"Ponselku ... apa ketinggalan di kafe?" Nagita mencoba mengingat apa yang terjadi pelan-pelan. Bayangan semalam saat Daniel menjemputnya di kafe kembali terulang di otak Nagita.
Nagita spontan menggeleng cepat. Sebelum pergi bersama Daniel, Nagita ingat betul jika benda pipih itu ia bawa dan dimasukkannya ke dalam tas. "Apa mungkin di sini?" gumam Nagita menebak-nebak. Nagita menopang dagu, sementara tangan yang satunya lagi sedang mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Raut wajahnya begitu serius, tanda bahwa Nagita sedang berpikir keras. "Atau disimpan Daniel?" Tak ingin terlalu banyak menebak lagi, Nagita mulai beranjak dari tempat duduk. Ia sudah selesai sarapan, dan berniat untuk mencari keberadaan ponselnya yang entah di mana. Opsi pertama yang akan Nagita tuju adalah kamar. Namun, pergerakan Nagita sontak terhambat saat kedua pria bertubuh kekar menghalangi jalan Nagita. Nagita mundur perlahan. Diam-diam mengamati penuh was-was siapa yang kini ia hadapi sekarang. Wajah datar dengan pakaian serba hitam .... "Siapa kalian?" tanya Nagita seraya menahan napas. "Maling?" tebak perempuan itu penuh kecurigaan. Kedua pria ini kembali mengingatkannya saat dua tahun silam. Saat ia pernah menjadi mantan maling di mansion ini. "Kami diperintahkan untuk mengawasi Anda, Nona," salah satu pria dengan suara tegas menjelaskan. "Mengawasi?" Nagita sontak kaget. Kedua alis Nagita mengkerut. "Maksudnya apa?" "Ini perintah langsung dari Tuan Daniel. Kami hanya menjalankan tugas." Nagita merasa keberatan. "Minggir!" usir Nagita tidak banyak bertanya lagi. Nagita melangkah cepat diikuti oleh kedua bodyguard itu di belakangnya. Ke mana pun Nagita melangkah, keduanya mengekor seperti anak ayam mengikuti induknya. Sepanjang perjalanan, Nagita lantas menggerutu akan sikap Daniel yang berlebihan. ''Apa maksud semua ini?!' Nagita bertanya dalam hati. 'Apa ia takut jika aku akan mencuri lagi???' Nagita mengatur napas, mencoba tetap tenang dan menepis segala pemikiran yang mengganggu konsentrasinya. Nagita harus ingat pada tujuan awal, mencari keberadaan ponselnya. Nagita lalu sampai di pintu kamar. Kedua bodyguard itu tidak ikut masuk, menunggu dan berjaga di luar kamar. Nagita membanting pintu kamar dengan cukup keras. Nagita mulai melakukan pencarian. Dimulai dari tempat tidur, lemari, meja rias ... hingga di segala sudut ruangan. Namun, Nagita tidak menemukan apa-apa. Nagita mendesah pelan. "Apa sungguh Daniel yang mengambilnya?" Nagita mendekati pintu, membukanya. Kedua bodyguard—Gilbert dan Lucas—masih setia berdiri di sana. "Kapan Daniel pulang?" Nagita bertanya untuk memastikan. "Ada yang mau kubicarakan padanya." Gilbert menjawab, "Tuan Daniel pulang malam, Nona." Itu terlalu lama. Nagita tidak ingin berada di sini sampai larut malam. Ia bahkan ingin segera pulang, melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Nagita menimbang-nimbang. "Baiklah, lupakan saja," sahut Nagita. "Aku akan pulang tanpa ponsel." Gilbert dan Lucas dengan cekatan menahan pergerakan Nagita, menghadang jalan. Lucas menjelaskan, "Maaf, Nona. Anda tidak diperbolehkan pergi tanpa seizin Tuan." Nagita terkejut, spontan menatap tajam. Tangan Nagita terkepal menahan amarah. "Apa ini di sel penjara?!" protes Nagita dengan suara yang naik satu oktaf. "Kalian tidak ada hak untuk mengurungku!" Suara Nagita bergetar. Gilbert dan Lucas saling pandang. Mereka lantas memilih diam, tidak bereaksi banyak ketika Nagita tidak terima dirinya diperlakukan seperti tahanan. Mereka hanya menjalankan perintah seperti yang Daniel katakan. "Lepaskan aku!" Nagita memberontak, berusaha melarikan diri dari cengkeraman Gilbert dan Lucas yang tau mau melepaskan Nagita. Meski Nagita terus melakukan perlawanan, tetap saja