"Bebaskan aku, Daniel ...," ujar Nagita terdengar putus asa. Ia hanya ingin pulang dan menjalankan kehidupan seperti biasa.
Alih-alih mengerti, Daniel terus melangkah mantap, mengabaikan permintaan Nagita yang sesungguhnya begitu Daniel sayangi. Pria itu terus menggendong Nagita, membawanya kembali ke dalam kamar. Terkesan kejam memang, tapi ini adalah satu-satunya cara supaya Nagita selalu berada di sisi Daniel. Setidaknya, ini juga cara agar Nagita tidak bisa bertemu Jordan dan bisa fokus menyembuhkan diri dari rasa trauma. Tak sudi rasanya bila ada kesempatan yang harus mempertemukan Nagita dan Jordan di suatu kesempatan. Setibanya di kamar, Daniel dengan hati-hati meletakkan tubuh Nagita di atas tempat tidur yang empuk tanpa melepas tatapan dingin di wajahnya. "Apa kau sungguh akan menghukumku?" cicit Nagita bertanya, sebab Daniel sempat menyinggung perihal itu, seakan berniat untuk mendisiplinkan Nagita supaya ia jera. "Maaf ...." Melihat Nagita yang begitu ketakutan di hadapan Daniel, tatapan dingin Daniel seketika luluh lantak begitu saja, digantikan dengan kehangatan yang terasa di udara. Sepanjang hidupnya, ia tak akan pernah bisa menghakimi Nagita, tak akan sanggup melihat penderitaan pada perempuan yang sungguh ia dambakan. Ancaman yang sempat Daniel lontarkan hanyalah sebatas bualan. "Kau terlalu berharga untuk dijadikan tempat penghakiman, Nagita," jelas Daniel sembari mengelus lembut puncak kepala Nagita. "Aku akan menghukum Gilbert dan Lucas yang tidak becus bekerja." Tatapan dingin Daniel kembali terlihat. Nagita menggeleng lemah, keberatan mendengar pernyataan Daniel yang serius menyiratkan kekejaman. "Jangan, aku mohon," sela Nagita, dengan cepat menahan lengan Daniel yang berniat pergi keluar kamar. "Menghukum mereka sama saja menghukumku. Tidak ada bedanya. Aku akan merasa bersalah pada mereka." Daniel memejamkan mata seraya mengepalkan tangan. Ia mengerang tanda tidak setuju. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia harus mengikuti kemauan Nagita. Meski Nagita terkurung dalam jeratnya, Daniel mencoba memastikan Nagita nyaman dan merasa aman. Daniel tak ingin rasa bersalah tumbuh dalam diri Nagita. Daniel hanya ingin kebersamaan ini membuat Nagita bahagia, bukan malah sebaliknya. "Baiklah," sahut Daniel seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, memilih mengalah sesuai permintaan Nagita. Apapun akan Daniel kabulkan kecuali perihal melepaskan. Nagita tersenyum, bernapas lega. "Aku tahu kamu orang baik, Daniel." "Beristirahatlah," sahut Daniel penuh perhatian. "Kau pasti lelah karena sempat melarikan diri." Tanpa menunggu jawaban Nagita, Daniel melangkah pergi, meninggalkan Nagita yang lagi-lagi harus terkurung sendirian. *** Daniel berdiri penuh percaya diri di depan jendela kantornya, menatap lurus cakrawala yang dipenuhi gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Ia menyesap kopi hangat penuh penghayatan, menikmati pemandangan ibu kota dari atas ketinggian. Sebagai pewaris tahta satu-satunya keluarga Dirga, ia telah membuktikan dirinya layak mendapat posisi CEO berkharisma yang tak terbendung dalam dunia bisnis. DirgaCorp adalah kekuatan yang sulit dikalahkan. Perusahaan ternama yang amat disanjung sekaligus ditakuti belahan dunia. Perusahaannya, DirgaCorp, adalah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi, yang