“Silakan duduk!” titah pria tampan yang mengenakan jas putih dalam ruangan.
Selama empat bulan bekerja di rumah sakit, belum pernah satu kali pun Dewi masuk ruangan ini. Apalagi, langsung berhadapan dengan sosok paling penting di sini. Sekarang dia hanya menunduk dalam. Akan tetapi, sekujur tubuh Dewi mendadak membeku kala pria berbadan besar dengan kepala botak memutar kaki dan meninggalkan ruangan. Gadis ayu ini semakin tidak mengerti, bukankah orang itu memiliki kepentingan? Mengapa menyerahkannya begitu saja pada dokter? ‘Ini aneh,’ kata hati Dewi. “Dewi, kemarilah. Duduk di sini,” titah Dokter lagi, membuyarkan seluruh pikiran semu gadis itu. Perlahan Dewi mengangkat kepala hingga iris hitam pekatnya bersipandang dengan sepasang netra cokelat karamel. Seketika degup jantung Dewi bertambah cepat, bukan karena terpesona pada rupa menawan dokter, melainkan dia takut dipecat karena menyanggupi kesepakatan ini. “Dokter Denver, a--aku … maaf, tidak bermaksud … ini karena a--ku membutuhkan uang,” cicit pemilik bibir tipis merah muda sambil meremas jemari tangan nan ramping. Tubuh mungil wanita itu semakin gemetaran kala Dokter Denver hanya diam saja, tak menanggapi alasannya. Dewi meraba tengkuk, karena merinding suhu di ruangan spesialis kandungan sangatlah dingin. Lubuk hati sang gadis mengutuk keputusan gila ini, tetapi …. Dia menggeleng tegas, mengenyahkan kebimbangan yang menggerogoti diri. Dia berani melangkah maju menghampiri dokter. “Kamu mengenal aku bukan?” tanya Denver. Dia menumpu siku pada meja dan mengamati paras ayu yang dimiliki oleh Dewi. Gadis itu mengangguk dan berkata, “Dokter adalah direktur di rumah sakit ini, atasanku. Tolong jangan pecat aku.” Siapa juga yang tidak mengenal sosok Arkatama Denver Bradley, seorang dokter spesialis kandungan serta Direktur Rumah Sakit JB terkenal akan ketampanan dan keramahannya. Sebanyak 95% ibu hamil yang memeriksakan diri ke sini pasti mengidolakan Dokter Denver. Ya, termasuk Dewi mengagumi pria rupawan berhidung mancung di hadapannya. Denver tersenyum hangat lalu bangkit dari kursinya dan menghampiri Dewi, membuat tubuh mungil itu makin menegang. Bahkan iris hitamnya mengamati sepatu derby hitam yang digunakan dokter itu. “Ayo, kita mulai pemeriksaannya,” kata Denver, lalu merentangkan tangan supaya Dewi duduk dengan tenang. Sikap dokter ini sangatlah ramah, dan Dewi membenarkan apa yang diucapkan semua orang bahwa Denver memang santun. Bahkan pria itu meminta izin mengambil beberapa mili sampel darah, lalu memeriksa kebenaran bahwa dia masih perawan. Setelahnya, Denver mengunci pintu menjadikan Dewi memelotot. “Ada satu hal yang harus kita bahas,” kata Denver serius. “Apa itu, Dokter?” Dewi menajamkan telinga dan mata. “Pria yang menyewa rahimmu, menginginkan kamu menjadi ibu biologis dari anaknya,” ujar Denver menatap lekat raut wajah Dewi yang berubah pucat pasi. Selama beberapa detik Dewi mencerna penuturan dokter. Dia tersenyum ironi sambil menggeleng lemah, karena pada mulanya dia berpikir hanya menyewakan rahim saja. Kenapa sekarang jadi begini? “Itu artinya … menjual sel telur milikku?” gumam gadis itu tertangkap oleh indera pendengaran Dokter Denver. “Bukankah seharusnya menggunakan sel telur dari istri pria itu? Kenapa harus aku?” tanya Dewi dengan tatapan penuh selidik juga kecewa. “Ada banyak alasan pribadi yang tidak bisa dikemukakan, aku