Menjelang pernikahan yang semakin dekat, hati Nagita hancur saat memergoki Jordan berbagi ranjang bersama perempuan lain. Di tengah pengkhianatan itu, pria dari masa lalu kembali hadir dalam hidup Nagita. Daniel mengurung Nagita dalam mansion mewah, terobsesi yang begitu gila. Nagita kini dihadapkan pada pilihan yang sulit. Kepada siapa hatinya akan berlabuh? Haruskah ia memberi kesempatan pada Daniel yang mencintainya kelewat batas, atau melepaskan diri dari cengkeraman Daniel yang berlebihan? Ataukah Nagita harus memaafkan pengkhianatan Jordan dan kembali padanya, atau justru membalas dendam atas rasa sakitnya?
view more"Di mana?" Nagita bergumam lirih. Perempuan itu melirik jam di pergelangan tangan. Perasaan khawatir merayap dalam dirinya, menunggu kehadiran Jordan.
Grand opening sudah dipersiapkan dengan matang. Pintu masuk Pastel Dreams Cafe telah dihias indah dengan balon-balon berwarna. Karpet merah dibiarkan terbentang untuk menyambut para tamu yang datang. Meja tertata rapi dengan bunga segar di atasnya. Namun, persiapan ini rasanya belum lengkap bila Jordan belum berada di sisi Nagita. "Nona, apa kita mulai sekarang?" Seorang pelayan menghampiri Nagita. "Tunggu sebentar lagi," sanggah Nagita penuh harapan. "Aku masih menunggu Jordan." Nagita mencoba bersikap tenang. Tentu saja Jordan akan datang seperti yang pria itu katakan. Namun, untuk acara sepenting ini ... tidak bisakah calon suaminya datang lebih awal? "Nona, para tamu sudah menunggu. Sebaiknya ini segera dimulai." Nagita menghela napas panjang, mulai meragukan keajaiban bila Jordan akan segera tiba. Tak ingin menunda waktu yang terus berjalan, Nagita degan berat hati terpaksa membuka suara, "Baiklah, aku akan bersiap-siap." Acara yang dinanti pun dimulai. Sorotan langsung tertuju pada sosok Nagita Vaheera. Nagita mengenakan gaun berwarna peach dengan rambut hitam lurus yang tergerai panjang. Ia memamerkan senyum yang dipaksakan. Acara penting yang ia persiapkan dan nantikan sejak lama, justru terasa kosong dan hampa. Seharusnya ... di situasi seperti sekarang ... Jordan ada di sampingnya. Namun, tidak apa. Nagita bisa memaklumi itu. Barangkali ada sesuatu yang menghambat Jordan untuk segera datang. Di hadapan para tamu, Nagita bersiap melakukan pemotongan pita. "Dengan ini, saya nyatakan bahwa Pastel Dreams Cafe resmi dibuka," ujar Nagita dengan penuh haru menggunting pita. Para tamu bertepuk tangan meriah. Nagita mulai menyampaikan pesan, menceritakan bagaimana lika-liku perjuangannya untuk bisa mendirikan kafe yang ia impikan. "Saya ucapkan terima kasih untuk para tamu yang telah hadir. Saya harap, kafe ini bisa menjadi tempat yang nyaman dan mengesankan," tutup Nagita. Keluarga hingga rekan bisnis mulai mengucapkan selamat. "Sayang," sela seorang pria yang gesit menerobos kerumunan orang. "Jordan?" Nagita menatap Jordan dengan perasaan lega. "Syukurlah, kamu sudah datang," ucap Nagita seadanya. Kehadiran Jordan sekarang sudahlah cukup untuk Nagita. "Maaf, aku terlambat. Ada masalah di kantor, jadi aku perlu menyelesaikan itu." Jordan meraih tangan Nagita dan menggenggamnya erat. "Aku janji ini yang terakhir. Aku akan datang lebih cepat bila kau butuh aku." "Tidak perlu janji jika seringkali tidak ditepati," balas Nagita lemah. Ini bukan pertama kalinya Jordan mengatakan hal yang serupa. Sudah terlalu