“Tolong, Mas. Aku mohon sekali ini saja, bantu Ayah,” lirih seorang wanita sambil mengatupkan kedua tangan dan bersujud di depan pria bertubuh kurus.
Sudah setengah jam perempuan cantik bermata sipit itu mengemis di hadapan sang suami. Namun, pria bertubuh tinggi di hadapannya tidak luluh walau secuil kapas. “Heh, Dewi, aku bukan lembaga sosial yang memberi uang Cuma-Cuma? Bodoh amat ayahmu itu mati dan kesakitan, aku tidak peduli!” sentak pria itu sambil mengempas kaki sehingga tubuh mungil di bawahnya tersungkur ke atas lantai. Netra hitam pekat Dewi bergetar dan kedua tangan terkepal kuat di samping tubuh, setelah mendengar kalimat kejam dari bibir suami. Perlahan dia mendongak, menatap dalam wajah pria itu. “Mas Bima … dokter bilang ayahku harus dioperasi segera, kalau tidak …,” kata Dewi dengan suara nyaris tenggelam. Dua jam lalu Dewi menerima kabar dari tetangga di kampung, bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit karena mendadak sesak napas. Saat itu, dia masih bisa berpikir tenang dan merencanakan menjenguk Danang—ayahnya. Hanya saja, sejam berlalu dia mendapat informasi dari pihak rumah sakit, ayahnya mengalami komplikasi akibat penyakit diabetes yang telah lama diderita. Sehingga jantung serta ginjal bermasalah. Meskipun bekerja sebagai perawat di rumah sakit swasta kota besar, dia tidak bisa meminjam uang ke koperasi pegawai lantaran statusnya pegawai baru kurang dari enam bulan, gajinya pun tidak memadai. Dewi yang kebingungan, pada akhirnya mengemis pertolongan pada sang suami yang dia tahu memiliki cukup uang. Setidaknya, nanti dia akan mencicil dari gajinya. Ya, meskipun menjadi istri seorang manajer, tetapi sudah tiga bulan ini Dewi kesulitan ekonomi untuk memenuhi kehidupan keluarganya di kampung. Dahulu, sebelum ayah mertua meninggal selalu menyokong kebutuhan finansial keluarga Dewi. Hal itu karena mendiang ayah mertua memiliki balas budi pada Danang yang telah menyelamatkan Bima dari derasnya arus sungai. Maka dari itu, Dewi dan Bima dijodohkan dengan harapan dapat membina rumah tangga bahagia, tetapi … tak segampang itu. Sebagai pria terhormat dan terpelajar, tentu saja Bima malu memperistri anak seorang tukang kebun. Dewi baru mengetahui sifat asli Bima setelah ayah mertua meninggal dunia. Tingkah sang suami sangat kasar, ringan tangan dan hobi mabuk-mabukan. Bahkan kekerasan verbal telah menjadi makanan gadis itu sehari-hari. “Kamu ‘kan bekerja sebagai perawat, sembuhkan saja sendiri ayahmu yang matre itu,” ejek Bima diikuti ledakan tawa menggema dalam ruangan tamu. “Cukup, Mas! Kamu boleh menghina aku, tapi tolong jangan ucapkan kata-kata kotor untuk ayahku!” sahut Dewi sambil menatap pedih kepada suaminya. Bima merunduk, lantas menjepit rahang mungil Dewi. Pria itu menatap bengis sepasang mata sipit yang membengkak dan kemerahan. Makin lama Dewi merasakan ujung kuku jari tangan Bima menusuk kulit pipinya. Rintih kesakitan yang keluar dari sela bibir tipis tidak digubris sedikit pun oleh pria itu. Dia berusaha melepaskan cengkeraman, tetapi sulit karena tenaganya kalah jauh dari sang suami. “Kenapa? Sakit, ya?” desis Bima yang diangguki Dewi. Kemudian pria itu mengempas kasar rahang mungil. Bima mengelap telapak tangan, menghilangkan kotoran karena keringat Dewi menempel pada kulitnya. Setelah itu, dia merapikan dasi dan kemeja putih sembari membalik badan, lalu berjalan menuju pintu utama. Dari tempatnya terduduk, netra sipit memperhatikan langkah sepasang kaki tertutup pantofel hitam. Dewi masih berharap Bima memberi pertolongan untuk sekali ini