harap kamu mengerti dan tidak mundur dari kesepakatan ini,” kata Denver lemah lembut. Kedua tangan Dewi meremas kain seragam yang digunakan tubuhnya. Pipi putih wanita itu berubah merah karena menahan laju bulir hangat dari pelupuk mata. “Maaf … sepertinya aku tidak bisa,” kata Dewi sambil memejamkan kelopak mata. Dada wanita itu berkecamuk, dia membayangkan sembilan bulan yang akan datang menyerahkan darah dagingnya pada orang lain. Seketika ulu hati gadis itu menjadi nyeri. “Aku … permisi, Dokter,” pamit Dewi bergegas pergi meninggalkan ruang poli obgyn. Tiba-tiba saja Denver mencekal pergelangan tangan gadis itu. Meskipun tidak kasar, tetap saja menahan langkah sepasang tungkai ramping. “Bukankah kamu membutuhkan uang? Pria itu bersedia membayar berapa pun asalkan kamu setuju menjadi ibu biologisnya,” tutur Denver. Alih-alih langsung menolak tawaran menggiurkan itu, justru Dewi menjawab, “Tolong sampaikan pada pasien Dokter kalau aku … akan mempertimbangkannya.” Denver menganggkuk lantas melepas pergelangan tangan Dewi. Akan tetapi, sebelum Dewi berhasil keluar dari ruangan dingin ini, dia mendapat pesan teks dari kakaknya di kampung. Mata indah gadis itu memicing kala mengintip isi pesan. [Wi, Kakak pinjam uang 50 juta. Hari ini debt collector datang dan mengacak-acak rumah.] [Sekarang Kakak tuh babak belur, ada d rumah sakit.] Detik itu juga tubuh Dewi melemas dan matanya memanas hingga lelehan bening nan hangat mengalir tanpa permisi membasahi pipi. Berikutnya, dia menyeka jejak basah pada wajah, lalu memutar tubuh dan menatap dalam kepada Denver. “Dokter … aku bersedia menjadi ibu biologis dari anak pria itu,” lirih Dewi. Dari tempatnya berdiri, Dewi dapat melihat ada binar bahagia terpancar dari wajah Dokter Denver. Keesokan harinya setelah hasil tes kesehatan Dewi keluar, Dokter Denver mengajak gadis itu bertemu sepulang jam kerja. Pertemuan hari ini tidak semenegangkan kemarin, Dewi sudah pasrah dan rela berkorban demi keluarga tercinta. “Hasil pemeriksaan kamu bagus, sesuai dengan kriteria yang diinginkan,” tutur Denver sambil menatap dalam paras ayu yang tampak kuyu. “Kapan proses bayi tabung dilaksanakan? Apa aku bisa minta pembayaran di muka?” tanya Dewi dengan suara dan ekspresi datar. “Secepatnya. Mengenai uang, aku telah memberikan pembayaran di awal pada suamimu itu, dan sisanya menyusul setelah kamu hamil,” tutur Denver memperhatikan perubahan wajah lemas Dewi. “Ada apa?” tanya pria itu. Dewi mencelos mendengar informasi itu. Dia tidak menyangka sang suami telah menerima imbalan atas kesepakatan ini. ‘Keterlaluan kamu, Mas!’ batin gadis itu. Sebenarnya Dewi ingin meminta tambahan uang, tetapi urung karena jasanya saja belum digunakan. Sehingga dia memilih merahasiakan kecurangan Bima dari Denver. “Lakukan secepatnya, Dokter!” pinta Dewi. Dokter Denver mengangguk paham. Sesuai prosedur bayi tabung, tahap awal adalah stimulasi ovarium untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas sel telur yang diinginkan. Sepasang kelopak mata sipit memejam ketika jarum suntik menembus kulit. Bahkan Dewi berpegangan tangan pada lengan kekar dokter. Entah mengapa perasaan sakit yang mendera sedikit berkurang karena menghirup aroma parfum maskulin menguar dari tubuh pria itu. Setelahnya, Denver memberi banyak catatan bahwa gadis itu harus mengkonsumsi makanan sehat, serta menghindari