tenaganya tidak akan pernah menang melawan kedua pria dengan tubuh yang lebih besar dan kuat. Nagita dipaksa merelakan diri untuk dikurung di dalam kamar. Ia mendapati dirinya berakhir tersungkur di lantai. Nagita menjerit, menggedor pintu. "Tolong! Aku mau pulang!" pekik Nagita, meminta seseorang berbaik hati untuk membebaskannya. Namun, tidak ada siapapun yang mau menolong perempuan malang itu. Hanya keheningan yang seolah sedang menertawakannya. Air mata mulai mengalir tanpa Nagita sadari. Ini jauh lebih mengerikan dari yang Nagita bayangkan. Bukan sesederhana tentang ponselnya yang hilang, melainkan tentang sebuah kuasa yang dikendalikan. Tentang kontrol. Tentang kebebasan yang direnggut secara perlahan. *** Malam kembali datang. Nagita termenung di dalam kamar yang begitu luas, tapi terasa sempit dan menyesakkan. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk beristirahat, kini terasa seperti penjara bagi Nagita. Tanpa henti Nagita memikirkan cara untuk bisa segera kabur dari tempat ini. Hingga suara derit pintu terbuka perlahan, membuyarkan lamunan Nagita. Nagita menoleh cepat, mendapati sosok Daniel yang kini berdiri tidak jauh dari ambang pintu. "Aku sudah pulang," sahut Daniel sembari mendekatinya. Kehadiran Daniel membuat Nagita terperanjat. Ia terhuyung tanpa sadar hingga tubuhnya menyentuh sandaran ranjang. "Apa maumu?" Nagita bertanya dengan suara gemetar. Setiap langkah Daniel yang mengikis jarak, jantung Nagita berdetak cepat. Hingga wajah Daniel kini hanya beberapa inci dari wajah Nagita. Perempuan itu bisa merasakan napasnya. Ada sensasi tidak nyaman menelusup dalam diri Nagita saat pria itu mengunci matanya. "Menikahlah denganku, Nagita," terang Daniel penuh ketegasan. Tidak ada keraguan saat Daniel mengatakan itu, seolah ia telah menyiapkan dan memikirkan itu sejak lama. "Apa harus seperti ini caramu ...," Nagita berujar lirih. "Apa harus dengan cara mengurungku?" Daniel terdiam. Ia tergugah saat Nagita mengatakan itu, seolah perkataan itu tepat menembus jantung. Daniel tahu jika ia salah, ia menyadari itu, tapi hanya ini yang bisa Daniel lakukan untuk terus bisa bersama Nagita. Ia tidak ingin kehilangan Nagita untuk kesekian kalinya. Ada penyesalan terpancar dalam sorot mata Daniel meskipun terlihat sekilas. Namun, rasa takut Daniel kehilangan Nagita jauh lebih besar dari rasa bersalahnya. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Daniel tak ingin berlarut. "Kata Lucas, kau sempat bertanya kepulanganku dan ingin membicarakan sesuatu." Nagita menelan ludah. "Itu ... aku hanya ...." Daniel tidak langsung merespon. Ia menunggu Nagita yang terbata-bata melanjutkan ucapannya. "A-apa kau ... yang menyembunyikan ponselku?" Nagita kontan menunduk, takut membuat Daniel tersinggung karena menuduh. "Aku tidak bisa menemukannya," lanjut Nagita. Daniel mengerutkan kening. Ia tidak tahu-menahu. "Kau membawa ponsel?" tanya Daniel bingung. "Aku tidak melihatnya, Nagita." "Aku ingat sempat membawanya pergi denganmu," terang Nagita mencoba menyusun kembali kepingan puzzle yang berserakan. "Coba ingat-ingat lagi," Daniel berujar lembut. "Kita sempat ke apartemen Jordan saat itu, ingat?" "Apartemen Jordan?" gumam Nagita. Perempuan itu mengernyit. "Benarkah?" Nagita memejamkan mata. Berusaha mengingat semuanya.'Ah … Jordan ….' Memori menyakitkan itu kembali menyeruak, membuka sesuatu yang kelam. Dada Nagita terasa sesak. Bayangan pengkhianatan Jordan terekam jelas di kepala Nagita. Desahan Claudia dalam kurungan Jordan terus menggema di telinga, begitu nyata sekaligus menyakitkan. Nagita meremas selimut dengan kuat, menguatkan diri pada peristiwa traumatis yang menimpanya. "Jordan ...," Nagita dengan gemetar bersuara, " ... dia selingkuh ...." Kristal bening mulai mengalir melewati pipi. Ia terisak pilu. Percintaan panas Jordan dan Claudia sungguh melukai Nagita, mengoyak hati polosnya yang naif. Kepercayaan yang selalu Nagita beri seolah tidak berarti. Kesetiaan Jordan yang selalu Nagita percayai adalah bentuk kebodohan yang amat merobek hati. Namun, ingatan itu belum sepenuhnya lengkap. Masih ada peristiwa penting yang terjadi setelah Nagita memergoki perselingkuhan Jordan. Sesuatu yang jauh lebih gelap. Nagita memejamkan mata, terus menelusuri dan memaksakan diri untuk mengingat