saja. Jujur, dia tidak sanggup jika kehilangan ayahnya, karena pria paruh baya itu adalah tumpuan hidupnya. Namun, kenyataan berbanding terbalik, sang suami justru berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman. Lima menit berlalu, Dewi tidak mendengar deru mesin mobil. Hanya saja, dia tidak mau berandai-andai lagi dan memilih menyeret kaki ke kamarnya yang berada di belakang rumah besar ini. Tiba-tiba saja, hentakkan sepatu memenuhi indera pendengaran Dewi, makin lama tambah dekat. Namun, dia urung menoleh, lalu mempercepat laju kakinya melewati lorong sempit di belakang dapur. “Berhenti, Dewi!” titah Bima, “berputarlah!” Perlahan Dewi memutar tubuhnya dan menatap wajah sangar pria itu. Dia memperhatikan dengan heran pada Bima karena memindai lekuk tubuhnya, mulai dari buah dada, pinggul sampai sepasang kaki terbungkus kaos kaki. “Lumayan,” kata pria itu manggut-manggut, lantas mengitari badan Dewi. Tanpa banyak kata, Bima melenggang meninggalkan Dewi bersama keputusasaan yang membelenggu gadis itu. Selepas suaminya pergi, Dewi menelepon beberapa teman untuk mencari pinjaman. Sayang, tak satu pun dari mereka bersedia memberikan pinjaman walau sedikit. Semua langsung menutup sambungan telepon. Sekarang Dewi dirundung pilu, dia hanya bisa melambungkan doa setinggi langit agar sebuah keajaiban datang untuk menyelamatkan nyawa Ayah tercinta. Pukul tiga siang Dewi masuk kerja shift dua. Selama menangani pasien di bangsal IGD, dia kurang fokus karena rumah sakit tempat ayahnya dirawat menanyakan kesanggupan keluarga pasien membayar biaya operasi. Alhasil Dewi meminta batas waktu entah sampai kapan, karena dirinya hanya berjanji saja. Waktu berjalan cepat, pukul sepuluh malam Dewi mendapat telepon dari Bima bahwa pria itu menunggu di koridor dekat toilet perawat. Seketika iris hitam berbinar dan relung hatinya menghangat, dia pikir panggilan suara ini adalah jawaban atas doanya, Bima bersedia memberikan pinjaman. “Mas?” panggil Dewi melihat Bima sedang berbicara bersama seorang pria berbadan tambun dengan kepala botak. Kompak dua pasang mata itu menoleh dan memperhatikan setiap lekuk tubuh Dewi, membuat gadis berperawakan mungil itu merinding dan dihinggapi sinyal waspada. Bima langsung menarik paksa lengan Dewi dan membawanya pada sudut lain. Pria itu berbisik, “Kamu butuh uang cepat, bukan? Aku punya solusinya.” Alih-alih mengiakan pertanyaan yang sudah tahu jawabannya, justru Dewi diam saja. Relung hati gadis itu merasakan hal ganjil di sini. Dia takut dijual ke rumah hiburan. “Tugasmu gampang, cukup hamil dan melahirkan anak untuk pria itu,” sambung Bima sembari menunjuk pada pria tambun di dekat mereka. “Apa?! Aku tidak mau, Mas. Kamu gila!” pekik Dewi tertahan. “Itu cara termudah, lagi pula aku sudah menandatangani kontrak, dalam jangka waktu setahun kamu harus melahirkan bayi. Kalau mundur, kamu wajib mengganti tiga kali lipat, paham!” sentak Bima. Dewi menggeleng tegas, sungguh dia tidak mau mengikuti saran Bima. Lebih baik dirinya bekerja tanpa henti daripada menjual diri seperti ini. “Kamu takut tidur dengannya?” tanya Bima diangguki Dewi. Pria itu menyeringai lalu berkata dengan tegas, “Kamu hanya perlu melakukan proses bayi tabung, mudah ‘kan? Pria itu menjanjikan satu miliar untukmu. Ya, itu pun kalau mau menyelamatkan ayahmu yang penyakitan.” Seketika kelopak mata Dewi melebar dan menatap Bima tidak percaya. Untuk sejenak dia merenung sedangkan Bima terus membisikkan kalimat hasutan agar Dewi menerima perjanjian gila ini. Sebagai tenaga medis, setidaknya dia tahu mengenai program