stress. “Baik Dokter. Terima kasih banyak,” kata Dewi sebelum pamit pulang. Hanya saja Dewi terkejut ketika Denver menahannya. “Tunggu!” Pemilik mata sipit dengan iris hitam pekat bergeming di ambang pintu ruangan, sambil menatap penuh tanya pada dokter. Detik berikutnya Dewi berhasil mendapat jawaban. “Ini sudah malam. Aku antar kamu pulang,” ajak Denver. Sedangkan Dewi tidak mengerti mengapa sekelas direktur mau mengantarnya pulang. Padahal dia bukanlah pejabat penting di rumah sakit ini. Perempuan itu membatin, ‘Jangan-jangan Dokter Denver ….”“Karena aku calon ibu biologis bagi anak pasiennya. Ya, pasti itu alasannya,” gumam Dewi setelah turun dari mobil Denver. Namun, apa yang diucapkan bibirnya berbanding terbalik dengan isi hati. Entahlah gadis itu masih dihantui rasa penasaran, mengapa Dokter Denver memberi perhatian lebih padanya. Padahal pria itu tidak lebih dari seorang dokter yang menangani program bayi tabung bagi pasien. Akan tetapi, makin dipikirkan bukannya menemukan jawaban, justru kepala Dewi menjadi pusing. Gadis itu bergeming sambil memperhatikan kendaraan roda empat menjauh di telan pekatnya malam. Beberapa menit setelahnya, seperti biasa Dewi masuk rumah melalui pintu belakang sebab Bima tidak mengizinkan melewati bagian depan, kecuali untuk membersihkan ruang tamu dan keluarga. Setelah berhasil menginjakkan kakinya di dalam, sayup-sayup dia mendengar percakapan antar dua manusia. Mereka saling sahut tertawa bahagia. “Lumayan juga si Dewi bisa menghasilkan uang satu miliar. Kamu mau apa, Sayang? Jalan-
Melalui cara pandang Denver, Dewi mengetahui sebuah jawaban yang memecahkan teka-teki dalam pikirannya. Dia menurunkan pandangan dan perasaan ragu itu datang lagi memenuhi rongga dada. Bagaimana mungkin dia melewatkan satu hal?Selama ini Dewi melihat banyak perempuan datang untuk melakukan program bayi tabung, diantar oleh seorang pria yang memiliki ciri fisik persis seperti sosok tambun dan plontos malam itu, ternyata ….“Kamu adalah perempuan yang aku cari, Dewi,” kata Denver berusaha melenyapkan keraguan sang gadis. Pria itu berkata lagi, “Kelak anak itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Aku akan mengurusnya dengan baik.”Bibir tipis Dewi terkatup rapat, lidahnya bergitu kelu dan pita suaranya seolah tak bersuara. Dia tahu status Denver sebagai direktur sudah tentu mampu memberikan kehidupan di atas rata-rata pada anaknya. Hanya saja, dia tidak menyangka pria yang menyewa rahim dan membeli sel telurnya adalah sosok yang selama ini dikagumi oleh semua orang.Dia menggeleng lemah,
“Si--ap?” gugup bibir tipis gadis itu. Pikiran Dewi melayang ke satu hal, di mana dia harus menjalani kewajibannya.Meskipun bimbang, dia mengangguk sebagai jawaban. Dewi membuang jauh rasa takut yang menggerogoti jiwa. Hanya saja, suasana tegang tidak menghilang, sehingga dia bergeming dengan tatapan terkunci pada Denver.Pria itu mendekat sambil melepas sisa kancing yang tertaut sempurna pada kemeja putihnya. Dewi merinding dibuatnya, lalu menunduk dalam. Ini memang bukan pertama kali dia melihat lekuk tubuh seorang pria, tetapi sekarang berbeda. Pria di hadapannya bukanlah pasien berlumuran darah atau kejang-kejang kesakitan, melainkan orang sehat yang akan menjadi ayah biologis dari anaknya kelak.Tanpa Dewi tahu, Denver mengulum senyum melihat kegugupan sang gadis. Kini, pria bertubuh atletis dan jangkung sudah ada di depan tubuh mungil gadis itu. Satu tangan Denver terangkat dan mendarat tepat di bahu Dewi.“Memangnya tidak pegal berdiri terus seperti ini? Duduklah,” kata pria i
“Te--ntu saja aku tahu,” gugup Bima, tetapi pria itu masih berani menantang. Dia mengangkat dagu dan bertolak pinggang di depan Denver. Sebelah sudut bibir Denver berkedut dan mata cokelat karamelnya mengintimidasi pria itu. Dia melepaskan Dewi dari pelukan, lalu melindungi gadis bertubuh mungil itu di balik punggung lebarnya. “Pergilah!” usir Denver. Sedangkan Dewi menegang di balik punggung Denver. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan gemetaran. Bukan karena dia takut bertemu dengan Bima, melainkan mendengar jawaban sang suami. Batin gadis itu bertanya, ‘Jadi … Mas Bima sudah tahu kalau Dokter Denver adalah ….’ Ya, cepat atau lambat Bima pasti mengetahuinya, tetapi kenapa secepat ini? “Perempuan kampung ini istriku, sebaiknya Dokter saja yang pergi bukan aku!” sentak Bima membuyarkan lamunan Dewi. Sekarang tatapan Bima tertuju kepada Dewi yang berlindung di balik punggung lebar Dokter Denver. Melalui gerakan bola mata, pria itu memerintah Dewi memihak kepadanya. “Jangan lup
“Siapa dia? Kenapa ngikutin kamu, Sayang?” tanya wanita itu. Denver melirik sejenak ke belakang. Tentunya tatapan serta ekspresi pria itu berubah dingin, membuat Dewi merinding di sekujur tubuhnya. Dokter Denver berbeda! “Dia perawat di sini,” jawab Denver. Pria itu kemudian maju mendekati sang istri. Dia meninggalkan Dewi berdiri sendirian di tengah lobi. “Oh, aku pikir wanita sekali pakai yang kamu bayar,” ejek Carissa dengan tatapan sengit tertuju kepada Dewi. “Bukan masalah, sih. Aku ngerti, kok, kebutuhan pria. Apalagi aku sibuk, pasti kamu butuh pelampiasan,” katanya seakan memaklumi, tetapi intonasi itu sarat akan peringatan keras. Seketika degup jantung Dewi menjadi lebih cepat. Dadanya juga sakit mendengar kalimat hinaan itu. Namun … bukannya benar begitu? Jika dia langsung hamil setelah disentuh satu kali oleh Denver, bukankah perjanjian mereka akan berakhir pascamelahirkan? “Jaga mulutmu, Carissa!” tegas Denver, sebab mereka menjadi pusat perhatian beberapa pasien ser
“Aku siap,” ucap Dewi penuh keyakinan.Jakun Denver turun naik dan embusan napasnya mulai cepat. Dia mengurungkan niat meninggalkan Dewi. Pria itu kembali ke kamar. Sepasang iris cokelat karamelnya menikmati keranuman gadis itu.“Sikapmu ini sangat berani, Dewi,” desah pria itu.Dewi mengangkat satu tangan dan menyelipkan rambut di balik telinga. Gerakan ini tampak menggoda di mata pria.Baru melihat tubuh polos dengan kulit mulus saja membuat hasrat Denver terbakar. Jemari pria itu kembali menyentuh setiap jengkal kulit mulus yang tidak tertutup kain handuk. Sekarang, Denver membelai leher jenjang dan tulang selangka gadis itu. Membuat Dewi makin sulit menahan diri, hingga dia menggigit bibir bawahnya.Denver mendekatkan kepalanya dan berbisik, “Jangan menahannya, Dewi. Kamu harus rileks.”Bisikan itu, embusan napas hangat itu, serta aroma parfum maskulin yang menenangkan pikiran, saat ini sukses memorakporandakan benteng pertahanan Dewi. Gadis itu mengkerling mata dan mengangguk pela
“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan.Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti, sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver mampu mengalihkan perhatian Dewi. Gadis itu melenguh dan menggelinjang k
"A--pa? Bukan begitu Dokter," gugup Dewi. Dia menelan air liur dan mendadak tidak bisa berpikir. Apalagi saat ini posisi Denver terlalu dekat dengannya.Wajah Denver makin dekat, sampai aroma mint memenuhi rongga hidung Dewi. "Benarkah? Tapi reaksi tubuhmu berbeda," kata pria itu."Aku ... harus kerja pagi ini, Dokter. Tidak boleh bolos," jawab sang gadis dengan gaya kaku.Seketika Denver terkekeh kecil mendengar ucapan Dewi. Pria itu menjaga jarak dengan gadisnya, lalu mengalihkan tatapan pada piring kosong."Tidak perlu malu kalau mau lagi. Aku buatkan roti isi yang baru." Denver berdiri dan berjalan ke dapur. Dengan gesit pria itu menyiapkan bekal makanan sehat untuk Dewi. Setelahnya, Denver memberikan kotak bekal merah jambu berisi roti isi kepada Dewi. Pria itu merunduk dan berbisik, "Tenang saja, aku tidak segila itu menyentuhmu. Tujuan utamaku untuk punya anak, bukan berbagi hasrat setiap saat."Denver membelai puncak kepala Dewi yang mengangguk pelan.Kemudian, Dewi berpamit
Langkah Denver menghentak keras menyusuri koridor rumah. Napasnya memburu dan rahangnya mengeras. Tanpa ragu, dia mengempaskan pintu kamar Carissa hingga terbuka lebar.Carissa yang sedang duduk di depan meja rias, tersentak kaget. Lipstik di tangan wanita itu jatuh ke lantai."Denver?! Apa-apaan sih?" seru Carissa, berusaha bangkit.Akan tetapi, tatapan Denver yang membara membuat langkah Carissa tertahan. Mata cokelat karamel pria itu menatap tajam seolah ingin membakar habis wanita di depannya."Apa yang kamu lakukan pada Dewi?!" Suara Denver menggelegar, dan agak bergetar karena amarah yang ditahan.Carissa berusaha tersenyum, meski wajahnya kini memucat. "Aku … enggak tahu apa yang kamu bilang. Dewi? Aku enggak ketemu sama dia. Kamu tahu sendiri kemarin aku seharian di rumah Oma."Habis sudah kesabaran Denver. Dia menghantam meja rias di depannya, membuat botol parfum dan kosmetik berjatuhan. Bahkan beberapa pecah."Jangan bohong! Aku tahu kamu yang mendorong Dewi di tangga darur
Suara napas Dewi memburu di lorong dingin itu. Tangannya bergetar memegangi perut yang terasa nyeri hebat. Pandangan Ibu hamil itu kabur, dan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan dia mencoba merangkak, mencari pegangan di sekitar tangga."Tidak ... aku harus melindungi kamu," gumamnya pelan sambil menahan rasa sakit di perut.Sayang, langkahnya goyah. Cairan merah mulai mengalir di antara kedua kakinya. Sebelum tubuh mungil itu sempat menghantam lantai lebih keras, sepasang tangan langsung menangkapnya.“Astaga, Dewi!” pekik Valerie, lalu berteriak meminta tolong ke arah tangga.Tidak lama kemudian Mama Dwyne yang baru datang dari lantai atas segera berlari menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak melihat darah di lantai."Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" seru Mama Dwyne panik dan tanpa pikir panjang langsung membantu Valerie mengangkat tubuh Dewi.Mama Dwyne berkali-kali melirik ke arah Dewi yang setengah sadar di dalam mobil. Jantungnya berdegup kencang."Apa