"Bebaskan aku, Daniel ...," ujar Nagita terdengar putus asa. Ia hanya ingin pulang dan menjalankan kehidupan seperti biasa. Alih-alih mengerti, Daniel terus melangkah mantap, mengabaikan permintaan Nagita yang sesungguhnya begitu Daniel sayangi. Pria itu terus menggendong Nagita, membawanya kembali ke dalam kamar. Terkesan kejam memang, tapi ini adalah satu-satunya cara supaya Nagita selalu berada di sisi Daniel. Setidaknya, ini juga cara agar Nagita tidak bisa bertemu Jordan dan bisa fokus menyembuhkan diri dari rasa trauma. Tak sudi rasanya bila ada kesempatan yang harus mempertemukan Nagita dan Jordan di suatu kesempatan. Setibanya di kamar, Daniel dengan hati-hati meletakkan tubuh Nagita di atas tempat tidur yang empuk tanpa melepas tatapan dingin di wajahnya. "Apa kau sungguh akan menghukumku?" cicit Nagita bertanya, sebab Daniel sempat menyinggung perihal itu, seakan berniat untuk mendisiplinkan Nagita supaya ia jera. "Maaf ...." Melihat Nagita yang begitu ketakutan di
Setelah insiden kabur yang dilakukan Nagita, penjagaan mansion semakin diperketat. Setiap sudut ruangan seolah diawasi, tidak memberi ruang bagi Nagita untuk bisa pergi dari mansion ini. Gerak-gerik Nagita selalu mendapat perhatian dari Gilbert dan Lucas, tidak akan membiarkan perempuan itu hilang dari pandangan. Dua minggu telah berlalu, rutinitas yang Nagita jalani terasa menjemukan dan memuakkan. Hidup Nagita seperti terkurung di dalam sangkar. Ia begitu merindukan kesehariannya yang dulu. Ia juga rindu tentang kafenya yang belum lama ini ia dirikan dengan segenap jiwa dan raga. Nagita merindukan Pastel Dreams Cafe yang bisa menjadi tempat pelariannya dari hidup yang penuh nestapa. "Aku sudah selesai." Nagita bangkit dari duduknya dengan rasa bosan. Wajahnya begitu datar seakan tidak tertarik melanjutkan kehidupan. Pelayan bergegas membereskan piring-piring bekas sarapan Nagita. Gilbert dan Lucas sontak mengikuti Nagita, gesit mengekor di belakang saat Nagita mulai melangkah me
"Siapa di sana?!" Daniel menggeram pelan. Sorot matanya sontak menyala penuh amarah. Tidak seharusnya ada orang lain masuk ke ruangan ini tanpa sepengetahuannya. Daniel mengedarkan pandangan, mencari tahu letak sumber suara, meneliti setiap inci sudut ruangan yang selama ini menjadi tempat rahasia yang aman. Ini adalah ruang rahasia yang menjadi tempatnya menyusun segala rencana. "Nagita?" Sorot matanya yang tajam spontan mengendur ketika mendapati Nagita lah yang menyusup ke dalam ruangan. Perempuan itu rupanya terjatuh, mengaduh kesakitan memegang lututnya yang tidak sengaja mencium lantai. Daniel sontak menjulurkan tangan untuk menawarkan bantuan. "Aku tidak apa-apa," sahut Nagita menahan rintihan. "Hanya jatuh biasa," tambahnya seraya bangkit sendirian, menepis uluran tangan Daniel yang berniat memberikan bantuan, tak enak hati bila harus merepotkan Daniel untuk membantu seorang penyusup seperti dirinya. Namun, justru penolakan yang Nagita tunjukkan membuat Daniel spont