tidak pernah kehabisan ide dalam menciptakan inovasi yang penuh gebrakan di pasar global. Dari mulai perangkat lunak canggih hingga infrastruktur jaringan, semua begitu mendominasi. "Bagaimana hasilnya?" Gerald, anak buah Daniel yang setia, berdiri di hadapan Daniel dengan membawa berkas map berisi laporan. "Harga saham terus melonjak turun, Tuan. Investor tampaknya semakin meragukan perusahaan Jordan yang penuh ketidakstabilan." Daniel mengangguk paham. "Perusahaan ecek-ecek itu sebelum kusentuh pun tampaknya sudah mau hancur," nilai Daniel. Senyumnya merekah lebar, mengejek puas. "Buat perusahaan itu semakin terpuruk, Gerald," perintah Daniel tak terbantah. "Atur strategi agar klien terbesar mereka membatalkan kerja sama. Pastikan semua kontrak beralih pada kita atau diambil alih pesaing mereka." Gerald mengangguk patuh, mencatat segala instruksi yang Daniel berikan. "Aku ingin perusahaan itu hancur sehancur-hancurnya." Bagi Daniel, ini bukan hanya tentang persaingan bisnis, melainkan ajang balas dendam karena hampir menodai perempuan yang Daniel cintai. "Bajingan!" umpat Daniel kasar. Gerald di sampingnya kontan terkejut melihat reaksi berlebihan yang begitu tiba-tiba dari sikap Daniel. Namun, Gerald memilih pura-pura tuli daripada harus berkomentar lebih. Ia bungkam sembari diam-diam menelan ludah. Gerald tahu, ketika berhadapan dengan musuh, jiwa gelap Daniel semakin mengerikan. Daniel kemudian memilih duduk, memainkan jari-jarinya dengan ritme teratur mengetuk meja. Pikirannya berkelana pada sesuatu yang tak kalah penting untuk dibahas. "Bagaimana dengan Pastel Dreams Cafe? Salah satu pelayan mengetahui jejak terakhir Nagita," Daniel menjelaskan. "Laura jelas melihat Nagita pergi bersamaku." Gerald tanpa ragu menjawab tenang, "Sudah dibereskan, Tuan. Perempuan itu telah dibungkam, ia tak akan berani mengatakan kebenaran." "Bagus," jawab Daniel puas. Untuk saat ini, tidak boleh ada yang tahu di mana keberadaan Nagita. Belum saatnya Nagita kembali pada hidupnya. Gerald kembali memberikan informasi terkini, "Ketidakhadiran Nona Nagita cukup membawa guncangan, Tuan. Keluarga Nagita berniat mencari pengganti sementara untuk mengambil alih manajemen di Pastel Dreams Cafe bila Nagita tidak kembali secepatnya." "Siapa kira-kira?" "Masih menjadi perdebatan, Tuan. Ayah Nagita tak ingin lagi terlibat langsung dalam dunia bisnis, memilih berperan sebagai konsultan di usianya yang terbilang sudah tua. Sedangkan Tuan Kintano, kakak Nagita, sibuk menjalankan bisnis keluarga sebagai CEO di perusahaan mereka." Daniel tersenyum mendengarnya. "Itu kabar baik. Kita akan menawarkan bantuan sebelum mereka menemukan pengganti," sahut Daniel penuh optimis. "Bersiaplah, aku tidak sabar mengambil hati calon mertua." "Maksud Tuan?"Setelah insiden kabur yang dilakukan Nagita, penjagaan mansion semakin diperketat. Setiap sudut ruangan seolah diawasi, tidak memberi ruang bagi Nagita untuk bisa pergi dari mansion ini. Gerak-gerik Nagita selalu mendapat perhatian dari Gilbert dan Lucas, tidak akan membiarkan perempuan itu hilang dari pandangan. Dua minggu telah berlalu, rutinitas yang Nagita jalani terasa menjemukan dan memuakkan. Hidup Nagita seperti terkurung di dalam sangkar. Ia begitu merindukan kesehariannya yang dulu. Ia