sering kata janji itu terucap dari mulut Jordan. "Tidak apa, sungguh. Aku semakin terbiasa bila kau sibuk." "Nagita, selamat ya!" Lylia datang menghampiri, ikut bergabung di antara Nagita dan Jordan. "Kafenya indah banget. Aku yakin ini bisa menjadi tempat favorit banyak orang," terang Lylia penuh bangga. Melihat kehadiran sahabatnya, Nagita langsung memeluk Lylia erat. "Makasih ya, Ly. Aku seneng kalo kamu suka. Makasih karena selalu dukung aku selama ini." Lylia mengangguk, lalu ia menoleh melirik Jordan. "Dan Jordan, selamat juga ya! Kalian sebentar lagi bakal menikah. Jadi gimana, nih? Sudah sejauh mana persiapan kalian?" Jordan terbatuk, canggung. "Ah, itu ...." "Sejauh ini lancar, Ly," jawab Nagita akhirnya karena Jordan tampak bingung dan tidak nyaman. "Minggu depan Jordan akan menemaniku fitting baju pengantin. Iya, kan, Sayang?" tambah Nagita mencairkan suasana. Jordan terdiam cukup lama sampai akhirnya dengan ragu menganggukan kepala. "Kemarilah, akan aku tunjukkan salah satu menu yang bisa menjadi andalan di kafe ini," ajak Nagita pada sahabatnya. Lylia menerima tawaran Nagita dengan senang hati. Ia lalu menatap Jordan. "Ayo, Jordan! Bergabunglah bersama kami." Jordan menggeleng, membiarkan kedua sahabat itu meninggalkannya. Acara terus berlanjut. Para tamu pun dipersilahkan menyantap hidangan. Nagita dan Lylia ikut menikmati makanan, menyantap lavender honey cake yang punya potensi menjadi menu andalan. Mata Nagita sesekali melirik sekitar, mencari-cari keberadaan Jordan yang begitu sulit Nagita temukan. Hati Nagita berdesir. Di mana calon suaminya? Apa Jordan pergi begitu saja? Jika benar Jordan telah pergi ... kenapa pria itu tidak memberitahunya? Tanda tanya itu membuat Nagita sulit menikmati acaranya sendiri. Ia sampai tidak menyadari bila kafe semakin sepi. Para tamu satu-persatu meninggalkan kafe, termasuk Lylia yang telah berpamitan pulang. Ketika suasana kafe sudah tampak sunyi, para pelayan dengan gesit bekerja, membereskan acara. Tepat saat itulah suara gebrakan meja memekakkan telinga. Seorang pria dengan wajah merah padam mencaci seorang pelayan tanpa ampun. "Apa kau tahu berapa harga jas di tubuhku ini?!" hardik pria itu. "Gajimu tidak akan pernah cukup untuk menggantinya!" "Ma-maafkan aku, Tuan," ujar pelayan yang tidak sengaja menumpahkan segelas kopi sisa ke tubuh pria itu, menunduk ketakutan. Tangannya gemetar mencoba membersihkan noda yang ada di jas. "Panggil bosmu!" Pelayan bernama Laura itu seketika memucat. Ia takut keadaan akan semakin berantakan. Nagita memicingkan mata, cukup kesulitan untuk mengenali siapa pria itu, mengingat posisinya cukup jauh dan membelakangi dirinya. Penasaran, Nagita tanpa pikir panjang mendekat. "Maafkan atas kelalaian yang telah terjadi, Tuan," sahut Nagita sopan, mencoba untuk bersikap profesional. "Aku minta kompensasi darimu!" Pria itu mulai membalikkan badan, menunjukkan siapa dirinya. "Daniel?" kaget Nagita tersadar. Perempuan itu sampai terbatuk, terlalu terkejut dengan pertemuan tidak terduga ini. "Aku minta ganti rugi, Nagita." "Oh, ya .... aku paham." Tidak bisa dipungkiri bila Nagita gugup bertemu dengan pria dari masa lalunya itu. Hubungan mereka tidak berakhir baik setelah Nagita meninggalkan Daniel demi Jordan. Nagita pernah menipu cinta laki-laki itu. "Jika kau berkenan, kami akan berikan kompensasi