bayi tabung, bahkan rumah sakit tempatnya bekerja pun memiliki fasilitas itu. “Terima saja Dewi, di mana lagi cari uang satu miliar dalam waktu singkat?” kata Bima, “sekarang juga kamu periksa kesehatan di rumah sakit ini. Kebetulan pria itu sudah bikin janji dengan dokter kandungan.” Dewi dipaksa mengambil keputusan dalam waktu singkat. Setelah berpikir cukup masak, dia merasa tidak masalah tubuhnya menjadi tempat penitipan bayi pasangan lain selama sembilan bulan. “Baiklah,” lirih Dewi dengan berat hati. “Bagus, jangan membantah!” Bima menepuk-nepuk kasar pipi lembab perempuan itu. Kemudian Bima menyerahkan Dewi kepada pria tambun itu. Mereka berjalan menuju ruang spesialis kandungan di rumah sakit ini. “Uangnya kapan dikirim, Pak?” tanya Bima kepada pria plontos di depannya. “Karena dia masih perawan, saya minta tambahan jadi lima miliar," pintanya lagi tanpa tahu malu. “Jangankan lima miliar, sepuluh miliar aku bayar setelah memastikan perempuan ini beneran perawan dan subur, tidak memiliki gangguan apa pun di rahimnya,” kata pria itu tanpa menoleh ke belakang. Sesungguhnya Dewi ingin menjerit mendengar percakapan ini. Keperawanan yang dia jaga diperjualbelikan, bahkan setelah menikah saja Bima tidak menyentuhnya karena merasa jijik. Sebelum masuk ke poli obgyn, tubuh Dewi gemetaran karena dia takut keputusannya memengaruhi status sebagai pegawai di sini. Pria tambun di depan Dewi mengetuk pintu, hingga sahutan suara maskulin terdengar dari dalam sana. Gadis itu menunduk dalam di balik punggung lebar dan besar. Sedangkan Bima menunggu di luar ruangan. “Saya sudah mendapat perempuan yang sesuai dengan kriteria, silakan Dokter periksa,” ucap pria tambun itu membuat Dewi menghentikan napasnya seketika.“Silakan duduk!” titah pria tampan yang mengenakan jas putih dalam ruangan. Selama empat bulan bekerja di rumah sakit, belum pernah satu kali pun Dewi masuk ruangan ini. Apalagi, langsung berhadapan dengan sosok paling penting di sini. Sekarang dia hanya menunduk dalam. Akan tetapi, sekujur tubuh Dewi mendadak membeku kala pria berbadan besar dengan kepala botak memutar kaki dan meninggalkan ruangan. Gadis ayu ini semakin tidak mengerti, bukankah orang itu memiliki kepentingan? Mengapa menyerahkannya begitu saja pada dokter? ‘Ini aneh,’ kata hati Dewi. “Dewi, kemarilah. Duduk di sini,” titah Dokter lagi, membuyarkan seluruh pikiran semu gadis itu. Perlahan Dewi mengangkat kepala hingga iris hitam pekatnya bersipandang dengan sepasang netra cokelat karamel. Seketika degup jantung Dewi bertambah cepat, bukan karena terpesona pada rupa menawan dokter, melainkan dia takut dipecat karena menyanggupi kesepakatan ini. “Dokter Denver, a--aku … maaf, tidak bermaksud … ini karena a-
“Karena aku calon ibu biologis bagi anak pasiennya. Ya, pasti itu alasannya,” gumam Dewi setelah turun dari mobil Denver. Namun, apa yang diucapkan bibirnya berbanding terbalik dengan isi hati. Entahlah gadis itu masih dihantui rasa penasaran, mengapa Dokter Denver memberi perhatian lebih padanya. Padahal pria itu tidak lebih dari seorang dokter yang menangani program bayi tabung bagi pasien. Akan tetapi, makin dipikirkan bukannya menemukan jawaban, justru kepala Dewi menjadi pusing. Gadis itu bergeming sambil memperhatikan kendaraan roda empat menjauh di telan pekatnya malam. Beberapa menit setelahnya, seperti biasa Dewi masuk rumah melalui pintu belakang sebab Bima tidak mengizinkan melewati bagian depan, kecuali untuk membersihkan ruang tamu dan keluarga. Setelah berhasil menginjakkan kakinya di dalam, sayup-sayup dia mendengar percakapan antar dua manusia. Mereka saling sahut tertawa bahagia. “Lumayan juga si Dewi bisa menghasilkan uang satu miliar. Kamu mau apa, Sayang? Jalan-
Melalui cara pandang Denver, Dewi mengetahui sebuah jawaban yang memecahkan teka-teki dalam pikirannya. Dia menurunkan pandangan dan perasaan ragu itu datang lagi memenuhi rongga dada. Bagaimana mungkin dia melewatkan satu hal?Selama ini Dewi melihat banyak perempuan datang untuk melakukan program bayi tabung, diantar oleh seorang pria yang memiliki ciri fisik persis seperti sosok tambun dan plontos malam itu, ternyata ….“Kamu adalah perempuan yang aku cari, Dewi,” kata Denver berusaha melenyapkan keraguan sang gadis. Pria itu berkata lagi, “Kelak anak itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Aku akan mengurusnya dengan baik.”Bibir tipis Dewi terkatup rapat, lidahnya bergitu kelu dan pita suaranya seolah tak bersuara. Dia tahu status Denver sebagai direktur sudah tentu mampu memberikan kehidupan di atas rata-rata pada anaknya. Hanya saja, dia tidak menyangka pria yang menyewa rahim dan membeli sel telurnya adalah sosok yang selama ini dikagumi oleh semua orang.Dia menggeleng lemah,
“Si--ap?” gugup bibir tipis gadis itu. Pikiran Dewi melayang ke satu hal, di mana dia harus menjalani kewajibannya.Meskipun bimbang, dia mengangguk sebagai jawaban. Dewi membuang jauh rasa takut yang menggerogoti jiwa. Hanya saja, suasana tegang tidak menghilang, sehingga dia bergeming dengan tatapan terkunci pada Denver.Pria itu mendekat sambil melepas sisa kancing yang tertaut sempurna pada kemeja putihnya. Dewi merinding dibuatnya, lalu menunduk dalam. Ini memang bukan pertama kali dia melihat lekuk tubuh seorang pria, tetapi sekarang berbeda. Pria di hadapannya bukanlah pasien berlumuran darah atau kejang-kejang kesakitan, melainkan orang sehat yang akan menjadi ayah biologis dari anaknya kelak.Tanpa Dewi tahu, Denver mengulum senyum melihat kegugupan sang gadis. Kini, pria bertubuh atletis dan jangkung sudah ada di depan tubuh mungil gadis itu. Satu tangan Denver terangkat dan mendarat tepat di bahu Dewi.“Memangnya tidak pegal berdiri terus seperti ini? Duduklah,” kata pria i
“Te--ntu saja aku tahu,” gugup Bima, tetapi pria itu masih berani menantang. Dia mengangkat dagu dan bertolak pinggang di depan Denver. Sebelah sudut bibir Denver berkedut dan mata cokelat karamelnya mengintimidasi pria itu. Dia melepaskan Dewi dari pelukan, lalu melindungi gadis bertubuh mungil itu di balik punggung lebarnya. “Pergilah!” usir Denver. Sedangkan Dewi menegang di balik punggung Denver. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan gemetaran. Bukan karena dia takut bertemu dengan Bima, melainkan mendengar jawaban sang suami. Batin gadis itu bertanya, ‘Jadi … Mas Bima sudah tahu kalau Dokter Denver adalah ….’ Ya, cepat atau lambat Bima pasti mengetahuinya, tetapi kenapa secepat ini? “Perempuan kampung ini istriku, sebaiknya Dokter saja yang pergi bukan aku!” sentak Bima membuyarkan lamunan Dewi. Sekarang tatapan Bima tertuju kepada Dewi yang berlindung di balik punggung lebar Dokter Denver. Melalui gerakan bola mata, pria itu memerintah Dewi memihak kepadanya. “Jangan lup
“Siapa dia? Kenapa ngikutin kamu, Sayang?” tanya wanita itu. Denver melirik sejenak ke belakang. Tentunya tatapan serta ekspresi pria itu berubah dingin, membuat Dewi merinding di sekujur tubuhnya. Dokter Denver berbeda! “Dia perawat di sini,” jawab Denver. Pria itu kemudian maju mendekati sang istri. Dia meninggalkan Dewi berdiri sendirian di tengah lobi. “Oh, aku pikir wanita sekali pakai yang kamu bayar,” ejek Carissa dengan tatapan sengit tertuju kepada Dewi. “Bukan masalah, sih. Aku ngerti, kok, kebutuhan pria. Apalagi aku sibuk, pasti kamu butuh pelampiasan,” katanya seakan memaklumi, tetapi intonasi itu sarat akan peringatan keras. Seketika degup jantung Dewi menjadi lebih cepat. Dadanya juga sakit mendengar kalimat hinaan itu. Namun … bukannya benar begitu? Jika dia langsung hamil setelah disentuh satu kali oleh Denver, bukankah perjanjian mereka akan berakhir pascamelahirkan? “Jaga mulutmu, Carissa!” tegas Denver, sebab mereka menjadi pusat perhatian beberapa pasien ser
“Aku siap,” ucap Dewi penuh keyakinan.Jakun Denver turun naik dan embusan napasnya mulai cepat. Dia mengurungkan niat meninggalkan Dewi. Pria itu kembali ke kamar. Sepasang iris cokelat karamelnya menikmati keranuman gadis itu.“Sikapmu ini sangat berani, Dewi,” desah pria itu.Dewi mengangkat satu tangan dan menyelipkan rambut di balik telinga. Gerakan ini tampak menggoda di mata pria.Baru melihat tubuh polos dengan kulit mulus saja membuat hasrat Denver terbakar. Jemari pria itu kembali menyentuh setiap jengkal kulit mulus yang tidak tertutup kain handuk. Sekarang, Denver membelai leher jenjang dan tulang selangka gadis itu. Membuat Dewi makin sulit menahan diri, hingga dia menggigit bibir bawahnya.Denver mendekatkan kepalanya dan berbisik, “Jangan menahannya, Dewi. Kamu harus rileks.”Bisikan itu, embusan napas hangat itu, serta aroma parfum maskulin yang menenangkan pikiran, saat ini sukses memorakporandakan benteng pertahanan Dewi. Gadis itu mengkerling mata dan mengangguk pela
“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan.Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti, sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver mampu mengalihkan perhatian Dewi. Gadis itu melenguh dan menggelinjang k
Untuk sesaat, Maharani bergeming mendengar ucapan Darius. Dia benar-benar tidak mengerti maksud pria di hadapannya. Apa yang dimaksudnya dengan ‘membantu’? Sesaat kemudian, dia mulai sadar bahwa Darius pastinya sudah sering membantu dan mengedukasi ibu-ibu yang kesulitan menyusui setelah melahirkan.“Rani ... Sayang?” panggil Darius dengan suara lembut, yang membuat Maharani sedikit tersentak dari lamunan.Maharani menatap pria itu dengan pandangan penuh kebingungan, matanya masih tampak lelah. Dengan bibir gemetar, dia pun bertanya, “Caranya, Dok?”“Oke, sekarang kamu rileks, berbaliklah,” pinta Darius dengan penuh perhatian. Dia membantu Maharani memutar tubuhnya, hingga wanita itu akhirnya duduk membelakangi dirinya.Perlahan, Darius memijat bahu dan punggung Maharani dengan gerakan konstan, sangat lembut dan penuh perhatian. Rasanya nyaman, membuat tubuh wanita itu rileks, tetapi dada yang terasa penuh masih
“Bagaimana perkembangannya?! Aku tidak mau gagal! Dia harus dihukum seberat-beratnya,” geram Denver yang membayangkan ketika Dewi terbaring lemah di atas meja operasi.Saat ini Denver sedang duduk di depan meja pengacara sambil menyilangkan kaki. Wajah tampan pria itu terlihat serius, tetapi sorot mata karamelnya menyimpan dendam dan luka."Sidang perdana Dania akan dilaksanakan dua minggu lagi. Semua berkas dan bukti sudah siap," ujar sang pengacara sambil meletakkan beberapa map dokumen di atas meja.Denver mengangguk pelan. "Jadi, tidak ada celah baginya untuk mengelak lagi?"Dia meraih map dari atas meja lalu membacanya dengan seksama. Matanya pun sangat tajam meresapi kata demi kata."Tidak. Kami sudah mengunci dan memastikan semua sisi. Dengan bukti dan kesaksian yang kita miliki, Dania tidak akan bisa lolos. Dia akan mendapat hukuman yang setimpal."Denver menghela napas lega. Dia berdiri dan menjabat tangan pengacaranya. "Terima kasih. Kamu sudah bekerja sangat baik. Kirimkan s