juga rindu tentang kafenya yang belum lama ini ia dirikan dengan segenap jiwa dan raga. Nagita merindukan Pastel Dreams Cafe yang bisa menjadi tempat pelariannya dari hidup yang penuh nestapa. "Aku sudah selesai." Nagita bangkit dari duduknya dengan rasa bosan. Wajahnya begitu datar seakan tidak tertarik melanjutkan kehidupan. Pelayan bergegas membereskan piring-piring bekas sarapan Nagita. Gilbert dan Lucas sontak mengikuti Nagita, gesit mengekor di belakang saat Nagita mulai melangkah me
"Siapa di sana?!" Daniel menggeram pelan. Sorot matanya sontak menyala penuh amarah. Tidak seharusnya ada orang lain masuk ke ruangan ini tanpa sepengetahuannya. Daniel mengedarkan pandangan, mencari tahu letak sumber suara, meneliti setiap inci sudut ruangan yang selama ini menjadi tempat rahasia yang aman. Ini adalah ruang rahasia yang menjadi tempatnya menyusun segala rencana. "Nagita?" Sorot matanya yang tajam spontan mengendur ketika mendapati Nagita lah yang menyusup ke dalam ruangan. Perempuan itu rupanya terjatuh, mengaduh kesakitan memegang lututnya yang tidak sengaja mencium lantai. Daniel sontak menjulurkan tangan untuk menawarkan bantuan. "Aku tidak apa-apa," sahut Nagita menahan rintihan. "Hanya jatuh biasa," tambahnya seraya bangkit sendirian, menepis uluran tangan Daniel yang berniat memberikan bantuan, tak enak hati bila harus merepotkan Daniel untuk membantu seorang penyusup seperti dirinya. Namun, justru penolakan yang Nagita tunjukkan membuat Daniel spont
Semenjak ruang rahasia Daniel diketahui Nagita, keheningan menyelimuti mereka, menjadi sosok asing satu sama lain meski berada dalam satu atap yang sama. Mansion terasa lebih kosong, hampa, dan tanpa ada kehangatan di dalamnya. Daniel setiap pagi berangkat bekerja lebih awal. Nagita hanya menatap punggung Daniel yang menghilang ditelan pintu seiring waktu, membiarkan kepergian Daniel tanpa perlu mengucap sepatah katapun. Tidak ada lagi percakapan selepas perdebatan di ruang rahasia itu. Baik Nagita maupun Daniel, keduanya kompak memilih bungkam. Namun, perang dingin itu bukan berarti Daniel mengabaikan Nagita sepenuhnya. Setiap malam tiba, pria itu mengecek kamar Nagita, berdiri di depan pintu, memandangi dari jauh dan memastikan bila Nagita sudah terlelap tidur. Suara pintu terbuka ... Nagita tentu menyadari itu tanpa sepengetahuan Daniel. Ia kerapkali membuka mata, terbangun dari tidurnya ketika suara pintu mulai terdengar. Walaupun tidak ada interaksi langsung yang tercipta,
Daniel menatap kosong jendela kantor yang memamerkan pemandangan kota. Walau raga Daniel berada di sana, di dalam gedung megah itu, tapi jiwanya melayang pada peristiwa yang kurang mengenakkan untuk Daniel resapi dalam ingatan. Penolakan keluarga Nagita adalah kegagalan yang mampu menjadikan harapan pria itu pupus perlahan. Ingatan di ruang rapat keluarga Nagita seakan terus menghantui Daniel. "Apa-apaan?" desis Daniel tak suka kala saat itu tidak sesuai yang Daniel bayangkan. Tangan pria itu terkepal. Daniel tahu bahwa keputusannya saat itu untuk masuk ke ruang rapat adalah sebuah langkah yang nekat, tapi karena kegigihan yang tak terbendung, Daniel memberanikan diri menyusup masuk ke kediaman keluarga Nagita. Setelah mengelabui satpam yang berjaga di depan pintu gerbang—menyamar sebagai karyawan di perusahaan keluarga Nagita yang ingin memberikan berkas penting perusahaan—Daniel dipersilahkan masuk. Daniel lalu berjalan mantap mendekati pintu besar di ujung koridor. Sayup-sayup
Dapur Daniel begitu luas dengan meja marmer berkilau, dilengkapi peralatan dapur yang tertata rapi di sekelilingnya. Nagita memandangi ruangan dapur dengan tatapan berbinar. Setidaknya berada di sini membuat rasa bosan Nagita mereda, sebab terkurung dalam mansion tanpa tahu dunia luar tentu saja teramat menjemukan. Nagita butuh kegiatan yang bisa membangkitkan semangatnya untuk terus bertahan. "Memasak mungkin bisa membuatku merasa lebih tenang," gumam Nagita. Senyuman manis seketika terbit di bibir mungilnya. Perempuan itu lalu membuka lemari es, mengeluarkan bahan, mulai menyiapkan bumbu-bumbu untuk memasak. "Sempurna!" sahutnya tersenyum kecil melihat alat dan bahan telah lengkap di depan mata."Sudah lama tidak melihatmu memasak," sahut Daniel yang tiba-tiba menghampiri Nagita. Pria itu melangkah mendekat, melihat apa yang sedang dimasak oleh Nagita. "Sop ayam, ya?"Nagita mengangguk sebagai jawaban. Setelah sempat berselisih, hubungan mereka berangsur lebih baik. "Kau mau?" ta
Suasana kota di malam hari tampak begitu hidup, dihiasi gemerlap lampu jalan dengan berbagai kendaraan yang berlalu-lalang. Hembusan angin sejuk menelusup masuk ke dalam mobil, membelai wajah lembut Nagita yang duduk tepat di samping Daniel. Mereka sedang dalam perjalanan menuju restoran. "Bagaimana? Apa rasanya aneh?" Daniel bertanya penasaran seraya sibuk menyetir. Matanya yang fokus memerhatikan jalan sesekali melirik ke arah Nagita. Perempuan itu kini mengenakan wig pendek dengan kacamata hitam sesuai permintaan Daniel. "Ini cukup aneh. Aku tidak terbiasa dengan penampilan seperti ini, tapi aku tidak terlalu mempermasalahkannya," aku Nagita cepat, tidak keberatan bila harus mengabulkan keinginan Daniel. Nagita tidak masalah jika harus menyamarkan penampilan agar seseorang tidak mengenalinya. Yang penting sekarang ia bisa mengirup udara segar, menikmati sedikit kebebasan dalam hidupnya walau sekejap. Mereka lalu tiba di restoran bernuansa klasik dengan kaca-kaca besar yang meman
Claudia ... hamil? Fakta mengejutkan yang Nagita dengar sungguh membuat dirinya mual. Perempuan itu dengan cepat keluar dari kamar mandi, tidak ingin mendengar kelanjutan apapun lagi. Ia melangkah mantap tanpa menoleh sekali pun ke belakang, tidak terpengaruh untuk mencari tahu apakah Claudia ikut keluar dari kamar mandi atau belum. Kehamilan Claudia membuatnya semakin mantap untuk melepas Jordan, meskipun ada tetesan air mata yang meluncur di pipi mulus Nagita. Butiran kristal yang sukses membuat Nagita terlihat menyedihkan, segera dihapus kasar oleh Nagita. Ia tidak suka terlihat lemah dan berlarut dalam kesedihan. Nagita akan tunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Langkahnya tergesa untuk kembali ke meja dengan wajah tegar. Namun saat sampai, meja yang ia tempati justru terlihat kosong tanpa adanya Daniel. Nagita sampai mengedarkan pandangan ke sekeliling, siapa tahu matanya menangkap keberadaan Daniel. 'Apa ia meninggalkanku?' Nagita bertanya dalam hati. Dirinya terlihat bingung m
Nagita duduk sendirian diiringi musik piano yang mengalun lembut di telinga. Restoran mewah ini terasa sunyi dan sepi bagi Nagita. Ia memandangi hidangan di atas meja yang belum disentuhnya sama sekali, berharap rasa bosan ini segera pergi. Nagita tidak suka perihal menunggu, tapi justru kali ini ia melakukannya dengan suka rela. Ia menunggu Daniel kembali, sebab hanya itulah opsi yang Nagita miliki. Nagita tahu pemikiran Daniel dan seposesif apa pria itu. Nagita tidak mungkin bisa kabur meski tengah berada di luar sekali pun. Pasti banyak mata-mata di sekitar sini tanpa Nagita sadari. Tiba-tiba dua sosok familiar mendekati meja Nagita. Gilbert dan Lucas datang menghampirinya. Nagita tersenyum lega. Akhirnya kesepian yang Nagita alami berakhir juga. "Silakan duduk," tawar Nagita dengan senyuman ramah yang tidak lepas dari bibirnya. Gilbert dan Lucas lantas mematuhi perintah Nagita, duduk pada kursi yang tersedia. Diam-diam kedua pria itu saling lirik, merasa canggung karena Nagita
Nagita terbangun dengan nuansa yang nampak berbeda. Tidak ada lagi kamar putih gading yang luas tapi terasa seperti penjara saat ia membuka mata. Namun, meski begitu, ini juga bukan kamar lama Nagita setelah ia memutuskan pergi dari mansion Daniel. Ini kamarnya yang baru. Nagita membeli apartemen baru dengan black card milik Daniel. Entah Daniel menyadari ini atau tidak, yang jelas Nagita terpaksa bertahan hidup dengan kartu hitam yang berharga itu. Semua kebutuhannya bisa terpenuhi hanya dengan memegang kartu yang diberikan oleh Daniel. Mereka memang tidak lagi tinggal bersama, tapi kartu ini menjelaskan bahwa keduanya masih terikat. Tidak banyak yang Nagita lakukan di apartemen barunya. Aktivitasnya hanya merenungi nasib. Ia kehilangan semangat, menutup diri dari berbagai aktivitas. Untuk keperluan makan pun, ia lebih memilih gofood. Beberapa hari ini hanya kegiatan monoton dan memuakkan itu yang Nagita lakukan. Keluarganya pun tidak mencarinya. Ini semakin membuat Nagita kecewa
Semua barang milik Nagita berada di apartemen, dan sayangnya ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam sana. Nagita merasa buntu, terjebak tanpa tahu jalan keluar. Nagita bahkan baru menyadari satu hal, ia tidak punya ongkos untuk pergi menemui keluarganya. Nagita merasa sendirian, seperti anak tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Nagita lalu iseng meraba tas yang ia bawa, yang di dalamnya ia masukkan wig dan juga kacamata. Nagita merasa ... kedua benda itu akan ia gunakan di lain kesempatan. Firasatnya mengatakan benda itu penting untuk Nagita simpan. "Hah?" Dan betapa terkejutnya Nagita saat menemukan black card terselip di dalamnya. Daniel rupanya diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nagita. Perempuan itu sontak bernapas lega. Meski Daniel melepasnya pergi, tapi pria itu masih menunjukkan kepedulian yang nyata untuk Nagita. Namun .... Nagita ragu untuk menggunakan kartu eksklusif itu. Bukankah ia tak ingin terlibat lagi? Bukankah ia bertekad untuk tak mau merepotk