berupa—" "Kembalilah denganku sebagai ganti rugi." "Hah?” Nagita melongo kaget. Ternyata, baik dulu maupun sekarang, laki-laki itu tidak pernah berubah. Selalu mengejar Nagita. "Sayangnya, aku sudah bertunangan." Nagita dengan cepat menguasai diri. Ia menunjukkan cincin tunangan di jari manisnya. "Sebentar lagi aku akan menikah, Daniel." Daniel sama sekali tidak terkejut mengetahui fakta itu. Seolah dia sudah tahu tanpa Nagita memberitahunya. "Apa aku terlihat peduli?" tantang Daniel. "Minggu depan, makan malamlah denganku." "Apa kau gila?!" Nagita yang sudah mulai kehilangan kesabaran lantas melotot lebar. "Enyahlah, Tuan Daniel!" Daniel terkekeh. "Apa kau lupa siapa aku?" Pria itu seketika melirik ke arah Laura yang kini berlindung di balik tubuh Nagita. "Kupastikan pelayanmu tak akan bisa tidur nyenyak karena kesalahannya ini." "Beraninya kau ...." "Maka, bertanggung jawablah, Nagita."Nagita diam-diam melangkah menuju apartemen Jordan. Ini sudah larut malam, lorong apartemen sudah lenggang, menjadi kesempatan untuk Nagita lebih leluasa masuk dengan tenang. Jordan yang masih terkapar di rumah sakit adalah suatu kesempatan emas untuk Nagita. Ia bisa lebih leluasa mengobrak-abrik ruangan Jordan sampai ponselnya ditemukan. Setelah memencet tombol angka password apartemen Jordan, pintu lantas terbuka. Nagita melesat masuk, lalu menutup pintu dengan pelan agar tidak menimbulkan suara. Nagita nekat kembali menyelinap masuk, mengingat ia belum sepenuhnya menyusuri ruangan Jordan. Nagita belum puas sampai ponselnya berada tepat di tangannya. Sekarang ia harus fokus menemukan benda pipih itu hingga ketemu. Dengan langkah pelan tapi pasti, ia bergerak menuju ruang tengah. Ia menyapu ke seluruh ruangan, mencoba berpikir keras. Di mana pria itu menyembunyikan ponselnya? Apa berada di laci meja kerja? Nagita mengingat-ingat, ia pernah memeriksa sekilas saat itu. Dan seingatn
Di ruang kerja Daniel yang luas dan tertata rapi, pria itu menatap layar ponselnya dengan perasaan tak karuan. Laporan yang ia terima dari Gilbert membuat ia spontan menggebrak meja. Jordan sialan! Apa pria itu belum puas mengusik Nagita? Rasanya kepala Daniel mendidih mengetahui kabar tersebut. Terlebih, ia terbakar cemburu saat Nagita masih menunjukkan kepedulian pada pria seberengsek Jordan. Hatinya tercabik panas saat tahu Nagita masih berbaik hati menemani Jordan di rumah sakit padahal pria itu jelas berniat jahat. Namun, yang membuat Daniel sedikit tenang adalah Nagita baik-baik saja. Perempuan itu aman berada di bawah pengawasan Gilbert dan Lucas. 'Aku segera menyusul.'Daniel segera mengirim pesan itu pada Gilbert. Rasanya Daniel tidak puas jika tidak melihat Nagita di depan matanya. Rasa rindu yang kian membesar tidak bisa lagi Daniel tahan. Daniel bisa gila jika rindu ini hanya sebatas rindu belaka. Ia perlu menyalurkan rindunya dengan menemui Nagita. Ia akan terus men