Semenjak ruang rahasia Daniel diketahui Nagita, keheningan menyelimuti mereka, menjadi sosok asing satu sama lain meski berada dalam satu atap yang sama. Mansion terasa lebih kosong, hampa, dan tanpa ada kehangatan di dalamnya. Daniel setiap pagi berangkat bekerja lebih awal. Nagita hanya menatap punggung Daniel yang menghilang ditelan pintu seiring waktu, membiarkan kepergian Daniel tanpa perlu mengucap sepatah katapun. Tidak ada lagi percakapan selepas perdebatan di ruang rahasia itu. Baik Nagita maupun Daniel, keduanya kompak memilih bungkam. Namun, perang dingin itu bukan berarti Daniel mengabaikan Nagita sepenuhnya. Setiap malam tiba, pria itu mengecek kamar Nagita, berdiri di depan pintu, memandangi dari jauh dan memastikan bila Nagita sudah terlelap tidur. Suara pintu terbuka ... Nagita tentu menyadari itu tanpa sepengetahuan Daniel. Ia kerapkali membuka mata, terbangun dari tidurnya ketika suara pintu mulai terdengar. Walaupun tidak ada interaksi langsung yang tercipta,
Daniel menatap kosong jendela kantor yang memamerkan pemandangan kota. Walau raga Daniel berada di sana, di dalam gedung megah itu, tapi jiwanya melayang pada peristiwa yang kurang mengenakkan untuk Daniel resapi dalam ingatan. Penolakan keluarga Nagita adalah kegagalan yang mampu menjadikan harapan pria itu pupus perlahan. Ingatan di ruang rapat keluarga Nagita seakan terus menghantui Daniel. "Apa-apaan?" desis Daniel tak suka kala saat itu tidak sesuai yang Daniel bayangkan. Tangan pria itu terkepal. Daniel tahu bahwa keputusannya saat itu untuk masuk ke ruang rapat adalah sebuah langkah yang nekat, tapi karena kegigihan yang tak terbendung, Daniel memberanikan diri menyusup masuk ke kediaman keluarga Nagita. Setelah mengelabui satpam yang berjaga di depan pintu gerbang—menyamar sebagai karyawan di perusahaan keluarga Nagita yang ingin memberikan berkas penting perusahaan—Daniel dipersilahkan masuk. Daniel lalu berjalan mantap mendekati pintu besar di ujung koridor. Sayup-sayup
Dapur Daniel begitu luas dengan meja marmer berkilau, dilengkapi peralatan dapur yang tertata rapi di sekelilingnya. Nagita memandangi ruangan dapur dengan tatapan berbinar. Setidaknya berada di sini membuat rasa bosan Nagita mereda, sebab terkurung dalam mansion tanpa tahu dunia luar tentu saja teramat menjemukan. Nagita butuh kegiatan yang bisa membangkitkan semangatnya untuk terus bertahan. "Memasak mungkin bisa membuatku merasa lebih tenang," gumam Nagita. Senyuman manis seketika terbit di bibir mungilnya. Perempuan itu lalu membuka lemari es, mengeluarkan bahan, mulai menyiapkan bumbu-bumbu untuk memasak. "Sempurna!" sahutnya tersenyum kecil melihat alat dan bahan telah lengkap di depan mata."Sudah lama tidak melihatmu memasak," sahut Daniel yang tiba-tiba menghampiri Nagita. Pria itu melangkah mendekat, melihat apa yang sedang dimasak oleh Nagita. "Sop ayam, ya?"Nagita mengangguk sebagai jawaban. Setelah sempat berselisih, hubungan mereka berangsur lebih baik. "Kau mau?" ta
Suasana kota di malam hari tampak begitu hidup, dihiasi gemerlap lampu jalan dengan berbagai kendaraan yang berlalu-lalang. Hembusan angin sejuk menelusup masuk ke dalam mobil, membelai wajah lembut Nagita yang duduk tepat di samping Daniel. Mereka sedang dalam perjalanan menuju restoran. "Bagaimana? Apa rasanya aneh?" Daniel bertanya penasaran seraya sibuk menyetir. Matanya yang fokus memerhatikan jalan sesekali melirik ke arah Nagita. Perempuan itu kini mengenakan wig pendek dengan kacamata hitam sesuai permintaan Daniel. "Ini cukup aneh. Aku tidak terbiasa dengan penampilan seperti ini, tapi aku tidak terlalu mempermasalahkannya," aku Nagita cepat, tidak keberatan bila harus mengabulkan keinginan Daniel. Nagita tidak masalah jika harus menyamarkan penampilan agar seseorang tidak mengenalinya. Yang penting sekarang ia bisa mengirup udara segar, menikmati sedikit kebebasan dalam hidupnya walau sekejap. Mereka lalu tiba di restoran bernuansa klasik dengan kaca-kaca besar yang meman