Nagita menahan diri agar tidak mendesah nikmat di depan Daniel, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sensasi panas menelusup masuk ke tubuh Nagita. Perempuan itu menahan napas saat Daniel bermain-main di lehernya, menyentuhnya dengan penuh gairah, sengaja meninggalkan tanda merah di leher Nagita. Daniel sejenak menghentikan aksi, menatap Nagita yang masih terdiam tanpa mengatakan sepatah kata. "Apa kau menyukainya?" Daniel bertanya lembut. Tubuh Nagita menegang, menatap Daniel yang begitu dekat dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Bohong jika ia tidak menyukai sentuhan yang Daniel lakukan. "Apa aku ...." "Lakukan saja," terang Nagita seakan terhipnotis begitu cepat, mengizinkan Daniel untuk berbuat lebih banyak lagi pada tubuhnya. Nagita tahu mereka sudah melewati batas, tapi kenikmatan yang Daniel berikan membuatnya terhanyut dan melayang. Ia sungguh menikmati rangsangan yang Daniel berikan. Daniel lalu menatap Nagita penuh gairah. Tatapan Daniel kini seperti hewan buas
"Kau bisa pulang hari ini, Nona Nagita," jelas Dokter Joshua. "Kondisimu semakin baik, tapi tetap pastikan dirimu beristirahat dengan cukup." Nagita mengangguk pelan. Akhirnya setelah penantian panjang, ia diperbolehkan pulang atas izin dokter. "Terima kasih banyak, Dok," balas Nagita lembut. Daniel berjalan mendekat. Ia bersyukur menyaksikan Nagita berangsur pulih, tapi tidak bisa dipungkiri bila ada kesedihan yang nampak dari sorot mata Daniel. "Kau siap?" Suara Daniel terdengar berat. Ada perasaan tidak rela terselip dalam pertanyaannya, tetapi Daniel mencoba bersikap tegar. Pria itu mengulurkan tangan, membantu Nagita berdiri dari ranjang. Nagita mengangguk mantap sebagai jawaban. Hari kebebasan yang ia nanti selama ini akhirnya tiba. Seharusnya hari ini ia merayakan perpisahan dengan bersorak girang, tetapi Nagita hanya tersenyum tipis tanpa gairah. Daniel menuntun jalan Nagita dengan sabar. Tangannya merangkul Nagita sembari berjalan menuju mobil yang telah ia siapkan. Nagi
Cahaya mentari pagi menyelinap masuk dari jendela kamar. Dengan perlahan Nagita membuka mata, terbangun dengan tubuh yang masih terasa lemah. Kepalanya tengah berdenyut-denyut, tapi ia memaksakan diri untuk mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Nagita lalu memerhatikan sekeliling, spontan terkejut ketika menemukan mesin monitor berada di dalam kamarnya. "Apa ini?" Dengan rasa keterkejutan itu, ia memandang tajam mesin monitor yang menampilkan detak jantungnya yang terlihat stabil, seakan menunjukkan bahwa ia masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. "Isshhh ...," ringis Nagita yang kini merasakan nyeri pada pergelangan tangan. Perempuan itu sontak teringat tindakan yang pernah ia lakukan. Helaan napasnya terdengar saat matanya menangkap sebuah perban yang terlilit di lengan kirinya. Sesaat, Nagita tidak menyangka bila ia sampai bertindak senekat itu. 'Aku hampir mati bunuh diri ...,' gumamnya pada diri sendiri, bergidik ngeri. Namun, sesuatu yang hangat membuat
Daniel terbelalak saat tubuh Nagita tersungkur, jatuh tepat dalam pelukannya. Atmosfer yang semula terasa tegang kontan berubah dingin dan menyesakkan, menghantam tepat jantung Daniel penuh rasa cemas. Kaki Daniel terkulai lemas, terduduk di lantai sembari memeluk tubuh dingin Nagita dengan tangan gemetar. "Nagita, sadarlah!" Daniel berseru khawatir dengan wajah pucat, mencoba menghentikan pendarahan di pergelangan tangan, merobek kaosnya untuk membalutkannya di luka Nagita. "Bertahanlah ...." Suara Daniel lirih, tersirat penuh akan kecemasan. Di luar kamar, Gilbert dan Lucas tak tinggal diam, tidak tahan bila hanya berdiam diri tanpa bertindak. Mereka menyadari kericuhan tak bisa lagi mereka abaikan, sehingga mereka mendobrak pintu tanpa harus menunggu perintah. Kedua bodyguard itu menerobos masuk saat pintu berhasil dibuka. Seketika itu pula Gilbert dan Lucas terbelalak kaget melihat apa yang ada di depan mata mereka. Lihatlah, tangan Daniel kini berlumuran darah, sedangkan tubu