Nagita mencium bau khas rumah sakit yang menyengat hidung. Ditemani Gilbert dan Lucas, Nagita berada dalam salah satu ruang rawat inap, berdiri di sisi ranjang kamar Jordan. Nagita menatap dalam layar monitor yang berbunyi pelan, menandakan bahwa Jordan masih hidup walaupun pria itu entah kapan akan terbangun. Ia terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Lengannya telah dipasangi selang infus. Luka lebam yang Jordan terima terlihat membiru. "Kau terlalu baik pada pria tidak tahu diri itu, Nona," simpul Gilbert sembari bersender di dinding dengan tangan bersedekap. Ada rasa kesal dalam hatinya melihat pria seberengsek Jordan masih bernyawa dan dilarikan ke rumah sakit atas permintaan Nagita. Nagita menghela napasnya, menatap Jordan sembari mengingat kenangan yang sempat mereka ukir bersama. "Dia mungkin pantas mendapatkan ini, tapi dia pernah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak setega itu jika meninggalkannya terluka." "Jadi Nona masih mencintai Jordan ...," Luca
"Aku tidak ingin anak dari Claudia. Aku hanya ingin punya anak darimu, Nagita." Bualan yang Jordan lontarkan membuat Nagita spontan menjaga jarak. Nagita mundur beberapa langkah saat matanya menangkap sorot penuh hasrat dari mata Jordan. "Menjauh dariku!" Nagita terus mundur, sampai akhirnya pergerakannya terhenti karena dinding yang membatasi. Jordan melangkah lebih dekat, menempelkan telapak tangannya ke dinding, mengurung Nagita dengan senyuman miring. "Aku hanya menginginkanmu, Nagita. Hanya kamu satu-satunya." Nagita benci situasi ini. Saat Jordan mengatakan omong kosong itu, membuat hatinya jelas teriris. Apa yang Jordan katakan sebagai satu-satunya? Nagita justru menyadari bahwa ia hanyalah salah satunya. Tanpa pikir panjang, Nagita mendorong dada Jordan sekuat tenaga. "Berengsek!" Nagita mulai berlari mendekati pintu. Jordan yang menyadari Nagita berniat kabur, dengan cekatan mengejar Nagita, mencengkeram pergelangan tangan Nagita dengan kuat. "Mau lari ke mana, Saya
Nagita terbangun dengan nuansa yang nampak berbeda. Tidak ada lagi kamar putih gading yang luas tapi terasa seperti penjara saat ia membuka mata. Namun, meski begitu, ini juga bukan kamar lama Nagita setelah ia memutuskan pergi dari mansion Daniel. Ini kamarnya yang baru. Nagita membeli apartemen baru dengan black card milik Daniel. Entah Daniel menyadari ini atau tidak, yang jelas Nagita terpaksa bertahan hidup dengan kartu hitam yang berharga itu. Semua kebutuhannya bisa terpenuhi hanya dengan memegang kartu yang diberikan oleh Daniel. Mereka memang tidak lagi tinggal bersama, tapi kartu ini menjelaskan bahwa keduanya masih terikat. Tidak banyak yang Nagita lakukan di apartemen barunya. Aktivitasnya hanya merenungi nasib. Ia kehilangan semangat, menutup diri dari berbagai aktivitas. Untuk keperluan makan pun, ia lebih memilih gofood. Beberapa hari ini hanya kegiatan monoton dan memuakkan itu yang Nagita lakukan. Keluarganya pun tidak mencarinya. Ini semakin membuat Nagita kecewa
Semua barang milik Nagita berada di apartemen, dan sayangnya ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam sana. Nagita merasa buntu, terjebak tanpa tahu jalan keluar. Nagita bahkan baru menyadari satu hal, ia tidak punya ongkos untuk pergi menemui keluarganya. Nagita merasa sendirian, seperti anak tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Nagita lalu iseng meraba tas yang ia bawa, yang di dalamnya ia masukkan wig dan juga kacamata. Nagita merasa ... kedua benda itu akan ia gunakan di lain kesempatan. Firasatnya mengatakan benda itu penting untuk Nagita simpan. "Hah?" Dan betapa terkejutnya Nagita saat menemukan black card terselip di dalamnya. Daniel rupanya diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nagita. Perempuan itu sontak bernapas lega. Meski Daniel melepasnya pergi, tapi pria itu masih menunjukkan kepedulian yang nyata untuk Nagita. Namun .... Nagita ragu untuk menggunakan kartu eksklusif itu. Bukankah ia tak ingin terlibat lagi? Bukankah ia bertekad untuk tak mau merepotk