Maharani berdiri kaku di tengah angin yang menerpa. Pertanyaan Darius barusan masih bergema di kepalanya. ‘Kamu cemburu sama bibimu sendiri?’ Kalimat itu sederhana, tetapi rasanya bagai petir yang menyambar siang bolong. Ya, meskpiyn sekarang malam. Bibir Maharani bergerak-gerak, tetapi tak satu pun kata keluar. Kelopak mata wanita itu berkedip pelan, menghindari tatapan Darius yang begitu intens. Mengoyak dinding yang dia bangun dengan kokoh. Perlahan, Maharani hanya menggeleng, sungguh dia tak sanggup memberikan jawaban. Darius terkekeh. Tanpa menunggu persetujuan, dia meraih pinggang Maharani dengan satu tangan dan mengajaknya berjalan pelan di trotoar. "Udara malam lumayan segar, ya?" gumam pria itu, tetapi suaranya terdengar bagai godaan. Maharani masih diam, tidak dipungkiri sekarang merasa nyaman dan hangat di dekat pria itu. Dia juga membiarkan langkahnya sejajar dengan Darius. Jalanan sepi di sekitaran, hanya lampu jalan yang temaram menemani mereka. Darius sesekali
Darius menatap wajah Maharani yang duduk di dekatnya dengan sorot mata lebih lembut dari biasanya. Di tengah hiruk-pikuk kantin rumah sakit yang mulai lengang, dia memberanikan diri meraih tangan wanita itu di atas meja."Aku siap menjadi ayah dan suami yang baik untuk kamu, Maharani Putri," ujar Darius pelan, suaranya benar-benar mengalun lembut.Bahkan dia mengecup punggung tangan Maharani dengan penuh kasih. Tidak berhenti di situ, Darius menggeser duduknya mendekat, membuat jarak di antara mereka makin tipis.Maharani terpaku. Tatapan mata mereka saling bertaut, menciptakan debar yang tak menentu di dalam dada.Satu tangan Darius yang lainnya ingin sekali menyentuh pipi kemerahan wanita itu, rasanya pasti lembut sekali menyusuri rambut hitam itu dengan jemarinya, tetapi dia teringat nasihat Denver. Jangan terburu-buru.Tunjukkan perhatian kecil terlebih dahulu.Dia menarik napas perlahan, lalu mengurungkan niat itu, sekalipun menggebu da
Sudah satu minggu berlalu sejak Darius terakhir kali mempunyai waktu luang untuk sekadar menatap langit pagi. Kesibukan pria itu di rumah sakit benar-benar menyita segalanya—waktu, energi, dan bahkan peluang untuk mengirimi Maharani pesan singkat.Saran-saran dari Denver terasa mustahil dilakukan, apalagi dengan kondisi rumah sakit yang sedang menangani beberapa kasus darurat. Bahkan, beberapa malam dia memilih tidur di rumah sakit daripada pulang ke apartemen kosongnya.Meskipun begitu, tidak peduli sesibuk apa pun, Darius selalu menyempatkan diri menjenguk bayi mereka di NICU. Setiap malam dia datang, meski hanya sepuluh menit, untuk melihat putranya yang makin hari tambah kuat.“Ayah menyayangimu, Nak. Doakan Ayah dan ibumu cepat menikah,” bisik Darius dengan senyum mengembang sembari membayangkan wajah Maharani.Pagi ini, langkah Darius terhenti di depan kaca NICU. Pupil matanya yang lelah sontak melebar saat melihat sosok wanita yang dirindukannya berdiri.Maharani ada di dalam s
Napas Dewi tertahan, sebab entah mengapa dia menjadi waspada. Penyerangan minggu lalu di rumah sakit masih terbayang dalam benaknya.Akan tetapi, begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, Dewi langsung merasa lega. Namun, tidak pada Denver yang nyaris mengumpat.“Darius?!”Pria itu berdiri dengan tubuh yang tampak rapuh, mata cekung, kantung matanya gelap, rambutnya kusut, dan kemeja biru muda tak rapi seperti biasanya.Darius menatap mereka, lebih tepatnya—tertuju pada Dewi.Refleks, Denver langsung bergerak, maju satu langkah untuk menutupi sebagian tubuh istrinya.“Sayang, kamu sarapan saja. Ajak Dirga. Jangan ke ruang tamu,” bisik Denver lembut dan tegas.Dewi langsung paham. Dia mengangguk dan membungkuk singkat ke arah Darius sebelum mengajak Dirga kembali ke meja makan.Denver menatap Darius dengan alis naik. “Kamu kenapa? Penampilanmu seperti zombie.”Darius mendesah panjang. Dia menghela napas, duduk dengan punggun bersandar lesu pada sofa.“Aku … patah hati. Lagi. P
“Ah … Sayang, pelan-pelan,” lenguh Dewi dengan mata yang terpejam.“Tentu, Sayang,” sahut Denver, tidak lepas dari mencumbu setiap jengkal kulit sang istri.Malam itu, selepas pulang dari Ta&Ma dan menemani Dirga tidur, Denver menggandeng tangan Dewi masuk ke kamar mereka.Lampu temaram menyala lembut, aromaterapi lavender menyebar ke seluruh ruangan. Dewi tertawa pelan saat Denver mengunci pintu dan menariknya ke pelukan, lalu membarinkannya perlahan di atas ranjang besar mereka."Kamu tahu, Dirga serius soal minta adik," racau Dewi sambil meremas rambut Denver.Pria itu tertawa kecil. "Anak kita pintar memilih waktu."“Uh … Sayang,” lenguh Dewi, “aku … mau hamil anakmu lagi. Denver.”“Dan aku akan membuat itu jadi nyata.” Denver menyeringai dengan mata dipenuhi kabut gairah.Tanpa banyak bicara, Denver mengangkat tubuh Dewi pelan, mendudukkan wanita itu di atas pahanya yang berotot. Dia mendongak, mengecup dan menghisap ceruk leher mulus yang harum itu, lalu turun ke tulang dada dan
“Apa … menikah se—sekarang?” Suara Maharani tercekat. Ibu muda itu menatap Darius dengan sorot mata yang masih menyimpan kebingungan. Embusan napasnya terasa berat, apalagi saat dia menoleh dan melihat sosok penghulu yang berdiri tak jauh dari mereka. Jujur, hatinya masih belum kembali normal dan pikirannya pun masih kalut setelah apa yang terjadi seminggu lalu. "Aku … tidak bisa," ucap Maharani pelan. Darius bisa menangkap jelas kata-kata itu, dan lagi-lagi meremukkan tulang dadanya. "Maksud kamu?" tanya Darius agak menekan. "Aku belum siap menikah, Dokter Darius. Bahkan sekarang aku masih syok. Seminggu lalu aku melahirkan karena …. Sekarang kamu datang ... bawa penghulu segala," ujar wanita itu dengan suara sedikit bergetar. Penghulu di samping mereka menghela napas panjang. Darius yang sejak tadi memegang kotak perhiasan sebagai maskawin, perlahan melepas genggamannya. Sorot matanya meredup. "Jadi kamu belum percaya padaku?" tanya Darius lirih. Maharani menunduk, lalu men
“Bagaimana kondisi Dania sekarang?” tanya Denver pada Dokter Ket.Saat ini di ruang observasi bedah, Denver berdiri tegak di depan kaca satu arah. Dari balik sana, terlihat Dania terbujur lemah di atas ranjang.Tubuh yang biasanya mengenakan pakaian seksi kini ditutupi baju rumah sakit, kakinya digips dan wajahnya pucat tanpa ekspresi."Trauma tulang belakang. Tapi ini kelumpuhan sementara. Kalau dia mau terapi rutin, kemungkinan bisa pulih. Tapi butuh waktu, sekitar enam sampai satu tahun," jelas Dokter Ket dengan nada hati-hati.Denver mengangguk pelan. "Oke, aku paham, Dok. Terima kasih."Setelah Dokter Ket pergi, Denver berjalan menuju ruang observasi, memeriksa wanita itu. Dia memberi isyarat pada petugas keamanan di depan pintu."Saya Direktur RS JB. Izinkan saya bicara sebentar."Petugas memberi hormat dan membuka pintu. Denver melangkah masuk.Dania yang sedang memandangi langit-langit menoleh, matanya masih menyala penuh benci, meskipun tubuhnya tak berdaya."Seharusnya kamu