Denver melangkah cepat menuju lobi apartemen, rahangnya mengeras, matanya menajam saat melihat seorang pria berdiri santai di depan pintu masuk. Kecurigaan langsung mengendap di benak Denver.Pria paruh baya dengan setelan rapi tampak sedang bertanya banyak hal pada resepsionis."Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Denver terdengar dingin dan penuh kewaspadaan.Pria itu menunduk hormat. "Maaf, Tuan. Saya hanya mengantarkan dokumen penting dari Nyonya Dwyne untuk rekan bisnisnya di sini."Denver mengepalkan tangan dan napasnya berat. Tentu saja dia tidak memercayai ucapan asisten mamanya."Sebaiknya kamu pergi sekarang! Sampaikan pada Mama jangan campuri urusanku," gertak pria itu dengan tatapan intimidasi.Akan tetapi, sebelum Denver sempat bertindak lebih jauh, ponselnya berdering keras. Itu panggilan dari rumah sakit."Dokter, pasien melahirkan dalam kondisi darurat. Anda harus segera ke sini!"Denver berdecak pelan dan menggertakkan giginya. Dengan terpaksa, dia melangkah mundur
Dewi sadar, dia seharusnya tidak perlu merasa terkhianati melihat foto tadi. Denver dan Carissa adalah suami istri yang sah. Sudah sepatutnya mereka berbagi peluh, menyalurkan hasrat berdua. Akan tetapi, tanpa bisa dicegah, rasa nyeri terasa di dada Dewi. Dia bahkan tidak sadar telah menghentikan taksi, sebelum kemudian sang sopir menegurnya karena kesal. “Mbak, jadi naik enggak?” Dewi langsung gelagapan. Pikirannya langsung teralihkan saat itu juga. “Oh, iya. Maaf,” balas Dewi sambil tersenyum tipis. Baru dia memasuki mobil dan bersiap menutup pintu, suara seseorang menghentikan gerakannya. “Dewi,” panggil sosok itu dengan intonasi rendah dan tegas. Detik itu, jantung Dewi semakin berpacu. Nyeri di hatinya makin terasa hingga dia tidak berani menatap mata teduh itu lama-lama. “Dokter Denver? Kenapa … ada di sini?” Dokter tampan itu melangkah makin dekat, berhenti tepat di samping Dewi. Tatapan Denver intens, seolah tengah mencari sesuatu di wajah gadis itu. Pria
Denver terduduk di sofa kamarnya. Dia mengepalkan tangan. Ingatannya tentang bagaimana dia tertidur karena lelah tidak seharusnya berakhir seperti ini. Mata cokelat karamel melirik ke arah Carissa yang masih tertidur dengan wajah tenang. Ketidakadilan situasi ini membuat dada pria itu sesak. Dengan cepat, dia berdiri dan berjalan ke sisi tempat tidur. "Bangun!" seru Denver dengan nada keras, membuat Carissa terlonjak kaget. Carissa membuka matanya perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya. "Selamat pagi, Baby," sapa wanita itu lembut, seolah-olah tidak ada yang salah. "Apa yang kamu campur di minumanku semalam, Carissa?" Suara Denver naik satu oktaf. "Apa yang sedang kamu rencanakan?" Carissa menghela napas panjang, lalu matanya menatap Denver dengan tatapan dingin. "Aku enggak melakukan apa-apa, Denver. Kamu sendiri yang capek dan tertidur. Jangan berlebihan." "Jangan berlebihan?!" teriak Denver, emosinya memuncak. "Kamu memanfaatkan aku! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang ka
Pagi ini langit tampak kelabu dan hujan gerimis mulai turun, membuat Dewi enggan beranjak dari ranjang. Dia meringkuk lebih dalam di bawah selimut, tetapi matanya terpaku pada jendela yang dihiasi tetesan air. Hati Ibu hamil itu bergejolak. Perasaan rindu, khawatir, dan bimbang bercampur aduk. “Apa kamu merindukan papamu?” bisiknya sambil membelai lembut perut yang masih rata. “Kita akan bertemu dengannya nanti di rumah sakit, ya.” Setelah menarik napas panjang, Dewi memutuskan untuk bangkit. Pada pukul enam pagi, dia sudah bersiap-siap untuk bekerja. Tidak ada Denver atau Pak Agus yang menjemputnya pagi ini. Dewi memesan taksi online seperti biasa. Saat menunggu di lobi apartemen, seorang resepsionis menyapanya dan menyerahkan sebuah amplop cokelat. Hanya ada namanya sebagai penerima. “Ini untuk Anda, Nona Dewi. Baru saja dikirim.” Dewi menerima amplop itu dengan rasa penasaran. Begitu membukanya, sepasang netra sipit langsung tertumbuk pada selembar surat perjanjian. Itu adalah