Nagita menahan diri agar tidak mendesah nikmat di depan Daniel, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sensasi panas menelusup masuk ke tubuh Nagita. Perempuan itu menahan napas saat Daniel bermain-main di lehernya, menyentuhnya dengan penuh gairah, sengaja meninggalkan tanda merah di leher Nagita. Daniel sejenak menghentikan aksi, menatap Nagita yang masih terdiam tanpa mengatakan sepatah kata. "Apa kau menyukainya?" Daniel bertanya lembut. Tubuh Nagita menegang, menatap Daniel yang begitu dekat dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Bohong jika ia tidak menyukai sentuhan yang Daniel lakukan. "Apa aku ...." "Lakukan saja," terang Nagita seakan terhipnotis begitu cepat, mengizinkan Daniel untuk berbuat lebih banyak lagi pada tubuhnya. Nagita tahu mereka sudah melewati batas, tapi kenikmatan yang Daniel berikan membuatnya terhanyut dan melayang. Ia sungguh menikmati rangsangan yang Daniel berikan. Daniel lalu menatap Nagita penuh gairah. Tatapan Daniel kini seperti hewan buas
"Kau bisa pulang hari ini, Nona Nagita," jelas Dokter Joshua. "Kondisimu semakin baik, tapi tetap pastikan dirimu beristirahat dengan cukup." Nagita mengangguk pelan. Akhirnya setelah penantian panjang, ia diperbolehkan pulang atas izin dokter. "Terima kasih banyak, Dok," balas Nagita lembut. Daniel berjalan mendekat. Ia bersyukur menyaksikan Nagita berangsur pulih, tapi tidak bisa dipungkiri bila ada kesedihan yang nampak dari sorot mata Daniel. "Kau siap?" Suara Daniel terdengar berat. Ada perasaan tidak rela terselip dalam pertanyaannya, tetapi Daniel mencoba bersikap tegar. Pria itu mengulurkan tangan, membantu Nagita berdiri dari ranjang. Nagita mengangguk mantap sebagai jawaban. Hari kebebasan yang ia nanti selama ini akhirnya tiba. Seharusnya hari ini ia merayakan perpisahan dengan bersorak girang, tetapi Nagita hanya tersenyum tipis tanpa gairah. Daniel menuntun jalan Nagita dengan sabar. Tangannya merangkul Nagita sembari berjalan menuju mobil yang telah ia siapkan. Nagi
Cahaya mentari pagi menyelinap masuk dari jendela kamar. Dengan perlahan Nagita membuka mata, terbangun dengan tubuh yang masih terasa lemah. Kepalanya tengah berdenyut-denyut, tapi ia memaksakan diri untuk mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Nagita lalu memerhatikan sekeliling, spontan terkejut ketika menemukan mesin monitor berada di dalam kamarnya. "Apa ini?" Dengan rasa keterkejutan itu, ia memandang tajam mesin monitor yang menampilkan detak jantungnya yang terlihat stabil, seakan menunjukkan bahwa ia masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. "Isshhh ...," ringis Nagita yang kini merasakan nyeri pada pergelangan tangan. Perempuan itu sontak teringat tindakan yang pernah ia lakukan. Helaan napasnya terdengar saat matanya menangkap sebuah perban yang terlilit di lengan kirinya. Sesaat, Nagita tidak menyangka bila ia sampai bertindak senekat itu. 'Aku hampir mati bunuh diri ...,' gumamnya pada diri sendiri, bergidik ngeri. Namun, sesuatu yang hangat membuat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments