Melalui cara pandang Denver, Dewi mengetahui sebuah jawaban yang memecahkan teka-teki dalam pikirannya. Dia menurunkan pandangan dan perasaan ragu itu datang lagi memenuhi rongga dada. Bagaimana mungkin dia melewatkan satu hal?
Selama ini Dewi melihat banyak perempuan datang untuk melakukan program bayi tabung, diantar oleh seorang pria yang memiliki ciri fisik persis seperti sosok tambun dan plontos malam itu, ternyata ….
“Kamu adalah perempuan yang aku cari, Dewi,” kata Denver berusaha melenyapkan keraguan sang gadis. Pria itu berkata lagi, “Kelak anak itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Aku akan mengurusnya dengan baik.”
Bibir tipis Dewi terkatup rapat, lidahnya bergitu kelu dan pita suaranya seolah tak bersuara. Dia tahu status Denver sebagai direktur sudah tentu mampu memberikan kehidupan di atas rata-rata pada anaknya. Hanya saja, dia tidak menyangka pria yang menyewa rahim dan membeli sel telurnya adalah sosok yang selama ini dikagumi oleh semua orang.
Dia menggeleng lemah, lalu mengangkat pandangan. Seketika otaknya menjadi paham mengapa Denver memerlukan seorang perantara untuk mencari dan menemukan kandidat yang tepat. Tentu saja karena pria itu tidak mau menimbulkan skandal.
“Tapi kenapa Dokter tidak mengatakan sedari awal?” tuntut bibir tipis gadis itu meminta jawaban. Saking rahasianya, Bima saja tidak tahu siapa sebenarnya pria yang menyewa rahim.
Denver tersenyum tipis. “Apa kamu pikir tindakanku ini dibenarkan?”
Dewi menggeleng, sama halnya dengan Denver. Pria itu menambahkan, “Aku memiliki alasan kuat melakukan hal ini. Kamu tidak perlu cemas, kesepakatan kita berakhir setelah satu tahun. Satu hal lagi, rahasiakan hal ini dari siapa pun.”
Bahkan Dewi dibuat tercengang ketika Denver menarik pelan tangannya, lalu meletakkan selembar cek senilai 200 juta. Seketika tatapan netra hitam terkunci pada nominal yang tertulis di sana. Tangan gadis itu menjadi gemetaran.
Dewi membatin, ‘Setidaknya uang ini bisa kugunakan untuk menyelamatkan Ayah.’
Tangan gadis itu langsung bergerak dengan cepat mengamankan cek ke dalam saku. Meskipun diliputi keengganan dan kekecewaan, Dewi membuang jauh perasaan itu. Dengan tatapan mengiba, dia berujar, “Sebelumnya … terima kasih, Dokter. Tapi … Apa aku bisa meminta lebih? Karena uang ini masih kurang untuk biaya pengobatan ayah.”
“Tentu, sisanya kuberikan setelah kamu mengandung anakku,” ujar Denver.
Dewi tahu jalan ini salah, tetapi dia bisa apa selain benar-benar menjual dirinya. Entahlah ini sebuah keberuntungan atau petaka, karena Denver langsung menyetujui tanpa mendebat. Kemudian pria itu berjalan menuju pintu, sebelum keluar dia memutar badan dan menatap lekat pada Dewi. “Mulai hari ini kamu pindah ke apartemen yang aku sediakan, sebentar lagi Rudi datang menjemput. Bila memerlukan sesuatu jangan sungkan bilang padanya.”
Setelah mengatakan itu, Denver menghilang di balik pintu. Sedangkan Dewi menjadi gelisah karena mulai malam ini akan menjalani kewajibannya. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak, dia harus tidur dengan atasannya.
Bertepatan dengan beberapa jam setelah tubuhnya membaik, Dewi kedatangan tamu ke kamar rawat. Sosok itu adalah orang kepercayaan Denver—Rudi—pria bertubuh tambun dan plontos yang ditemui Dewi bersama Bima.
“Mari Nona. Kita pergi lewat pintu belakang,” kata Rudi yang diangguki Dewi.
Saat berjalan menyusuri koridor, sepasang iris hitam pekat gadis itu menangkap pria tampan berjas putih sedang melangkah bersisian bersama seorang wanita cantik dan seksi. Sejenak, Dewi menghentikan ayunan kaki, dan memperhatikan keduanya.
Dia yakin wanita itu adalah istri sah Dokter Denver. Sekilas, Dewi menilai tidak ada yang salah dengan sosok cantik di sana. Bahkan keduanya tampak serasi dan rukun. Dia tidak mengerti mengapa Denver membeli sel telurnya dan merahasiakan hal ini dari semua orang termasuk istri? Ah sudahlah, Dewi mengempas pikiran itu, baginya sekarang lebih penting adalah uang untuk menolong keluarganya.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Dewi dibuat gugup karena pria yang duduk di depannya selalu melirik ke kursi belakang sambil berbincang bersama Denver melalui panggilan suara, hanya untuk memastikan keberadaannya.
Tiba di unit apartemen, Dewi disambut senyum hangat oleh dua orang wanita paruh baya. Seketika dia teringat pada mendiang ibunya, dahulu wanita yang telah melahirkannya berprofesi sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga Prawara. Dikarenakan sakit-sakitan, sang ibu mengundurkan diri dan berselang beberapa bulan kemudian meninggal dunia. Sekarang, dia tidak mau lagi kehilangan orang tercinta. Dewi bertekad akan melakukan apa pun demi keluarga tercinta, terutama ayahnya.
Dia diantar masuk ke salah satu kamar di apartemen ini. Dewi tercengang karena di dalamnya telah tersedia semua peralatan dan perlengkapan wanita. Dia pun berpikir, dirinya atau bukan perempuan yang dicari Denver, percayalah dokter tampan itu sengaja mempersiapkan semuanya dengan matang dari jauh hari.
Satu hal yang Dewi tahu, Denver benar-benar menginginkan seorang anak.
Sampai matahari semakin bergerak ke arah barat, selama itu juga Dewi dilayani dengan baik oleh dua pelayan di apartemen. Bahkan keduanya juga menawarkan diri membantu gadis itu membersihkan tubuh. Tentu saja Dewi menolak karena raganya merupakan hal pribadi.
Pukul tujuh malam, setelah makan Dewi tersentak ketika salah satu asisten rumah tangga berkata, “15 menit lagi Pak Denver sampai, beliau dalam perjalanan ke sini.”
Pascamendengar informasi itu, Dewi gelisah. Dia tidak bisa duduk tenang atau berdiri santai menikmati pemandangan kelap-kelip lampu dari dinding kaca. Saking paniknya, gadis itu menjadi cegukan.
Bukankah itu pertanda, malam ini dia harus tidur bersama Denver? Ah kepala Dewi berdenyut nyeri ketika memikirkannya.
Ketegangan kian kentara ketika pintu unit apartemen terbuka dan suara hentakan sepatu derby menggema di ruang. Dewi menoleh lalu matanya terpaku pada seorang pria tampan bertubuh atletis berjalan ke arahnya. Tampak sekali Denver telah siap, karena beberapa kancing kemeja putih terbuka dan bagian lengan panjang tergulung sebatas siku.
“S-selamat ma-malam, Dokter,” sapa Dewi. Dia berusaha meredakan cegukannya, tetapi sulit.
Denver mengangguk, dengan suara serak ciri khasnya pria itu bertanya, “Apa kamu sudah siap?”
“Si--ap?” gugup bibir tipis gadis itu. Pikiran Dewi melayang ke satu hal, di mana dia harus menjalani kewajibannya.Meskipun bimbang, dia mengangguk sebagai jawaban. Dewi membuang jauh rasa takut yang menggerogoti jiwa. Hanya saja, suasana tegang tidak menghilang, sehingga dia bergeming dengan tatapan terkunci pada Denver.Pria itu mendekat sambil melepas sisa kancing yang tertaut sempurna pada kemeja putihnya. Dewi merinding dibuatnya, lalu menunduk dalam. Ini memang bukan pertama kali dia melihat lekuk tubuh seorang pria, tetapi sekarang berbeda. Pria di hadapannya bukanlah pasien berlumuran darah atau kejang-kejang kesakitan, melainkan orang sehat yang akan menjadi ayah biologis dari anaknya kelak.Tanpa Dewi tahu, Denver mengulum senyum melihat kegugupan sang gadis. Kini, pria bertubuh atletis dan jangkung sudah ada di depan tubuh mungil gadis itu. Satu tangan Denver terangkat dan mendarat tepat di bahu Dewi.“Memangnya tidak pegal berdiri terus seperti ini? Duduklah,” kata pria i
“Te--ntu saja aku tahu,” gugup Bima, tetapi pria itu masih berani menantang. Dia mengangkat dagu dan bertolak pinggang di depan Denver. Sebelah sudut bibir Denver berkedut dan mata cokelat karamelnya mengintimidasi pria itu. Dia melepaskan Dewi dari pelukan, lalu melindungi gadis bertubuh mungil itu di balik punggung lebarnya. “Pergilah!” usir Denver. Sedangkan Dewi menegang di balik punggung Denver. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan gemetaran. Bukan karena dia takut bertemu dengan Bima, melainkan mendengar jawaban sang suami. Batin gadis itu bertanya, ‘Jadi … Mas Bima sudah tahu kalau Dokter Denver adalah ….’ Ya, cepat atau lambat Bima pasti mengetahuinya, tetapi kenapa secepat ini? “Perempuan kampung ini istriku, sebaiknya Dokter saja yang pergi bukan aku!” sentak Bima membuyarkan lamunan Dewi. Sekarang tatapan Bima tertuju kepada Dewi yang berlindung di balik punggung lebar Dokter Denver. Melalui gerakan bola mata, pria itu memerintah Dewi memihak kepadanya. “Jangan lup
“Siapa dia? Kenapa ngikutin kamu, Sayang?” tanya wanita itu. Denver melirik sejenak ke belakang. Tentunya tatapan serta ekspresi pria itu berubah dingin, membuat Dewi merinding di sekujur tubuhnya. Dokter Denver berbeda! “Dia perawat di sini,” jawab Denver. Pria itu kemudian maju mendekati sang istri. Dia meninggalkan Dewi berdiri sendirian di tengah lobi. “Oh, aku pikir wanita sekali pakai yang kamu bayar,” ejek Carissa dengan tatapan sengit tertuju kepada Dewi. “Bukan masalah, sih. Aku ngerti, kok, kebutuhan pria. Apalagi aku sibuk, pasti kamu butuh pelampiasan,” katanya seakan memaklumi, tetapi intonasi itu sarat akan peringatan keras. Seketika degup jantung Dewi menjadi lebih cepat. Dadanya juga sakit mendengar kalimat hinaan itu. Namun … bukannya benar begitu? Jika dia langsung hamil setelah disentuh satu kali oleh Denver, bukankah perjanjian mereka akan berakhir pascamelahirkan? “Jaga mulutmu, Carissa!” tegas Denver, sebab mereka menjadi pusat perhatian beberapa pasien ser
“Aku siap,” ucap Dewi penuh keyakinan.Jakun Denver turun naik dan embusan napasnya mulai cepat. Dia mengurungkan niat meninggalkan Dewi. Pria itu kembali ke kamar. Sepasang iris cokelat karamelnya menikmati keranuman gadis itu.“Sikapmu ini sangat berani, Dewi,” desah pria itu.Dewi mengangkat satu tangan dan menyelipkan rambut di balik telinga. Gerakan ini tampak menggoda di mata pria.Baru melihat tubuh polos dengan kulit mulus saja membuat hasrat Denver terbakar. Jemari pria itu kembali menyentuh setiap jengkal kulit mulus yang tidak tertutup kain handuk. Sekarang, Denver membelai leher jenjang dan tulang selangka gadis itu. Membuat Dewi makin sulit menahan diri, hingga dia menggigit bibir bawahnya.Denver mendekatkan kepalanya dan berbisik, “Jangan menahannya, Dewi. Kamu harus rileks.”Bisikan itu, embusan napas hangat itu, serta aroma parfum maskulin yang menenangkan pikiran, saat ini sukses memorakporandakan benteng pertahanan Dewi. Gadis itu mengkerling mata dan mengangguk pela
“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan.Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti, sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver mampu mengalihkan perhatian Dewi. Gadis itu melenguh dan menggelinjang k
"A--pa? Bukan begitu Dokter," gugup Dewi. Dia menelan air liur dan mendadak tidak bisa berpikir. Apalagi saat ini posisi Denver terlalu dekat dengannya.Wajah Denver makin dekat, sampai aroma mint memenuhi rongga hidung Dewi. "Benarkah? Tapi reaksi tubuhmu berbeda," kata pria itu."Aku ... harus kerja pagi ini, Dokter. Tidak boleh bolos," jawab sang gadis dengan gaya kaku.Seketika Denver terkekeh kecil mendengar ucapan Dewi. Pria itu menjaga jarak dengan gadisnya, lalu mengalihkan tatapan pada piring kosong."Tidak perlu malu kalau mau lagi. Aku buatkan roti isi yang baru." Denver berdiri dan berjalan ke dapur. Dengan gesit pria itu menyiapkan bekal makanan sehat untuk Dewi. Setelahnya, Denver memberikan kotak bekal merah jambu berisi roti isi kepada Dewi. Pria itu merunduk dan berbisik, "Tenang saja, aku tidak segila itu menyentuhmu. Tujuan utamaku untuk punya anak, bukan berbagi hasrat setiap saat."Denver membelai puncak kepala Dewi yang mengangguk pelan.Kemudian, Dewi berpamit
‘Ini di mana?!’ jerit Dewi dalam hati. Mulut gadis itu masih tertutup lakban hitam.Kendaraan Bima memasuki basement gedung tingkat tiga. Pria itu mengeluarkan Dewi dan memaksanya turun.Dewi menggeleng, dan menahan tubuhnya dengan menekan kedua kaki ke permukaan. Dia benar-benar sulit melepaskan diri dari Bima. Tenaganya kalah jauh dari sang suami. Gadis itu menangis dalam diam.“Ini dia penjamin utangku.” Bima mendorong tubuh Dewi ke hadapan dua orang pria berbadan besar dan bertato.“Dia istriku, mulai hari ini dia yang membayar semua utangku sampai lunas,” ucap Bima penuh penekanan pada kata hutang.Bima mengacak-acak isi tas Dewi, pria itu mengambil telepon genggam sang istri dan memberikannya kepada dua pria di depan mereka. Dia juga mengambil card holder wallet milik gadis itu.“Ambilah, anggap itu sebagai keseriusanku membayar utang,” kata Bima dengan nada angkuh dan mengangkat dagu.Dua pria berbadan besar mengambil ponsel, lalu membentak, “Ini HP murah!”“Kalian tenang saja,
Dua jam sebelumnya.[Dokter Denver, aku pulang duluan. Terima kasih.]Denver membaca kata-kata tertulis di sticky note hijau yang ditempel di atas meja kerja. Pria itu melirik jam, memang sudah waktunya para perawat shift satu pulang. Dia menghubungi Dewi, tetapi tidak aktif.Pria itu merasa ada yang janggal. Denver tidak diam saja, lalu menelepon pelayan di apartemen.“Apa dia sudah pulang?”Pelayan menyahut, “Belum, Pak.”Denver langsung memutus panggilan suara. Lagi, dia melihat jam, seharusnya Dewi sudah sampai di apartemen. Pria itu beranjak menuju ruang kendali di lantai satu. Denver memerintah satpam memutar rekaman CCTV di luar gedung, terutama yang mengarah ke jalan.Dapat!Manik cokelat karamel Denver menangkap tidak ada kejanggalan apa pun. Namun, beberapa detik kemudian satu unit hatchback merah menepi dan tubuh Dewi dipaksa masuk ke dalam jok tengah. Denver menggeram seketika. Dia mengenali plat mobil itu.Pria itu bergegas meninggalkan ruang kendali, sambil menghubungi a
Setibanya di Kota Malang, Denver langsung menggunakan taksi menuju kediaman Danis. Sepanjang jalan, jari-jarinya pria itu terus mengetuk layar ponsel.Dia mencoba menghubungi Dewi dan Astuti. Namun, hasilnya tetap sama—panggilan tak terjawab."Sial!" gumam Denver, rahangnya mengeras. “Ke mana mereka semua?”Pikiran pria itu seketika dipenuhi bayangan buruk. Bagaimana jika Dewi sudah dipaksa menikah? Bagaimana jika Darius sedang menggenggam tangannya di altar? Bagaimana jika Dirgantra menangis tanpa ada yang bisa menenangkannya?Bahkan parahnya lagi, jika Dewi benar-benar dibawa menjauh, entah ke mana. Bukankah itu sulit bagi Denver untuk merebutnya lagi?Jantung Denver berdetak lebih cepat dari biasanya dan denyut nadinya terasa hingga di pelipis. Dia tidak bisa tinggal diam!“Permisi, Pak. Sudah sampai tujuan,” ujar sopir taksi dengan suara pelan. “Pak?”Seketika Denver tersentak dari lamunan mengerikan itu. Dia mengembuskan napas kasar, untuk menepis kekhawatiran yang terus menghantu
"Pak, Anda yakin mau ke Malang hari ini?" tanya Ruslan yang melangkah cepat mengikuti ritme Denver."Siapkan saja semuanya, Ruslan! Aku tidak bisa membiarkan Darius menikahi Dewi! Apalagi Pak Danis pasti memaksa Dewi," geram Denver, matanya menyala penuh amarah."Tapi … bagaimana dengan Nyonya Dwyne, Pak? Kondisinya tidak memungkinkan ditinggal," tukas Ruslan, suaranya terdengar ragu.Langkah Denver terhenti. Pikiran Dokter tampan itu berkecamuk. Jika saja tubuhnya bisa terbagi dua, dia pasti akan melakukan itu. Dwyne, Dewi, dan Dirgantara adalah tanggung jawabnya.Dia tidak ingin kehilangan mereka!"Tangan Anda, Pak," tunjuk Ruslan.Denver menatap pergelangan tangannya. Darah segar menetes dari luka bekas infus yang terbuka, tetapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya mendengkus ketika melihat Darius sedang berjalan bersama pasien lain."Kamu benar, Ruslan. Untuk saat ini, Mama tidak bisa ditinggal. Pastikan Darius tetap di sini! Katakan pada direktur, jangan memberinya izin!"
Dewi mengepalkan tangan, suaranya tercekat. "Pak Danis …"Di belakang pria itu, dua orang pengurus rumah tangga berdiri, salah satunya membawa nampan berisi makanan."Papa mau makan siang bareng kamu, Wi," ujar Danis, suaranya lembut.Astuti memberi isyarat agar Dewi menurut. Dengan langkah ragu, Dewi turun dari ranjang dan duduk bersama Danis di meja bundar. Beragam hidangan khas Malang tersaji di hadapannya.Danis menyendokkan lauk ke piring kosong Dewi dan tersenyum hangat. "Makan yang banyak, Wi. Seorang ibu harus kuat. Setelah kamu terbiasa di sini, Papa akan mengenalkan kamu ke semua orang. Termasuk adikmu yang sekarang kuliah di luar negeri."Senyuman hangat Danis seharusnya membuat tenang. Seharusnya, pelukan keluarga yang telah lama hilang ini terasa nyaman. Tapi kenapa justru ada ketakutan yang menggelayut di dadanya? Kenapa setiap sendok makanan yang diberikan Danis terasa seperti belenggu yang makin mengikatnya?"Ayo, makan," Danis menepuk punggung Dewi dengan lembut.Setel
"Ini semua demi kebaikanmu, Dewi," tutur Danis yang duduk di depan Dewi. Pria paruh baya itu berusaha meraih tangan putrinya, tetapi Dewi menariknya. Ada keengganan dalam diri, sebuah dorongan kuat untuk menolak sentuhan itu. Dewi menggeleng, entah mengapa dia merasa pertemuan ini tidak seharusnya terjadi. Dalam hatinya, dia berharap biarlah segalanya tetap seperti dulu—biarlah dia tetap menjadi putri Danang dan Tari, bukan seperti ini. "Pak Danis, tolong … a–aku mau pulang," lirihnya sambil mendekap erat tubuh Dirga yang terbangun beberapa saat lalu. Danis berdeham. "Pulang? Rumahmu di Malang, bukan di Jakarta," ucapnya tenang, "pesawat lepas landas. Tidak ada jalan untuk turun." Tangan Dewi mencengkeram lengan kursi dengan erat, kukunya hampir menekan kulit sendiri. Detak jantung gadis itu berdetak begitu cepat, sedangkan pikirannya kacau. Dia ingin berteriak, meminta seseorang menghentikan pesawat ini. Namun, dia hanya bisa duduk di sana, menatap kosong ke luar jendela, melihat
"Apa peringatanku kurang, Denver?" Suara tegas itu kembali memenuhi ruangan.Dewi yang bersembunyi di balik punggung kekar Denver mendongak menatap kepala Dokter tampan itu dari belakang. Mata sipitnya makin menyipit, menciptakan garis tanya di sana. Ada ketegangan yang memenuhi udara, membuat gadis itu menggigit bibir dengan gelisah.Sungguh, dia tidak tahu ada kesepakatan apa antara Danis dan Denver.Sebelum sempat bertanya, suara Oma Nayla menggema di ruangan ini. Wanita senja itu melangkah ke depan dengan tatapan menyelidik."Sebenarnya ada apa ini?"Denver menoleh pada sang oma, manik karamelnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Dewi berusaha mencari makna di balik sorot mata itu, tetapi rasanya terlalu rumit untuk diterjemahkan."Tolong tetap di sini bersama Dewi dan Mama," kata Denver pada sang oma dengan suara pelan, tetapi penuh ketegasan.Tatapan Denver bergeser pada Dewi-nya, hingga sorot mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang ingin gadis itu tanyakan, tetapi Denver su
"Pak Danis," gumam Dewi. Pikirannya langsung tertuju pada pria yang menyatakan diri sebagai ayah kandungnya. Benar, seperti kata Darius, tepat hari ini Danis boleh pulang. Mungkin pria itu ingin bertemu dengannya.Dia meraih sweater merah muda dan tas selempang hitamnya, lalu mengikat rambut dengan asal dan menghubungi ojek online.Akann tetapi, baru saja Dewi keluar dari kamar, pandangannya bertemu dengan Denver yang sedang berbincang bersama Dirga. Dia pun menjadi kaku.Denver memang tidak bersuara, tetapi tatapan tajamnya menyiratkan sebuah pertanyaan."Umm … a—ku ada perlu ke rumah sakit, sebentar. Aku akan segera kembali," gugup Dewi sambil meremas tali tasnya.Lagi, Denver tidak menanggapi. Bahkan pria itu melenggang pergi menjauhi Dewi. Membuat gadis itu menelan rasa kecewa. Dia bukan berharap diantar, tetapi cukup mendapat sahutan saja sudah melegakan hati.Pria itu justru menuju ke ruangan lain. Seolah enggan melihat wajah Dewi."Tidak apa-apa, Dewi. Lagi pula ini memang sala
Tangan Denver yang terkepal tepat di depan dadanya menunjukkan garis-garis otot dan pembuluh darah, menandakan betapa tegangnya dia. Napas pria itu berat, nyaris tersendat, dan dia harus menyeka matanya yang hampir basah.Setelahnya, Denver turun dari ranjang pasien, lalu berdiri di samping ranjang sang mama, menatap penuh sayang sembari membelai bahunya.“Apa Dokter Mario sudah selesai operasi? Katakan padanya mamaku butuh pertolongan secepatnya!” tegas Denver dengan suara tegang.Seorang perawat bergegas mencari informasi.Bilik gawat darurat mulai lengang. Perawat dan beberapa dokter yang sempat memberikan pertolongan pertama kembali ke pos masing-masing. Tersisa Denver dan dokter umum.Beberapa saat kemudian, seorang perawat datang memberitahu, “Dokter Mario segera ke sini, Dok.”Denver tidak menyahut, hanya menatap layar monitor yang bergerak, menunjukkan angka-angka penunjuk kehidupan.Setelahnya, Dwyne menjalani pemeriksaan oleh tim dokter spesialis. Wanita itu didiagnosis menga
“Mama ini bukan anak kecil yang bisa diajak bercanda, Denver!” tegas Dwyne, tetapi gestur tubuhnya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Wanita itu gemetar membuat tangannya mengepal erat seolah berusaha menahan sesuatu.“Menurut Mama, apa aku sedang bercanda? Untuk apa?” sahut Denver sembari mendekati mereka yang berdiri terpaku di tempat.Sejenak pria itu menatap Dewi dalam, lantas memejamkan mata. Dia teringat percakapannya dengan Danis beberapa saat lalu.Tadi, selesai praktik, Denver sengaja menemui Danis secara langsung. Dia merasa harus mengetahui kebenaran ini dari berbagai sumber. Danis mengakuinya, bahkan memberikan Denver selembar foto usang.Dalam foto itu, seorang wanita tengah mengandung, dan wajahnya mirip sekali dengan Dewi. Namun, pria tampan di sampingnya bukanlah Denver—melainkan Danis sewaktu muda.Ya, dia tahu itu, sebab beberapa kali Dwyne dan mendiang ayahnya membawa Denver kecil berkunjung ke rumah pria itu. Masih jelas dalam ingatannya foto Danis muda.Termas
Dewi tergugu sambil menunduk dan meremas selimutnya. Dia benar-benar bingung sekarang, karena Denver mengetahuinya jauh lebih cepat dari dugaan. Di saat dia belum siap menerima kenyataan, dia harus dihadapkan pada desakan Denver.Sedangkan Denver melihat keterdiaman Dewi dengan sorot mata rumit dan satu sudut bibirnya berkedut samar. Rahangnya mengeras dan jemarinya mengepal di sisi tubuh.“Aku pikir sudah tidak ada lagi rahasia di antara kita,” sesal Denver, suaranya lebih dingin dari biasanya.Dengan tangan ragu-ragu, Dewi meraih jemari Denver untuk menjelaskannya. Namun, pria itu menghindar. Seakan ada jarak yang kini terbentuk di antara mereka.“Aku … karena ini terlalu mendadak,” ujarnya berharap Denver mengerti.Alih-alih menerima jawaban, Denver justru berdiri dan berbalik tanpa menatapnya lagi. Sesaat sebelum pergi, dia mengecup kening Dirga, lalu tanpa kata-kata lebih lanjut, dia meninggalkan Dewi dalam ruangan yang kini terasa makin dingin dan kosong.Dewi menatap punggung ke