Pukul lima sore, Dewi berdiri di depan pintu rumah ayahnya. Udara dingin menyapa, tetapi pikirannya lebih dingin lagi. Dalam perutnya, terdapat gerakan samar seperti kedutan. Ini mengingatkan Dewi akan kenyataan yang tidak bisa dia abaikan. Dalam perjalanan ke rumah Danang, dia sempat mengirim pesan kepada Denver. Namun, tidak ada balasan,.dia yakin Dokter tampan itu sedang bersama istrinya. Pintu rumah terbuka, menampilkan wajah Danang yang mulai dipenuhi kerutan usia. Mata pria paruh baya itu menyipit, menelisik penampilan putrinya dengan perhatian seorang Ayah. “Kamu datang lagi, Nak?” tanya Danang sambil menarik pelan tangan Dewi ke dalam. “Ayo masuk. Ayah masak ayam goreng d. sambal kesukaanmu. Pasti kamu lapar, ya?” Dewi tersenyum kecil, senyuman yang terasa bagai sebuah tameng. “Iya, Ayah. Dewi lapar banget.” Tangan Ibu hamil itu refleks mengusap perut, mencoba menyalurkan kasih sayang yang tidak berani dia ungkapkan. Keduanya berjalan ke ruang makan. Aroma rempah
Dewi berdiri terpaku di depan pintu ruang praktik Denver. Tangannya yang menggenggam gagang pintu gemetar, berusaha menahan diri agar tidak membuka pintu itu lagi. Dari dalam, suara tawa renyah Carissa terdengar jelas, mengiris perasaan Dewi seperti sembilu.“Ada perlu apa, Carissa?” Suara Denver terdengar tegas, membuat dada Dewi sesak.“Mengunjungi suami sendiri dan menjaganya dari pelakor, apa itu salah?” Carissa sengaja mengeraskan suaranya, memastikan setiap kata yang dia ucapkan dapat menembus telinga Dewi di balik pintu.Dewi meremas gagang pintu lebih erat, buku jarinyanya memutih. Dia menundukkan kepala, air mata menggenang di pelupuk matanya. Namun, kakinya seakan terpaku di lantai, tak mampu melangkah pergi.“Dewi bukan pelakor! Jangan mengganggunya lagi, Carissa! Dia sedang hamil anakku.” Suara Denver meluncur penuh peringatan. “Apalagi sampai melibatkan orang lain!”Dewi tersentak mendengar ucapan itu. ‘Melibatkan orang lain? Apa maksudnya?’ pikirnya bingung. Jantungnya b
Bisikan Denver menghipnotis Dewi, membuatnya patuh tanpa ragu. Dengan tangan sedikit gemetar, dia melepas celana pendek Denver dan menaruhnya di ujung sofa.Pandangannya jatuh pada bukti gairah pria itu yang begitu nyata. Saliva tertelan perlahan, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.“Bukankah hubungan intim disarankan pada usia kehamilan trimester kedua?” Dewi bertanya dengan nada ragu.Denver tersenyum lembut dan memperbaiki posisi duduknya.“Benar, terutama jika Ibu memiliki keluhan atau gangguan. Tapi, Dewi ....” Jemari pria itu mulai menari di sepanjang kulit Dewi yang masih tertutupi gaun. “Kamu tidak mengalami keluhan apa pun, ‘kan?”Dewi mengangguk pelan, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ketika bibir Denver mengecup perutnya, dia menggeliat kecil. Gelak tawa menggantung di udara.Akan tetapi, saat tubuhnya bersentuhan langsung dengan milik Denver, dia membelalak.“Kamu sengaja, ya?” goda Denver dengan intonasi agak manja.Dewi mendesah pelan. “Bukan aku yang senga