di ruangan ini. Wanita senja itu melangkah ke depan dengan tatapan menyelidik."Sebenarnya ada apa ini?"Denver menoleh pada sang oma, manik karamelnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Dewi berusaha mencari makna di balik sorot mata itu, tetapi rasanya terlalu rumit untuk diterjemahkan."Tolong tetap di sini bersama Dewi dan Mama," kata Denver pada sang oma dengan suara pelan, tetapi penuh ketegasan.Tatapan Denver bergeser pada Dewi-nya, hingga sorot mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang ingin gadis itu tanyakan, tetapi Denver su

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 157: Satu Kata Mengharukan

    "Pak Danis," gumam Dewi. Pikirannya langsung tertuju pada pria yang menyatakan diri sebagai ayah kandungnya. Benar, seperti kata Darius, tepat hari ini Danis boleh pulang. Mungkin pria itu ingin bertemu dengannya.Dia meraih sweater merah muda dan tas selempang hitamnya, lalu mengikat rambut dengan asal dan menghubungi ojek online.Akann tetapi, baru saja Dewi keluar dari kamar, pandangannya bertemu dengan Denver yang sedang berbincang bersama Dirga. Dia pun menjadi kaku.Denver memang tidak bersuara, tetapi tatapan tajamnya menyiratkan sebuah pertanyaan."Umm … a—ku ada perlu ke rumah sakit, sebentar. Aku akan segera kembali," gugup Dewi sambil meremas tali tasnya.Lagi, Denver tidak menanggapi. Bahkan pria itu melenggang pergi menjauhi Dewi. Membuat gadis itu menelan rasa kecewa. Dia bukan berharap diantar, tetapi cukup mendapat sahutan saja sudah melegakan hati.Pria itu justru menuju ke ruangan lain. Seolah enggan melihat wajah Dewi."Tidak apa-apa, Dewi. Lagi pula ini memang sala

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 156 :  Aku Butuh Kamu

    Tangan Denver yang terkepal tepat di depan dadanya menunjukkan garis-garis otot dan pembuluh darah, menandakan betapa tegangnya dia. Napas pria itu berat, nyaris tersendat, dan dia harus menyeka matanya yang hampir basah.Setelahnya, Denver turun dari ranjang pasien, lalu berdiri di samping ranjang sang mama, menatap penuh sayang sembari membelai bahunya.“Apa Dokter Mario sudah selesai operasi? Katakan padanya mamaku butuh pertolongan secepatnya!” tegas Denver dengan suara tegang.Seorang perawat bergegas mencari informasi.Bilik gawat darurat mulai lengang. Perawat dan beberapa dokter yang sempat memberikan pertolongan pertama kembali ke pos masing-masing. Tersisa Denver dan dokter umum.Beberapa saat kemudian, seorang perawat datang memberitahu, “Dokter Mario segera ke sini, Dok.”Denver tidak menyahut, hanya menatap layar monitor yang bergerak, menunjukkan angka-angka penunjuk kehidupan.Setelahnya, Dwyne menjalani pemeriksaan oleh tim dokter spesialis. Wanita itu didiagnosis menga

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 155: Menyelamatkan Sang Mama

    “Mama ini bukan anak kecil yang bisa diajak bercanda, Denver!” tegas Dwyne, tetapi gestur tubuhnya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Wanita itu gemetar membuat tangannya mengepal erat seolah berusaha menahan sesuatu.“Menurut Mama, apa aku sedang bercanda? Untuk apa?” sahut Denver sembari mendekati mereka yang berdiri terpaku di tempat.Sejenak pria itu menatap Dewi dalam, lantas memejamkan mata. Dia teringat percakapannya dengan Danis beberapa saat lalu.Tadi, selesai praktik, Denver sengaja menemui Danis secara langsung. Dia merasa harus mengetahui kebenaran ini dari berbagai sumber. Danis mengakuinya, bahkan memberikan Denver selembar foto usang.Dalam foto itu, seorang wanita tengah mengandung, dan wajahnya mirip sekali dengan Dewi. Namun, pria tampan di sampingnya bukanlah Denver—melainkan Danis sewaktu muda.Ya, dia tahu itu, sebab beberapa kali Dwyne dan mendiang ayahnya membawa Denver kecil berkunjung ke rumah pria itu. Masih jelas dalam ingatannya foto Danis muda.Termas

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 154 : Tidak Layak Untuk Denver?

    Dewi tergugu sambil menunduk dan meremas selimutnya. Dia benar-benar bingung sekarang, karena Denver mengetahuinya jauh lebih cepat dari dugaan. Di saat dia belum siap menerima kenyataan, dia harus dihadapkan pada desakan Denver.Sedangkan Denver melihat keterdiaman Dewi dengan sorot mata rumit dan satu sudut bibirnya berkedut samar. Rahangnya mengeras dan jemarinya mengepal di sisi tubuh.“Aku pikir sudah tidak ada lagi rahasia di antara kita,” sesal Denver, suaranya lebih dingin dari biasanya.Dengan tangan ragu-ragu, Dewi meraih jemari Denver untuk menjelaskannya. Namun, pria itu menghindar. Seakan ada jarak yang kini terbentuk di antara mereka.“Aku … karena ini terlalu mendadak,” ujarnya berharap Denver mengerti.Alih-alih menerima jawaban, Denver justru berdiri dan berbalik tanpa menatapnya lagi. Sesaat sebelum pergi, dia mengecup kening Dirga, lalu tanpa kata-kata lebih lanjut, dia meninggalkan Dewi dalam ruangan yang kini terasa makin dingin dan kosong.Dewi menatap punggung ke

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status