Tamparan yang Nagita layangkan menghujam tepat harga diri Daniel. Ruangan seketika senyap. Gilbert dan Lucas yang ikut menyaksikan itu kompak terdiam, tidak berani bersuara. "Kau pikir semua bisa selesai hanya dengan memaksaku bicara?" Nagita bertanya dingin. Emosinya meluap ke permukaan, memandang Daniel dengan penuh geram. "Kau hanya peduli tentang dirimu ... seakan semua harus sesuai kehendakmu ...." Tangan Daniel menyentuh pipinya yang masih terasa perih. Pria itu memejamkan mata, meresapi tiap kata-kata yang Nagita lontarkan. Jantungnya seperti tertusuk ribuan jarum yang tajam. Apa ia sungguh melampaui batas? "Aku begitu muak, Daniel ...," desis Nagita lelah. "Kau hanya mementingkan egomu saja, tanpa mengerti apa yang aku rasa ...." Daniel bergerak mendekati Nagita. "Nagita ...," panggil Daniel pelan, "aku hanya ingin—""Ingin apa?" potong Nagita cepat, menantang. Ia sontak mengangkat dagunya, menatap mata Daniel dengan kilatan amarah. "Kau ingin aku memaafkan semua tingkahmu
Daniel menatap pintu penghalang yang sedari tadi terkunci rapat. Gilbert dan Lucas telah memperingatkan Daniel untuk segera pergi dari kamar Nagita, tapi pria itu mengabaikannya. Ia hanya ingin menemui Nagita malam ini, dan memperbaiki semua kekacauan. Daniel tidak ingin menunggu terlalu lama. Semakin Daniel membiarkan kesalahpahaman ini terjadi, Nagita akan semakin jauh dari genggaman Daniel. Dengan helaan napasnya yang terasa berat di balik wajah tegas Daniel, pria itu terus mengetuk pintu dan memanggil nama Nagita, berharap Nagita keluar dan mau bicara seperti yang Daniel harapkan. Namun, pintu itu tetap bergeming. Hanya kesunyian yang selalu setia menyambut Daniel. Meski Nagita ada di dalam sana, perempuan itu memilih tidak bersuara, enggan menyahut panggilan Daniel. "Nagita ...," ujar Daniel yang masih keukeh memanggil. "Mari kita bicara ...." Suaranya rendah, tetapi terdengar tegas. Masih tidak ada respons. Nagita tetap diam seribu bahasa. "Nona mungkin sudah tidur, Tuan,"
"Mari, Nona." Nagita turun dari mobil diiringi Gilbert dan Lucas. Warna oranye mulai menghiasi langit, tanda senja tengah menyapa. Nagita melangkah menyusuri pemakaman yang sunyi ditemani hawa dingin yang menusuk tulang. Lalu di antara bunga layu yang bertaburan di sekitarnya, nisan bertuliskan nama Laura menyayat hati Nagita. "Laura ...," bisik Nagita lemah. Hatinya tercabik penuh luka. "Maafkan aku ...." Tangisan Nagita pecah. Duka itu teramat menyesakkan untuknya. Nyatanya sulit sekali untuk menerima kenyataan di depan mata. Nagita sampai menyalahkan diri sendiri atas kehilangan ini. "Mungkin nasibmu akan jauh lebih baik jika tak mengenalku, Laura ...," lirih Nagita. Air mata terus mengalir di pipinya. "Aku pembawa sial ...." Gilbert dan Lucas berdiri lemas beberapa langkah dari Nagita yang masih berduka. Lucas, yang awalnya enggan membuka mulut, lantas angkat bicara dengan kepala tertunduk. "Ini memang menyakitkan, Nona, tapi tidak ada gunanya menyalahkan diri Nona sendiri